Rabu, 01 Mei 2019

Sayembara Dewi Drupadi ( Gandamana Gugur)


Hai guys, Kisah kali ini adalah kisah titik balik kembalinya Pandawa setelah selamat dari kebakaran besar di Bale Sigala-gala, yakni pernikahan Dewi Drupadi. Dalam versi India, Draupadi dinikahi oleh lima Pandava sekaligus alias berpoliandri karena keteledoran Kunti yang mengira Draupadi sebagai hasil minta-minta di jalan, dalam kisah yang saya ceritakan ini adalah versi yang sudah digubah oleh Sunan Kalijaga karena poliandri sangat tidak sesuai dengan budaya Jawa dan ajaran agama. Kisah ini juga menceritakan gugurnya Arya Gandamana setelah menjadi jago dalam sayembara itu. Kisah ditutup dengan Pandawa, Dewi Kunthi, dan para Punakawan membuka samaran mereka dan kembali ke Pertapaan Saptaharga untuk minta restu. Sumber kisah ini berasal dari kitab Mahabharata karya Mpu Vyasa, serial kolosal India Mahabharat Starplus, Kitab Pustakaraja Purwa karya Raden Ngabehi Ronggowarsito, kisah Kidung Malam karya Herjaka.S, dan serial kolosal Indonesia Karmapala karya Imam Tantowi lalu saya kembangkan dan ubah dengan sedikit imajinasi saya.
Pada suatu hari, Dewi Drupadi, putri sulung Prabu Drupada sedang bermimpi naik kereta kencana dan bersanding bersama seorang pemuda rupawan berkulit bersih dengan dikawal 4 perwara yang semuanya berwajah tampan dengan wajah yang sumringah. Setelah terbangun dari mimpinya, Dewi Drupadi menceritakan mimpinya pada ayahandanya. Prabu Drupada menafsirkan mimpi itu bahawa sang putri akan mendapat jodoh seorang ksatria yang berwatak brahmana. Prabu Drupada merasa sudah saatnya Dewi Drupadi untuk segera menikah ditambah lagi banyak raja dan pangeran yang datang untuk melamarnya tempo hari. Lalu dia berunding dengan kakak iparnya, Arya Gandamana, Arya Drestajumena, sang putra mahkota dan patihnya, Patih Drestaketu untuk membahas hal itu. “kaka Arya, bagaimana pendapatmu? Aku bingung, banyak para raja dan pangeran ingin melamar putriku tapi Drupadi ingin memilih telah mendapat gambaran jodohnya” Arya Gandamana kemudian memberikan solusi “rayi Prabu, menurutku jika kita adakan sayembara untuk menentukan siapa yang pantas. Siapa tahu jodoh Drupadi ada pada salah satu peserta sayembara” “Hmm.....Sayembara? aku setuju bila diadakan sayembara. Tapi sayembara yang seperti apa? Ada yang punya usulan? Mungkin putraku Drestajumena bisa memberikan masukan.” Begitu namanya disebut, Drestajumena menjawab”Ayahanda Prabu, saya punya satu usulan. Semenjak aku berguru di Sokalima, aku sangat menyukai panahan dan kebetulan di gedong pusaka, tersimpan busur Agneyahimastra*1 milik para leluhur. Aku mengusulkan agar untuk pernikahan kanda Dewi Drupadi diadakan sayembara panahan dengan menggunakan busur Agneyahimastra. Untuk sasarannya, sasarannya adalah satu jepit rambut kanda Dewi yang digantung. Si pemanah tidak boleh melihat sasarannya secara langsung tetapi harus melalui media pantulan bayangan di cermin.” Setelah berunding, Prabu Drupada setuju. Setelah mereka membubarkan diri, Patih Drestaketu dan Arya Drestajumena segera mempersiapkan segalanya untuk sayembara itu. Tak butuh waktu lama, arena sayembara telah siap dan sayembara akan digelar besok harinya
Sementara itu, Dewi Kunthi, para Pandawa, dan para Punakawan yang telah meninggalkan kerajaan Ekacakra melanjutkan pengembaraan menjauhi tanah Hastinapura. Di tengah perjalanan, mereka bertemu dengan Begawan Dhomya, sahabat sekaligus guru Maharesi Abiyasa. Berkat ketekunannya beribadah, dia masih diberi umur panjang untuk bertemu para Pandawa, cucu sang murid dan Ki lurah Semar. Walaupun mereka sedang menjadi brahmana, Begawan Dhomya dapat mengenali mereka. “hmmm... kalian pasti cucu-cucuku Pandawa, mungkin kalian tidak mengenal saya, tapi saya dapat mengenali kalian. Kalian adalah salah satu cucu Abiyasa, murid saya” Resi Dwijakangka (Raden Puntadewa) kemudian bertanya “mohon ampun eyang Begawan, siapakah sebenarnya anda?” “nama saya Dhomya, dari pertapaan gunung Mahayana. Saya sahabat dari kakek kalian.” Setelah mendengar hal itu, para Pandawa, Dewi Kunthi, dan para punakawan memberi hormat. Ki Lurah Semar bertanya pada sang begawan “hmm blegedag blegedug...panjang umur untuk sang begawan. Jikalau diperkenankan, ada gerangan apakah sang begawan bertemu dengan kami?” begawan Dhomya kemudian menjelaskan bahwa dirinya mendapatkan wangsit dari dewata untuk memberitahukan kepada para Pandawa bahwa di Pancalaradya akan diadakan sebuah sayembara untuk mendapatkan putri sulung sang Prabu Drupada yaitu Dewi Drupadi dan mengijinkan para Pandawa ikut sayembara itu. Dewi Kunthi pun teringat tentang keinginan suaminya dulu, Pandu Dewanata yang ingin bisa berbesan dengan Prabu Drupada. Akhirnya Dewi Kunthi mengijinkan tiga dari para Pandawa ikut serta dan menyaksikan sayembara lebih dahulu sementara dirinya bersama Pinten,Tangsen, dan para punakawan akan menyusul belakangan.
Keesokan harinya, para raja dan para pangeran telah berkumpul di arena sayembara. Ditengah arena itu telah berdiri sebuah tiang setinggi seratus depa yang di puncaknya diikat sebuah jepit rambut bunga teratai milik Dewi Drupadi dan sebuah cermin besar selebar tujuh depa. Di dekatnya pula terdapat sebuah meja yang diatasnya ada busur sakti Agneyahimastra. Sementara itu, Prabu Drupada, Dewi Gandawati, Dewi Srikandhi, Arya Drestajumena, Arya Gandamana dan Dewi Drupadi menonton di kejauhan. Setelah para tetamu undangan dan peseta sayembara berkumpul semua, Arya Drestajumena mengumumkan tatacara sayembara “Wahai para raja, para pangeran, dan para tetamu undangan yang telah dimuliakan Yang Maha Agung, disini saya akan mengumumkan tatacara sayembara ini. Barangsiapa yang mampu memanah jepit rambut di atas tiang itu sambil memandang cermin menggunakan busur sakti Agneyahimastra ini, maka dia berhak memperistri Kakakku, Kanda Dewi Drupadi.” Selesai mengumumkan pengumuman, naiklah ke arena itu Prabu Salya, raja Mandaraka. Dia berniat untuk menjadikan Dewi Drupadi sebagai menantunya. Setelah mengutarakan maksudnya dan dipersilahkan oleh Prabu Drupada, Prabu Salya mematrapkan aji Candhabirawa dan seketika itu keluarah para raksasa untuk membantunya. Namun yang terjadi, para raksasa dan dirinya tak mampu mengangkat busur sakti itu. Semakin diangkat, busur itu semakin berat. Prabu Salya dan para raksasa menyerah lalu mereka mohon pamit untuk duduk kembali di tribun.
Peserta berikutnya adalah pangeran mahkota Sindu Banakeling, Prabu Anom Jayadrata. Dia berusaha mengangkat busur sakti itu. Namun begitu busur itu terangkat sedikit, badannya langsung lemas. Prabu Anom Jayadrata akhirnya menyerah dan kembali ke tribun. Lalu keluarlah peserta berikutnya, yaitu Prabu Jarasanda alias Prabu Jaka Slewah, raja Giribajra. Dengan pongahnya, sang raja itu berusaha mengangkat busur sakti Agneyahimastra, tapi seperti yang terjadi sebelumnya, Prabu Jarasanda tak kuat mengangkat busur itu malah jatuh terduduk karena seluruh tenaganya bagaikan disedot oleh busur panah itu. Setelah dibantu berdiri, dia marah-marah lalu naik lagi ke tribun karena mendapat malu. Begitulah yang terjadi sehinggalah dipanggillah wakil dari Hastinapura, yaitu Raden Suryaputra dari Awangga. Raden Suryaputra datang bersama Prabu Anom Suyudana, Arya Dursasana, Bambang Adimanggala, Bambang Aswatama, Patih Arya Sengkuni, Raden Citraksa-Citraksi, dan beberapa Kurawa lainnya.dia datang untuk mewakili Prabu Anom Suyudana. Begitu Raden Suryaputra naik ke arena, sifatnya yang biasanya angkuh dan berlagak berubah menjadi penuh hormat pada sang busur. Begitu tangannya memegang busur itu, busur itu langsung terangkat dan ringan sekali. Dewi Drupadi kemudian bertanya pada ayahnya”Ayahanda, saya mau tanya. Apa benar Raden Suryaputra yang disana itu pangeran Awangga? Aku dengar dia adalah anak Adipati Adiratha yang dulunya kusir keraton Hastinapura.” “ sepengetahuanku itu dia anak Adiratha tapi aku juga tak tahu kalau Adiratha sudah jadi Adipati di Awangga, anakku. Tapi jangan remehkan dia dan kesaktiannya.” Hati Dewi Drupadi menjadi bimbang dan ingin menanyakan hal itu pada Raden Suryaputra langsung. Lalu ketika Raden Suryaputra sudah mulai menarik busur panah dan hampir melepaskan bidikannya, tiba-tiba Dewi Drupadi turun dari tribun dan berkata dengan lembut namun cukup keras ”Tunggu dulu, anak kusir.” Tak pelak, Raden Suryaputra menjadi hilang fokus dan tembakan panahnya meleset jauh dan mengenai pohon beringin. Raden Suryaputra menjadi tersinggung dan menanya balik Dewi Drupadi “Mohon maaf, tuan putri. Ada apa kau menghentikanku?” “bukan sebuah hal yang terlalu penting, raden. Saya hanya ingin bertanya apakah raden benar putra dari sais Adiratha? Bila benar, berarti raden ini hanya kere yang munggah bale” mendengar pertanyaan dan pernyataan itu, Raden Suryaputra merasa sangat disepelekan dan amat marah. Dia meletakkan busur Agneyahimastra kembali pada meja, lalu berkata dengan kasar “Ingat ini, tuan putri. Kau telah menggagalkan sayembaramu sendiri dengan menghina dan menyepelekan aku, maka aku bersumpah kau akan mengalami hal yang sama, dihina dan dipermalukan di depan khalayak. Semoga aku punya umur panjang untuk menyaksikan hal itu, tuan putri!!” setelah itu, Raden Suryaputra pergi meninggalkan arena disusul oleh adik angkatnya, Bambang Adimanggala sementara Dewi Drupadi kembali ke tempat duduknya sambil menangis.
Para tetamu undangan merasa terkejut dan terutama Prabu Anom Suyudana merasa marah atas penghinaan Dewi Drupadi terhadap Raden Suryaputra. Dihadapan hadirin di sana, Prabu Anom Suyudana mengatakan bahwa sayembara ini terlalu mustahil dan berkata bahwa kerajaan Pancalaradya hendak membuka perang. Akhirnya kemudian berdirilah Arya Gandamana dan membuka satu sayembara lagi agar putri angkatnya itu bisa segera menikah“ baiklah, karena ada yang merasa sayembara memanah ini terlalu susah, maka saya tambah satu sayembara tanding. Siapapun yang bisa mengalahkan saya, tak peduli apapun kasta yang disandangnya, kedudukan ataupun darimanakah asal-usulnya, maka dia yang berhak menikahi putri sulung Prabu Drupada sekaligus putri angkat saya, Dewi Drupadi. Terserah mau pakai senjata apa saja, saya akan ladeni dengan tanah kosong!” Prabu Anom Suyudana yang sejak tadi merasa kesal karena sahabatnya dihina segera meladeni sayembara tanding itu. Dengan menggunakan gadanya, dia memukul dan menyerang Arya Gandamana. Namun karena Ajian Wungkal Bener dan Bandung Bandawasa yang dipatrapkan Arya Gandamana, Suyudana menjadi terdesak. Melihat kakak tertua mereka dalam keadaan yang demikian, Arya Dursasana dan adik-adiknya segera membantu Prabu Anom Suyudana. Namun bukannya kalah, justru Arya Gandamana mampu membuat para Kurawa terdesak dan pontang-panting bahkan terlempar keluar ibukota.
Bersamaan itu pula datanglah empat orang pendeta. Yang tertua adalah begawan Dhomya dan tiga pendeta dibelakangnya adalah Resi Dwijakangka (Raden Puntadewa),Wasi Kusumayuda (Arya Bratasena), dan Wasi Parta (Raden Permadi).
Permadi menyelesaikan sayembara memanah
Dua dari mereka, Wasi Kusumayuda dan Wasi Parta kemudian memohon pada Arya Gandamana dan Arya Drestajumena untuk diperkenankan ikut sayembara mewakilkan kakak tertua mereka yang bersama Begawan Dhomya. Setelah diijinkan Prabu Drupada, ajang sayembara itu dilangsungkan kembali. Wasi Parta mulai naik ke arena sayembara panah dan menghormat pada busur Agneyahimastra. Wasi Parta mulai mengangkat busur panah sakti itu. Ajaib, busur itu sangat ringan ketika diangkatnya. Lalu Wasi Parta mulai mengambil anak panah menarik busur itu, lalu membidik sasaran melalui cermin. Setelah mendapatkan fokus, terlepaslah panah itu dan melesat secepat kilat, tepat mengenai jepit rambut yang berada di atas tiang tersebut. Seketika, busur Agneyahimastra menghilang dan menyatu dengan busur Gandiwa miliknya. Wasi Parta dinyatakan sebagai pemenang sayembara memanah. Bersamaan itu pula, datanglah Nyai Prita (Dewi Kunthi), Wasi Grantika dan Tripala (Raden Pinten dan Tangsen), dan Ki Lurah Semar beserta anak-anaknya. Mereka bangga akan kemenangan Wasi Parta dan memberikan selamat kepadanya.
Sementara itu, Wasi Kusumayuda masih bertanding gulat dengan Arya Gandamana. Pertandingan itu masih berimbang. Anehnya, Aji Bandung Bandawasa dan Wungkal Bener tidak bekerja sebagaimana mestinya. Lalu di saat Wasi Kusumayuda lengah, Arya Gandamana mencekiknya dengan cara dikempit menggunakan ketiaknya. Wasi Kusumayuda merasa sesak nafas karena tercekik. Dia pun merintih ”Ayahanda Panduuu... Bunda Madriiiim.... Akuuu, anakmu ingin menyusulmuuuu......” seketika itu pula, Arya Gandamana terkejut bahawa yang bertanding gulat dengannya itu adalah Arya Bratasena, putra junjungannya dahulu.
Gugurnya Arya Gandamana
Tanpa sadar, Kuku Pancanaka milik Wasi Kusumayuda memanjang dan menembus dada Arya Gandamana. Arya Gandamana merasa dingin dan roboh ke tanah dengan bersimbah darah.
Wasi Kusumayuda menangis memeluk Arya Gandamana sambil memohon ampun karena tak sengaja melukainya ”Ampuun.... Paman Arya.... akuu... maafkan akuuu...” Tak lama, Resi Dwijakangka, Wasi Parta, Wasi Gratika dan Tripala, dan Nyai Prita ikut mendekat untuk menghampiri mereka. Begitu juga keluarga Pancalaradya segera meninggalkan tempat duduk untuk melihat kondisi mereka. Namun Arya Gandamana tak menyalahkan sesiapapun dan mengumumkan bahwa Pandawa telah kembali. “rayi Prabu Drupada.... inilah mereka. Para Pandawa dan Dewi Kunthi...... mereka telah selamat...dari kebakaran tempo hari.....” Prabu Drupada sekeluarga terkejut sekaligus gembira mendengarnya bahwa Pandawa dan Dewi Kunthi telah selamat tanpa kurang satu apapun. Sebelum Arya Gandamana menghembuskan nafas terakhir, dia mengheningkan cipta dan mewariskan Aji Wungkal Bener dan Bandung Bandawasa pada Arya Bratasena, Kalung sakti Robyong Mustikawarih*2pada Puntadewa, dan Ajian Sepiangin pada Permadi. Setelah mewariskan segala kesaktiannya, Arya Gandamana wafat dengan keadaan khusnul kotimah dan langsung moksa ke kahyangan. Sayembarapun selesai. Kini, Prabu Drupada dapat berbesan dengan mendiang Prabu Pandu Dewanata dan Dewi Drupadi telah mendapatkan jodohnya yaitu Raden Puntadewa, putra sulung Pandu Dewanata yang berwatak bagai brahmana, sesuai seperti dalam mimpinya. Dewi Srikandhi yang menyaksikan Permadi sedang membidik sasaran tadi seketika jatuh hatipadanya. Begitu pula Raden Permadi, sama-sama tertarik hatinya ketika melihat ayunya wajah Srikandhi namun mereka masih malu-malu untuk mengungkapkan.
Sementara itu, para Kurawa dan para peserta yang gagal belum pulang dari kerajaan Pancalaradya, telah mendengar bahwa sayembara telah usai dan Dewi Drupadi telah menjadi isteri seorang pendeta muda menjadi kesal hati. Di saat hari pernikahan Puntadewa dan Drupadi dilangsungkan, mereka datang menyerang Kerajaan Pancalaradya dan berniat merebut Dewi Drupadi. Arya Bratasena yang sudah memakai pakaian pangeran mengalahkan mereka dengan tiang bekas sarana sayembara. Mereka kemudian kucar-kacir dan lari pontang panting ke negara mereka masing-masing. Hari itu pula, para Pandawa dan Dewi Kunthi telah membuka penyamaran mereka. Dewi Kunthi sudah tak lagi menjadi Nyai Prita yang berpakaian dari kulit kayu dan berganti baju dengan pakaian ratu janda. Para Pandawa juga para punakawan mencukur janggut dan kumis tebal mereka. Setelah beberapa hari, mereka meminta izin untuk kembali ke pertapaan Saptaharga untuk menghadap Maharesi Abiyasa.
*1 Busur Agneyahimastra adalah busur pusaka kerajaan Pancalaradya. Bila busur itu direntangkan sambil merapal mantra/ ajian beraliaran dingin, maka akan keluar hujan panah es. Sebalikanya, bila dirapal dengan mantra/ ajian beraliran panas, maka akan keluar hujan panah api
2*Kalung Robyong Mustikawarih adalah kalung sakti milik Puntadewa/Yudhistira yang tersembunyi di dalam kulit di luar daging. Bila Puntadewa meraba kalung itu dalam kondisi emosinya yang terdalam atau saat kesabarannya telah pada batasnya, maka dia bisa berubah menjadi raksasa mengerikan berkulit putih bersih bernama Dewa Amral.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar