Senin, 23 Desember 2019

Prabu Batara Dewa Amral (Pandu Swarga)


Salam semua, semoga pembaca mendapatkan rahmat dari Yang Maha Kuasa. Kisah kali ini menceritakan Prabu Yudhistira bertriwikrama menjadi raksasa untuk menyelamatkan adik-adiknya di kawah Candradimuka/neraka. Kisah ini juga mengisahkan derita orang tua para Pandawa, Prabu Pandu Dewanata dan Dewi Madrim di neraka. Kisah diakhiri dengan permintaan triwikrama untuk mengentas Pandu dan Madrim dari neraka diterima dewata. Kisah ini merupakan penggabungan dua lakon, yaitu Dewa Amral dan Pandu Swarga. Sumber kisah ini adalah blog albumkisahwayang.blogspot.com dan beberapa blog pedalangan lainnya.
Malam Sukra Umanis, Prabu Yudhistira dan keempat Pandawa melihat pemandangan serba indah bagaikan surga.  Di tengah pemandangan serba indah itu, mereka terlihat bahagia dan bersuka ria. Namun tiba-tiba pemandangan indah itu berubah mengerikan bagai neraka. Api menjilat dan membakar tubuh-tubuh manusia. Bau anyir darah tercium sehingga satu yojana. Di sisi lain neraka, udara dingin berbau busuk menyeruak membuat kulit dan daging melepuh. Di dasar neraka itu, para Pandawa melihat orang tua mereka, Pandu Dewanata dan Dewi Madrim disiksa dengan berbagai siksaan pedih. Mereka ditusuk perutnya dengan jarum besi sebesar tombak hingga isi perut mereka terburai lalu begitu tersungkur, punggung mereka disetrika dengan batu sepanas matahari dan disemprot air yang sangat dingin sedingin es berbau busuk sampai melepuh. Lalu di saat bersamaan, para Pandawa kecuali Prabu Yudhistira tiba-tiba diseret sesuatu dan ketika Prabu Yudhistira menghampiri, tiba-tiba pemandangan menjadi gelap dan menyesakkan dada. Di tengah kegelapan, Prabu Yudhistira melihat jutaan pasang mata mengerikan menatapnya dengan raut yang menghina dan melihat adik-adiknya berada dalam gentong besar dan hendak dicampakkan ke neraka. “Hentikan.... tolong Hentikan! Jangan ! Jangan!” teriak Prabu Yudhistira memecah keheningan malam. Prabu Yudhistira terbangun dari mimpinya. Keringat bercucuran dari wajahnya. Dewi Drupadi ikut terbangun kemudian menenangkan suaminya yang baru saja bermimpi buruk itu. “kanda, apa yang mengganggumu?” tanya Dewi Drupadi. Balas Yudhistira “tidak dinda. Aku hanya bermimpi buruk soal nasib kanjeng ayahanda dan ibu Madrim.” “kanda, mari kita ke sanggar. Kita berdoa agar kanjeng ayahanda dan ibu Madrim ditempatkan di tempat terbaik di sisi-Nya”
Di kahyangan Jonggring Saloka, Batara Guru dan Batari Durga kedatangan putra bungsu mereka, Dewasrani dari istana Nusarukmi di Kahyangan Dandangmangore. Dia datang berkeluh kesah “Kanjeng romo! Kanjeng ibu, aku sudah tak tahan lagi. Namaku disamai oleh Puntadewa dan ayahnya, Pandu Dewanata. Kalau Pandu sudah kanjeng romo beri hukuman, aku tidak puas. Aku juga ingin kanjeng romo menghukum Puntadewa. Di dunia ini tak boleh ada nama serba “dewa” kecuali para dewa itu sendiri. Kalo tidak dituruti, aku lebih baik mati mencebur ke Candradimuka“ sifat keibuan Batari Durga muncul.
Pernintaan konyol Dewasrani
Dia kasihan pada Dewasrani dan membujuk sang suami agar menuruti keinginan putra bungsunya itu. “suamiku, tolong turutilah keinginan putra bungsumu.” Batara Guru tidak tahan dengan ratapan Dewasrani. Akhirnya dia memutuskan “baiklah, baiklah... aku memutuskan raja Amarta itu harus dibawa ke neraka mau atau tidak mau. Kakang Narada aku tugaskan kau ke Amarta sekarang. Jemput Puntadewa Yudhistira kemari lalu buang dia ke neraka.” Batara Narada menjadi heran mendengarnya “welah dalah, adhi Guru. Ini tak masuk akal sama sekali. Apa salah pembarep Pandawa itu? kalo sekadar nama disamai, itu wajar. Lagipula yang bernama “dewa” bukan hanya dia. Ada adiknya, Raden Sadewa atau sepupunya, Prabu Baladewa. Kenapa harus dia yang dihukum? permintaan putra adhi Guru yang seorang dewa kenakalan dan dewa kejahilan terlalu kekanak-kanakan.” Batara Guru marah dan memaki sang tangan kanan “POKOKE RA PEDULI BLAS! Pokoke bawa si Puntadewa Yudhistira. Sekarang aku beri pilihan, ikuti perintahku atau kau kudepak dari kahyangan? kakang Narada sekarang keputusanmu.” “ adhi Guru, perintah memang perintah. Aku cuma mengingatkan saja. Adhi Guru, segala perbuatan ada karmapalanya, bahakan berlaku untuk kita para dewa.” Batara Narada segera turun ke marcapada menuju Amarta.
Perasaan tidak enak menyelubungi sanubari. Di kerajaan Dwarawati, laut nampak tak bersahabat seperti biasanya hari itu. Angin bertiup sangat kencang bagai badai. Gelombang pasang menghantam tembok pulau Dwaraka hingga membanjiri sebagian kotaraja. Prabu Kresna melihat gelagat awan di angkasa. Nampak tak biasa dan berputar-putar. Tiba-tiba salah satu pusaka di ruang pusaka bercahaya terang. Ketika di dekati rupanya pusaka Kaca Lopian memunculkan gambaran. Gambaran itu mirip sekali dengan mimpi Prabu Yudhistira yang mengerikan beberapa malam lalu. “jadi ini jawabannya, yang membuat aku tidak enak hati beberapa hari terakhir. Aku harus ke Amarta sekarang.” Prabu Kresna segera menaiki kereta Jaladara dan segera memecut pantas menuju Amarta.
Di kerajaan Amarta, Prabu Yudhistira sedang dihadap keempat adiknya, yaitu, Arya Wrekodara, Raden Arjuna, Raden Nakula, dan Raden Sadewa. Perasaan tidak enak terus menggelayuti pikiran dan hatinya. Mimpinya yang beberapa hari itu selalu berulang dan membuatnya tersiksa. Ketika mereka membahas masalah negara, tiba-tiba batara Narada turun dari angkasa. Para Pandawa segera menghaturkan sembah. Batara Narada datang untuk menyampaikan perintah dari Batara Guru yaitu Prabu Yudhistira harus membuang nama Puntadewa didepan gelar Yudhistira dan harus ikut Batara Narada untuk disiksa di neraka. Prabu Yudhistira terkejut lalu berkata “Puntadewa adalah nama lahirku. Yang memberiku nama itu ayahandaku, Pandu Dewanata. Sekarang ayahanda sudah meninggal, aku tak bisa membuang namaku begitu saja. Bawalah aku saja ke neraka menemani ayahanda dan ibunda Madrim. Masalah negara biar-adik-adikku yang mengurus.” “kakang Punta, jangan pergi ke neraka. Siapa yang akan memerintah negara?” Arya Wrekodara berusaha menahan kakaknya itu. dirinya kemudian berkata dengan tegas “pukulun Narada, aku bersedia menjadi ganti kakang asal kakang prabu jangan masuk neraka.” Lalu dari belakang Raden Arjuna dan si kembar juga menyatakan hal yang sama “aku juga bersedia. ” “kami juga, buat apa kami hidup tanpa kakang. kakang sudah menjadi pengganti ayahanda sejak kecil. ” batara Narada menjadi serbasalah. Dengan berat hati, seluruh Pandawa dibawa oleh Batara Narada kecuali Prabu Yudhistira. Dia dibebaskan sementara Arya Wrekodara, Raden Arjuna, Raden Nakula dan Raden Sadewa dimasukkan ke dalam gentong ajaib lalu oleh Batara Narada dibawa terbang ke kahyangan.
Hati prabu Yudhistira serasa diiris sembilu. Mata sembab dan dada sesak seakan ingin meluapkan segala yang ada. prabu Yudhistira hanya mampu terduduk dengan tertunduk. Lalu, datanglah Dewi Kunthi dan bertanya “Punta, dimana adik-adikmu?” Prabu Yudhistira menceritakan segalanya siapa tahu mendapatkan solusi. Namun bukan solusi yang didapat namun hal lain yang jauh lebih menyakitkan. Dewi Kunthi bersedih hati. Perasaan ibu mana yang tak terluka mendengar putranya pergi dibawa orang dan saudaranya tak mampu membela. Dewi Kunthi menjadi marah pada Yudhistira karena tak mampu melindungi adik-adiknya dari arogansi para dewa. Tak pernah dia melihat sang ibu menjadi semurka itu. Dengan berlinang air mata, Prabu Yudhistira berlari keluar keraton. Segala emosi yang menyelimutinya membuat kepala dan dadanya terasa berat. Tangan sang raja berdarah putih itu tanpa sengaja menyentuh dadanya yang sesak itu dan mengenai Kalung Robyong Mustikawarih.
Triwikrama Dewa Amral
Tiba-tiba, jantung Prabu Yudhistira tersentak keras, nafasnya terengah-engah juga pandangannya mulai kabur dan kosong. Bola matanya berputar-putar lalu memutih. Prabu Yudhistira hilang kesadaran, lalu dia berteriak keras. Suara teriakan itu tiba-tiba berubah berat menjadi erangan yang bergemuruh di angkasa dan secara ajaib, tubuhnya berubah menjadi semakin besar dan menakutkan. Prabu Yudhistira triwikrama menjadi raksasa mengerikan berkulit putih maha besar jauh lebih besar dari gunung Mahameru bahkan besarnya dua kali lipat triwikrama Batara Wisnu. Tangannya masing masing membawa kitab Jamus Kalimahusada, panah tajam, tombak, dan tangan satunya dalam posisi mudra. Rambut gimbalnya jauh lebih tajam dari segala pisau, keris, dan belati. Segala rasa takut, duka, luka, murka, dan kecewa menggulung akal sehatnya membangkitkan energi mahadahsyat. Duka kehilangan orang-orang terkasih tumpah menjadi kemurkaan yang mengerikan “HUWOOOO....... KALIAN PARA DEWA DENGARKAN INI. AKU BUKAN LAGI PUNTADEWA YUDHISTIRA YANG PENYABAR. AKU PRABU BATARA DEWA AMRAL. KEMBALIKAN ADIK-ADIKKU ATAU KU OBRAK-ABRIK SELURUH KAHYANGAN PARA DEWA! HUOOOOOOO!!!!!!”
Prabu Kresna terus memecut kereta Jaladara. Ketika hampir melewati tapal batas negara di desa Karang Tumaritis, tiba-tiba terdengar suara teriakan yang berubah menjadi erangan yang menggelegar. Suara itu datang dari luar kotaraja Indraprastha. Prabu Kresna menghentikan laju kereta. Prabu Kresna tiba-tiba merasa mual dan membayangkan aroma kematian karena ada hawa mengerikan yang tercipta dari ketakutan, duka, murka, dan kecewa yang sangat kuat. Di tengah lamunannya, Ki Lurah Semar mengejutkannya. Dia melihat Prabu Kresna tiba-tiba bersandar di bawah pohon. “Welah dalah Mbelegedug.... ada apa, ndara Prabu Kresna? Tiba-tiba menyandarkan diri?” “Ki Lurah, aku merasakan hawa mengerikan dari Amarta. Aku takut terjadi sesuatu pada para Pandawa.” “aku juga merasakan hal yang sama. Aku khawatir bila hawa mengerikan ini berkaitan dengan kahyangan. Semalam aku mendapat pesan gaib dari ayahku, Batara Padawenang. Katanya para Pandawa akan dihukum di neraka karena ulah Dewasrani.” Seketika Prabu Kresna berubah raut mukanya, kecut seperti menyimpan kedukaan. Batara Wisnu dalam dirinya seakan berbisik untuk berubah wujud menjadi Maha Brahalasewu. Tangan sang prabu Kresna menyentuh Panah Aji Kesawa dan seketika Prabu Kresna triwikrama menjadi raksasa besar berkulit hitam legam bertangan banyak. Tanpa banyak bicara, Maha Brahalasewu segera menuju kahyangan. Sementara Ki Lurah Semar memanggil anak-anaknya untuk menemui Raden Gatotkaca. “Gareng! Petruk! Bagong! sekarang aku mau nyusul Pandawa ke Jonggring Saloka. Kalian ke Pringgondani, panggil ndara Gatotkaca untuk menjaga Amarta.” “asiquuee, akhirnya jalan-jalan “seloroh bagong. Gareng menimpalinya “Ngawur kamu, Gong. Bapak nyuruh jaga negara dibilang jalan-jalan” Petruk kemudian menengahi “sudah-sudah, kang Gareng. Yuk jalan. Gausah kayak emak-emak ghibah.” Mereka bertiga pun berangkat.
Sementara itu, Batara Narada dan keempat Pandawa telah tiba di Jonggring Saloka. Batara Guru bertanya “ kok malah mereka berempat? Puntadewa Yudhistira kemana? “ dengan santainya, Arya Wrekodara berkata “Maaf pukulun, nyawa kakak kami jauh lebih berharga untuk dikorbankan demi permintaanmu yang tak masuk akal itu. Kami saja yang turun sebagai ganti korban,” batara Guru bertanya pada Dewasrani apakah nyawa keempat Pandawa itu cukup untuk menebus kesalahan Prabu Yudhistira. Dewasrani berpikir inilah kesempatan untuk menyebarkan kenakalannya diantara manusia. Dengan lenyapnya empat Pandawa, segala sifat nakal dan arogannya akan menyebar di muka bumi lebih mudah. Masalah Prabu Yudhistira bisa dikesampingkan dan bisa dia habisi kapan saja. Lalu dia berkata “ayahanda, keempat Pandawa sudah cukup bagiku” batara Guru kemudian memanggil Batara Yamadipati untuk menggiring keempat Pandawa ke Kawah Candradimuka di dasar neraka.
Sesampainya disana, Raden Arjuna berkata “Pukulun Yamadipati, sudah sampai disini saja tugasmu. Biar kami sendiri yang terjun ke dasar.” Batara Yamadipati mempersilakan. Begitu tubuh keempat Pandawa menyentuh lahar kawah yang mendidih itu, terjadi keajaiban. Neraka kawah Candradimuka yang panas tak terkira tiba-tiba berubah menjadi sejuk. Lahar yang tadinya bergejolak mendadak berhenti dan berubah menjadi sedingin air pegunungan. Para Kingkara mendadak keluar dari neraka dan heran kenapa suasana neraka berubah sejuk. Di dasar neraka, empat Pandawa melihat dua orang yang familiar. Mereka tak lain adalah Prabu Pandu Dewanata dan Dewi Madrim yang sudah berbadan ruhani. Keempat Pandawa menangis terharu terutama Nakula dan Sadewa lalu memeluk kedua orang tuanya itu. Arya Wrekodara dan Raden Arjuna memluk Pandu Dewanata sedangkan Nakula dan Sadewa memeluk sang ibu, Dewi Madrim. “anak-anakku, bagaimana kabar kalian? Ibu Kunthi bagaimana?” tanya Prabu Pandu Dewanata memecah keharuan “Arya Wrekodara menjawab dengan bahasa polosnya “syukur pada Ida Sanghyang Widhi, kami baik-baik saja. Kanjeng ibu Kunthi sehat.” Dewi Madrim bertanya “anak-anakku, bagaimana dengan kabar di Marcapada?” Raden Nakula berkata “di Marcapada baik-baik saja. Hastinapura tetap damai sentosa di perintah kanda Prabu Duryudana. Untuk mengurangi ketegangan kami dan kakang para Kurawa, Kami berlima telah berjaya mendirikan Kerajaan Amarta. Mandiri dan merdeka dari Hastinapura” Kedua orang tua Pandawa itu menangis haru mendengar keberhasilan para putra mereka. Raden Sadewa kemudian bertanya, “Ayahanda! Kanjeng ibu! Saat kami mencebur ke kawah neraka ini aneh rasanya. Kok tidak terasa panas sama sekali bahkan udaranya terasa sangat sejuk?” Prabu Pandu Dewanata menjelaskan bahwa neraka Candradimuka ini akan terasa sejuk bila yang diceburkan ke dalamnya adalah orang berhati baik dan tulus. Arya Wrekodara dan ketiga adiknya bersyukur karena mereka bukan digolongkan orang yang berhati jahat. Tiba-tiba mereka dikejutkan dengan suara keras yang amat memekakkan telinga dari luar Candradimuka.
Suara keras itu terdengar dari Lawang Selomatangkep. Datang sesosok raksasa putih tinggi besar bertangan enam bernama Prabu Batara Dewa Amral mengamuk dan menghancurkan pos jaga Batara Cingkarbala dan Balaupata. Lawang Selomatangkep juga dibuka paksa sampai berderit keras. Para dewa, para bidadara dan bidadari, berlarian kesana-kemari karena panik. Begitu memasuki kahyangan, para dewa menyerang raksasa itu namun segala serangan itu tak sat pun mempan malah berbalik pada mereka sendiri. Suara erangan dan teriakannya menggoncang kahyangan dan gunung Mahameru. Lalu dia tendang segala benda dibawah kakinya dan mencabuti segala pepohonan, bangunan, bebatuan besar, dan tanah cadas lalu dilemparkannya ke segala arah. Kahyangan Jonggring Saloka rusak berat dibuatnya. Taman Karang Kaendran berubah tertutup tanah dan batu, hampir tak bersisa. Takhta Madeprawaka bergeser dari tempatnya. Balai Marakata dan Balai Marcukunda terlempar dan hampir rubuh. Gunung Mahameru longsor dan memuntahkan awan panas yang menyesakkan. Para bidadara dan bidadari yang dipimpin Batara Indra beramai-ramai turun ke Marcapada menyelamatkan diri. Para dewa yang masih bertahan seketika ciut nyali bahkan pingsan karena hawa membunuh yang dipancarkan Dewa Amral sangat kuat dan begitu mengerikan, bahkan Batara Guru dan Batari Durga ikut merasa mual karenanya “HUWOOOOO AKAN KU HANCURKAN SELURUH KAHYANGAN DEWAAAA...!!!” Dewa Amral kemudian terjun ke Kawah Candradimuka di dasar neraka.
 Sesampainya di dasar dia melihat keempat adiknya bersama sepasang pria dan wanita. Dewa Amral datang lalu bersimpuh di hadapan mereka. Mata sang raksasa sembab karena tahu yang dihadapannya itu Prabu Pandu dan Dewi Madrim, ayah dan ibunya yang telah lama meninggalkan mereka. Prabu Pandu Dewanata memeluk Dewa Amral “walau kau berubah wujud seperti ini. Aku mampu mengenalimu putraku, Puntadewa.” “AYAHANDA ! KANJENG IBU! TUGAS KAMI BERLIMA DI DUNIA MASIH BANYAK. AKU AKAN MEMBAWA MEREKA KELUAR DARI NERAKA INI!. AKU JUGA AKAN MENGENTAS KALIAN DARI NERAKA DAN KU BAWA KE SWARGA MANILOKA.” “putraku, kami tidak sengsara selama tinggal di neraka karena amal-amal baik kalian dalam membela kebenaran dan keadilan . Sebalikanya walaupun kami tinggal di Swarga Maniloka, kami akan merasa tersiksa bagai di neraka jika kalian berbuat jahat di Marcapada. Apapun keputusanmu, kami akan bahagia bila itu untuk kebaikan semua” Dewa Amral mengangkat keempat adiknya keluar dari neraka dan segera meminta keadilan pada Batara Guru agar kedua orangtuanya dimasukkan ke Swarga Maniloka. Kemudian sampailah mereka di depan takhta Madeprawaka. Batara Guru dan Batara Narada datang lalu bertanya “Dewa Amral, perihal nama “dewa” kau sudah tahu aku melakukan itu karena ulah Dewasrani, putraku. Tolong maafkan lah dia.” “BATARA GURU, PERIHAL NAMA “DEWA” DAN DEWASRANI BISA AKU LUPAKAN. TAPI SEKARANG SAATNYA KEADILAN. DALAM MIMPI, AKU MENYAKSIKAN SENDIRI AYAH DAN IBUKU HIDUP DI NERAKA, DISIKSA. DOSA-DOSA AYAHANDA DAN KANJENG IBU SUDAH LEBUR SETIMPAL DENGAN AZAB YANG DITERIMA. AKU KESINI MINTA KEADILAN AYAHANDA DAN KANJENG IBU MASUK SURGAAAAA......!!!” Batara Guru diam seribu bahasa tidak memberikan jawaban. Dewa Amral tak sabar lagi lalu mengamuk berniat menghancurkan seluruh kahyangan. Batara Guru marah kemudian menembakkan sinar trinetra namun meleset. Karena lengah, Batara Guru berhasil digenggam Dewa Amral. Batara Narada menjadi ketar-ketir. Kahyangan kacau dan kini Batara Guru tertangkap Dewa Amral. Lalu datanglah Maha Brahalasewu untuk meredam amarah Dewa Amral. Dewa Amral menjadi semakin marah dan terus menggenggam Batara Guru dengan kuatnya. Tiba-tiba tangannya ditampik dan Batara Guru terbebas dari cengkraman. Ketika menoleh rupanya Maha Brahalasewu sudah ada di depannya. Dewa Amral balas menyerang Maha Brahalasewu. Dewa Amral lalu membawa Maha Brahalasewu ke tengah lapangan Repat Kepanasan.
Dewa Amral melawab Maha Brahalasewu
Kedua triwikrama itu bertarung tanpa henti. Seluruh kahyangan berguncang hebat. Keduanya bagaikan Batara Wisnu dan Batara Dharma yang sedang berperang tanding. Kerusakan di alam kahyangan membuat bumi gonjang-ganjing, langit kolap kalip, hawa panas dan dingin bercampur menciptakan topan badai dahsyat.
Batara Narada khawatir kalau kahyangan benar-benar hancur. Batara Narada tiba-tiba mendapat pesan gaib dari Batara Padawenang di Alang-alang Kumitir “Narada, cari jago agar kedua triwikrama itu tenang. Jago itu sekarang ada di Amarta. Dia adalah perempuan dengan rambut berhiaskan jepit bunga teratai.” Batara Narada merasa ini kesempatan untuk menghentikan Dewa Amral dan meredakan amarah Maha Brahalasewu. Lalu dia kembali turun ke Marcapada. Di tengah perjalanan dia bertemu Ki lurah Semar “adhi narada, ada apa kembali turun ke Marcapada?” “kakang Semar, batara Padawenang memberiku pesan wangsit untuk menjemput jago kahyangan yang bisa menenangkan kedua triwikrama. Jago itu seorang perempuan dengan rambut berhiaskan jepit bunga teratai.” “adhi Narada, jago yang dimaksud itu Gusti Permaisuri Drupadi, istri gusti Prabu Yudhistira. Mari ikut aku.”
Di Keraton Indraprastha, Dewi Drupadi menerima kedatangan keponakannya,  Raden Gatotkaca dari Pringgondani dan tiga punakawan Gareng, Petruk, dan Bagong. Tak lama kemudian Batara Narada dan Ki Lurah Semar turun dari angkasa. Batara Narada kemudian bercerita “Drupadi, cucuku. Kedatanganku bersama kakang Semar kemari untuk menjemputmu menjadi jago kahyangan. Kahyangan sekarang dikacaukan oleh raksasa putih. Tadinya ada bala bantuan tapi bala bantuan itu kerepotan dan kini justru bertarung dengannya sampai mati” Dewi Drupadi terkejut lalu bertanya“Ampun, pukulun. Bukan bermaksud meragukan keputusan dewata tapi kenapa harus saya? Kenapa bukan kakang Yudhistira atau adik-adik ipar? Kenapa bukan kakang Gowinda? Apa istimewanya saya di hadapan dewa?” batara Narada berkata “saat ini Para Pandawa ditawan oleh raksasa putih itu. Kedua raksasa itu butuh ditenangkan dan kamu yang dirasa paling cocok untuk menenangkan mereka, cucuku.” Dewi Drupadi menjadi bersemangat dan bersedia naik ke kahyangan.
Di tengah Repat Kepanasan, debu panas dan tanah membumbung tinggi. Pertarungan Dewa Amral dan Maha Brahalasewu terus berlangsung. Mereka bertarung cepat bahkan mata para dewa tak mampu melihatnya karena laju sekali.  Dewa Amral saling melempar seribu tombak sementara Maha Brahalasewu melempar seribu anak panah hingga senjata-senjata itu meledak di tanah.  Ledakan menyebarkan berton-ton debu dan pasir ke segala arah. Kahyangan Jonggring Saloka menjadi diselimuti badai debu dan pasir. Tiba-tiba Dewa Amral dan Maha Brahalasewu terhempas oleh daya kekuatan yang asing. Ketika mereka bangun, mereka mendapati ada sesosok wanita duduk bersila di tengah Repat Kepanasan mengheningkan cipta sambil menjapa mantra penenang jiwa. Sosok itu adalah Dewi Drupadi. Kedua triwikrama menjadi lemah dan tak berdaya seketika. Akhirnya mereka berubah kembali ke wujud semula. Dewa Amral badar kembali jadi Prabu Yudhistira dan telah reda amarahnya sedangkan Maha Brahalasewu badar kembali menjadi Prabu Kresna. Arya Wrekodara, Raden Arjuna, dan kembar Nakula-Sadewa keluar dari persembunyian. Batara Narada kemudian menceritakan apa yang sebenarnya terjadi. Dewi Drupadi bersyukur sang suami, para iparnya dan Prabu Kresna tidak-apa-apa.
Tiba-tiba datanglah Dewasrani merasa kesal karena rencananya melenyapkan Pandawa telah gagal. Dewasrani beserta pasukan siluman dan hantu dari Dandangmangore kemudian menyerang para Pandawa. Arya Wrekodara berusaha mengusir pasukan siluman itu namun kewalahan karena jumlah siluman dan hantu terlalu banyak. Lalu datang Ki Lurah Semar  mengeluarkan kentut saktinya. Karena daya kentut sakti itu, Dewasrani dan pasukannya terhempas kembali ke Istana Nusarukmi di Dandangmangore. Batara Guru dan Batari Durga khilaf dari kesalahannya lalu meminta maaf karena terlalu menuruti keinginan Dewasrani yang kekanak-kanakan dan arogan. Para Pandawa dan Prabu Kresna mengikhlaskan itu. lalu Batara Guru berkata “untuk masalah orang tua kalian, Pandu dan Madrim, aku sudah memutuskan mereka berdua sudah layak dientas dari neraka dan kuperkenankan memasuki Swarga Maniloka.” Dewi Drupadi dan para Pandawa merasa bersyukur dan berterima kasih. Setelah dirasa cukup, para Pandawa, Dewi Drupadi, Prabu Kresna dan Ki lurah Semar kembali ke Amarta. Sementara para dewa segera memperbaiki bagian-bagian kahyangan yang rusak.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar