Rabu, 18 Desember 2019

Jayadrata Krama (Alap-alapan Durshilawati)


Salam para pembaca yang budiman. Karena satu dua hal, penulis baru bisa memposting kisah saat ini. Kisah kali ini menceritakan pernikahan Prabu Anom Jayadrata, raja muda negeri Sindu Banakeling dengan Dewi Durshilawati, adik perempuan Prabu Duryudana dan satu-satunya perempuan di tengah para Kurawa. Pernikahan ini sempat terganggu dengan hilangnya sang mempelai perempuan. Dikisahkan pula kelahiran Raden Pancawala, putra Prabu Yudhistira dan Dewi Drupadi. kisah ini bersumber pada blog albumkisahwayang.blogspot.com, Kitab Pustakaraja Purwa, dan beberapa blog pedalangan lainnya yang diubah dan dikembangkan seperlunya.
Prabu Duryudana dihadap patih Arya Sengkuni, Arya Dursasana, Resi Dorna, Arya Kartamarma di balairung keraton Hastina. Murung muka, muram durja wajahnya. Mendung bergelayut di dalam hati dan kepalanya karena adik bungsunya, Dewi Durshilawati, satu-satunya perempuan di seratus Kurawa yang kini telah ditunangkan dengan Prabu Anom Jayadrata dari Sindu Banakeling menghilang tanpa jejak. “duh, Dursasana! Kartamarma!. Bagaimana ini? Adik kita tercinta Durshilawati menghilang dan belum ketemu. Andai saja aku melarangnya untuk keluar keraton saat itu, gak akan jadi begini. Bapa Guru, apa kau punya solusi untuk masalah ini?” Resi Dorna memang waskita. Dia berkata penolong Dewi Durshilawati akan datang kesini. Tak lama kemudian, datang lah Prabu Anom Jayadrata, tunangan Durshilawati datang untuk berkunjung”kakang prabu Duryudana ada apa bersusah hati seperti itu? tak senangkah kakang prabu bertemu saya?” Prabu Duryudana merasa bersalah lalu menjelaskan kemasygulan hatinya. Untuk itu para Kurawa yang dipimpin oleh Arya Dursasana diperintahkannya untuk mencari Dewi Durshilawati ke sekeliling negara Hastinapura. Setelah para Kurawa pergi,  Patih Sengkuni mendapat ide untuk menyerang para Pandawa lewat tangan Prabu Anom Jayadrata. Patih Sengkuni kemudian menduga keponakan perempuannya itu berada di Amarta, sehingga dia menyarankan Prabu Anom Jayadrata untuk mencari Dewi Durshilawati di sana. Prabu Anom Jayadrata akhirnya paham dan bertekad untuk menemukan calon pengantinnya itu. dia kemudian dia mohon diri untuk segera berangkat.
Sementara itu, Beberapa bulan setelah pernikahan Raden Arjuna dan Dewi Sumbadra, berita gembira seakan terus mengiringi para Pandawa. Permaisuri Prabu Yudhistira, Dewi Drupadi kini telah melahirkan seorang bayi laki-laki yang sehat dan tampan. Kabar gembira ini bagaikan perkumpulan ibu-ibu yang bergosip, menyebar cepat bagai kilat. Begitu kabar itu terdengar, Prabu Kresna selaku wakil Keluarga Yadawa datang menjenguk ke Amarta. Prabu Kresna kemudian mendatangi Dewi Sumbadra lalu bertanya “Dinda , dimana adhimas Parta? Sejak tadi aku tidak melihatnya.” “kangmas Arjuna sedang berkunjung ke Andong Sumawi, menemui kanda Dewi Manuhara jadi sudah beberapa hari ini...” tiba-tiba para Pandawa dan Prabu Kresna dikejutkan dengan datangnya sepasukan prajurit Sindu Banakeling yang dipimpin Prabu Anom Jayadrata. Prabu Anom Jayadrata berteriak meminta Dewi Durshilawati dibebaskan “Yudhistira! Dimana kau sembunyikan Durshilawatiku? Cepat kembalikan Durshilawati atau permaisurimu, Drupadi ku rebut dari tanganmu, Yudhistira! Kita selesaikan masalah dinda Durshilawati di alun-alun” Arya Wrekodara menjadi geram melihat kelakuan kawan baik Prabu Duryudana itu “Jayadrata keparat! Benar-benar tak tahu sopan santun di negara orang. Minta mati saja “. Lalu Prabu Yudhistira dengan tenang mengingatkan adiknya yang bertubuh besar itu “Adhi Bima, jangan tersulut emosi. Menurut berita yang ku dengar, dinda Durshilawati sedang menghilang dari keraton Hastina jadi wajar bila sebagai calon suami, Jayadrata datang kemari. Amankan saja dia, adikku, jangan sampai ada darah yang tumpah. Dinda Jayadrata itu kawan baik kanda Prabu Duryudana. Bagaimanapun kemungkinan perang Baratayudha harus kita hindari.”
Di kedaton, Dewi Drupadi menggendong sang putra yang baru lahir di atas peraduan. Sang jabang bayi tampan dan imut-imut. Tak lama kemudian, Prabu Kresna diajak masuk Prabu Yudhistira ke kedaton. Sesampainya di sana, Prabu Kresna sangat gembira melihat keadaan Dewi Drupadi dan anaknya sehat dan selamat. Prabu Kresna kemudian menggendong keponakan barunya itu lalu bertanya, “Dinda Samiaji*, siapa nama putra kalian ini? Apa kalian sudah memberikan nama?” “belum, kanda Kresna. Kami ingin kanda Kresna yang beri nama.” Prabu Kresna menyanggupi. Lalu dia berkata “Dinda Drupadi itu kembang mekarnya negara Pancalaradya makanya oleh Paman Gandamana dahulu diberi nama Dewi Panchali. Maka sudah sepantasnya keponakanku yang ganteng kinyis-kinyis ni aku beri nama Pancawala. Mulai hari ini namanya adalah Raden Pancawala, putra kesayangan Panchali.” “Pancawala? Nama yang bagus, kanda Gowinda*. Aku suka.”
Di alun-alun, Arya Wrekodara dan Prabu Anom Jayadrata saling berperang satu sama lain. Keduanya sama-sama kuat, sama-sama sakti. Saling hantam, saling pukul, saling sikut, dan saling tendang terus terjadi sehinggalah Prabu Anom Jayadrata menjadi babak belur. Akhirnya Arya Wrekodara berhasil meringkusnya. “Bima Wrekodara! Kalau kau ingin membunuhku, bunuh saja. Biar kanda Prabu Duryudana yang kemari membawa jasadku.” Arya Wrekodara terpancing dan hendak memukul kepala pangeran Sindu Banakeling itu hingga hancur. namun muncul suara menggelegar dari langit “Hentikan!” Batara Narada turun dari angkasa dan buru-buru melerai Arya Wrekodara dan Prabu Anom Jayadrata.
Batara Narada Melerai perkelahian Wrekodara dan Jayadrata
Prabu Kresna dan Prabu Yudhistira yang baru keluar dari keraton segera mendatangi tangan kanan Batara Guru itu lalu menyembah hormat kepadanya. “Welah dalahh, cucuku Bima Wrekodara. Jangan menyiksa saudara sendiri.” Arya Wrekodara tak mengerti bagaimana bisa dia dan Jayadrata bisa bersaudara. kemudian Batara Narada bercerita “begini cucuku. Dahulu waktu kau lahir, tubuhmu terbungkus selaput ketuban. Ayahmu mendapat sabda dewata untuk membuangmu ke hutan Mandalasara. Setelah berumur tiga tahun, bungkusmu berhasil dirobek Gajah Sena. Karena pertarungan dengan Gajah Sena, angin topan bertiup kencang lalu menerbangkan bungkusmu hingga ke tengah laut. Oleh kemurahan Ida Sanghyang Widhi, Praburesi Sempani dan Ratna Drata, raja dan permaisuri Sindu Banakeling menemukannya dan dijadikan sarana untuk mendapatkan putra, cucuku. Jadi Jayadrata yang ada di hadapanmu ini sebenarnya selaput bungkusmu sendiri.” Mendengar penjelasan dari Batara Narada, Arya Wrekodara dan Prabu Anom Jayadrata saling bermaafan. Lalu batara Narada berkata pada Prabu Anom Jayadrata“cucuku, Jayadrata. Kalau kau ingin mencari Durshilawati, dia sekarang berada di Gunung Maestri..” Prabu Anom Jayadrata berterima kasih atas petunjuk yang diberikan batara Narada lalu minta maaf pada prabu Yudhistira atas kelancangannya dan undur diri meninggalkan Amarta. Setelah keadaan tenang kembali, Prabu Kresna ingin mengajak Arya Wrekodara ke Gunung Maestri “Adhi Bungkus, mari ikut aku ke gunung Maestri menjemput adhi Parta. Aku mendapat firasat adhi Parta akan mendapatkan masalah di sana.” Setelah Prabu Yudhistira mengijinkan, mereka segera berangkat.
Di Gunung Maestri, Raden Arjuna, Ki Lurah Semar, Gareng, Petruk dan Bagong sedang berguru pada Begawan Metreya. Sejak pernikahannya dengan Sumbadra, kadang ada rasa kepikiran pada Dewi Banowati yang tak datang di pernikahannya. Karena rasa itu terus membayanginya, Arjuna pergi ke desa Andong Sumawi, menjenguk Dewi Manuhara yang kini sedang hamil lima bulan. Sepulang dari Andong Sumawi, ketika melewati Gunung Maestri datanglah Begawan Metreya meminta bantuan karena pertapaannya diganggu denawa hutan. Raden Arjuna kemudian turun tangan menumpas para denawa itu. Sejak saat itu, Raden Arjuna tinggal di Gunung Maestri dan berguru pada Begawan Metreya. Di tengah hutan, Arjuna mendengar suara jeritan yang familiar. Raden Arjuna dan Begawan Metreya segera mendatangi asal suara itu dan ternyata Dewi Durshilawati duduk diatas punggung gajah yang berlari kencng.
Tanpa banyak bicara, Raden Arjuna segera menyambar tubuh adik sepupunya itu. karena sang tawanan berhasil dibawa lari, gajah putih itu mengamuk dan hendak menyerang mereka. Tiba-tiba Arjuna mengerahkan ilmu Angin Sayuta. Sang gajah itu pun terhempas sejauh mata memandang. Dewi Durshilawati kemudian mendekati Raden Arjuna dan Begawan Metreya “Terima kasih, kanda Arjuna sudah menyelamatkanku.” “tak usah dipikirkan. Durshilawati, bagaimana bisa kau masuk ke hutan ini dan dibawa gajah itu?” Dewi Durshilawati kemudian bercerita sebelumnya dia ingin keluar keraton dengan naik gajah keliling kotaraja Hastinapura dan atas izin kakaknya, Prabu Duryudana, dia diperkenankan keluar keraton. Namun pihak keraton tidak sadar gajah yang dinaiki Durshilawati adalah hewan kiriman musuh Prabu Duryudana. Lalu ketika Dewi Durshilawati naik, gajah itu berontak dan membunuh beberapa prajurit yang  menjaga Durshilawati. Gajah itu pun membawanya lari hingga ke Gunung Maestri. Raden Arjuna mengingatkan adik sepupunya itu untuk lebih waspada lagi meski di rumah sendiri. Raden Arjuna dan Begawan Metreya kemudian menawarkan diri untuk mengantar pulang Durshilawati. Tak disangka, beberapa kakak Durshilawati, yaitu Arya Dursasana, Arya Durmukha, Arya Citraksa dan Arya Citraksi  menghadang mereka. Mereka menyangka yang membawa gajah putih untuk menculik Durshilawati adalah Arjuna. Arya Dursasana dengan pongahnya berkata pada adik-adiknya “rupanya kita gak usah jauh-jauh mencari penculik adinda. Adinda Durshilawati sendiri udah membawa si penculik” “Kanda Dursasana, jangan sembarangan bicara. justru aku yang diselamatkan kanda Arjuna dari penculik itu.” Arya Dursasana tak percaya malah memaki adik perempuannya itu. lalu dia memerintahkan Arya Durmukha dan saudara-saudaranya untuk menangkap Arjuna dan begawan Metreya. Arjuna dan begawan Metreya ditangkap, diikat, dan dijebloskan ke kereta pesakitan. Dewi Durshilawati menangis lalu meninggalkan kakak-kakaknya itu. Di tengah perjalanan, dia bertemu sang tunangan, Prabu Anom Jayadrata. Karena terlalu lelah, Dewi Durshilawati terjatuh dan akhirnya dipapah oleh Prabu Anom Jayadrata dan mengantarkannya ke Hastinapura.
Di Hastinapura, Prabu Duryudana menyambut kedatangan Prabu Anom Jayadrata dan Dewi Durshilawati. Sang prabu gembira adiknya telah kembali dengan selamat. Di saat yang sama, rombongan Arya Dursasana jug datang membawa Raden Arjuna, Begawan Metreya, dan para punakawan. Arya Dursasana mengatakan bahwa yang menculik Durshilawati adalah Arjuna yang berubah menjadi gajah putih dibantu oleh Begawan Metreya. Prabu Duryudana sangat marah mendengarnya lalu memerintahkan adik-adiknya untuk menjebloskan Arjuna dan Begawan Metreya ke penjara. Dewi Durshilawati menjadi marah pada kakak sulungnya itu dan membela Arjuna “kanda prabu Duryudana keterlaluan. Kanda lebih menuruti perkataan kanda Dursasana daripada aku. Kanda Arjuna dan eyang begawan Metreya tak bersalah. Justru mereka yang menyelamatkan aku.” Prabu Duryudana menjadi amat marah mendengar pembelaan adik perempuan satu-satunya itu “Durshilawati! Tutup mulutmu. Sudah jelas Arjuna yang menculikmu. Masih kah kau tak sadar?” “ Demi langit dan bumi, demi Sanghyang Widhi, yang ku katakan ini murni apa adanya. Kakang Prabu Jayadrata juga tahu kejadiannya. “ Prabu Duryudana semakin gusar dan hendak menampar pipi sang adik namun dapat dicegah oleh Dewi Banowati. “hentikan kanda! Dinda Durshilawati hanya ingin menyampaikan kebenaran yang ada” Dewi Banowati kemudian memeluk iparnya itu lalu membawanya ke kaputren. Prabu Anom Jayadrata yang sedari tadi menahan diri akhirnya buka suara “cukup kakang prabu! Kau tak malu kah menampar adik sendiri? Lebih baik kami tak akan menikah daripada melihat adhimas Arjuna dan eyang Begawan sengsara di penjara.”
Bak mendung dan badai di lautan, hati Prabu Duryudana kembali masygul. Persiapan pesta pernikahan adiknya yang telah ia siapkan jauh-jauh hari sudah hampir matang. Namun kedua mempelai tak mau keluar kamar masing-masing. Ketika tetamu undangan berdatangan, tiba-tiba datang seekor gajah putih dan segerombolan hewan-hewan buas merusak persiapan pesta. Gajah itu kemudian berubah menjadi sosok seorang raja “hei Duryudana! Kenalkan, aku Jayapuspakara raja Tirtakandama. Kemarikan adikmu, Durshilawati. Kemarin aku berhasil membawanya pergi tapi diambil balik oleh sesorang ksatria. Kembalikan dia padaku.” Prabu Duryudana menjadi gusar lalu memerintahkan adik-adiknya untuk mengalahkan raja sombong itu. Pertarungan berlangsung sengit dan para Kurawa terdesak. Lalu prabu Duryudana mendatangi kamar prabu Anom Jayadrata untuk minta bantuannya “Dinda prabu, kau lihat itu. Sarana pesta untuk kalian jadi rusak dan raja para hewan itu menginginkan calon istrimu. Bantulah calon kakak iparmu ini.” “begitu ya. Aku bersedia membantu asal adhimas Arjuna dan eyang Begawan dibebaskan.” Prabu Duryudana akhirnya luluh dan memerintahkan para prajurit untuk membebaskan Arjuna dan begawan Metreya.
Begitu turun ke medan laga, Prabu Anom Jayadrata dan Raden Arjuna berusah mengalahkan Prabu Jayapuspakara namun mereka dihadang oleh serangan hewan-hewan buas. Lalu disaat bersamaan, Arya Wrekodara yang kebetulan datang mencari sang adik datang bersama Prabu Kresna. “hoi ada apa ini, Jlamprong? Hewan-hewan di kebun binatang lepas ya” dengan santainya, Arya Wrekodara membuat hewan-hewan buas itu lari pontang panting. Lalu Raden Arjuna segera memanah Prabu Jayapuspakara yang sedang berwujud manusia. Raja itu kesakitan dan menjadi lengah karena kesaktiannya berkurang. Di saat demikian, Prabu Anom Jayadrata segera memukul kepala sang raja dengan gadanya, gada Kyai Glinggang. Dengan sekali pukul, Prabu Jayapuspakara tewas dengan kepala pecah berantakan. Geram melihat rajanya tewas, sisa-sisa hewan buas yang berada disitu menyerang mereka bertiga namun oleh Arya Wrekodara, gerombolan hewan buas itu dapat diusir.
Prabu Duryudana merasa tak enak hati karena laporan palsu Arya Dursasana minta maaf pada Raden Arjuna dan Begawan Metreya. Raden Arjuna memang sudah ikhlas tapi tidak untuk Begawan Metreya. Harga dirinya sebagai seorang brahmana telah jatuh karena Arya Dursasana yang menutup diri dari kebenaran yang ada. lalu terucaplah kutuk pasu “hei Dursasana putra Dretarastra, kau putra raja yang diajari tentang yang benar dan yang salah. Namun kebenaran itu malah tak pernah mau kau kenalkan dalam hidupmu. Kau menutup dirimu dari kebenaran. Ingatlah karmapalamu! Bila ada perang besar antara dharma dan adharma nanti, kau akan menjadi salah satu tumbalnya dan jasadmu akan menjadi susah dikenali karenanya.” Begawan Metreya kemudian memilih pulang ke Gunung Maestri. Karena nama baik Arjuna telah dipulihkan, Dewi Durshilawati dan Prabu Anom Jayadrata mengakhiri hukuman mengurung diri mereka dan pernikahan mereka dapat dilaksanakan. Pesta pun berlangsung meriah meskipun ada sedikit kerusakan akibat serangan tadi.
Prabu Anom Jayadrata memboyong Dewi Durshilawati
Setelah pesta selesai selama tujuh hari tujuh malam, Prabu Kresna mohon diri untuk kembali ke Amarta bersama AryaWrekodara dan Raden Arjuna. Begitu juga dengan Prabu Anom Jayadrata. Dia tidak ingin berlama-lama membiarkan kerajaan kosong tanpa pemimpin. Dewi Durshilawati juga memutuskan untuk tinggal di Sindu Banakeling bersama sang suami.
*Samiaji adalah salah satu nama julukan Prabu Yudhistira/Puntadewa. Selain itu dia juga dijuluki Dwijakangka, Dharmaputra, Ajatasatru, Gunatalikrama, Darmakusumah.dll
*Gowinda artinya anak penggembala, julukan kesayangan Dewi Drupadi untuk Prabu Kresna

Tidak ada komentar:

Posting Komentar