Senin, 06 Mei 2019

Nawaruci (Dewa Ruci)


Hallo, semua. Kali ini saya menceritakan kisah perjalanan Arya Bratasena mencari air sakti Tirta Amertasari Prawidhi Mahaning Suci atas perintah gurunya, Resi Dorna untuk belajar memahami Sangkan Paraning Dumadi, ilmu Sejatining Urip , hinggap pada akhirnya Arya Bratasena bertemu sang guru sejati, yaitu sang Nawaruci alias Dewa Ruci. Sumber yang saya gunakan berasal dari berbagai sumber di internet, Kitab Mahabharata yang ditulis ulang oleh Nyoman S, Pendit, dan serial kolosal Indonesia Karmapala karya Imam Tantowi.
Berita tentang selamatnya para Pandawa dan Dewi Kunthi membuat para Kurawa gusar bukan kepalang terutama Prabu Anom Suyudana. Pada suatu hari, Prabu Anom Suyudana mendapatkan mimpi bahwa takhta Hastinapura jatuh ke tangan Puntadewa dan dirinya dicemooh habis-habisan oleh para Pandawa. Hal itu amat mengganggunya selama berhari-hari. Diceritakannya hal itu kepada Resi Dorna. Resi Dorna yang lebih dekat pada para Kurawa berkata dengan nada yang setengah yakin“jangan khawatir, anak mas Suyudana. Sebelum para Pandawa datang kesini, aku akan mengelabuhi Bratasena lebih dahulu.” Di dalam hati Resi Dorna, sebenarnya dirinya amat bimbang, disatu sisi dia amat menyayangi Bratasena tapi disisi lain dia harus membantu Suyudana. Tak mungkin bagi dirinya untuk mencelakai muridnya sendiri. Tiba-tiba datanglah angin kencang menerbangkan kain kelambu. Terbesitlah sebuah ide untuk membuat Bratasena terjerumus dan celaka demi menyenangkan hati Suyudana. Lalu berangkatlah Resi Dorna ke pertapaan Saptarengga di kaki gunung Saptaharga, tempat para Pandawa untuk saat ini.
Sementara itu di Gunung Saptaharga, Maharesi Abiyasa menyambut kedatangan para Pandawa, Dewi Kunthi, Dewi Drupadi, dan para punakawan. Kebetulan disana ada pula Arya Widura, dan Maharesi Bhisma. Mereka bersyukur karena para Pandawa dan Dewi Kunthi masih diberi keselamatan oleh Sanghyang Widhi malah gembira mengetahui bahwa Puntadewa dan Bratasena sudah berumah tangga. Mereka berniat memboyong keluarga Pandawa kembali ke Hastinapura, namun Dewi Kunthi berkata “Terima kasih Paman Bhisma dan rayi Arya Widura, tapi kami bertujuh sudah sepakat akan tinggal di Saptarengga lagi saja.” Bhisma dan Arya Widura mengerti bahwa Dewi Kunthi dan para putra masih ada trauma. “Baiklah, kakang mbok Kunthi. Kami mengerti atas kondisimu dan para putramu, tapi bila kau membutuhkan segala sesuatu datang saja ke Hastinapura. Pintu gerbang Hastinapura selalu terbuka lebar untukmu dan putra-putramu.” Setelah Maharesi Bhisma dan Arya Widura pulang ke Hastina, beberapa jam kemudian datanglah Resi Dorna. Mereka saling beramah tamah dan Resi Dorna Bersyukur bahwa murid-murid terbaiknya berhasil selamat dari musibah kebakaran di Warnabrata. Dilihatnya wajah Bratasena yang lugu namun menyimpan uneg-uneg di hatinya. Lalu Resi Dorna ingin bicara dengan Arya Bratasena  di luar pertapaan“ Anak mas Bratasena, aku tahu di hati kecilmu itu sedang gundah gulana. Apa hal yang menggelisahkanmu, anakku?” Bratasena yang lugu kemudian menceritakan segala uneg-unegnya“Begini, guru. Atas segala ilmu kanuragan dan ajian-ajian yang kau berikan sudah cukup padaku. Tapi ada satu hal yang belum kau ajarkan, yaitu Ilmu Sangkan Paraning Dumadi, ilmu menuju Sejatining Urip. Aku ingin bisa memahaminya dan bukan hanya sekedar untuk diriku saja tapi ingin ku tularkan kepada orang lain.” Bak gayung bersambut, Resi Dorna kemudian berkata”anakku, bila kau ingin mendapatkan ilmu Sangkan Paraning Dumadi, Ilmu Sejatining Urip, aku bisa memberikannya sekarang, tapi kau harus membuktikan apakah dirimu pantas. Datanglah ke Sokalima besok hari.” Demikianlah Resi Dorna mengakhiri pembicaraanya itu dan bergegas pulang ke Sokalima setelah berpamitan pada Maharesi Abiyasa dan para Pandawa sekeluarga.
Keesokan harinya, Arya Bratasena datang ke Sokalima dan menemui Resi Dorna. Dirinya menyatakan telah siap dan pantas untuk mendapatkan pemahaman Sangkan Paraning Dumadi, ilmu Sejatining Urip. Resi Dorna pun berkata “ Anakku, Bima sang Bratasena. Sebelum kamu mendapatkan pemahaman tentang Sangkan Paraning Dumadi, ilmu Sejatining Urip, kamu harus mencarikan untukku sebuah pohon ajaib bernama Kayu Gung Susuhaning Angin terlebih dahulu. Carilah kayu itu di hutan Bawanasura di lereng Gunung Candramukha. Ciri-cirinya, pohon itu mengeluarkan angin kencang dan mengeluarkan gemuruh yang kuat ” Arya Bratasena kemudian menyanggupi permintaan itu. Setelah pamitan, Arya Bratasena berangkat meninggalkan Sokalima menuju Gunung Candramukha. Tak lama setelah Arya Bratasena pergi, Resi Dorna kedatangan salah satu adik Prabu Anom Suyudana, Arya Kartamarma yang ditemani Bambang Aswatama. Mereka bertanya apakah Bratasena sudah pergi. Resi Dorna menjawab dengan wajah liciknya “dia sudah pergi dan dia percaya padaku. Rencana untuk menjerumuskannya berjalan lancar. Lagipula, Gunung Candramukha itu amat angker dan wingit. Ada kerajaan para hantu dan setan di hutan Bawanasura dan sarang denawa pemakan manusia di puncak gunung itu. Jadi pasti dia bakal pulang tinggal nama saja.” Arya Kartamarma dan Bambang Aswatama merasa senang mendengarnya lalu kembali ke Hastinapura untuk dilaporkan pada Prabu Anom Suyudana.
Setelah berkuda menaiki gunung Candramukha selama sehari semalam, akhirnya Arya Bratasena menemukan hutan Bawanasura. Ditinggalkanlah kudanya di tengah hutan dan mulai mengobrak-abrik seisi hutan mencari Kayu Gung Susuhaning Angin. Nyatanya, kayu itu tak ada malah Bratasena harus melawan pasukan hantu dan setan di sana. Walaupun demikian, Arya Bratasena mampu mengalahkan hantu-hantu itu dengan bantuan ajian Niskala Sahashra Swasa*1. Setelah itu, dia merasakan adanya hembusan angin kencang  dan suara gemuruh dari puncak gunung. Arya Bratasena mengira pohon Kayu Gung Susuhaning Angin ada di puncak gunung itu. Kemudian dengan aji Angkusa Prana*2, dia bergerak melesat ke puncak gunung dan menemukan sumber gemuruh dan hembusan angin kencang, yaitu sebuah gua raksasa bernama Luweng Sigrangga yang tersumpal batu besar. Tanpa pikir panjang, dia memecahkan batu yang menyumpal sebagian mulut gua. Tak disangka, para penghuni gua, Denawa kembar Rukmukha dan Rukmakhala yang sedang tidur terbangun karena terganggu kuatnya tinjuan Bratasena yang kuat. Lalu mereka muncul di hadapan Bratasena. “ Heeehh... manusia,apa yang kamu lakukan disini. Mau cari mati kau dengan kami? Hooohoho.” Lalu Bratsena menjawab “Aku Bratasena. Aku diperintah guruku nyari pohon Kayu Gung Susuhaning Angin dan karena ada hembusan angin kencang dan suara gemuruh dari sini makanya aku kesini.” Kemudian kedua denawa itu menjawab dengan nada yang sinis dan berniat meledek keluguan dan sifat polos Bratasena.
 “Heei, manusia bodoh. Suara gemuruh itu adalah suara dengkuranku, Rukmakhala”
“dan hembusan angin kencang itu adalah hembusan nafasku.” Lalu kedua denawa itu menyerang Bratasena karena sejak terbangun tadi, mereka lapar dan baru kali ini menemukan makanan yang langsung datang dihadapan mereka. Merasa dipermainkan oleh kedua raksasa itu, Arya Bratasena kemudian membela diri dengan tinjunya. Namun, ketika Rukmukha jatuh terkena tinjunya, mendadak sehat lagi ketika Rukmakhala melangkahi tubuhnya. Begitupun Rukmakhala yang tadinya terkena tinju, begitu Rukmukha melangkahinya seketika dirinya langsung sehat. Arya Bratasena menjadi kewalahan. Akhirnya menemukan sebuah cara untuk mengalahkan mereka. Arya Bratasena langsung mengheningkan cipta dan membaca mantra penenang jiwa. Seketika, para denawa itu langsung limbung. Begitu dua raksasa itu limbung, Arya Bratasena menjambak rambut mereka lalu dibenturkanlah kepala mereka ke batu bersama-sama hingga kepala mereka remuk. Begitu kepala itu remuk lalu dipuntir sehingga dua kepala itu putus dan tewas lah mereka tanpa bisa bangun lagi.
Kemunculan Batara Bayu dan Batara Indra
Setelah itu terjadilah sebuah keajaiban. Bumi gonjang-ganjing, langit kolap kalip, angin bertiup bagai taufan badai, halilintar menyambar-nyambar. Jasad kedua denawa tu tiba-tiba hilang lenyap tak berbekas berganti dengan dua Dewata agung yaitu sang dewa langit, Batara Indra dan dewa angin, Batara Bayu, ayah angkat Bratasena. Kedua dewa itu berterima kasih pada Bratasena.” Terima kasih, putraku Bima Bratasena. Kau sudah membebaskan kami dari kutukan yang memalukan tadi.” Kemudian Arya Bratasena bertanya dengan bahasanya yang lugu “ Apa yang terjadi? Kok bisa Romo Batara dan Pukulun Batara Indra berubah jadi bhuta kala?” Batara Indra menjelaskan bahwa mereka dikutuk karena Batara Guru murka dengan kecerobohan mereka. Mereka datang terlambat ke persidangan para dewa ditambah mengerahkan kekuatan petir dan angin topan tapi membuat Dewi Wilotama yang sedang menari pendet jadi malu karena pakaiannya tersingkap terkena daya angin dari Batara Bayu. Karena itulah, Batara Guru mengutuk mereka menjadi denawa tadi. Lalu Arya Bratasena balik bertanya pada mereka “Romo Batara dan pukulun Batara Indra, apa kalian tahu dimana letak pohon Kayu Gung Susuhaning Angin? Aku dah cari kemana-mana gak ada” Batara indra kemudian menjawab “ Anakku, Bratasena. Ketahuilah, pohon kayu yang kau maksud itu bahkan tidak ada di kahyangan tertinggi. Kayu Gung Susuhaning Angin adalah perlambang dari dirimu, kau adalah putra Pandu Dewanata sekaligus putra angkat Bayu, putra dewa angin. Selain itu, makna Kayu Gung Susuhaning Angin yang sejati adalah penggambaran dari badan raga manusia yang setiap saat selalu memasukkan dan mengeluarkan angin dengan bernafas. “ Arya Bratasena yang bimbang bertanya lagi “Apa berarti Guru Dorna ngapusi, mempermaikanku?”  kemudian Batara Bayu memberikan jawaban yang menentramkan hatinya “ Tidak, anakku. Guru tak mungkin menjerumuskan muridnya kecuali agar muridnya menjadi semakin terdepan. Resi Dorna tidak sedang membohongimu tapi mengajarkan ilmunya melalui teka-teki dan jawabannya akan bisa kamu temukan sendiri bila dicari dengan betul-betul. Maka dari itu, kalau gurumu memberi tugas lagi, laksanakan, jangan ditolak.” Arya Bratasena pun sanggup menjalankan saran Batara Bayu. Sebagai bentuk terima kasih, Batara Indra memberikannya ikat pinggang sakti bernama ikat pinggang Naga Druwenda Manik Candhama. Batara Indra menjelaskan bahwa ikat pinggang itu akan berguna dan melindungi keselamatannya bila dia berada di dalam air. Arya Bratasena berterima kasih lagi dan memakainya di pinggangnya. Setelah itu, Arya Bratasena kembali lagi ke Sokalima.
Resi Dorna yang sedang duduk-duduk di bale bambu terkejut dengan datangnya Bratasena yang masih hidup dan tetap sehat tanpa kekurangan satupun. Arya Bratasena kemudian menceritakan segala pengalamannya tadi. Resi Dorna sangat terkesan atas keberhasilan muridnya itu dan membenarkan bahwa pohon itu adalah sebuah kias untuk raga wadag manusia. Dengan kata lain, Arya Bratasena berhasil membawa Kayu gung Susuhaning Angin dan lulus syarat pertama.Arya Bratasena kemudian bertanya lagi “Guru, apa aku sudah bisa mendapatkan ilmu Sejatinig Urip, Sangkan Paraning Dumadi?” Resi Dorna kemudian menjawab “Belum, anakku. Kau harus menerima satu tugasan lagi. Carilah dan temukan air sakti Tirta Amertasari Prawidhi Mahaning Suci di tengah pusaran Samudera Minangkalbu.” “dimanakah letak Samudera Minangkalbu itu, guru?” Resi Dorna kemudian menjawab “Ikutilah kata hatimu, kalau kata hatimu mengatakan ke utara maka ke Samudera utara tapi jika keyakinanmu di selatan maka berangkatlah ke Samudera selatan.” Teringatlah saran dari batara Bayu, maka Arya Bratasena menyanggupinya dan langsung berangkat untuk mencari air itu.
Arya Bratasena merasa tugasan kali ini lebih berat lagi, maka dirinya ingin minta izin pada ibu, empat saudara dan kakak iparnya. Sesampainya di Saptarengga, Dewi Kunthi, Dewi Drupadi, dan keempat saudaranya menyambutnya. Arya bratasena kemudian menceritakan keinginannya untuk mencari Tirta Amertasari Prawidhi Mahaning Suci di tengah pusaran Samudera Minangkalbu. Para Pandawa dan yang lain terkejut. Raden Puntadewa berusaha mencegahnya pergi karena takut itu hanya akal-akalan Kurawa saja melalui tangan Resi Dorna. Begitu juga Raden Permadi, Raden Pinten, dan Raden Tangsen. Mereka tak mau melepaskan tangan Arya Bratasena. Namun Bratasena semakin berkeras diri malah dia berusaha sungkem dihadapan kakak sulungnya itu. Melihat perjuangan adiknya yang tak bisa dihentikan lagi, Raden Puntadewa pun luluh. Begitu juga Raden Permadi, Raden Pinten dan Tangsen, luluhlah pula hati mereka melihat kebulatan tekad kakak nomor dua mereka. Kemudian Raden Puntadewa memberikan restunya “baiklah adikku, jika keinginanmu telah bulat, aku dan adik-adik tak berhak mencegahmu. Kami disini akan selalu mendukungmu”  Arya Bratasena kemudian meminta ijin ibunya, Dewi Kunthi “ Ibu, aku meminta ijinmu untuk mencari Tirta Amertasari Prawidhi Mahaning Suci agar mampu memahami Sangkan Paraning Dumadi” Dewi Kunthi kemudian berkata sambil menangis “Aku akan merestui mu, putraku Bayusuta. Tapi mohon pikirkanlah lagi. Ibu takut bila kau tak kembali.” Perkataan dewi Kunthi sempat membuatnya bimbang, namun segera dikuatkanlah hatinya “Ibu, pasrahkan segala nasib ku pada Sanghyang Widhi. Aku yakin rencana-Nya jauh lebih indah dari perkiraan kita, ibu” akhirnya Dewi Kunthi merestuinya dan Bratasena segera berangkat. Dirinya yakin bahawa Tirta Amertasari Prawidhi Mahaning Suci berada di Samudera selatan, sehinggalah dia berjalan selama berhari-hari dan sampai lah dia di pinggir pantai selatan.
Samudera selatan tampak tak pernah bersahabat. Ombaknya yang biru tinggi bergulung-gulung bagaikan setinggi gunung Mahameru, seakan hendak menelan apa dan siapa saja yang berani mencebur ke dalamnya. Suara gemuruhnya bagaikan tawa seribu pasukan denawa dan raksasa jahat yang tersiksa di neraka, membuat gentar hati siapa yang berada di pinggir pantai. Begitupun hati Arya Bratasena dan sempat berpikir untuk mundur saja karena takut tenggelam. Namun keinginan yang kuat untuk mencari Tirta sakti itu membuat dirinya yakin kembali dan menyerahkan hidup matinya di tangan Sanghyang Widhi. Dengan penuh kepasrahan, Arya Bratasena mencebur ke tengah samudera. Tak disangka, tubuhnya tiba-tiba ringan dan mampu mengambang di air. Rupanya daya kesaktian Ikat pinggang Naga Druwenda Manik Candhama telah memberikan kekuatan agar tubuhnya menjadi stabil ketika di air.
Berjuang melawan Naga Nawatnawa 
Dia pun berjalan kaki semakin ke tengah samudera mengikuti kata hatinya. Tiba-tiba muncul sesosok makhluk besar berwujud seekor ular naga raksasa. Naga itu berbadan sebesar sebuah bukit dan panjangnya lebih panjang dari anak sungai. Naga itu kemudian membelit seluruh badan Arya Bratasena mulai dari kaki hingga lehernya.  Arya Bratasena pun meronta-ronta namun semakin meronta, belitan sang naga semakin kuat. Bahkan ular naga itu terus menyemburkan hujan beracun yang amat panas dari mulutnya. Hampir-hampir dia gagal melepaskan diri. Namun, ketika sang naga hendak mencaplok kepalanya, Arya Bratasena berhasil mengeluarkan kedua tangannya dari belitan sang naga lalu dengan Kuku Pancanaka miliknya, Bratasena menusuk mulut dan leher ular naga itu. naga itu pun menggelepar-gelepar, lalu mati. Bangkainya dihempaskan ombak sehingga menghilang dari pandangan.
Tak lama setelah, pertarungan itu, sebuah ombak besar datang lagi dan menyapu Arya Bratasena semakin ke tengah laut. Semakin ke tengah laut, muncul sebuah pusaran air yang sangat besar. Arya Bratasena yang sudah sangat kelelahan membiarkan dirinya terhisap gelombang dari pusaran itu. Terombang-ambing bagaikan buih di samudera. Arya Bratasena semakin berserah diri kepada Sanghyang Widhi kemanapun dirinya akan dibawa ombak dan pusaran air itu. Kepasrahan dirinya semakin total, hidup matinya sudah benar-benar diserahkan dan dipasrahkan kepada Sanghyang Widhi. Dirinya sudah tak bisa merasakan apapun lagi, bagaikan Mati Sajroning Urip, Urip Sajroning Mati.
Di saat puncak dari kepasrahannya itu, Arya Bratasena dibangunkan oleh suara seseorang. Ketika membuka matanya, alangkah terkejutnya dia melihat sosok berwujud mirip manusia muncul dari cahaya berbentuk bagaikan bunga tunjung biru yang memiliki wajah dan postur tubuh yang sama persis dengan dirinya hanya saja berwujud kecil seperti anak-anak. “siapa kamu? Bagaimana bisa rupamu mirip denganku?” “Bima Bratasena, Putra kedua Pandu dan Kunthi, anak angkat dari sang Batara Bayu, aku adalah Nawaruci juga dipanggil Dewa Ruci. Tirta Amertasari Prawidhi Mahaning Suci yang sedang kau cari ada didalam dirimu” Arya Bratasena pun heran. Kemudian Nawaruci menjelaskan makna dari perjalanannya selama ini “Bima Bratasena, ketahuilah. Semua perjalananmu mencari persyaratan memahami Sangkan Paraning Dumadi, ilmu sejatining urip mengandung makna yang dalam. Para hantu dan setan yang kamu kalahkan di hutan Bawanasura adalah kiasan dari berbagai godaan dan fitnah di dunia ini. Kayu Gung Susuhaning Angin yang kau cari adalah kiasan dari manusia itu sendiri. Keindahan di Gunung Candramukha dan Luweng Sigrangga yang kamu datangi adalah kiasan dari keindahan tubuh dan wajah manusia. Denawa Rukmukha dan Rukmakhala adalah simbol dari godaan berupa keindahan rupa, perhiasan, dan kekayaan dunia. Kekayaan dan indahnya rupa menjadi salah satu penggoda terberat untuk manusia. Seringkali manusia lebih sibuk membenahi kebagusan rupa dan raganya ketimbang jiwanya. Karena itu setelah kau menang dalam pertarungan dengan dua denawa itu, muncullah Batara Indra dan Batara Bayu memberikanmu berkah. Batara Indra adalah lambang dari panca indria dan Batara Bayu adalah lambang dari hembusan nafas manusia. Peristiwa di gunung Candramukha adalah sebuah kiasan seorang manusia sudah menundukkan godaan panca indria, menghadapi fitnah dunia, dan telah mengatur olah napas untuk mengendalikan pikiran liar.”
Kemudian Nawaruci memperlihatkan gambar saudara-saudara Bratasena dan ibunya, Dewi Kunthi dengan kesaktiannya. Kemuadian Nawaruci menjelaskan “ Bratasena, lihatlah! Itu adalah saudara-saudaramu dan ibumu. Sebelum datang ke sini, awalnya kau di cegah oleh mereka berlima namun karena kebulatan tekadmu, mereka mendukungmu dan mengusahakan keselamatanmu melalui doa-doa yang mereka panjatkan. Mereka adalah perlambang dari saudara gaib setiap manusia. Mereka disebut ‘Kadang papat lima pancer.’ Yang empat adalah air kawah/ketuban, ari-ari/plasenta, tali pusar, dan darah. Mereka lahir bersamaan dengan kelahiran manusia melalui kelamin ibu. Meskipun secara fisik mereka sudah mati, tapi secara gaib, mereka tetap menjaga dan melindungi manusia sampai manusia itu menghadap kepada Hyang Widhi. Lalu yang disebut pancer adalah Marmati, disebut juga Ratu Jalu-Ratu Estri yang bersemayam di dalam kalbu setiap manusia. Orang pada umumnya menyebutnya nurani atau kata hati. Kata hati ini lah yang sepanjang hari, siang malam membimbing dan memberi petunjuk kepada manusia. Orang yang berbuat seenaknya dan melampaui batas adalah bukan mengikuti kata hati tapi menuruti nafsu dan egonya. Mereka disebut kaum angkara murka atau di negeri seberang disebut dengan terhasut setan.“ Kemudian Arya Bratasena bertanya “Lalu bagaimana dengan perjalananku ke samudera ini? apakah memiliki makna juga?” Nawaruci pun menjawab”tentu saja, Bratasena. Saat kamu terjun ke laut, ombak di laut sedang bergejolak. Itu adalah adalah kiasan dari gejolak hati yang penuh kebimbangan dan keraguan. Kau telah berhasil melawan keraguanmu.  Lalu saat kau melawan naga yang membelitmu juga adalah kiasan dari perlawanan manusia melawan belitan hawa nafsu dan egonya sendiri. Naga yang membelitmu bernama Nemburnawa alias Nawatnawa merupakan perlambang dari sembilan lubang pada tubuh yang harus dijaga dengan baik oleh manusia yaitu lubang tempat kedua mata, dua lubang hidung, dua lubang telinga, satu lubang mulut, satu lubang kemaluan, dan satu lubang pelepasan. Dalam pertarungan, kau mampu mengalahkan ular naga dengan Kuku Pancanaka milikmu. Itu adalah perlambang dari manusia yang telah mampu mengheningkan segala cipta, rasa, karsa, dan tekad yang kuat untuk melepaskan diri dari hawa nafsu dan ego. Lalu saat kau membiarkan dirimu terombang-ambing dan terhisap pusaran air adalah gambaran sifat yang hendaknya dimiliki setiap manusia, tetap rendah hati di hadapan sesama makhluk-Nya dan semakin berserah diri kepada Sanghyang Widhi, Tuhan Semesta Alam agar tidak menjadi benih ujub, takabur dan menjadi belitan nafsu yang baru. Lalu tubuhmu yang tadi terombang-ambing digulung oleh ombak namun tetap mengambang juga sebuah perlambang manusia yang mampu menghadapi pasang surut dan fitnah kehidupan.”
Setelah mengakhiri penjelasannya, Nawaruci mengajak Arya Bratasena untuk masuk ke lubang telinganya apabila ingin mendapatkan Tirta Amertasari Prawidhi Mahaning Suci. Arya Bratasena merasa bimbang dan berkata “Bagaimana mungkin aku bisa masuk ke telingamu. Ukuranmu saja hanya sebesar telapak tanganku” kemudian Nawaruci meyakinkannya” jangankan seorang Bratasena, seisi bumi, langit, kahyangan, bahkan seluruh jagad raya muat semuanya di dalam tubuhku.” Arya Bratasena kemudian sadar dengan siapa dirinya kini sedang berhadapan. Dia tak lagi berkacak pinggang melainkan menyembah penuh hormat dan menggunakan bahasa terhalus yang dia bisa. Padahal sehari-harinya dia selalu berbahasa lugu dan berkacak pinggang pada siapapun bahkan kepada Batara Guru sekalipun. Dengan tenang dan penuh kepasrahan, Bratasena memasuki telinga kiri sang Nawaruci. Ajaib, keadaan di dalam tubuh Nawaruci sangat luas tanpa berbatas. Tak ada barat, selatan, timur, dan utara. Suasana didalam sana terang benderang namun tak menyilaukan padahal tak ada mentari, tak ada rembulan, bahkan pelita pun tak ada. Hawanya tidaklah panas tidak pula dingin. Sungguh menentramkan hati siapapun yang memasukinya.
Lalu terdengarlah suara Nawaruci membimbing Arya Bratasena “lihatlah didepanmu. Adalah samudera luas tak bertepi. Itulah lambang dari Wahananing Tyas Pribadi, luasnya isi hati manusia namun karena hawa nafsu, isi hati terlihat menjadi kecil dan membuat manusia selalu berpikiran sempit.” Kemudian Arya Bratasena berjalan lagi dan melihat pemandangan kabut cahaya lima warna yang samar-samar. Nawaruci pun berkata bahwa itulah Pancamaya Wahananing Jantung, yang bersemayam di dalam cipta, mengendalikan panca indria manusia.
Setelah berjalan lagi, muncullah empat cahaya berwarna hitam, merah, kuning, dan putih berputar mengitari Arya Bratasena.
Keadaan di dalam sang Nawaruci
Sang Nawaruci kemudian menjelaskan “ keempat cahaya itu adalah wujud dari Wahananing Budi, perlambang dari empat nafsu. Cahaya hitam yang kau lihat adalah nafsu aluamah, perlambang nafsu badaniah yang menyebabkan manusia merasakan lapar, dahaga, letih, dan mengantuk. Cahaya merah adalah nafsu amarah, perlambang dari keinginan meraih cita-cita dan kesumat. Lalu cahaya kuning, itulah nafsu supiah, perlambang dari keinginan untuk memuaskan kegembiraan, baik birahi maupun kesenangan duniawi dan cahaya putih adalaha perlambang dari nafsu mutmainah, nafsu kesucian. Perlambang dari keinginan untuk melakukan hal baik, maupun bersembahyang dan beribadah. Keempat nafsu ini menjadi bahan bakar bagi manusia, tapi harus sesuai takarannya, harus dikendalikan, dan tak boleh berlebihan karena segala sesuatu yang berlebihan itu tidak baik bahkan bisa menjadi racun yang mematikan .”
Tak lama kemudian, cahaya putih pecah menjadi empat warna lagi sehingga berubahlah,  empat cahaya itu melengkapi tiga warna sebelumnya dan menjadi tujuh warna cahaya bagai pelangi, yaitu hitam, merah, jingga, kuning, hijau, biru, dan putih. Ketujuh cahaya itu melingkari tubuh Arya Bratasena. Sang Nawaruci menjelaskan “Bratasena, ketujuh cahaya pelangi yang mengelilingi seluruh tubuhmu adalah Cahyaning Pramono atau Wahananing Pengeran, perlambang dari kuasa penciptaan. Cahaya hitam melambangkan nisthaning cipta, lambang penciptaan binatang melata. Cahaya merah melambangkan dhustaning cipta, lambang terciptanya sifat-sifat liar dan buas pada setiap binatang. Cahaya kuning adalah lambang doraning cipta, simbolisasi penciptaan bangsa burung atau unggas. Lalu cahaya putih adalah simbol setyaning cipta, lambang kehidupan air. Selanjutnya cahaya hijau adalah lambang sentosaning cipta, perlambang tumbuh-tumbuhan. Ada lagi cahaya berwarna biru, itu lambang sembadaning cipta, kehidupan yang terlihat oleh panca indria dan yang terakhir cahaya berwarna jingga, perlambang dari owah-gringsing cipta, yakni hubungan maupun timbal balik diantara mereka.” sang Nawaruci juga menjelaskankan ketujuh warna itu bermakna juga tujuh cakra (warna aura) daam tubuh manusia.
Setelah itu, ketujuh cahaya itu lenyap dan Arya Bratasena melihat kegelapan total dan sebutir noktah kecil bercahaya yang tiba-tiba merekah disertai suara dengung ribuan lebah. Lalu dari suara dengungan itu, muncullah butiran-butiran telur yang sangat gelap lalu sebagaiannya meletup dan mulai berubah menjadi cahaya putih yang terang dan jernih membentuk segala bintang-bintang, awan kosmik, galaksi, dan planet. Sebagaian telur gelap itu lalu jatuh ke dasar planet-planet dan sebagaiannya tetap bersemayam di ruang antar planet. Sang Nawaruci berkata bahawa yang Bratasena lihat adalah wujud dari Pramononing Sukma, lambang dari terciptanya jagad agung (Makrokosmos) dan jagad alit (Mikrokosmos). Kemudian Arya Bratasena melihat wujud boneka gading yang jika diamati bagaikan bertahtakan mutiara dan berlian. Boneka itu bercahaya terang benderang tak menyilaukan dan membawa kedamaian. Sang Nawaruci berkata bahwa itu lah Pramononing Rahsa yang berkuasa atas ketetapan  terhadap seluruh jagad alit dan jagad agung, mendapatkan daya dari Sanghyang Atma.
Terakhir, Arya Bratasena melihat sebuah sifat Maha Tunggal, tak berjenis kelamin, tak bertempat juga tak bertakhta. Tak berupa dan tanpa warna. Wujud itu diselimuti cahaya yang indah penuh gilang-gemilang tanpa bayangan. Sebuah dzat yang Maha Agung. Sang Nawaruci berkata kepada Bratasena “itulah Atma Gaib, Sipat Sejati. Dialah sang kuasa mengatur alam raya. Dialah Sanghyang Widhi yang Maha Agung. Dia lah Sang Urip, Sanghyang Mahasuci. Pencipta alam semesta. Sebenarnya Dia sangatlah dekat dengan kita bagaikan dekatnya ruh dan atma, namun nafsu dan egolah yang membuat manusia yang menjauhkan diri dari-Nya.”
Arya Bratasena merasa nyaman dan tercerahkan setelah berada didalam tubuh Sang Nawaruci. Dia ingin tinggal didalam sana untuk selamanya. Nawaruci kemudian berkata “Bratasena, kau boleh tinggal disini tapi bukanlah sekarang. Belum saatnya kau menyatu dengan-Ku. Masih banyak hal yang harus kau lakukan di alam nyata. Sebarkanlah ilmumu, tebarkalah cinta dan kasih sayang terhadap setiap makhluk. Jangan kau lihat perbedaan yang ada. Itulah namanya ciri khas. Itulah dunia. Perbedaan akan membawa keberagaman dan kekayaan makna. Keluarlah, wahai ksatria. Dharma baktimu sudah menunggu untuk ditunaikan” Arya Bratasena pun keluar dari tubuh Nawaruci lewat telinga kanan.
Terbentuknya Gelung Minangkara
Saat melangkah, cahaya yang sangat terang pun muncul dan begitu berhasil keluar, rambutnya telah digelung dengan hiasan bentuk minangkara, tak lagi terurai dengan sanggul Garudha Mungkur. Arya Bratasena heran melihatnay lalu bertanya pada sang Nawaruci namun sebelum mengucakan pertanyaan, sang Nawaruci telah menjawabnya lebih dahulu “mengenai gelung minangkara yang kini kau pakai, itu adalah sebuah perlambang agar kau selalu berserah diri dan rendah hati. Aku berharap hendaknya kau tetap rendah hati dan semakin berserah diri. Tak perlu menunjuk-nunjuk, janganlah tinggi hati dan pamer ilmu kepandaian. Hendaknya kau menjadi manusia sejati yang semakin tahu semakin merendah bagaikan padi yang berisi. Hormatilah gurumu Resi Dorna seperti apapun jua karena jika tanpa perintah darinya, kau tidak mungkin kau bisa bertemu denganku” Usai berkata demikian, sang Nawaruci lenyap berubah menjadi cahaya terang dan masuk ke dalam diri Arya Bratasena.
Resi Dorna yang sebenarnya sangat khawatir pada keselamatan Arya Bratasena bergegas menuju ke pantai selatan. Kebetulan, datang pula Raden Permadi, murid kesayangannya yang juga sangat khawatir pada kakak nomor duanya itu. Mereka berdua akhirnya di sebuah tebing pantai. Mereka menunggu Arya Bratasena dan bila sampai matahari terbenam Arya Bratasena belum muncul juga, mereka bersumpah untuk menceburkan ke samudera. Sampai matahari tebenam, Arya bratasena belumlah muncul. Mereka akhirnya menceburkan diri ke dalam laut yang berombak besar. Mereka berdua ikut tersapu ombak kesana-kemari bagikan buih. Disaat yang bersamaan, tiba-tiba Arya Bratasena keluar dari dalam air lalu mengangkat Resi Dorna dan Raden Permadi menuju ke pantai. Setelah Resi Dorna dan Raden Permadi siuman, Arya Bratasena sungkem pada sang guru dan berterima kasih padanya “Terima kasih, guru Dorna. Berkatmu, kini Tirta Amertasari Prawidhi Mahaning Suci telah ku dapatkan. Bukan berwujud benda tapi sebuah pelajaran yang sangat berharga.” Resi Dorna menjadi salah tingkah. Walaupun demikian, dia sangat bangga pada muridnya itu. Setelah meluruskan hal yang sebenarnya, Resi Dorna mengajak kedua murid kinasihnya itu untuk bersyukur kepada Yang Maha Agung dan memilih untuk mengundur kepergiannya ke Hastinapura. Sejak saat itulah, walaupun Resi Dorna menjadi kaya karena Suyudana dan lebih dekat pada Kurawa, di dalam hatinya tetap memihak keluarga Pandawa Lima.
*1 Niskala Sahashra Swasa adalah ajian angin gaib atau angin tak kasat mata. Angin yang dikeluakannya bersifat gaib, tak bisa dirasakan dengan indria biasa, namun efek yang ditimbulkannya akan membuat makhluk-makhluk tak kasat mata menjadi kelimpungan dan kucar kacir.
* 2 Angkusa Prana adalah ajian yang mampu membuat si pemilik ajian mampu mengumpulkan tenaga dua belas penjuru mata angin menjadi energi lontar dan energi ledak.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar