Matur salam, para pembaca. Kisah yang kali ini akan menceritakan kutukan Batari Durga kepada Batara Guru yang ikut berimbas padanya. Dikisahkan pula kelahiran empat putra mereka yang sejak lahir diiringi dengan kejadian besar dan serangan para raja ke Kahyangan Jonggring Saloka. Kisah ini bersumber dari blog albumkisahwayang.blogspot.com, blog caritawayang.blogspot.co.id, Serat Pustakaraja purwa dan Paramayoga karya Raden Ngabehi Ranggawarsita, Serial Kolosal India Mahakaali, lakon Sapuh Leger, dan kakawin Asmaradhana karya Mpu Dharmaja dengn pengubahan, penambahan, dan penyesuaian dengan imajinasi penulis dan diselaraskan dengan pewayangan jawa.
Salah Kedaden, Wujud Krodha Raja
dan Permaisuri kahyangan
Bertambahnya kekuatan para dewa dengan kelahiran Batara Rewanta, Batara Shani, dan si kembar Aswan dan Aswin rupanya belum mampu membuat para raksasa durjana terdesak. Terlebih lagi para raksasa memiliki pemimpin yang sakti dan berbahaya yaitu dua bersaudara Prabu Nilarudrakala dari negeri Glugutinatar dan Prabu Tarakasura dari negeri Kelambuwaja. Keduanya telah mendapat anugerah kesaktian luar biasa dari Batara Guru sendiri. Hal ini membuat kepala Batara Guru pening dan kesal. Karena pening, Batara Guru ingin mengajak Batari Durga untuk berpelesir sejenak sambil menikmati keindahan alam sambil menaiki sang lembu Andini. Hari itu senjakala sudah hampir tiba. Batara Guru menjadi terlena melihat keindahan lekuk tubuh sang istri yang ditimpa sinar lembayung senja. Batara Guru kemudian mengajak Batari Durga untuk bercinta saat itu juga “istriku, aku sudah lama memendam ini. Marilah ikut aku dalam permainan cintaku.” Batari Durga menolak “tentu saja tidak sekarang suamiku. Bersabarlah. Tunggulah kita sampai di Jonggring Saloka dulu.” “tidak sayangku. Sekarang saja. Aku tak kuat menahannya.” Batari Durga terus menahan keinginan suaminya “Suamiku, kau tidak malu dengan Andini? Dia lembu, sapi kahyangan. Dia itu hewan tapi punya tatakrama. Bercinta ada tatakrama, harus ada tempatnya sendiri, di kamar tempatnya.” Namun Batara Guru tidak peduli. Dia memeluk sang istri kuat-kuat dan memancarlah kama benih sang Batara Guru. Batari Durga meronta-ronta menghindar hingga kama benih itu jatuh ke dalam laut selatan. Kama benih itu bergemuruh dan terus bergemuruh.
Batara Guru dan Batari Durga saling mengutuk |
Lahirnya Batara Kala dan Batara
Kartikeya
Bersamaan
itu pula benih Batara Guru dan Batari Durga bersatu dalam aliran air dan
membentuk cahaya terang lalu terbang. Batara Guru segera menyiramkan Tirta
Maolkayat dan seketika cahaya itu kemudian berubah menjadi bayi berwajah enam
dan ditangkap oleh para bidadari yang duduk di antara bintang-bintang. Batara
Guru memutuskan agar anaknya itu diasuh oleh para bidadari itu dan karena
diasuh oleh bidadari yang tinggal di antara bintang-bintang (Kartika) maka diberilah
nama putranya itu Kartikeya.
Di waktu yang sama, di tengah laut selatan, muncul suatu keanehan. Laut mendadak bersabung tanpa ada angin. Lalu keluar api dari dasar laut. Lalu dari dalam api itu, benih kama Batara Guru yang tumpah tadinya bergemuruh mulai berubah menjadi raksasa dewa. Raksasa setengah dewa itu mengamuk ingin tahu siapa orang tuanya. Turunlah para dewa yang dipimpin Batara Sambu untuk menghentikan amukannya. Mereka mengerahkan segala kekuatan namun semuanya nampak tak berlaku bagi si raksasa dewa. Hembusan topan badai yang dibawa Batara Bayu tak lebih dari kibasan ekor kera bagi si raksasa. Halilintar yang dilemparkan Batara Indra dirasakannya lebih mirip gigitan semut kecil.
Lahirnya si Kama Salah, Batara Kala |
Batara
Resi Narada melapor pada batara Guru bahwa ada raksasa ganas dari laut yang
mengamuk karena ingin mencari ayah dan ibunya. Namun belum habis bercerita,
terdengar keributan. Ketika dilihat ternyata raksasa yang tadi menyerang para
dewa kini menapakkan kakinya di Jonggring Saloka. Lawang Kori Selomatngkep
berhasil dijebolnya. Para bidadari lari kalang kabut dengan kedatangnnya.
Batara Guru yang sudah tahu siapa dia sebenarnya menghadapi raksasa kama salah
itu. Dihadapan batara Guru, raksasa itu hendak melancarkan serangan. Namun
sebelum itu terjadi, Dirapallah Aji Kemayan oleh Batara Guru. Raksasa itu tidak
kuat menghadapi aji Kemayan dan akhirnya limbung dan jatuh bersujud. Lunglai
segala otot dan persendiannya. Si raksasa terus menggeram dan memohon ampun. Di
hadapan para dewa, Batara Guru berniat untuk menghabisi si raksasa namun Batara
Resi Narada melarangnya. Lalu ia berkata “Adi Guru, jangan gegabah. Jangan
menghabisi lawan yang sudah tidak berdaya.” Batara Semar kemudian ikut
menyindir “benar yang dikatakan adhi Narada. Kalau raksasa ini dianggap
mengancam para dewa,kenapa tak sekalian saja biangnya juga dihabisi.” Batara Guru
merasa tersindir dan malu lalu mengarahkan Tombak Trisula miliknya ke arah dua
gigi taring dan lidah si kama salah. Alhasil terpotonglah kedua taringnya dan
keluarlah segala racun dari lidahnya lalu berubah menjadi dua buah keris dan
satu panah. Keris itu diberi nama Kalanadah dan Kaladite, sedangkan panahnya
diberi nama panah Sirsha. Lalu batara Guru memulihkan segla kesaktian dan
kekuatan si raksasa dan diakuinya
sebagai putranya. Oleh sang ayah, si raksasa setengah dewa itu diberi nama
Batara Kala. Batara Kala segera diperciki Tirta Maolkayat dan seketika menjadi
dewasa. Oleh Batara Guru, Batara Kala diangkat menjadi dewa waktu juga penguasa segala
bencana dan malapetaka dan diberi tempat tinggal di Istana Nusa Kambana.
Lelakon Murwakala
Batara
Kala telah menjadi dewa waktu dan penguasa malapetaka. Namun menjadi dewa membuat nafsu
makannya menjadi terbatas. Dia ingin makan-makan enak tanpa terikat aturan
kahyangan. Batara Guru memahami hal itu lalu berkata pada sang putra yang
berparas raksasa menakutkan itu “anakku, kalau kamu ingin makan enak. Makanlah
manusia Sengkala. Yakni orang-orang yang macam ini : orang yang pergi keluar
saat tengah hari tanpa tujuan jelas, orang yang suka bertopang dagu, orang yang
doyan makan sesuatu yang haram, orang yang suka menebar fitnah dan membuat
kegaduhan, orang yang suka mengincar jalan pintas demi kesuksesan duniawi. Kau
juga boleh memakan orang Sukerta, orang-orang yang takdir kelahirannya seperti
ini : anak tunggal, anak kembar baik yang seiras maupun buncing, kendana-kendini
(dua bersaudara lelaki perempuan), orang yang lahir di saat matahari terbit,
tengah hari maupun terbenam, tiga bersaudara lelaki perempuan lelaki atau
sebaliknya, lima bersaudara baik lelaki semua maupun perempuan semua, anak yang
terlahir dini (prematur), anak cacat, anak beda warna kulit.. Namun itu semua
juga ada batasnya. Kalau mereka semua sudah diruwat (dibersihkan malanya), kau
tidak boleh memakannya.” Batara Guru kemudian memberikannya golok sakti bernama
Kyai Bedama sebagai senjata untuk memakan mangsanya. Batara Guru juga
menanamkan rajah Kalacakra dan rajah Carakabalik di tubuh batara Kala dan
berpesan siapapun yang bisa membaca rajah itu tidak boleh dicelakai dan harus
dihormati.
Kejar-kejaran Kartikeya dengan Kala
Baberapa waktu kemudian, Batara Kartikeya telah tumbuh besar berkat Tirta Maolkayat. Batara Kala tahu kalau adiknya itu lahir saat matahari terbenam, sama sepertinya. Batara Kala ingin memakannya. “pukulun ayahanda, adhi Kartikeya adalah anak yang lahir saat matahari terbenam, sama seperti aku. Aku harus memakannya.” Batara Guru sigap dan berkata “kalau kamu ingin memakan adikmu, tunggulah dia sampai dewasa.” Batara Kala bersedia menunggu dan menahan nafsu membunuhnya.
Lakon Murwakala |
Pentas Wayang Ki Dalang Kandabuana
Di
kafilah yang sama, Batara Kartikeya akhinya, ada sebuah rumah besar yang
menggelar pertunjukan wayang. Dalangnya bernama Ki Kandabuana. Selain
pertunjukan wayang, juga digelar pesta besar-besaran. Batara Kala kemudian
datang dengan perut keroncongan dan memakan semua makana yang ada disana. Para
tetamu menjadi ketakutan. Batara Kartikeya lalu sembunyi di dalam kotak wayang.
Ki Kandabuana menjai marah “hei raksasa, kenapa kau merusak pagelaranku?’ lihat
para penonton jadi ketakutan.” “hei ki dalang, aku kelaparan karena mengejar
adikku. Adikku lari kesini.” Ki Kandabuana minta ganti rugi makanan yang
dihabiskan Batara Kala tapi dia tidak bisa memeberikan ganti rugi. Ketika
melirik, Batara Kala melihat Batara Kartikeya berada dalam kotak wayang. Ki
Kandabuana dengan sigap meminta Batara Kala untuk menyerahkan goloknya, Kyai
Bedama kepadanya. Batara Kala lalu menyerahkan Kyai Bedama kepada ki dalang.
Namun ia melihat kalau Batara Kartikeya telah lari. Dia meminta golok Kyai
Bedama dikembalikan. Ki dalang tidak mau. Karena diliputi rasa kesal, Batara
Kala hendak memakan ki dalang. Begitu mulutnya terbuka, ki dalang membaca rajah
Kalacakra dan Carakabalik yang ada di mulut dan tubuh Batara Kala. Seketika
Batara Kala ingat kalau ada orang yang bisa membaca rajah di tubuhnya tidak
boleh dicelakai dan harus dihormati. Batara Kala duduk bersimpuh dihadapan ki
dalang. Ki dalang berkata kepadanya “Hai Batara kala, aku memiliki tugas untuk
meruwat warga di sini. Jika mereka sudah diruwat maka tidak boleh kamu mangsa.
Karena adikmu sudah datang kesini maka dia adalah tamuku yang ingin diruwat
juga.” “aku mengerti ki dalang. Aku janji tak akan memakannya.” Setelah
diruwat, Batara Kala dan Batara Kartikeya kembali ke kahyangan Jonggring
Saloka. Ki dalang mengajarkan kepada masyarakat kafilah cara agar terhindar
dari kemalangan dan malapetaka yang dibawa Batara Kala yakni dengan rajin
berpuasa baik makan ataupun minum, mengurangi berbicara yang tidak perlu,
mengurangi senggama maupun masturbasi, menghindari makan makanan dan minuman
yang syuhbat (tidak jelas asal-usulnya), bersabar dengan mengurangi marah dan
mengeluh, tidak membuat kegaduhan, dan rajin-rajin bertapa brata.. Ki Setelah seluruh
prosesi ruwatan massal selesai, Ki Kandabuana kembali ke kahyangan sebagai
Batara Wisnu.
Asmaradhana, Kisah Cinta
Kamajaya-Ratih
Serangan
demi serangan bangsa raksasa durjana yang dipimpin oleh Prabu Tarakasura dan
Prabu Nilarudrakala terus merangsek Gunung Mahameru (Tengguru Kailasa). Di
tengah kegentingan itu Batara Guru ingin untuk pergi bertapa brata untuk
meningkatkan kekuatan kahyangan. Untuk sementara, Batara Sambu menjadi pemegang
tampuk kekuasaan di Jonggring Saloka. Pasukan Dorandara yang dipimpin Batara
Indra terus menyerang prajurit Prabu Tarakasura dan Prabu Nilarudrakala. Para
prajurit memang dapat dikalahkan dengan mudah namun mengalahkan Tarakasura dan
Nilarudrakala rasanya seperti semut menggigit kulit gajah, susah sekali bahkan
Batara Wisnu dan Batara Kala sekalipun yang melawan ikut terdesak. Keadaan para
dewa semakin genting. Kini pasukan raksasa mulai mendaki Gunung Mahameru.
Batara Indra segera memerintahkan Batara Cingkarabala dan Balaupata menutup
Lawang Kori Selomatangkep. Batara Sambu segera mendatangi Batara Wisnu “adhi
Wisnu, segeralah ke Ondar-Andir Buana, bertanya pada eyang Batara Padawenang
apa yang harus kita lakukan sekarang.” “baik, kanda Sambu.” Batara Wisnu
akhirnya pergi ke Ondar-Andir Buana ditemani sang paman, yakni Batara Semar. Sesampainya
di Ondar-Andir Buana, Batara Wisnu segera meminta petunjuk kepada sang kakek
leluhur dewa itu “ohh, eyang Batara, apa yang harus kami lakukan agar pasukan
raksasa itu dapat dikalahkan. Hamba yang dikatakan paling sakti diantara para
dewa tak mampu mengalahkan kedua raja raksasa itu” Sang Batara Padawenang
berkata “Wisnu cucuku, ketahuilah. Ajal mereka telah ditetapkan Sanghyang Maha
Agung, Tuhan yang Maha Kuasa. Mereka berdua hanya bisa dikalahkan oleh
adik-adikmu. Tarakasura akan kalah oleh adikmu yang berwajah enam dan satunya
lagi oleh adikmu yang berkepala hewan. Namun saat ini adikmu yang berkepala
hewan itu belum bisa terlahir karena ayahmu masih bertapa di puncak Wukir
Pawitra. Bujuklah ayahmu agar mau kembali bersatu dengan ibumu.”
Di
istana Cakrakembang yang penuh bunga bermekaran, Batara Kamajaya dan Dewi Kamaratih
atau sering dipanggil Dewi Ratih sedang menikmati hari-hari romantis mereka.
Lalu datanglah batara Wisnu, sang sepupu dan batara Semar, ayah dari Batara
Kamajaya. Batara Semar meminta sang putra untuk membangunkan Batara Guru
“anakku, Kamajaya ya Kamadewa. Kahyangan kini dalam keadan gawat. Pasukan
raksasa yang dipimpin Tarakasura dan Nilarudrakala berniat merebut kahyangan
ini. Hanya Batara Guru yang mampu membuat mereka tewas. Kini dia sedang bertapa
brata di Wukir Pawitra. Bangunkanlah ia dengan kekuatan cintamu.” “sendika
dhawuh Ayahanda”. Ia pun pamitan dengan sang istri “Ratih, istriku, aku akan
pergi. Tugas ini kurasa amat berat. Jagalah dirimu.” “iya kanda Kamajaya.
Jagalah dirimu dan cinta kita.” Dikecuplah kening sang istri tercinta.
Dipeluknya erat-erat sebelum ia pergi. Sepeninggal sang suami, Dewi Ratih merasa
hati kecilnya berkata akan terjadi nasib buruk yang akan menimpa sang suami.
Di keheningan puncak Wukir Pawitra, Batara Guru sedang bersemadi. Gentur tapanya, tak dapat diganggu siapapun. Batara Wisnu, Batara Semar, dan Batara Kamajaya datang mengendap-ngendap mendekati sang penghulu para dewa itu yang sedang memejamkan segala indria sambil duduk bersila. Berkali-kali ia melemparkan batu kerikil dan ranting kayu ke arahnya namun tak berhasil. Bahkan Batara Guru bergeming sama sekali. Panah hujan bunga juga tak mampu membuat sang batara terbangun dari tapa bratanya. Sang dewa cinta mengeluarkan panah andalannya, panah aji Pancawisaya. Panca berarti lima, wisaya berarti kerinduan. Jika panah itu dilesatkan, yang terkena akan merindukan lima macam hal : aroma harum mewangi, lantunan suara merdu, rindu rasa enak, rindu kasih sayang, dan rindu akan keindahan.
Lelakon Asmaradhana |
Batara Ganesha dan Batara Kartikeya
Pergi Berperang.
Singkat
cerita, Batara Guru dan Batari Durga kembali bersatu. Benih kama keduanya
menyatu dalam gua garba. Pada suatu hari, di saat mereka sedang bercengkerama
di taman kahyangan, datanglah Batara Indra yang sedang menaiki gajahnya, Erawata
untuk melapor keadaan para pasukan raksasa. Batari Durga menjadi kaget melihat
gajah Erawata datang tiba-tiba. Mendadak benih kama yang dikandung Batari Durga
berontak dan lahir sebagai cahaya yang terang. Batara Guru menyiramkan Tirta
Maolkayat ke cahaya terang itu lalu mewujudlah cahaya itu menjadi seorang
manusia dewa berkepala gajah. Batara Guru menamai putranya yang berkepala gajah
itu Batara Ganesha.
Di
luar gerbang kahyangan, Prabu Tarakasura dan Prabu Nilarudrakala terus
menggedor-gedor gerbang meminta agar kahyangan tunduk pada mereka. Lalu
keluarlah dari gerbang itu sepasukan Dorandara. Kali ini pemimpin mereka adalah
Batara Kartikeya dan Batara Ganesha. Masing-masing menaiki kendaraan berbeda.
Batara Kartikeya mengendarai burung merak raksasa sementara Batara Ganesha
menaiki seekor tikus kecil yang anehnya kuat menopang tubuhnya. Prabu
Tarakasura dan Prabu Nilarudrakala menertawakan mereka “aduhai, jagat tambah
edan. Batara Indra saja tak bisa mengalahkan kita. apalagi ini. Ada bocah
berwajah enam dan dewa berkepala gajah dijadikan pemimpin pasukan tentara.”
“betul kakang Taraka, para dewa sudah hilang akal rupanya.” Tapi tawa mereka
terhenti dengan suara Batara Ganesha “hei kalian raja denawa, ingatlah satu
hal. Jangan melihat sebuah buku dari sampulnya. Kejumawaan kalian sudah
menyundul langit. Bagaimana kita adu tanding saja. Prabu Tarakasura adu tanding
dengan kakakku, Kartikeya dan Prabu Nilarudrakala adu tanding denganku.” Kedua
raja denawa itu sepakat.
Pertempuran sengit pun terjadi. Kedua belah pihak sama-sama kuat dan sakti. Pertempuran itu menyebabkan berbagai gejala alam. Angin prahara bertiup kencang, bumi gonjang-ganjing langit kolap-kalip. Sepuluh hari berturut-turut pertempuran itu berangsung. Tarakasura menyerang Batara Kartikeya dengan berbagai senjata namun ia tidak bisa terluka. Begitupun dengan batara Ganesha. Sampai pada akhirnya, Batara Kartikeya melemparkan tombak pusakanya, Tombak Kalaminta dan jrasss, Prabu Tarakasura tewas seketika.
Kumara Ganesha Jayanti |
Kelahiran Dewasrani
Setelah
pertarungan Takasura dan Nilarudrakala, Batara Guru tak tertahan lagi nafsu
syahwatnya. Setelah bersanggama, Batari Durga kembali mengandung. Batari Durga
kembali mengingatkan sang suami agar bisa menahan syahwatnya “suamiku,
kendalikan syahwat kakanda. Menurutkan syahwat liar sama saja menurunkan
derajat sendiri dihadapan Yang Maha Kuasa. Sebagai pemimpin para dewa, aku
punya permintaan padamu, kanda.” “apakah itu, dinda?” Batari Durga merasa tak
nyaman apabila sang suami terus tergoda hawa nafsu bila melihatnya. Tubuh ayu
molek, sintal dan berisi. Maka ia memutuskan “kakanda, aku ingin kita pisah
rumah. Aku melakukan ini bukan untuk bercerai dengan kanda. Tapi jika hal itu tak
dilakukan, maka derajat para dewa akan turun dihadapan Tuhan dan seluruh alam. Biarkan
anak kita yang belum lahir ini ikut denganku.” Demi mewujudkan keinginan sang istri,
Batara Guru dibantu para dewa lainnya memindahkan Istana Setra Gandamayu dari kompleks
Iswaraloka. Diletakaannya istana Setra Gandamayu di bawah Iswaraloka, di dasar
Gunung Tengguru Kailasa (Mahameru), tempat yang dekat dengan Istana Argadumilah
dimana semua penderitaan dan kesengsaraan berlaku. Batari Durga tetap menjadi
permaisuri namun dia juga menjadi Dewi Kekuatan, dewi pelindung orang-orang
yang tertindas. Istana Nusa Kambana ikut dipindahkan karena Batara Kala tak
bisa jauh dari sang ibu. Sejak saat itu Batari Durga dan Batara Kala menjadi
Dewa-dewi dunia bawah bersama Batara Yamadipati dan Batara Shani. Tak lama
setelah pemindahan Setra Gandamayu, lahirlah anak bungsu dari Batara Guru dan Batari
Durga. Oleh sang ayah, anak itu diberi nama Dewasrani dan sang ibu memberinya
nama Nilasrani. Kelahiran sang bungsu diiringi dengan hujan darah dan topan
prahara dengan petir menyambar-nyambar pertanda anak ini akan membuat susah
para ksatria.