Hallo, semua. Kali ini saya menceritakan kisah perjalanan Arya Bratasena mencari air sakti Tirta Amertasari Prawidhi Mahaning Suci atas perintah gurunya, Resi Dorna untuk belajar memahami Sangkan Paraning Dumadi, ilmu Sejatining Urip , hinggap pada akhirnya Arya Bratasena bertemu sang guru sejati, yaitu sang Nawaruci alias Dewa Ruci. Sumber yang saya gunakan berasal dari berbagai sumber di internet, Kitab Mahabharata yang ditulis ulang oleh Nyoman S, Pendit, dan serial kolosal Indonesia Karmapala karya Imam Tantowi.
Berita
tentang selamatnya para Pandawa dan Dewi Kunthi membuat para Kurawa gusar bukan
kepalang terutama Prabu Anom Suyudana. Pada suatu hari, Prabu Anom Suyudana
mendapatkan mimpi bahwa takhta Hastinapura jatuh ke tangan Puntadewa dan
dirinya dicemooh habis-habisan oleh para Pandawa. Hal itu amat mengganggunya
selama berhari-hari. Diceritakannya hal itu kepada Resi Dorna. Resi Dorna yang
lebih dekat pada para Kurawa berkata dengan nada yang setengah yakin“jangan
khawatir, anak mas Suyudana. Sebelum para Pandawa datang kesini, aku akan
mengelabuhi Bratasena lebih dahulu.” Di dalam hati Resi Dorna, sebenarnya dirinya
amat bimbang, disatu sisi dia amat menyayangi Bratasena tapi disisi lain dia
harus membantu Suyudana. Tak mungkin bagi dirinya untuk mencelakai muridnya
sendiri. Tiba-tiba datanglah angin kencang menerbangkan kain kelambu.
Terbesitlah sebuah ide untuk membuat Bratasena terjerumus dan celaka demi
menyenangkan hati Suyudana. Lalu berangkatlah Resi Dorna ke pertapaan
Saptarengga di kaki gunung Saptaharga, tempat para Pandawa untuk saat ini.
Sementara
itu di Gunung Saptaharga, Maharesi Abiyasa menyambut kedatangan para Pandawa,
Dewi Kunthi, Dewi Drupadi, dan para punakawan. Kebetulan disana ada pula Arya
Widura, dan Maharesi Bhisma. Mereka bersyukur karena para Pandawa dan Dewi
Kunthi masih diberi keselamatan oleh Sanghyang Widhi malah gembira mengetahui
bahwa Puntadewa dan Bratasena sudah berumah tangga. Mereka berniat memboyong
keluarga Pandawa kembali ke Hastinapura, namun Dewi Kunthi berkata “Terima
kasih Paman Bhisma dan rayi Arya Widura, tapi kami bertujuh sudah sepakat akan
tinggal di Saptarengga lagi saja.” Bhisma dan Arya Widura mengerti bahwa Dewi
Kunthi dan para putra masih ada trauma. “Baiklah, kakang mbok Kunthi. Kami
mengerti atas kondisimu dan para putramu, tapi bila kau membutuhkan segala
sesuatu datang saja ke Hastinapura. Pintu gerbang Hastinapura selalu terbuka
lebar untukmu dan putra-putramu.” Setelah Maharesi Bhisma dan Arya Widura
pulang ke Hastina, beberapa jam kemudian datanglah Resi Dorna. Mereka saling
beramah tamah dan Resi Dorna Bersyukur bahwa murid-murid terbaiknya berhasil
selamat dari musibah kebakaran di Warnabrata. Dilihatnya wajah Bratasena yang
lugu namun menyimpan uneg-uneg di hatinya. Lalu Resi Dorna ingin bicara dengan
Arya Bratasena di luar pertapaan“ Anak
mas Bratasena, aku tahu di hati kecilmu itu sedang gundah gulana. Apa hal yang
menggelisahkanmu, anakku?” Bratasena yang lugu kemudian menceritakan segala
uneg-unegnya“Begini, guru. Atas segala ilmu kanuragan dan ajian-ajian yang kau
berikan sudah cukup padaku. Tapi ada satu hal yang belum kau ajarkan, yaitu
Ilmu Sangkan Paraning Dumadi, ilmu menuju Sejatining Urip. Aku ingin bisa memahaminya
dan bukan hanya sekedar untuk diriku saja tapi ingin ku tularkan kepada orang
lain.” Bak gayung bersambut, Resi Dorna kemudian berkata”anakku, bila kau ingin
mendapatkan ilmu Sangkan Paraning Dumadi, Ilmu Sejatining Urip, aku bisa
memberikannya sekarang, tapi kau harus membuktikan apakah dirimu pantas.
Datanglah ke Sokalima besok hari.” Demikianlah Resi Dorna mengakhiri
pembicaraanya itu dan bergegas pulang ke Sokalima setelah berpamitan pada
Maharesi Abiyasa dan para Pandawa sekeluarga.
Keesokan
harinya, Arya Bratasena datang ke Sokalima dan menemui Resi Dorna. Dirinya
menyatakan telah siap dan pantas untuk mendapatkan pemahaman Sangkan Paraning
Dumadi, ilmu Sejatining Urip. Resi Dorna pun berkata “ Anakku, Bima sang
Bratasena. Sebelum kamu mendapatkan pemahaman tentang Sangkan Paraning Dumadi,
ilmu Sejatining Urip, kamu harus mencarikan untukku sebuah pohon ajaib bernama
Kayu Gung Susuhaning Angin terlebih dahulu. Carilah kayu itu di hutan
Bawanasura di lereng Gunung Candramukha. Ciri-cirinya, pohon itu mengeluarkan
angin kencang dan mengeluarkan gemuruh yang kuat ” Arya Bratasena kemudian
menyanggupi permintaan itu. Setelah pamitan, Arya Bratasena berangkat
meninggalkan Sokalima menuju Gunung Candramukha. Tak lama setelah Arya
Bratasena pergi, Resi Dorna kedatangan salah satu adik Prabu Anom Suyudana, Arya
Kartamarma yang ditemani Bambang Aswatama. Mereka bertanya apakah Bratasena
sudah pergi. Resi Dorna menjawab dengan wajah liciknya “dia sudah pergi dan dia
percaya padaku. Rencana untuk menjerumuskannya berjalan lancar. Lagipula,
Gunung Candramukha itu amat angker dan wingit. Ada kerajaan para hantu dan setan
di hutan Bawanasura dan sarang denawa pemakan manusia di puncak gunung itu.
Jadi pasti dia bakal pulang tinggal nama saja.” Arya Kartamarma dan Bambang
Aswatama merasa senang mendengarnya lalu kembali ke Hastinapura untuk
dilaporkan pada Prabu Anom Suyudana.
Setelah
berkuda menaiki gunung Candramukha selama sehari semalam, akhirnya Arya
Bratasena menemukan hutan Bawanasura. Ditinggalkanlah kudanya di tengah hutan
dan mulai mengobrak-abrik seisi hutan mencari Kayu Gung Susuhaning Angin.
Nyatanya, kayu itu tak ada malah Bratasena harus melawan pasukan hantu dan
setan di sana. Walaupun demikian, Arya Bratasena mampu mengalahkan hantu-hantu
itu dengan bantuan ajian Niskala Sahashra
Swasa*1. Setelah itu,
dia merasakan adanya hembusan angin kencang dan suara gemuruh dari puncak gunung. Arya
Bratasena mengira pohon Kayu Gung Susuhaning Angin ada di puncak gunung itu.
Kemudian dengan aji Angkusa Prana*2, dia bergerak melesat ke puncak gunung
dan menemukan sumber gemuruh dan hembusan angin kencang, yaitu sebuah gua
raksasa bernama Luweng Sigrangga yang tersumpal batu besar. Tanpa pikir
panjang, dia memecahkan batu yang menyumpal sebagian mulut gua. Tak disangka,
para penghuni gua, Denawa kembar Rukmukha dan Rukmakhala yang sedang tidur terbangun
karena terganggu kuatnya tinjuan Bratasena yang kuat. Lalu mereka muncul di
hadapan Bratasena. “ Heeehh... manusia,apa yang kamu lakukan disini. Mau cari
mati kau dengan kami? Hooohoho.” Lalu Bratsena menjawab “Aku Bratasena. Aku
diperintah guruku nyari pohon Kayu Gung Susuhaning Angin dan karena ada
hembusan angin kencang dan suara gemuruh dari sini makanya aku kesini.”
Kemudian kedua denawa itu menjawab dengan nada yang sinis dan berniat meledek
keluguan dan sifat polos Bratasena.
“Heei, manusia bodoh. Suara gemuruh itu adalah
suara dengkuranku, Rukmakhala”
“dan
hembusan angin kencang itu adalah hembusan nafasku.” Lalu kedua denawa itu
menyerang Bratasena karena sejak terbangun tadi, mereka lapar dan baru kali ini
menemukan makanan yang langsung datang dihadapan mereka. Merasa dipermainkan
oleh kedua raksasa itu, Arya Bratasena kemudian membela diri dengan tinjunya.
Namun, ketika Rukmukha jatuh terkena tinjunya, mendadak sehat lagi ketika
Rukmakhala melangkahi tubuhnya. Begitupun Rukmakhala yang tadinya terkena
tinju, begitu Rukmukha melangkahinya seketika dirinya langsung sehat. Arya
Bratasena menjadi kewalahan. Akhirnya menemukan sebuah cara untuk mengalahkan
mereka. Arya Bratasena langsung mengheningkan cipta dan membaca mantra penenang
jiwa. Seketika, para denawa itu langsung limbung. Begitu dua raksasa itu
limbung, Arya Bratasena menjambak rambut mereka lalu dibenturkanlah kepala
mereka ke batu bersama-sama hingga kepala mereka remuk. Begitu kepala itu remuk
lalu dipuntir sehingga dua kepala itu putus dan tewas lah mereka tanpa bisa
bangun lagi.
![]() |
Kemunculan Batara Bayu dan Batara Indra |
Setelah
itu terjadilah sebuah keajaiban. Bumi gonjang-ganjing, langit kolap kalip,
angin bertiup bagai taufan badai, halilintar menyambar-nyambar. Jasad kedua
denawa tu tiba-tiba hilang lenyap tak berbekas berganti dengan dua Dewata agung
yaitu sang dewa langit, Batara Indra dan dewa angin, Batara Bayu, ayah angkat
Bratasena. Kedua dewa itu berterima kasih pada Bratasena.” Terima kasih,
putraku Bima Bratasena. Kau sudah membebaskan kami dari kutukan yang memalukan
tadi.” Kemudian Arya Bratasena bertanya dengan bahasanya yang lugu “ Apa yang
terjadi? Kok bisa Romo Batara dan Pukulun Batara Indra berubah jadi bhuta
kala?” Batara Indra menjelaskan bahwa mereka dikutuk karena Batara Guru murka
dengan kecerobohan mereka. Mereka datang terlambat ke persidangan para dewa
ditambah mengerahkan kekuatan petir dan angin topan tapi membuat Dewi Wilotama
yang sedang menari pendet jadi malu karena pakaiannya tersingkap terkena daya
angin dari Batara Bayu. Karena itulah, Batara Guru mengutuk mereka menjadi
denawa tadi. Lalu Arya Bratasena balik bertanya pada mereka “Romo Batara dan
pukulun Batara Indra, apa kalian tahu dimana letak pohon Kayu Gung Susuhaning
Angin? Aku dah cari kemana-mana gak ada” Batara indra kemudian menjawab “ Anakku,
Bratasena. Ketahuilah, pohon kayu yang kau maksud itu bahkan tidak ada di
kahyangan tertinggi. Kayu Gung Susuhaning Angin adalah perlambang dari dirimu,
kau adalah putra Pandu Dewanata sekaligus putra angkat Bayu, putra dewa angin.
Selain itu, makna Kayu Gung Susuhaning Angin yang sejati adalah penggambaran
dari badan raga manusia yang setiap saat selalu memasukkan dan mengeluarkan
angin dengan bernafas. “ Arya Bratasena yang bimbang bertanya lagi “Apa berarti
Guru Dorna ngapusi, mempermaikanku?”
kemudian Batara Bayu memberikan jawaban yang menentramkan hatinya “
Tidak, anakku. Guru tak mungkin menjerumuskan muridnya kecuali agar muridnya
menjadi semakin terdepan. Resi Dorna tidak sedang membohongimu tapi mengajarkan
ilmunya melalui teka-teki dan jawabannya akan bisa kamu temukan sendiri bila
dicari dengan betul-betul. Maka dari itu, kalau gurumu memberi tugas lagi,
laksanakan, jangan ditolak.” Arya Bratasena pun sanggup menjalankan saran
Batara Bayu. Sebagai bentuk terima kasih, Batara Indra memberikannya ikat
pinggang sakti bernama ikat pinggang Naga Druwenda Manik Candhama. Batara Indra
menjelaskan bahwa ikat pinggang itu akan berguna dan melindungi keselamatannya
bila dia berada di dalam air. Arya Bratasena berterima kasih lagi dan
memakainya di pinggangnya. Setelah itu, Arya Bratasena kembali lagi ke
Sokalima.
Resi
Dorna yang sedang duduk-duduk di bale bambu terkejut dengan datangnya Bratasena
yang masih hidup dan tetap sehat tanpa kekurangan satupun. Arya Bratasena
kemudian menceritakan segala pengalamannya tadi. Resi Dorna sangat terkesan
atas keberhasilan muridnya itu dan membenarkan bahwa pohon itu adalah sebuah
kias untuk raga wadag manusia. Dengan kata lain, Arya Bratasena berhasil
membawa Kayu gung Susuhaning Angin dan lulus syarat pertama.Arya Bratasena
kemudian bertanya lagi “Guru, apa aku sudah bisa mendapatkan ilmu Sejatinig
Urip, Sangkan Paraning Dumadi?” Resi Dorna kemudian menjawab “Belum, anakku.
Kau harus menerima satu tugasan lagi. Carilah dan temukan air sakti Tirta Amertasari Prawidhi Mahaning Suci
di tengah pusaran Samudera Minangkalbu.” “dimanakah letak Samudera Minangkalbu
itu, guru?” Resi Dorna kemudian menjawab “Ikutilah kata hatimu, kalau kata
hatimu mengatakan ke utara maka ke Samudera utara tapi jika keyakinanmu di
selatan maka berangkatlah ke Samudera selatan.” Teringatlah saran dari batara
Bayu, maka Arya Bratasena menyanggupinya dan langsung berangkat untuk mencari
air itu.
Arya
Bratasena merasa tugasan kali ini lebih berat lagi, maka dirinya ingin minta
izin pada ibu, empat saudara dan kakak iparnya. Sesampainya di Saptarengga,
Dewi Kunthi, Dewi Drupadi, dan keempat saudaranya menyambutnya. Arya bratasena
kemudian menceritakan keinginannya untuk mencari Tirta Amertasari Prawidhi Mahaning Suci di tengah pusaran Samudera
Minangkalbu. Para Pandawa dan yang lain terkejut. Raden Puntadewa berusaha mencegahnya
pergi karena takut itu hanya akal-akalan Kurawa saja melalui tangan Resi Dorna. Begitu
juga Raden Permadi, Raden Pinten, dan Raden Tangsen. Mereka tak mau melepaskan
tangan Arya Bratasena. Namun Bratasena semakin berkeras diri malah dia berusaha
sungkem dihadapan kakak sulungnya itu. Melihat perjuangan adiknya yang tak bisa
dihentikan lagi, Raden Puntadewa pun luluh. Begitu juga Raden Permadi, Raden
Pinten dan Tangsen, luluhlah pula hati mereka melihat kebulatan tekad kakak
nomor dua mereka. Kemudian Raden Puntadewa memberikan restunya “baiklah adikku,
jika keinginanmu telah bulat, aku dan adik-adik tak berhak mencegahmu. Kami
disini akan selalu mendukungmu” Arya Bratasena
kemudian meminta ijin ibunya, Dewi Kunthi “ Ibu, aku meminta ijinmu untuk
mencari Tirta Amertasari Prawidhi
Mahaning Suci agar mampu memahami Sangkan Paraning Dumadi” Dewi Kunthi
kemudian berkata sambil menangis “Aku akan merestui mu, putraku Bayusuta. Tapi
mohon pikirkanlah lagi. Ibu takut bila kau tak kembali.” Perkataan dewi Kunthi
sempat membuatnya bimbang, namun segera dikuatkanlah hatinya “Ibu, pasrahkan
segala nasib ku pada Sanghyang Widhi. Aku yakin rencana-Nya jauh lebih indah
dari perkiraan kita, ibu” akhirnya Dewi Kunthi merestuinya dan Bratasena segera
berangkat. Dirinya yakin bahawa Tirta
Amertasari Prawidhi Mahaning Suci berada di Samudera selatan, sehinggalah
dia berjalan selama berhari-hari dan sampai lah dia di pinggir pantai selatan.
Samudera
selatan tampak tak pernah bersahabat. Ombaknya yang biru tinggi
bergulung-gulung bagaikan setinggi gunung Mahameru, seakan hendak menelan apa
dan siapa saja yang berani mencebur ke dalamnya. Suara gemuruhnya bagaikan tawa
seribu pasukan denawa dan raksasa jahat yang tersiksa di neraka, membuat gentar
hati siapa yang berada di pinggir pantai. Begitupun hati Arya Bratasena dan
sempat berpikir untuk mundur saja karena takut tenggelam. Namun keinginan yang
kuat untuk mencari Tirta sakti itu membuat dirinya yakin kembali dan
menyerahkan hidup matinya di tangan Sanghyang Widhi. Dengan penuh kepasrahan,
Arya Bratasena mencebur ke tengah samudera. Tak disangka, tubuhnya tiba-tiba
ringan dan mampu mengambang di air. Rupanya daya kesaktian Ikat pinggang Naga
Druwenda Manik Candhama telah memberikan kekuatan agar tubuhnya menjadi stabil
ketika di air.
Dia pun berjalan kaki semakin ke tengah samudera mengikuti kata
hatinya. Tiba-tiba muncul sesosok makhluk besar berwujud seekor ular naga
raksasa. Naga itu berbadan sebesar sebuah bukit dan panjangnya lebih panjang
dari anak sungai. Naga itu kemudian membelit seluruh badan Arya Bratasena mulai
dari kaki hingga lehernya. Arya
Bratasena pun meronta-ronta namun semakin meronta, belitan sang naga semakin
kuat. Bahkan ular naga itu terus menyemburkan hujan beracun yang amat panas
dari mulutnya. Hampir-hampir dia gagal melepaskan diri. Namun, ketika sang naga
hendak mencaplok kepalanya, Arya Bratasena berhasil mengeluarkan kedua
tangannya dari belitan sang naga lalu dengan Kuku Pancanaka miliknya, Bratasena
menusuk mulut dan leher ular naga itu. naga itu pun menggelepar-gelepar, lalu
mati. Bangkainya dihempaskan ombak sehingga menghilang dari pandangan.
![]() |
Berjuang melawan Naga Nawatnawa |
Tak
lama setelah, pertarungan itu, sebuah ombak besar datang lagi dan menyapu Arya
Bratasena semakin ke tengah laut. Semakin ke tengah laut, muncul sebuah pusaran
air yang sangat besar. Arya Bratasena yang sudah sangat kelelahan membiarkan
dirinya terhisap gelombang dari pusaran itu. Terombang-ambing bagaikan buih di
samudera. Arya Bratasena semakin berserah diri kepada Sanghyang Widhi kemanapun
dirinya akan dibawa ombak dan pusaran air itu. Kepasrahan dirinya semakin
total, hidup matinya sudah benar-benar diserahkan dan dipasrahkan kepada
Sanghyang Widhi. Dirinya sudah tak bisa merasakan apapun lagi, bagaikan Mati
Sajroning Urip, Urip Sajroning Mati.
Di
saat puncak dari kepasrahannya itu, Arya Bratasena dibangunkan oleh suara
seseorang. Ketika membuka matanya, alangkah terkejutnya dia melihat sosok berwujud
mirip manusia muncul dari cahaya berbentuk bagaikan bunga tunjung biru yang
memiliki wajah dan postur tubuh yang sama persis dengan dirinya hanya saja
berwujud kecil seperti anak-anak. “siapa kamu? Bagaimana bisa rupamu mirip
denganku?” “Bima Bratasena, Putra kedua Pandu dan Kunthi, anak angkat dari sang
Batara Bayu, aku adalah Nawaruci juga dipanggil Dewa Ruci. Tirta Amertasari
Prawidhi Mahaning Suci yang sedang kau cari ada didalam dirimu” Arya Bratasena
pun heran. Kemudian Nawaruci menjelaskan makna dari perjalanannya selama ini
“Bima Bratasena, ketahuilah. Semua perjalananmu mencari persyaratan memahami
Sangkan Paraning Dumadi, ilmu sejatining urip mengandung makna yang dalam. Para
hantu dan setan yang kamu kalahkan di hutan Bawanasura adalah kiasan dari
berbagai godaan dan fitnah di dunia ini. Kayu Gung Susuhaning Angin yang kau
cari adalah kiasan dari manusia itu sendiri. Keindahan di Gunung Candramukha dan
Luweng Sigrangga yang kamu datangi adalah kiasan dari keindahan tubuh dan wajah
manusia. Denawa Rukmukha dan Rukmakhala adalah simbol dari godaan berupa
keindahan rupa, perhiasan, dan kekayaan dunia. Kekayaan dan indahnya rupa
menjadi salah satu penggoda terberat untuk manusia. Seringkali manusia lebih
sibuk membenahi kebagusan rupa dan raganya ketimbang jiwanya. Karena itu
setelah kau menang dalam pertarungan dengan dua denawa itu, muncullah Batara
Indra dan Batara Bayu memberikanmu berkah. Batara Indra adalah lambang dari
panca indria dan Batara Bayu adalah lambang dari hembusan nafas manusia.
Peristiwa di gunung Candramukha adalah sebuah kiasan seorang manusia sudah
menundukkan godaan panca indria, menghadapi fitnah dunia, dan telah mengatur
olah napas untuk mengendalikan pikiran liar.”
Kemudian
Nawaruci memperlihatkan gambar saudara-saudara Bratasena dan ibunya, Dewi
Kunthi dengan kesaktiannya. Kemuadian Nawaruci menjelaskan “ Bratasena,
lihatlah! Itu adalah saudara-saudaramu dan ibumu. Sebelum datang ke sini,
awalnya kau di cegah oleh mereka berlima namun karena kebulatan tekadmu, mereka
mendukungmu dan mengusahakan keselamatanmu melalui doa-doa yang mereka
panjatkan. Mereka adalah perlambang dari saudara gaib setiap manusia. Mereka
disebut ‘Kadang papat lima pancer.’ Yang empat adalah air kawah/ketuban,
ari-ari/plasenta, tali pusar, dan darah. Mereka lahir bersamaan dengan
kelahiran manusia melalui kelamin ibu. Meskipun secara fisik mereka sudah mati,
tapi secara gaib, mereka tetap menjaga dan melindungi manusia sampai manusia
itu menghadap kepada Hyang Widhi. Lalu yang disebut pancer adalah Marmati,
disebut juga Ratu Jalu-Ratu Estri yang bersemayam di dalam kalbu setiap manusia.
Orang pada umumnya menyebutnya nurani atau kata hati. Kata hati ini lah yang
sepanjang hari, siang malam membimbing dan memberi petunjuk kepada manusia.
Orang yang berbuat seenaknya dan melampaui batas adalah bukan mengikuti kata
hati tapi menuruti nafsu dan egonya. Mereka disebut kaum angkara murka atau di
negeri seberang disebut dengan terhasut setan.“ Kemudian Arya Bratasena
bertanya “Lalu bagaimana dengan perjalananku ke samudera ini? apakah memiliki
makna juga?” Nawaruci pun menjawab”tentu saja, Bratasena. Saat kamu terjun ke
laut, ombak di laut sedang bergejolak. Itu adalah adalah kiasan dari gejolak
hati yang penuh kebimbangan dan keraguan. Kau telah berhasil melawan keraguanmu.
Lalu saat kau melawan naga yang membelitmu
juga adalah kiasan dari perlawanan manusia melawan belitan hawa nafsu dan
egonya sendiri. Naga yang membelitmu bernama Nemburnawa alias Nawatnawa
merupakan perlambang dari sembilan lubang pada tubuh yang harus dijaga dengan
baik oleh manusia yaitu lubang tempat kedua mata, dua lubang hidung, dua lubang
telinga, satu lubang mulut, satu lubang kemaluan, dan satu lubang pelepasan.
Dalam pertarungan, kau mampu mengalahkan ular naga dengan Kuku Pancanaka
milikmu. Itu adalah perlambang dari manusia yang telah mampu mengheningkan
segala cipta, rasa, karsa, dan tekad yang kuat untuk melepaskan diri dari hawa
nafsu dan ego. Lalu saat kau membiarkan dirimu terombang-ambing dan terhisap
pusaran air adalah gambaran sifat yang hendaknya dimiliki setiap manusia, tetap
rendah hati di hadapan sesama makhluk-Nya dan semakin berserah diri kepada
Sanghyang Widhi, Tuhan Semesta Alam agar tidak menjadi benih ujub, takabur dan
menjadi belitan nafsu yang baru. Lalu tubuhmu yang tadi terombang-ambing digulung
oleh ombak namun tetap mengambang juga sebuah perlambang manusia yang mampu
menghadapi pasang surut dan fitnah kehidupan.”
Setelah
mengakhiri penjelasannya, Nawaruci mengajak Arya Bratasena untuk masuk ke
lubang telinganya apabila ingin mendapatkan Tirta Amertasari Prawidhi Mahaning
Suci. Arya Bratasena merasa bimbang dan berkata “Bagaimana mungkin aku bisa
masuk ke telingamu. Ukuranmu saja hanya sebesar telapak tanganku” kemudian
Nawaruci meyakinkannya” jangankan seorang Bratasena, seisi bumi, langit,
kahyangan, bahkan seluruh jagad raya muat semuanya di dalam tubuhku.” Arya
Bratasena kemudian sadar dengan siapa dirinya kini sedang berhadapan. Dia tak
lagi berkacak pinggang melainkan menyembah penuh hormat dan menggunakan bahasa terhalus
yang dia bisa. Padahal sehari-harinya dia selalu berbahasa lugu dan berkacak
pinggang pada siapapun bahkan kepada Batara Guru sekalipun. Dengan tenang dan penuh
kepasrahan, Bratasena memasuki telinga kiri sang Nawaruci. Ajaib, keadaan di
dalam tubuh Nawaruci sangat luas tanpa berbatas. Tak ada barat, selatan, timur,
dan utara. Suasana didalam sana terang benderang namun tak menyilaukan padahal
tak ada mentari, tak ada rembulan, bahkan pelita pun tak ada. Hawanya tidaklah
panas tidak pula dingin. Sungguh menentramkan hati siapapun yang memasukinya.
Lalu
terdengarlah suara Nawaruci membimbing Arya Bratasena “lihatlah didepanmu.
Adalah samudera luas tak bertepi. Itulah lambang dari Wahananing Tyas Pribadi,
luasnya isi hati manusia namun karena hawa nafsu, isi hati terlihat menjadi kecil
dan membuat manusia selalu berpikiran sempit.” Kemudian Arya Bratasena berjalan
lagi dan melihat pemandangan kabut cahaya lima warna yang samar-samar. Nawaruci
pun berkata bahwa itulah Pancamaya Wahananing Jantung, yang bersemayam di dalam
cipta, mengendalikan panca indria manusia.
Setelah
berjalan lagi, muncullah empat cahaya berwarna hitam, merah, kuning, dan putih berputar
mengitari Arya Bratasena.
Sang Nawaruci kemudian menjelaskan “ keempat cahaya
itu adalah wujud dari Wahananing Budi, perlambang dari empat nafsu. Cahaya
hitam yang kau lihat adalah nafsu aluamah, perlambang nafsu badaniah yang
menyebabkan manusia merasakan lapar, dahaga, letih, dan mengantuk. Cahaya merah
adalah nafsu amarah, perlambang dari keinginan meraih cita-cita dan kesumat.
Lalu cahaya kuning, itulah nafsu supiah, perlambang dari keinginan untuk
memuaskan kegembiraan, baik birahi maupun kesenangan duniawi dan cahaya putih
adalaha perlambang dari nafsu mutmainah, nafsu kesucian. Perlambang dari keinginan
untuk melakukan hal baik, maupun bersembahyang dan beribadah. Keempat nafsu ini
menjadi bahan bakar bagi manusia, tapi harus sesuai takarannya, harus
dikendalikan, dan tak boleh berlebihan karena segala sesuatu yang berlebihan
itu tidak baik bahkan bisa menjadi racun yang mematikan .”
![]() |
Keadaan di dalam sang Nawaruci |
Tak
lama kemudian, cahaya putih pecah menjadi empat warna lagi sehingga
berubahlah, empat cahaya itu melengkapi
tiga warna sebelumnya dan menjadi tujuh warna cahaya bagai pelangi, yaitu
hitam, merah, jingga, kuning, hijau, biru, dan putih. Ketujuh cahaya itu
melingkari tubuh Arya Bratasena. Sang Nawaruci menjelaskan “Bratasena, ketujuh
cahaya pelangi yang mengelilingi seluruh tubuhmu adalah Cahyaning Pramono atau
Wahananing Pengeran, perlambang dari kuasa penciptaan. Cahaya hitam
melambangkan nisthaning cipta, lambang penciptaan binatang melata. Cahaya merah
melambangkan dhustaning cipta, lambang terciptanya sifat-sifat liar dan buas
pada setiap binatang. Cahaya kuning adalah lambang doraning cipta, simbolisasi
penciptaan bangsa burung atau unggas. Lalu cahaya putih adalah simbol setyaning
cipta, lambang kehidupan air. Selanjutnya cahaya hijau adalah lambang
sentosaning cipta, perlambang tumbuh-tumbuhan. Ada lagi cahaya berwarna biru,
itu lambang sembadaning cipta, kehidupan yang terlihat oleh panca indria dan
yang terakhir cahaya berwarna jingga, perlambang dari owah-gringsing cipta,
yakni hubungan maupun timbal balik diantara mereka.” sang Nawaruci juga menjelaskankan ketujuh warna itu bermakna juga tujuh cakra (warna aura) daam tubuh manusia.
Setelah
itu, ketujuh cahaya itu lenyap dan Arya Bratasena melihat kegelapan total dan
sebutir noktah kecil bercahaya yang tiba-tiba merekah disertai suara dengung
ribuan lebah. Lalu dari suara dengungan itu, muncullah butiran-butiran telur
yang sangat gelap lalu sebagaiannya meletup dan mulai berubah menjadi cahaya putih
yang terang dan jernih membentuk segala bintang-bintang, awan kosmik, galaksi,
dan planet. Sebagaian telur gelap itu lalu jatuh ke dasar planet-planet dan
sebagaiannya tetap bersemayam di ruang antar planet. Sang Nawaruci berkata
bahawa yang Bratasena lihat adalah wujud dari Pramononing Sukma, lambang dari terciptanya
jagad agung (Makrokosmos) dan jagad alit (Mikrokosmos). Kemudian Arya Bratasena
melihat wujud boneka gading yang jika diamati bagaikan bertahtakan mutiara dan
berlian. Boneka itu bercahaya terang benderang tak menyilaukan dan membawa
kedamaian. Sang Nawaruci berkata bahwa itu lah Pramononing Rahsa yang berkuasa
atas ketetapan terhadap seluruh jagad
alit dan jagad agung, mendapatkan daya dari Sanghyang Atma.
Terakhir,
Arya Bratasena melihat sebuah sifat Maha Tunggal, tak berjenis kelamin, tak
bertempat juga tak bertakhta. Tak berupa dan tanpa warna. Wujud itu diselimuti
cahaya yang indah penuh gilang-gemilang tanpa bayangan. Sebuah dzat yang Maha
Agung. Sang Nawaruci berkata kepada Bratasena “itulah Atma Gaib, Sipat Sejati.
Dialah sang kuasa mengatur alam raya. Dialah Sanghyang Widhi yang Maha Agung.
Dia lah Sang Urip, Sanghyang Mahasuci. Pencipta alam semesta. Sebenarnya Dia
sangatlah dekat dengan kita bagaikan dekatnya ruh dan atma, namun nafsu dan
egolah yang membuat manusia yang menjauhkan diri dari-Nya.”
Arya
Bratasena merasa nyaman dan tercerahkan setelah berada didalam tubuh Sang
Nawaruci. Dia ingin tinggal didalam sana untuk selamanya. Nawaruci kemudian
berkata “Bratasena, kau boleh tinggal disini tapi bukanlah sekarang. Belum
saatnya kau menyatu dengan-Ku. Masih banyak hal yang harus kau lakukan di alam
nyata. Sebarkanlah ilmumu, tebarkalah cinta dan kasih sayang terhadap setiap
makhluk. Jangan kau lihat perbedaan yang ada. Itulah namanya ciri khas. Itulah
dunia. Perbedaan akan membawa keberagaman dan kekayaan makna. Keluarlah, wahai
ksatria. Dharma baktimu sudah menunggu untuk ditunaikan” Arya Bratasena pun
keluar dari tubuh Nawaruci lewat telinga kanan.
Saat melangkah, cahaya yang sangat
terang pun muncul dan begitu berhasil keluar, rambutnya telah digelung dengan
hiasan bentuk minangkara, tak lagi terurai dengan sanggul Garudha Mungkur. Arya
Bratasena heran melihatnay lalu bertanya pada sang Nawaruci namun sebelum
mengucakan pertanyaan, sang Nawaruci telah menjawabnya lebih dahulu “mengenai
gelung minangkara yang kini kau pakai, itu adalah sebuah perlambang agar kau
selalu berserah diri dan rendah hati. Aku berharap hendaknya kau tetap rendah
hati dan semakin berserah diri. Tak perlu menunjuk-nunjuk, janganlah tinggi
hati dan pamer ilmu kepandaian. Hendaknya kau menjadi manusia sejati yang
semakin tahu semakin merendah bagaikan padi yang berisi. Hormatilah gurumu Resi
Dorna seperti apapun jua karena jika tanpa perintah darinya, kau tidak mungkin
kau bisa bertemu denganku” Usai berkata demikian, sang Nawaruci lenyap berubah
menjadi cahaya terang dan masuk ke dalam diri Arya Bratasena.
![]() |
Terbentuknya Gelung Minangkara |
Resi
Dorna yang sebenarnya sangat khawatir pada keselamatan Arya Bratasena bergegas
menuju ke pantai selatan. Kebetulan, datang pula Raden Permadi, murid
kesayangannya yang juga sangat khawatir pada kakak nomor duanya itu. Mereka
berdua akhirnya di sebuah tebing pantai. Mereka menunggu Arya Bratasena dan
bila sampai matahari terbenam Arya Bratasena belum muncul juga, mereka
bersumpah untuk menceburkan ke samudera. Sampai matahari tebenam, Arya
bratasena belumlah muncul. Mereka akhirnya menceburkan diri ke dalam laut yang
berombak besar. Mereka berdua ikut tersapu ombak kesana-kemari bagikan buih. Disaat
yang bersamaan, tiba-tiba Arya Bratasena keluar dari dalam air lalu mengangkat
Resi Dorna dan Raden Permadi menuju ke pantai. Setelah Resi Dorna dan Raden
Permadi siuman, Arya Bratasena sungkem pada sang guru dan berterima kasih
padanya “Terima kasih, guru Dorna. Berkatmu, kini Tirta Amertasari Prawidhi
Mahaning Suci telah ku dapatkan. Bukan berwujud benda tapi sebuah pelajaran
yang sangat berharga.” Resi Dorna menjadi salah tingkah. Walaupun demikian, dia
sangat bangga pada muridnya itu. Setelah meluruskan hal yang sebenarnya, Resi
Dorna mengajak kedua murid kinasihnya itu untuk bersyukur kepada Yang Maha
Agung dan memilih untuk mengundur kepergiannya ke Hastinapura. Sejak saat
itulah, walaupun Resi Dorna menjadi kaya karena Suyudana dan lebih dekat pada
Kurawa, di dalam hatinya tetap memihak keluarga Pandawa Lima.
*1 Niskala Sahashra Swasa adalah ajian angin gaib atau angin tak kasat
mata. Angin yang dikeluakannya bersifat gaib, tak bisa dirasakan dengan indria
biasa, namun efek yang ditimbulkannya akan membuat makhluk-makhluk tak kasat
mata menjadi kelimpungan dan kucar kacir.
* 2 Angkusa Prana adalah ajian yang mampu
membuat si pemilik ajian mampu mengumpulkan tenaga dua belas penjuru mata angin
menjadi energi lontar dan energi ledak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar