Hai guys, Kisah kali ini adalah kisah titik balik kembalinya Pandawa setelah selamat dari kebakaran besar di Bale Sigala-gala, yakni pernikahan Dewi Drupadi. Dalam versi India, Draupadi dinikahi oleh lima Pandava sekaligus alias berpoliandri karena keteledoran Kunti yang mengira Draupadi sebagai hasil minta-minta di jalan, dalam kisah yang saya ceritakan ini adalah versi yang sudah digubah oleh Sunan Kalijaga karena poliandri sangat tidak sesuai dengan budaya Jawa dan ajaran agama. Kisah ini juga menceritakan gugurnya Arya Gandamana setelah menjadi jago dalam sayembara itu. Kisah ditutup dengan Pandawa, Dewi Kunthi, dan para Punakawan membuka samaran mereka dan kembali ke Pertapaan Saptaharga untuk minta restu. Sumber kisah ini berasal dari kitab Mahabharata karya Mpu Vyasa, serial kolosal India Mahabharat Starplus, Kitab Pustakaraja Purwa karya Raden Ngabehi Ronggowarsito, kisah Kidung Malam karya Herjaka.S, dan serial kolosal Indonesia Karmapala karya Imam Tantowi lalu saya kembangkan dan ubah dengan sedikit imajinasi saya.
Pada
suatu hari, Dewi Drupadi, putri sulung Prabu Drupada sedang bermimpi naik
kereta kencana dan bersanding bersama seorang pemuda rupawan berkulit bersih
dengan dikawal 4 perwara yang semuanya berwajah tampan dengan wajah yang
sumringah. Setelah terbangun dari mimpinya, Dewi Drupadi menceritakan mimpinya
pada ayahandanya. Prabu Drupada menafsirkan mimpi itu bahawa sang putri akan
mendapat jodoh seorang ksatria yang berwatak brahmana. Prabu Drupada merasa
sudah saatnya Dewi Drupadi untuk segera menikah ditambah lagi banyak raja dan
pangeran yang datang untuk melamarnya tempo hari. Lalu dia berunding dengan
kakak iparnya, Arya Gandamana, Arya Drestajumena, sang putra mahkota dan
patihnya, Patih Drestaketu untuk membahas hal itu. “kaka Arya, bagaimana
pendapatmu? Aku bingung, banyak para raja dan pangeran ingin melamar putriku
tapi Drupadi ingin memilih telah mendapat gambaran jodohnya” Arya Gandamana
kemudian memberikan solusi “rayi Prabu, menurutku jika kita adakan sayembara
untuk menentukan siapa yang pantas. Siapa tahu jodoh Drupadi ada pada salah
satu peserta sayembara” “Hmm.....Sayembara? aku setuju bila diadakan sayembara.
Tapi sayembara yang seperti apa? Ada yang punya usulan? Mungkin putraku
Drestajumena bisa memberikan masukan.” Begitu namanya disebut, Drestajumena
menjawab”Ayahanda Prabu, saya punya satu usulan. Semenjak aku berguru di
Sokalima, aku sangat menyukai panahan dan kebetulan di gedong pusaka, tersimpan
busur Agneyahimastra*1
milik para leluhur. Aku mengusulkan agar untuk pernikahan kanda Dewi Drupadi
diadakan sayembara panahan dengan menggunakan busur Agneyahimastra. Untuk
sasarannya, sasarannya adalah satu jepit rambut kanda Dewi yang digantung. Si
pemanah tidak boleh melihat sasarannya secara langsung tetapi harus melalui
media pantulan bayangan di cermin.” Setelah berunding, Prabu Drupada setuju.
Setelah mereka membubarkan diri, Patih Drestaketu dan Arya Drestajumena segera
mempersiapkan segalanya untuk sayembara itu. Tak butuh waktu lama, arena
sayembara telah siap dan sayembara akan digelar besok harinya
Sementara
itu, Dewi Kunthi, para Pandawa, dan para Punakawan yang telah meninggalkan
kerajaan Ekacakra melanjutkan pengembaraan menjauhi tanah Hastinapura. Di
tengah perjalanan, mereka bertemu dengan Begawan Dhomya, sahabat sekaligus guru
Maharesi Abiyasa. Berkat ketekunannya beribadah, dia masih diberi umur panjang
untuk bertemu para Pandawa, cucu sang murid dan Ki lurah Semar. Walaupun mereka
sedang menjadi brahmana, Begawan Dhomya dapat mengenali mereka. “hmmm... kalian
pasti cucu-cucuku Pandawa, mungkin kalian tidak mengenal saya, tapi saya dapat mengenali
kalian. Kalian adalah salah satu cucu Abiyasa, murid saya” Resi Dwijakangka
(Raden Puntadewa) kemudian bertanya “mohon ampun eyang Begawan, siapakah
sebenarnya anda?” “nama saya Dhomya, dari pertapaan gunung Mahayana. Saya
sahabat dari kakek kalian.” Setelah mendengar hal itu, para Pandawa, Dewi
Kunthi, dan para punakawan memberi hormat. Ki Lurah Semar bertanya pada sang
begawan “hmm blegedag blegedug...panjang umur untuk sang begawan. Jikalau
diperkenankan, ada gerangan apakah sang begawan bertemu dengan kami?” begawan
Dhomya kemudian menjelaskan bahwa dirinya mendapatkan wangsit dari dewata untuk
memberitahukan kepada para Pandawa bahwa di Pancalaradya akan diadakan sebuah
sayembara untuk mendapatkan putri sulung sang Prabu Drupada yaitu Dewi Drupadi
dan mengijinkan para Pandawa ikut sayembara itu. Dewi Kunthi pun teringat
tentang keinginan suaminya dulu, Pandu Dewanata yang ingin bisa berbesan dengan
Prabu Drupada. Akhirnya Dewi Kunthi mengijinkan tiga dari para Pandawa ikut
serta dan menyaksikan sayembara lebih dahulu sementara dirinya bersama Pinten,Tangsen,
dan para punakawan akan menyusul belakangan.
Keesokan
harinya, para raja dan para pangeran telah berkumpul di arena sayembara.
Ditengah arena itu telah berdiri sebuah tiang setinggi seratus depa yang di
puncaknya diikat sebuah jepit rambut bunga teratai milik Dewi Drupadi dan
sebuah cermin besar selebar tujuh depa. Di dekatnya pula terdapat sebuah meja
yang diatasnya ada busur sakti Agneyahimastra. Sementara itu, Prabu Drupada,
Dewi Gandawati, Dewi Srikandhi, Arya Drestajumena, Arya Gandamana dan Dewi
Drupadi menonton di kejauhan. Setelah para tetamu undangan dan peseta sayembara
berkumpul semua, Arya Drestajumena mengumumkan tatacara sayembara “Wahai para
raja, para pangeran, dan para tetamu undangan yang telah dimuliakan Yang Maha
Agung, disini saya akan mengumumkan tatacara sayembara ini. Barangsiapa yang
mampu memanah jepit rambut di atas tiang itu sambil memandang cermin
menggunakan busur sakti Agneyahimastra ini, maka dia berhak memperistri
Kakakku, Kanda Dewi Drupadi.” Selesai mengumumkan pengumuman, naiklah ke arena
itu Prabu Salya, raja Mandaraka. Dia berniat untuk menjadikan Dewi Drupadi
sebagai menantunya. Setelah mengutarakan maksudnya dan dipersilahkan oleh Prabu
Drupada, Prabu Salya mematrapkan aji Candhabirawa dan seketika itu keluarah
para raksasa untuk membantunya. Namun yang terjadi, para raksasa dan dirinya
tak mampu mengangkat busur sakti itu. Semakin diangkat, busur itu semakin
berat. Prabu Salya dan para raksasa menyerah lalu mereka mohon pamit untuk
duduk kembali di tribun.
Peserta
berikutnya adalah pangeran mahkota Sindu Banakeling, Prabu Anom Jayadrata. Dia
berusaha mengangkat busur sakti itu. Namun begitu busur itu terangkat sedikit,
badannya langsung lemas. Prabu Anom Jayadrata akhirnya menyerah dan kembali ke tribun.
Lalu keluarlah peserta berikutnya, yaitu Prabu Jarasanda alias Prabu Jaka
Slewah, raja Giribajra. Dengan pongahnya, sang raja itu berusaha mengangkat
busur sakti Agneyahimastra, tapi seperti yang terjadi sebelumnya, Prabu
Jarasanda tak kuat mengangkat busur itu malah jatuh terduduk karena seluruh
tenaganya bagaikan disedot oleh busur panah itu. Setelah dibantu berdiri, dia
marah-marah lalu naik lagi ke tribun karena mendapat malu. Begitulah yang
terjadi sehinggalah dipanggillah wakil dari Hastinapura, yaitu Raden Suryaputra
dari Awangga. Raden Suryaputra datang bersama Prabu Anom Suyudana, Arya
Dursasana, Bambang Adimanggala, Bambang Aswatama, Patih Arya Sengkuni, Raden
Citraksa-Citraksi, dan beberapa Kurawa lainnya.dia datang untuk mewakili Prabu
Anom Suyudana. Begitu Raden Suryaputra naik ke arena, sifatnya yang biasanya
angkuh dan berlagak berubah menjadi penuh hormat pada sang busur. Begitu
tangannya memegang busur itu, busur itu langsung terangkat dan ringan sekali.
Dewi Drupadi kemudian bertanya pada ayahnya”Ayahanda, saya mau tanya. Apa benar
Raden Suryaputra yang disana itu pangeran Awangga? Aku dengar dia adalah anak
Adipati Adiratha yang dulunya kusir keraton Hastinapura.” “ sepengetahuanku itu
dia anak Adiratha tapi aku juga tak tahu kalau Adiratha sudah jadi Adipati di
Awangga, anakku. Tapi jangan remehkan dia dan kesaktiannya.” Hati Dewi Drupadi
menjadi bimbang dan ingin menanyakan hal itu pada Raden Suryaputra langsung.
Lalu ketika Raden Suryaputra sudah mulai menarik busur panah dan hampir
melepaskan bidikannya, tiba-tiba Dewi Drupadi turun dari tribun dan berkata
dengan lembut namun cukup keras ”Tunggu dulu, anak kusir.” Tak pelak, Raden
Suryaputra menjadi hilang fokus dan tembakan panahnya meleset jauh dan mengenai
pohon beringin. Raden Suryaputra menjadi tersinggung dan menanya balik Dewi
Drupadi “Mohon maaf, tuan putri. Ada apa kau menghentikanku?” “bukan sebuah hal
yang terlalu penting, raden. Saya hanya ingin bertanya apakah raden benar putra
dari sais Adiratha? Bila benar, berarti raden ini hanya kere yang munggah bale” mendengar pertanyaan dan pernyataan itu,
Raden Suryaputra merasa sangat disepelekan dan amat marah. Dia meletakkan busur
Agneyahimastra kembali pada meja, lalu berkata dengan kasar “Ingat ini, tuan
putri. Kau telah menggagalkan sayembaramu sendiri dengan menghina dan
menyepelekan aku, maka aku bersumpah kau akan mengalami hal yang sama, dihina
dan dipermalukan di depan khalayak. Semoga aku punya umur panjang untuk
menyaksikan hal itu, tuan putri!!” setelah itu, Raden Suryaputra pergi
meninggalkan arena disusul oleh adik angkatnya, Bambang Adimanggala sementara
Dewi Drupadi kembali ke tempat duduknya sambil menangis.
Para
tetamu undangan merasa terkejut dan terutama Prabu Anom Suyudana merasa marah
atas penghinaan Dewi Drupadi terhadap Raden Suryaputra. Dihadapan hadirin di
sana, Prabu Anom Suyudana mengatakan bahwa sayembara ini terlalu mustahil dan
berkata bahwa kerajaan Pancalaradya hendak membuka perang. Akhirnya kemudian
berdirilah Arya Gandamana dan membuka satu sayembara lagi agar putri angkatnya
itu bisa segera menikah“ baiklah, karena ada yang merasa sayembara memanah ini
terlalu susah, maka saya tambah satu sayembara tanding. Siapapun yang bisa
mengalahkan saya, tak peduli apapun kasta yang disandangnya, kedudukan ataupun
darimanakah asal-usulnya, maka dia yang berhak menikahi putri sulung Prabu
Drupada sekaligus putri angkat saya, Dewi Drupadi. Terserah mau pakai senjata
apa saja, saya akan ladeni dengan tanah kosong!” Prabu Anom Suyudana yang sejak
tadi merasa kesal karena sahabatnya dihina segera meladeni sayembara tanding
itu. Dengan menggunakan gadanya, dia memukul dan menyerang Arya Gandamana.
Namun karena Ajian Wungkal Bener dan Bandung Bandawasa yang dipatrapkan Arya
Gandamana, Suyudana menjadi terdesak. Melihat kakak tertua mereka dalam keadaan
yang demikian, Arya Dursasana dan adik-adiknya segera membantu Prabu Anom
Suyudana. Namun bukannya kalah, justru Arya Gandamana mampu membuat para Kurawa
terdesak dan pontang-panting bahkan terlempar keluar ibukota.
Bersamaan
itu pula datanglah empat orang pendeta. Yang tertua adalah begawan Dhomya dan
tiga pendeta dibelakangnya adalah Resi Dwijakangka (Raden Puntadewa),Wasi
Kusumayuda (Arya Bratasena), dan Wasi Parta (Raden Permadi).
Dua dari mereka,
Wasi Kusumayuda dan Wasi Parta kemudian memohon pada Arya Gandamana dan Arya
Drestajumena untuk diperkenankan ikut sayembara mewakilkan kakak tertua mereka
yang bersama Begawan Dhomya. Setelah diijinkan Prabu Drupada, ajang sayembara
itu dilangsungkan kembali. Wasi Parta mulai naik ke arena sayembara panah dan
menghormat pada busur Agneyahimastra. Wasi Parta mulai mengangkat busur panah
sakti itu. Ajaib, busur itu sangat ringan ketika diangkatnya. Lalu Wasi Parta
mulai mengambil anak panah menarik busur itu, lalu membidik sasaran melalui
cermin. Setelah mendapatkan fokus, terlepaslah panah itu dan melesat secepat
kilat, tepat mengenai jepit rambut yang berada di atas tiang tersebut. Seketika,
busur Agneyahimastra menghilang dan menyatu dengan busur Gandiwa miliknya. Wasi
Parta dinyatakan sebagai pemenang sayembara memanah. Bersamaan itu pula,
datanglah Nyai Prita (Dewi Kunthi), Wasi Grantika dan Tripala (Raden Pinten dan
Tangsen), dan Ki Lurah Semar beserta anak-anaknya. Mereka bangga akan kemenangan
Wasi Parta dan memberikan selamat kepadanya.
Permadi menyelesaikan sayembara memanah |
Sementara
itu, Wasi Kusumayuda masih bertanding gulat dengan Arya Gandamana. Pertandingan
itu masih berimbang. Anehnya, Aji Bandung Bandawasa dan Wungkal Bener tidak bekerja
sebagaimana mestinya. Lalu di saat Wasi Kusumayuda lengah, Arya Gandamana
mencekiknya dengan cara dikempit menggunakan ketiaknya. Wasi Kusumayuda merasa
sesak nafas karena tercekik. Dia pun merintih ”Ayahanda Panduuu... Bunda
Madriiiim.... Akuuu, anakmu ingin menyusulmuuuu......” seketika itu pula, Arya
Gandamana terkejut bahawa yang bertanding gulat dengannya itu adalah Arya Bratasena,
putra junjungannya dahulu.
Tanpa sadar, Kuku Pancanaka milik Wasi Kusumayuda
memanjang dan menembus dada Arya Gandamana. Arya Gandamana merasa dingin dan
roboh ke tanah dengan bersimbah darah.
Gugurnya Arya Gandamana |
Wasi
Kusumayuda menangis memeluk Arya Gandamana sambil memohon ampun karena tak
sengaja melukainya ”Ampuun.... Paman Arya.... akuu... maafkan akuuu...” Tak
lama, Resi Dwijakangka, Wasi Parta, Wasi Gratika dan Tripala, dan Nyai Prita
ikut mendekat untuk menghampiri mereka. Begitu juga keluarga Pancalaradya
segera meninggalkan tempat duduk untuk melihat kondisi mereka. Namun Arya
Gandamana tak menyalahkan sesiapapun dan mengumumkan bahwa Pandawa telah
kembali. “rayi Prabu Drupada.... inilah mereka. Para Pandawa dan Dewi
Kunthi...... mereka telah selamat...dari kebakaran tempo hari.....” Prabu
Drupada sekeluarga terkejut sekaligus gembira mendengarnya bahwa Pandawa dan
Dewi Kunthi telah selamat tanpa kurang satu apapun. Sebelum Arya Gandamana
menghembuskan nafas terakhir, dia mengheningkan cipta dan mewariskan Aji
Wungkal Bener dan Bandung Bandawasa pada Arya Bratasena, Kalung sakti Robyong Mustikawarih*2pada Puntadewa, dan
Ajian Sepiangin pada Permadi. Setelah mewariskan segala kesaktiannya, Arya
Gandamana wafat dengan keadaan khusnul kotimah dan langsung moksa ke kahyangan. Sayembarapun selesai. Kini,
Prabu Drupada dapat berbesan dengan mendiang Prabu Pandu Dewanata dan Dewi
Drupadi telah mendapatkan jodohnya yaitu Raden Puntadewa, putra sulung Pandu
Dewanata yang berwatak bagai brahmana, sesuai seperti dalam mimpinya. Dewi
Srikandhi yang menyaksikan Permadi sedang membidik sasaran tadi seketika jatuh
hatipadanya. Begitu pula Raden Permadi, sama-sama tertarik hatinya ketika
melihat ayunya wajah Srikandhi namun mereka masih malu-malu untuk
mengungkapkan.
Sementara
itu, para Kurawa dan para peserta yang gagal belum pulang dari kerajaan
Pancalaradya, telah mendengar bahwa sayembara telah usai dan Dewi Drupadi telah
menjadi isteri seorang pendeta muda menjadi kesal hati. Di saat hari pernikahan
Puntadewa dan Drupadi dilangsungkan, mereka datang menyerang Kerajaan
Pancalaradya dan berniat merebut Dewi Drupadi. Arya Bratasena yang sudah
memakai pakaian pangeran mengalahkan mereka dengan tiang bekas sarana
sayembara. Mereka kemudian kucar-kacir dan lari pontang panting ke negara
mereka masing-masing. Hari itu pula, para Pandawa dan Dewi Kunthi telah membuka
penyamaran mereka. Dewi Kunthi sudah tak lagi menjadi Nyai Prita yang berpakaian
dari kulit kayu dan berganti baju dengan pakaian ratu janda. Para Pandawa juga
para punakawan mencukur janggut dan kumis tebal mereka. Setelah beberapa hari,
mereka meminta izin untuk kembali ke pertapaan Saptaharga untuk menghadap Maharesi
Abiyasa.
*1 Busur Agneyahimastra adalah busur pusaka kerajaan Pancalaradya.
Bila busur itu direntangkan sambil merapal mantra/ ajian beraliaran dingin,
maka akan keluar hujan panah es. Sebalikanya, bila dirapal dengan mantra/ ajian
beraliran panas, maka akan keluar hujan panah api
2*Kalung Robyong Mustikawarih adalah kalung sakti milik
Puntadewa/Yudhistira yang tersembunyi di dalam kulit di luar daging. Bila
Puntadewa meraba kalung itu dalam kondisi emosinya yang terdalam atau saat
kesabarannya telah pada batasnya, maka dia bisa berubah menjadi raksasa
mengerikan berkulit putih bersih bernama Dewa Amral.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar