Jumat, 10 Januari 2020

Buah Terlarang Banowati-Arjuna-Duryudana

Salam semua, semoga para pembaca mendapatkan karunia, taufik, dan hidayah dari Tuhan Yang Maha Kuasa. Mengawali tahun yang lebih baru, kisah kali ini mengisahkan kelahiran Dewi Pergiwa, putri Arjuna dengan Dewi Manuhara, Dewi Pergiwati, putri hasil perselingkuhan Arjuna dengan Dewi Banowati, dan Lesmana Mandrakumara, yaitu putra kandung Prabu Duryudana yang diselundupkan Raden Arjuna dan Dewi Banowati ke dalam Hastinapura. Kelak Lesmana Mandrakumara selalu bersing dan bermusuhan dengan para putra Pandawa. Sumber yang dipakai berasal blog albumkisahwayang.blogspot.com dan beberapa blog-blog pedalangan lainnya. Kisah ini menyangkut karma dan benang merah dimana baik Prabu Duryudana, Raden Arjuna, dan Dewi Banowati sama-sama terlibat skandal.

Cuaca cerah berawan menyelimuti Hastinapura. Kadang panas terik kadang teduh menyejukan. Prabu Duryudana dihadap para menteri dan punggawa seusai upacara tujuh bulanan Dewi Banowati, sang permaisuri. Hati Prabu Duryudana sedari tadi tak tentram sejak upacara tujuh bulan berlangsung. Patih Arya Sengkuni tiba-tiba bicara membahas tentang hal pribadi tentang mantu keponakan tersayangnya itu “Duhh anak Prabu. Yang kau khawatirkan itu sama seperti apa yang ku pikirkan. Masalah pribadi raja tak pantas diumbar kesana-sini. Untuk masalah seperti ini biar aku yang membubarkan pasewakan “ setelah membubarkan pasewakan, kini yang tinggal orang-orang kepercayaan Prabu Duryudana yakni Adipati Karna, Resi Dorna, Patih Arya Sengkuni, Arya Dursasana, dan Arya Kartamarma.

“begini, paman patih, kakang Adipati dan semuanya. Kalian sudah mengertikan kalau dinda Banowati pernah menjalin hubungan dengan Arjuna. Saat pernikahan juga, dinda Banowati minta dirias olehnya. Sewaktu malam pertama, darah perawan milik dinda juga tak keluar. Aku curiga kalau dinda Banowati pernah berzina dengan Arjuna.” “kanda Prabu Duryudana, jangan mengambil keputusan secara dangkal. Jangan merusak pagar ayu rumah sendiri. Daripada itu, lebih baik saling menebar rasa percaya ketimbang saling curiga” sanggah Adipati Karna. Resi Dorna juga ikut menasihati“benar apa yang dikatakan nanda Adipati, anak prabu. Lagipula masalah darah perawan tak bisa dijadikan pedoman tetap. Banyak para wanita di dunia ini dianugerahi kulit kelamin yang kuat sehingga darah perawannya tak keluar atau dulu mungkin saja sebelum menikah dulu, anak permaisuri Banowati pernah jatuh dari kuda sehingga darah perawannya keluar duluan.” Patih Sengkuni justru berpendapat lain “anak prabu ini raja besar. Raja terkaya di seluruh Jawadwipa ini. Lalu apa kata orang nanti kalau permaisuri raja pernah berzina dengan orang lain? Ini masalah wibawa dan juga kelangsungan Hastinapura kelak. Kalau sampai anak yang dikandung anak mas permaisuri adalah benar anak Arjuna, bisa bahaya. Bisa jadi musuh dalam selimut.” Prabu Duryudana bimbang hatinya. Di satu sisi membenarkan apa yang diucapkan guru dan iparnya, di satu sisi dia juga percaya ada sang paman patih. Setelah menimbang-nimbang ia pun mengambil jalan tengah “ baiklah biar aku yang tahu kebenarannya. Kalau anak yang dilahirkan dinda Banowati laki-laki maka itu putraku tapi bila yang lahir adalah perempuan maka dia adalah anak Arjuna dan dinda Banowati akan kuusir dari Hastinapura.” setelah mengambil sumpah itu, Prabu Duryudana membubarkan mereka dan segera masuk ke kedaton.

Di kedaton Dewi Banowati, sang permaisuri dan Dewi Srutikanti, kakak keduanya sedang mebicarakan tentang hal-hal mempersiapkan kelahiran. Dewi Banowati segera menyambut kedatangan suaminya namun Prabu Duryudana bersikap kecut. Prabu Duryudana malah berterus terang akan sumpahnya itu di depan sang istri. Dewi Banowati seketika lemas dan pucat mendengarnya. Dewi Srutikanti segera memapah adiknya itu dan menegur Prabu Duryudana “adhimas, aku kecewa pada keputusanmu tadi. Sebagai suami, harusnya kau memberikan kepercayaan. Bukan mempertanyakan hal semacam itu.” Prabu Duryudana menjadi serba salah lalu dia menuju sanggar untuk merenung.


Tak terasa sudah hampir dua bulan berlalu, hari persalinan Dewi Banowati kian dekat. Di saat demikian,  tiba-tiba seorang bawahan Prabu Duryudana, yaitu menteri Madrajaya memberontak karena tak puas dengan kepemimpinan Prabu Duryudana dan membuat negara sendiri di timur kerajaan di hutan Saroja. Prabu Madrajaya menamakan kerajaannya itu kerajaan Sarojawinangun. Prabu Duryudana murka dan lalu dia berangkat berperang bersama sang ipar, Adipati Karna. Patih Sengkuni juga turut ikut bersama para Kurawa lainnya karena Prabu Madrajaya ini terkenal sakti sekali. Para Kurawa yang bersatu pun belum tentu bisa mengalahkannya sekali serang. Di kedaton, Dewi Srutikanti tetap menemani adiknya. Dewi Banowati sembari memegang perutnya sangat khawatir bila dia diusir dari Hastinapura apabila dia melahirkan bayi perempuan kemudian Dewi Banowati berterus terang “kanda dewi, aku mau berterus terang. Sebenarnya sebelum aku menikah dengan kanda prabu, aku dan kanda Arjuna terlibat kecelakaan cinta sewaktu dipaes dulu. Tapi karena aku dalam keadaan setengah tidur awalnya aku mengira itu cuma mimpi.” Dewi Srutikanti seketika berubah raut mukanya. Marah tak terhingga mendengar penuturan adik yang paling disayanginya itu pernah mencoreng wajahnya sendiri dengan abu perzinahan. Dia berusaha untuk tetap tenang. Tak berapa lama, kakak kedua Dewi Banowati itu tiba-tiba teringat akan salah satu istri Raden Arjuna yaitu Dewi Manuhara yang juga teman sekaligus putri gurunya dahulu saat masih berguru pada Resi Sidiwacana. Untuk mencegah hal-hal tak diinginkan tersebar di Hastinapura, Dewi Srutikanti segera membawa sang adik keluar keraton sore itu. Dia segera mengambil kereta dan segera bertandang ke desa Andong Sumawi dengan Dewi Srutikanti menjadi kusir kereta.


Di hari yang sama, Raden Arjuna mendapatkan kabar bahawa Dewi Manuhara telah melahirkan anak perempuan. Namun di tengah jalan Raden Arjuna dan para punakawan mendapat gangguan para denawa sehingga mereka sampai di sana tengah malam. Sesampainya di ujung desa Andong Sumawi, samar-samar dia melihat sebuah kereta mahal parkir di depan rumah istrinya itu.

Arjuna bertanggung jawab atas kehamilan Banowati
Ketika masuk, dirinya mendapati istrinya sedang bersama Dewi Srutikanti dan Dewi Banowati yang sedang hamil tua. Dewi Srutikanti tiba-tiba menarik tangan Arjuna lalu keluar rumah dan meminta penjelasannya“Arjuna, kebetulan kau datang. Aku butuh kejelasanmu. Adiiku tadi bercerita kalau kalian pernah melakukan hubungan terlarang. Ceritakan apa yang kalian lakukan dulu” Arjuna merasa tersudut dan menceritakan segalanya” Kanda Dewi aku bisa jelaskan. Yang dikatakan dinda Banowati benar. Kami pernah berena-ena sebelum pernikahannya dengan kanda Prabu Duryudana. Saat sedang dipaes, kami sama-sama terlena dan kami kelepasan. Kami jatuh dalam kubangan dosa zina.” Dewi Srutikanti seketika memerah padam dan memarahi Raden Arjuna “Setan mana yang merasuki kalian? Aku tak habis pikir. Sempat-sempatnya kalian melakukan kehinaan yang rendah begini. Kini adikku mengandung tanpa tahu ini anak siapa yang dikandungnya. Kanda Prabu akan mengusir dinda Banowati kalau bayi yang dilahirkannya perempuan. Kau harus bertanggung jawab bila anaknya perempuan dan carikan anak laki-laki penggantinya.” “jangan khawatir kanda dewi, aku akan bertanggung jawab. Aku tak akan membiarkan dinda Banowati dan anakku diusir kanda Prabu Duryudana.” Tiba-tiba dari dalam rumah, terdengarlah suara Dewi Banowati meringis kesakitan. Perut besarnya terasa sakit melilit tanda akan melahirkan.  Dewi Srutikanti dan Dewi Manuhara segera membantu Dewi Banowati melahirkan. Benar saja, bayi yang dilahirkannya adalah bayi perempuan. Karena melahirkan dengan perasaan yang terlalu cemas dan dilanda ketakutan, Dewi Banowati tak kuat lalu pingsan. Setelah membersihkan sang bayi, Dewi Srutikanti kemudian menyerahkan bayi yang dilahirkan Dewi Banowati kepada Arjuna.

Raden Arjuna kemudian mendatangi istrinya, Dewi Manuhara. Dewi Manuhara kemudian mengajaknya masuk ke kamar. “kanda , lihatlah itu putri kita. Namanya Pergiwa. Ayahanda yang memberinya nama itu. “iya dinda. Dia cantik manis seperti kamu, sayangku.” Raden Arjuna kemudian terpikir untuk menitipkan anak hasil perselingkuhannya dengan Banowati pada istrinya itu. “dinda, kau sudah mendengar sendiri kan aibku dan dinda Banowati. Dinda Banowati akan diusir kanda Prabu Duryudana bila melahirkan bayi perempuan. Aku mohon padamu rawatlah anakku dengan dinda Banowati bersama putri kita. Rawatlah dengan penuh kasih sayang.” “kanda bukan aku tak mau, tapi aku berat rasanya. Kanda dan dinda Banowati yang berbuat tapi kenapa aku juga ikut menanggung? Aku keberatan” tiba-tiba bayi putri Dewi Banowati itu menangis. Dewi Manuhara terguggah sifat keibuannya. Ia segera mengmbil bayi perempuan itu dari gendongan sang suami dan menyusuinya. Sang bayi langsung diam dan meneguk air susu sang ibu tiri dengan lahap. Melihat kecantikan bayi itu mirip sekali dengan putri kandungnya, Dewi Manuhara merasa bahagia, tak lagi berat hati. Dia merasa mendapatkan dua orang anak sekaligus. Dewi Manuhara bersedia merawat bayi itu dan menjadikannya adik Dewi Pergiwa. Ia kemudian menamai putri barunya itu, Dewi Pergiwati. Arjuna sangat senang dan bahagia dengan ketulusan sang istri. Dia lega karena masalah pertama sudah selesai. Kini tinggal mencari bayi lak-laki pengganti untuk diserahkan pada Dewi Banowati. Dewi Manuhara lalu teringat akan ayahnya. Ayahnya sekarang berada di hutan Pringgabaya menemui teman lamanya, Ratu Clekutana. Kabarnya putri sang ratu hutan itu, yaitu Nini Mirahdinebak melahirkan anak laki-laki tanpa ayah. Mendengar kabar itu, Raden Arjuna segera pamit pada sang istri dan Dewi Srutikanti ke hutan Pringgabaya. para punakawan oleh Raden Arjuna disuruh untuk kembali ke Amarta.


Berkat ajian Sepi Angin dan Lisah Jayengkaton, Arjuna dapat menemukan istana Pringgabaya dalam waktu singkat. Tampak disana Raden Arjuna disambut gembira oleh para prajurit makhluk halus. Disana duduklah Ratu Clekutana di takhtanya. Di sampingnya ada Resi Sidiwacana, mertuanya dan Nini Mirahdinebak sedang duduk sembari menggendang bayi laki-laki. Resi Sidiwacana bertanya, “Arjuna, anakku. Ada keperluan apa datang kemari?” Raden Arjuna kemudian berterus terang dan menceritakan segalanya termasuk derita batin Dewi Banowati yang akan diusir bila melahirkan bayi perempuan dan tentang anaknya dengan Dewi Banowati yang kini diterima dan dirawat Dewi Manuhara. Kini anak itu dijadikan adik Pergiwa dan dinamai Pergiwati. Sekarang Arjuna ingin agar anak Nini Mirahdnebak dibawa ke Hastinapura dan dijadikan anak Prabu Duryudana. Ratu Clekutana kemudian berkata “Anakku arjuna. Aku tau kau bermaksud baik tapi kurasa itu sangat aneh. Kau yang melakukan, kau juga yang harus menanggung. Aku tak rela kalu cucuku ikut terbawa masalahmu . Aku berat bila cucuku kau bawa ke Hastinapura.” Nini Mirahdinebak tergetar mendengarnya. Sebagai sesama perempuan, derita yang dialami Banowati dapat ia rasakan meskipun hanya diceritakan oleh Arjuna. Nini Mirahdinebak kemudian angkat bicara “tunggu, kanjeng ibu. Aku tak keberatan bila anakku harus dibawa ke Hastinapura. lagipula anakku ini putra kandung kanda Duryudana. Sudah sepatutnya dia ikut tinggal bersama ayahnya” Semua yang ada disitu tertegun. Bagaimana mungkin dia bisa bicara kalau itu anak kandung Prabu Duryudana. Kemudian Nini Mirahdinebak menceritakan rahasianya “semua bermula saat kanda Prabu Duryudana bersama kanda Arjuna dan bapa resi mencari gajah putih untuk syarat pernikahannya dahulu. Sewaktu kanjeng ibu dan yang lainnya keluar dari istana untuk melihat gajah putih waktu itu, aku membawa kanda Prabu ke taman belakang istana dan membuat syarat sendiri. Aku bersedia ikut dan akan memberikan gajah Murdaningkung secara cuma-cuma sebagai hadiah, asalkan kanda Prabu Duryudana mau bersenggama denganku. Kanda Prabu Duryudana setuju dan kami melakukan senggama di taman belakang. Itu sebabnya aku bisa mengandung anak kanda Prabu Duryudana” Raden Arjuna merasa kesal sendiri. Prabu Duryudana menuduh Dewi Banowati berselingkuh, padahal dia sendiri juga berselingkuh. Kemudian Nini Mirahdinebak menyerahkan anak laki-lakinya itu pada Raden Arjuna. Arjuna merasa berterimakasih dan menggendong bayi itu. ia kemudian memohon pamit untuk kembali ke desa Andong Sumawi bersama Resi Sidiwacana.


Kentongan telah berbunyi tiga ketuk pertanda sudah jam tiga dinihari. Di desa Andong Sumawi, Dewi Banowati telah siuman. Dewi Srutikanti menjelaskan bahwa bayi yng dilahirkannya perempuan. Lalu Dewi Banowati bertanya “Kanda Dewi, dimana bayi ku sekarang? “ “tenang dinda dewi, bayimu sekarang dirawat kanda Dewi Manuhara. Kau lihat itu “ Dewi Banowati melihat Dewi Manuhara menyusui putrinya itu dengan penuh kasih. Dewi Banowati bersyukur karena putrinya dirawat oleh orang yang tepat yaitu pada salah satu istri Arjuna. Lalu datanglah Raden Arjuna dan Resi Sidiwacana. Mereka bertiga menyambut kedatangan mereka. Dewi Srutikanti kemudaian bertanya pada Arjuna “Arjuna, bayi siapa yang kau bawa itu?” “ini anak kandung kanda Prabu Duryudana dengan Nini Mirahdinebak. Kebetulan laki-laki. Menurut keterangan Nini Mirahdinebak, Dahulu saat mencari syarat gajah putih, kanda Prabu Duryudana harus memenuhi syarat yang dimintanya. Kanda prabu memang mendapatkan gajah putih yang diminta tapi harus senggama dengan sang pawang, Nini Mirahdinebak lebih dahulu dan ini buahnya. Begitulah ceritanya.” Walaupun agak kesal, Dewi Banowati menerima bayi itu. Dewi Srutikanti menggerutu begitupun Dewi Banowati “dinda Prabu Duryudana memang semaunya sendiri. Dia bilang istrinya selingkuh, padahal dia sendiri berselingkuh. Aku bahkan tak habis pikir. Dewata agung sepertinya menakdirkan hubungan kalian berdua bagaikan benang merah karmapala, rumit dan tak putus.” “benar kanda dewi. Dulu dia mengataiku tak perawan, padahal dia sendiri sudah tak perjaka. Dia dengan entengnya mengata-ngatai bayi perempuanku, tapi kanda prabu tak sadar diri. Buah terlarangnya dengan dinda Mirahdinebak dilupakan.” Sembari menggendong anak kandung Prabu Duryudana dengan Nini Mirahdinebak itu, Dewi Banowati bersumpah untuk merawat putra tirinya dengan sepenuh kasih “Dinda Mirahdinebak, aku janji padamu. Mulai sekarang, anakmu tak akan menderita ditelantarkan ayahnya lagi.”


Tabuh kentongan mulai terdengar sayup-sayup empat kali pertanda sudah jam empat subuh. Dewi Banowati dan Dewi Srutikanti harus segera kembali ke Hastinapura. Sebelum berpamitan, Dewi Srutikanti mengingatkan Arjuna agar tak mengusik rumah tangga Dewi Banowati. Raden Arjuna berjanji tak akan mengusik pagar ayu kehidupan Dewi Banowati. Setelah itu mereka segera melesat menuju Hastinapura.

Pagi pun tiba, rupanya perang antara Hastinapura dan Sarojawinangun belum juga berakhir. Prabu Madrajaya sangat kelewat sakti bahkan mampu membuat para Kurawa terdesak. Adipati Karna, Patih Arya Sengkuni, Arya Dursasana, Arya Kartamarma, Arya Citraksa, Arya Citraksi, dan beberapa Kurawa lain yang ikut berperang berhasil ditawan musuh.dengan jumawanya, Prabu Madrajaya mengolok-olok Prabu Duryudana ”Huahahahaha, hei Duryudana lihatlah. Adik-adikmu, iparmu, dan paman patihmu telah aku tawan. Kau tak lagi bisa berkutik.” Prabu Duryudana murka dan gelisah lalu dia mengarahkan para prajuritnya untuk terus menyerang Prabu Madrajaya. Di tengah suasan kalut dan kacau, Resi Dorna mengusulkan untuk minta bantuan para Pandawa “Anak Prabu. Kita sudah ketiwasan. Kita harus minta bala bantuan. Aku akan ke Amarta untuk minta bantuan anak prabu Yudhistira.” “kurasa kita tak ada pilihan lain. Pergilah bapa guru. Mintalah bantuan para Pandawa.”

Di negeri Amarta, Prabu Yudhistira dihadap Arya Wrekodara, Raden Nakula dan Raden Sadewa. Di tengah pertemuan, datanglah Resi Dorna. “anak Prabu Yudhistira, bantulah aku dan anak Prabu Duryudana. Anak prabu dan pasukan Hastinapura kini sedang berperang dengan pemberontak Madrajaya di Sarojawinangun tapi sekarang malah ketiwasan. Anak Prabu Duryudana dan adik-adiknya kini kelabakan karena kesaktian Madrajaya.” Arya Wrekodara menanggapi sang guru “Bapa guru, tidakkah kau sadar kalau itu semua terjadi karena raka Duryudana kelewat sombong, sok berkuasa. Sok membanggakan diri sebagai raja diraja dari dulu, seakarang ini balasannya.  Dulu juga kami sering diliciki dia. Aku gak sudi menolongnya.” Prabu Yudhistira kemudian mengingatkan adik nomor duanya itu“Adhi Bima, jangan berucap begitu. Mau bagaimanapun Hastinapura itu negeri leluhur kita, kampung halaman kita. Sekarang raja Hastinapura sedang susah, kita juga harus andil. Kalau adhi tidak mau, biar aku saja yang turun tangan.” Arya Wrekodara menimbang-nimbang dan akhirnya dia mau. Arya Wrekodara segera pamit kepada sang kakak lalu berangkat bersama Resi Dorna. Di tengah jalan, mereka bertemu para punakawan yang tadi disuruh balik ke Amarta. Sekarang para Punakawan memutuskan ikut Arya Wrekodara ke Sarojawinangun.


Sesampainya di kerajaan Sarojawinangun, Arya Wrekodara segera menghadapi pasukan Prabu Madrajaya. Pertarungan itu membuat penjagaan menjadi lemah sehingga Resi Dorna bisa melepaskan Adipati Karna dan semua pengikutnya dari penjara. Arya Wrekodara dan Prabu Duryudana bersama-sama memukul habis semua pasukan yang menghalangi dengan gada saktinya. Prabu Madrajaya kemudian keluar dan langsung berhadapan dengan Arya Wrekodara. Pertarungan gada antara Prabu Madrajaya dan Arya Wrekodara sangat dahsyat sehingga keraton Sarojawinangun rusak parah. Melihat keraton kebanggaannya rusak dan hampir rata dengan tanah, Prabu Madrajaya menjadi lengah dan kepalanya terkena hantaman gada dari Arya Wrekodara. Kepalanya seketika remuk dan langsung roboh ke tanah. Prabu Madrajaya tewas seketika dan sukmanya melayang ke angkasa. Prabu Duryudana, Adipati Karna, Patih Sengkuni, Resi Dorna, dan para Kurawa segera mendatangi Arya Wrekodara. Prabu Duryudana merasa senang. Kerajaan Sarojawinangun sudah ditaklukan dan wilayah Kerajaan Hastinapura menjadi semakin luas. Prabu Duryudana kemudian mengajak Arya Wrekodara untuk ke Hastinapura, berpesta bersama sebagai ungkapan syukur. Resi Dorna menjamin kali ini Prabu Duryudana dan para Kurawa tidak akan berbuat licik padanya “anakku Bima Wrekodara. Jangan khawatir. Anak Prabu Duryudana dan adik-adiknya tak akn berbuat licik lagi. Aku yang jamin” “gak usah khawatir, bapa guru. Aku gak takut lagi. Lagipula sejak peristiwa Pramanakoti, aku sudah kebal segala racun.” Demikianlah, Prabu Duryudana dan rombongannya kembali ke Hastinapura dengan wajah riang gembira.


Di keraton Hastinapura, umbul-umbul kemenangan berkibar di semua tempat. Iring-iringan Prabu Duryudana bertaburan berbagai kembang warna-warni. Sesampainya di keraton, Dewi Banowati dan Dewi Srutikanti menyambut kedatangan mereka. Prabu Duryudana kemudian bertanya pada istrinya “Dinda Banowati, kau sudah melahirkan. Jadi apa kelamin anakmu? Laki-laki atau perempuan?” Dewi Banowati menyerahkan bayi yang digendongnya untuk diperiksa sendiri oleh sang suami. Alangkah bahagianya Prabu Duryudana, setelah diperiksa, kelamin si bayi itu ternyata laki-laki. Patih Sengkuni menanggapi dengan sinis “anak prabu. Lubang ular bentuknya sekilas mirip lubang yuyu. Jangan gampang tertipu kalau hanya modal jenis kelamin. Coba periksa betul-betul. Bisa jadikan itu bayi ditukarkan dengan bayi laki-laki milik orang lain.” “paman patih kalau kau tidak percaya. Kau bisa melihatnya sendiri. Mirip siapa bayi ini, mirip kanda Prabu atau orang lain?”  Dewi Banowati mempersilakan patih Sengkuni melihat langsung dan alangkah terkejutnya sang patih melihat wajah si bayi mirip sekali dengan Prabu Duryudana. Sekarang Prabu Duryudana tak ragu lagi dan menerima si bayi itu sebagai putranya. Kemudian Prabu Duryudana meminta maaf pada Dewi Banowati lalu bersumpah “dinda maafkan kecurigaanku yang berlebihan. Mulai hari ini aku, Duryudana. Raja agung dari Hastinapura. Disaksikan para dewa di kahyangan aku bersumpah tidak akan menikah lagi, tak akan mengambil selir, tidak akan bermain gundik untuk selama-lamanya. Aku berjanji akan selalu menyayangimu selamanya.” Lalu bergugranlah bunga-bunga harum semerbak dari angkasa pertanda sumpah itu didengar para dewa. Dewi Banowati merasa bahagia. Arya Wrekodara yang sejak dulu selalu berselisih dengannya, terharu karena sadar bahwa hati sang sepupu itu sangat tulus pada cintanya. “raka Duryudana, sebaiknya kau segera beri nama putramu.” “aku bingung, rayi Sena. sejak awal aku curiga pada dinda mengandung anak permpuan. Enaknya mau kasih nama siapa? Biar dinda Banowati saja yang kasih nama “ Dewi Banowati kemudian berkata “kanda Prabu, aku teringat jaman dulu ada seorang ksatria pemberani, adik Sri Rama yang bernama Lesmana. Jadi aku usulkan agar putra kita beri nama Raden Lesmana.” Tiba-tiba Patih Sengkuni menyela karena teringat sesuatu “tunggu jangan diputuskan dulu, anak prabu. Seperti yang kita tahu, di dalam kitab Ramayana, Raden Lesmana itu orangnya sangat tampan bahkan setara dengan kakaknya, Sri Rama dan mahir memanah pula. Aku pernah mendengar ada yang bilang sukma Raden Lesmana sekarang menitis pada Arjuna. Aku curiga jangan-jangan anak permaisuri Banowati ini masih terbayang-bayang cinta Arjuna sampai menamai anak memakai nama Lesmana?” Prabu Duryudana menjadi bimbang karena hasutan sang paman patih. Dewi Banowati juga terdiam bingung ingin menjawab apa karena dalam hatinya masih terpendam bara cinta pada sang mantan kekasih.


Ki Lurah Semar kemudian menengahi “Hmmmm blegedang blegedug.......ndara prabu Duryudana. Jangan ragu, jangan bimbang. Seorang raja tak boleh ragu akan keputusannya. Lagipula dalam kisah Ramayana, Lesmana walaupun tampan tapi dia hidup wahdat, tak pernah menikah. Tapi kau lihat ndara Arjuna, istrinya sudah ada lebih dari dua. Lagipula apalah arti dari sebuah nama. Nama itu juga doa dari orang tua. Kalau masalah nama saja ndara prabu ragu, ndara harus berpikir ulang lagi tentang perasaan ndara permaisuri. Ndara adalah raja agung Hastinapura. Ndara Prabu jangan memperlihatkan keraguan, bisa-bisa negara yang Hastinapura yang ndara pimpin kacau kalau pemimpinnya sering merasa ragu dan bimbang“


Menimbang usia Ki Lurah Semar yang sudah ratusan tahun dan juga berwawasan luas, Prabu Duryudana pun menerima saran darinya. Tidak ada alasan lagi untuk meragukan sang istri apalagi hanya untuk urursan nama karena nama juga sebuah doa untuk sang putra kelak. Maka Prabu Duryudana memutuskan anaknya diberi nama Raden Lesmana bahkan dia menambahkan nama Mandra yang atinya keturunan Mandaraka, mengingat sang permaisuri adalah keturunan raja Mandaraka. Ketika Prabu Duryudana menggendong putranya, tiba-tiba dari angkasa turun seberkas cahaya terang lalu menitis pada Raden Lesmana Mandra. Sejak dititisi cahaya itu, wajah Raden Lesmana Mandra menjadi semakin mirip prabu Duryudana namun dengan raut yang agak bodoh, kadang tertawa kadang menangis sendiri.

Lesmana Mandrakumara lahir
Prabu Duryudana dan Dewi Banowati khawatir takut itu adalah teluh dari orang yang berniat jahat. Lalu terdengar suara dari angkasa “Duryudana, putramu terpilih sebagai tempat penitisan Prabu Madrajaya yang baru saja kau kalahkan.” Setelah suara itu menghilang, prabu Duryudana menjadi gemetar karena putranaya adalah titisan musuhnya. Resi Dorna menasehati sang raja agar tidak takut  “anak prabu. Tak ada yang perlu ditakutkan. Mungkin ini adalah bentuk karmapala yang harus dijalani Prabu Madrajaya. Dulu dia musuh anak prabu, sekarang harus hidup kembali sebagai putra yang harus tunduk padamu, anak prabu.” Prabu Duryudana menjadi senang mendengar bekas musuhnya kelak akan selalu patuh tunduk padanya sebagai putra. Prabu Duryudana kemudian berkata “ karena putraku adalah titisan bekas musuhku yang kini akan selalu atuh padaku, nama putraku akan kutambah menjadi Lesmana Mandrakumara.” Setelah itu mereka mengadakan pesta syukuran menyambut kelahiran sang calon putra mahkota Hastinapura itu. Demikianlah, Raden Lesmana Mandrakumara telah lahir dan kelak saat dewasa ayahnya memberikan kerajaan Sarojawinangun kepadanya sebagai dalem kesatriyan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar