Salam para pembaca yang budiman. Karena satu dua hal, penulis baru bisa memposting kisah saat ini. Kisah kali ini menceritakan pernikahan Prabu Anom Jayadrata, raja muda negeri Sindu Banakeling dengan Dewi Durshilawati, adik perempuan Prabu Duryudana dan satu-satunya perempuan di tengah para Kurawa. Pernikahan ini sempat terganggu dengan hilangnya sang mempelai perempuan. Dikisahkan pula kelahiran Raden Pancawala, putra Prabu Yudhistira dan Dewi Drupadi. kisah ini bersumber pada blog albumkisahwayang.blogspot.com, Kitab Pustakaraja Purwa, dan beberapa blog pedalangan lainnya yang diubah dan dikembangkan seperlunya.
Prabu
Duryudana dihadap patih Arya Sengkuni, Arya Dursasana, Resi Dorna, Arya
Kartamarma di balairung keraton Hastina. Murung muka, muram durja wajahnya.
Mendung bergelayut di dalam hati dan kepalanya karena adik bungsunya, Dewi Durshilawati,
satu-satunya perempuan di seratus Kurawa yang kini telah ditunangkan dengan
Prabu Anom Jayadrata dari Sindu Banakeling menghilang tanpa jejak. “duh,
Dursasana! Kartamarma!. Bagaimana ini? Adik kita tercinta Durshilawati
menghilang dan belum ketemu. Andai saja aku melarangnya untuk keluar keraton
saat itu, gak akan jadi begini. Bapa Guru, apa kau punya solusi untuk masalah
ini?” Resi Dorna memang waskita. Dia berkata penolong Dewi Durshilawati akan
datang kesini. Tak lama kemudian, datang lah Prabu Anom Jayadrata, tunangan
Durshilawati datang untuk berkunjung”kakang prabu Duryudana ada apa bersusah
hati seperti itu? tak senangkah kakang prabu bertemu saya?” Prabu Duryudana
merasa bersalah lalu menjelaskan kemasygulan hatinya. Untuk itu para Kurawa
yang dipimpin oleh Arya Dursasana diperintahkannya untuk mencari Dewi
Durshilawati ke sekeliling negara Hastinapura. Setelah para Kurawa pergi, Patih Sengkuni mendapat ide untuk menyerang
para Pandawa lewat tangan Prabu Anom Jayadrata. Patih Sengkuni kemudian menduga
keponakan perempuannya itu berada di Amarta, sehingga dia menyarankan Prabu
Anom Jayadrata untuk mencari Dewi Durshilawati di sana. Prabu Anom Jayadrata
akhirnya paham dan bertekad untuk menemukan calon pengantinnya itu. dia
kemudian dia mohon diri untuk segera berangkat.
Sementara
itu, Beberapa bulan setelah pernikahan Raden Arjuna dan Dewi Sumbadra, berita
gembira seakan terus mengiringi para Pandawa. Permaisuri Prabu Yudhistira, Dewi
Drupadi kini telah melahirkan seorang bayi laki-laki yang sehat dan tampan. Kabar
gembira ini bagaikan perkumpulan ibu-ibu yang bergosip, menyebar cepat bagai
kilat. Begitu kabar itu terdengar, Prabu Kresna selaku wakil Keluarga Yadawa
datang menjenguk ke Amarta. Prabu Kresna kemudian mendatangi Dewi Sumbadra lalu
bertanya “Dinda , dimana adhimas Parta? Sejak tadi aku tidak melihatnya.”
“kangmas Arjuna sedang berkunjung ke Andong Sumawi, menemui kanda Dewi Manuhara
jadi sudah beberapa hari ini...” tiba-tiba para Pandawa dan Prabu Kresna
dikejutkan dengan datangnya sepasukan prajurit Sindu Banakeling yang dipimpin
Prabu Anom Jayadrata. Prabu Anom Jayadrata berteriak meminta Dewi Durshilawati
dibebaskan “Yudhistira! Dimana kau sembunyikan Durshilawatiku? Cepat kembalikan
Durshilawati atau permaisurimu, Drupadi ku rebut dari tanganmu, Yudhistira! Kita
selesaikan masalah dinda Durshilawati di alun-alun” Arya Wrekodara menjadi
geram melihat kelakuan kawan baik Prabu Duryudana itu “Jayadrata keparat!
Benar-benar tak tahu sopan santun di negara orang. Minta mati saja “. Lalu
Prabu Yudhistira dengan tenang mengingatkan adiknya yang bertubuh besar itu
“Adhi Bima, jangan tersulut emosi. Menurut berita yang ku dengar, dinda
Durshilawati sedang menghilang dari keraton Hastina jadi wajar bila sebagai
calon suami, Jayadrata datang kemari. Amankan saja dia, adikku, jangan sampai
ada darah yang tumpah. Dinda Jayadrata itu kawan baik kanda Prabu Duryudana.
Bagaimanapun kemungkinan perang Baratayudha harus kita hindari.”
Di
kedaton, Dewi Drupadi menggendong sang putra yang baru lahir di atas peraduan. Sang
jabang bayi tampan dan imut-imut. Tak lama kemudian, Prabu Kresna diajak masuk
Prabu Yudhistira ke kedaton. Sesampainya di sana, Prabu Kresna sangat gembira
melihat keadaan Dewi Drupadi dan anaknya sehat dan selamat. Prabu Kresna
kemudian menggendong keponakan barunya itu lalu bertanya, “Dinda Samiaji*,
siapa nama putra kalian ini? Apa kalian sudah memberikan nama?” “belum, kanda
Kresna. Kami ingin kanda Kresna yang beri nama.” Prabu Kresna menyanggupi. Lalu
dia berkata “Dinda Drupadi itu kembang mekarnya negara Pancalaradya makanya
oleh Paman Gandamana dahulu diberi nama Dewi Panchali. Maka sudah sepantasnya
keponakanku yang ganteng kinyis-kinyis ni aku beri nama Pancawala. Mulai hari
ini namanya adalah Raden Pancawala, putra kesayangan Panchali.” “Pancawala? Nama
yang bagus, kanda Gowinda*. Aku suka.”
Di
alun-alun, Arya Wrekodara dan Prabu Anom Jayadrata saling berperang satu sama
lain. Keduanya sama-sama kuat, sama-sama sakti. Saling hantam, saling pukul,
saling sikut, dan saling tendang terus terjadi sehinggalah Prabu Anom Jayadrata
menjadi babak belur. Akhirnya Arya Wrekodara berhasil meringkusnya. “Bima
Wrekodara! Kalau kau ingin membunuhku, bunuh saja. Biar kanda Prabu Duryudana
yang kemari membawa jasadku.” Arya Wrekodara terpancing dan hendak memukul kepala
pangeran Sindu Banakeling itu hingga hancur. namun muncul suara menggelegar
dari langit “Hentikan!” Batara Narada turun dari angkasa dan buru-buru melerai
Arya Wrekodara dan Prabu Anom Jayadrata.
Prabu Kresna dan Prabu Yudhistira yang
baru keluar dari keraton segera mendatangi tangan kanan Batara Guru itu lalu
menyembah hormat kepadanya. “Welah dalahh, cucuku Bima Wrekodara. Jangan
menyiksa saudara sendiri.” Arya Wrekodara tak mengerti bagaimana bisa dia dan
Jayadrata bisa bersaudara. kemudian Batara Narada bercerita “begini cucuku.
Dahulu waktu kau lahir, tubuhmu terbungkus selaput ketuban. Ayahmu mendapat
sabda dewata untuk membuangmu ke hutan Mandalasara. Setelah berumur tiga tahun,
bungkusmu berhasil dirobek Gajah Sena. Karena pertarungan dengan Gajah Sena,
angin topan bertiup kencang lalu menerbangkan bungkusmu hingga ke tengah laut.
Oleh kemurahan Ida Sanghyang Widhi, Praburesi Sempani dan Ratna Drata, raja dan
permaisuri Sindu Banakeling menemukannya dan dijadikan sarana untuk mendapatkan
putra, cucuku. Jadi Jayadrata yang ada di hadapanmu ini sebenarnya selaput
bungkusmu sendiri.” Mendengar penjelasan dari Batara Narada, Arya Wrekodara dan
Prabu Anom Jayadrata saling bermaafan. Lalu batara Narada berkata pada Prabu
Anom Jayadrata“cucuku, Jayadrata. Kalau kau ingin mencari Durshilawati, dia
sekarang berada di Gunung Maestri..” Prabu Anom Jayadrata berterima kasih atas
petunjuk yang diberikan batara Narada lalu minta maaf pada prabu Yudhistira
atas kelancangannya dan undur diri meninggalkan Amarta. Setelah keadaan tenang
kembali, Prabu Kresna ingin mengajak Arya Wrekodara ke Gunung Maestri “Adhi
Bungkus, mari ikut aku ke gunung Maestri menjemput adhi Parta. Aku mendapat
firasat adhi Parta akan mendapatkan masalah di sana.” Setelah Prabu Yudhistira
mengijinkan, mereka segera berangkat.
Batara Narada Melerai perkelahian Wrekodara dan Jayadrata |
Di
Gunung Maestri, Raden Arjuna, Ki Lurah Semar, Gareng, Petruk dan Bagong sedang
berguru pada Begawan Metreya. Sejak pernikahannya dengan Sumbadra, kadang ada
rasa kepikiran pada Dewi Banowati yang tak datang di pernikahannya. Karena rasa
itu terus membayanginya, Arjuna pergi ke desa Andong Sumawi, menjenguk Dewi
Manuhara yang kini sedang hamil lima bulan. Sepulang dari Andong Sumawi, ketika
melewati Gunung Maestri datanglah Begawan Metreya meminta bantuan karena
pertapaannya diganggu denawa hutan. Raden Arjuna kemudian turun tangan menumpas
para denawa itu. Sejak saat itu, Raden Arjuna tinggal di Gunung Maestri dan
berguru pada Begawan Metreya. Di tengah hutan, Arjuna mendengar suara jeritan
yang familiar. Raden Arjuna dan Begawan Metreya segera mendatangi asal suara
itu dan ternyata Dewi Durshilawati duduk diatas punggung gajah yang berlari
kencng.
Tanpa
banyak bicara, Raden Arjuna segera menyambar tubuh adik sepupunya itu. karena
sang tawanan berhasil dibawa lari, gajah putih itu mengamuk dan hendak
menyerang mereka. Tiba-tiba Arjuna mengerahkan ilmu Angin Sayuta. Sang gajah
itu pun terhempas sejauh mata memandang. Dewi Durshilawati kemudian mendekati
Raden Arjuna dan Begawan Metreya “Terima kasih, kanda Arjuna sudah
menyelamatkanku.” “tak usah dipikirkan. Durshilawati, bagaimana bisa kau masuk
ke hutan ini dan dibawa gajah itu?” Dewi Durshilawati kemudian bercerita
sebelumnya dia ingin keluar keraton dengan naik gajah keliling kotaraja
Hastinapura dan atas izin kakaknya, Prabu Duryudana, dia diperkenankan keluar
keraton. Namun pihak keraton tidak sadar gajah yang dinaiki Durshilawati adalah
hewan kiriman musuh Prabu Duryudana. Lalu ketika Dewi Durshilawati naik, gajah
itu berontak dan membunuh beberapa prajurit yang menjaga Durshilawati. Gajah itu pun
membawanya lari hingga ke Gunung Maestri. Raden Arjuna mengingatkan adik
sepupunya itu untuk lebih waspada lagi meski di rumah sendiri. Raden Arjuna dan
Begawan Metreya kemudian menawarkan diri untuk mengantar pulang Durshilawati.
Tak disangka, beberapa kakak Durshilawati, yaitu Arya Dursasana, Arya Durmukha,
Arya Citraksa dan Arya Citraksi
menghadang mereka. Mereka menyangka yang membawa gajah putih untuk
menculik Durshilawati adalah Arjuna. Arya Dursasana dengan pongahnya berkata
pada adik-adiknya “rupanya kita gak usah jauh-jauh mencari penculik adinda.
Adinda Durshilawati sendiri udah membawa si penculik” “Kanda Dursasana, jangan
sembarangan bicara. justru aku yang diselamatkan kanda Arjuna dari penculik
itu.” Arya Dursasana tak percaya malah memaki adik perempuannya itu. lalu dia
memerintahkan Arya Durmukha dan saudara-saudaranya untuk menangkap Arjuna dan
begawan Metreya. Arjuna dan begawan Metreya ditangkap, diikat, dan dijebloskan
ke kereta pesakitan. Dewi Durshilawati menangis lalu meninggalkan
kakak-kakaknya itu. Di tengah perjalanan, dia bertemu sang tunangan, Prabu Anom
Jayadrata. Karena terlalu lelah, Dewi Durshilawati terjatuh dan akhirnya
dipapah oleh Prabu Anom Jayadrata dan mengantarkannya ke Hastinapura.
Di
Hastinapura, Prabu Duryudana menyambut kedatangan Prabu Anom Jayadrata dan Dewi
Durshilawati. Sang prabu gembira adiknya telah kembali dengan selamat. Di saat
yang sama, rombongan Arya Dursasana jug datang membawa Raden Arjuna, Begawan
Metreya, dan para punakawan. Arya Dursasana mengatakan bahwa yang menculik
Durshilawati adalah Arjuna yang berubah menjadi gajah putih dibantu oleh
Begawan Metreya. Prabu Duryudana sangat marah mendengarnya lalu memerintahkan
adik-adiknya untuk menjebloskan Arjuna dan Begawan Metreya ke penjara. Dewi
Durshilawati menjadi marah pada kakak sulungnya itu dan membela Arjuna “kanda prabu
Duryudana keterlaluan. Kanda lebih menuruti perkataan kanda Dursasana daripada
aku. Kanda Arjuna dan eyang begawan Metreya tak bersalah. Justru mereka yang
menyelamatkan aku.” Prabu Duryudana menjadi amat marah mendengar pembelaan adik
perempuan satu-satunya itu “Durshilawati! Tutup mulutmu. Sudah jelas Arjuna
yang menculikmu. Masih kah kau tak sadar?” “ Demi langit dan bumi, demi
Sanghyang Widhi, yang ku katakan ini murni apa adanya. Kakang Prabu Jayadrata
juga tahu kejadiannya. “ Prabu Duryudana semakin gusar dan hendak menampar pipi
sang adik namun dapat dicegah oleh Dewi Banowati. “hentikan kanda! Dinda
Durshilawati hanya ingin menyampaikan kebenaran yang ada” Dewi Banowati
kemudian memeluk iparnya itu lalu membawanya ke kaputren. Prabu Anom Jayadrata
yang sedari tadi menahan diri akhirnya buka suara “cukup kakang prabu! Kau tak
malu kah menampar adik sendiri? Lebih baik kami tak akan menikah daripada
melihat adhimas Arjuna dan eyang Begawan sengsara di penjara.”
Bak
mendung dan badai di lautan, hati Prabu Duryudana kembali masygul. Persiapan
pesta pernikahan adiknya yang telah ia siapkan jauh-jauh hari sudah hampir
matang. Namun kedua mempelai tak mau keluar kamar masing-masing. Ketika tetamu
undangan berdatangan, tiba-tiba datang seekor gajah putih dan segerombolan
hewan-hewan buas merusak persiapan pesta. Gajah itu kemudian berubah menjadi
sosok seorang raja “hei Duryudana! Kenalkan, aku Jayapuspakara raja
Tirtakandama. Kemarikan adikmu, Durshilawati. Kemarin aku berhasil membawanya
pergi tapi diambil balik oleh sesorang ksatria. Kembalikan dia padaku.” Prabu
Duryudana menjadi gusar lalu memerintahkan adik-adiknya untuk mengalahkan raja
sombong itu. Pertarungan berlangsung sengit dan para Kurawa terdesak. Lalu
prabu Duryudana mendatangi kamar prabu Anom Jayadrata untuk minta bantuannya
“Dinda prabu, kau lihat itu. Sarana pesta untuk kalian jadi rusak dan raja para
hewan itu menginginkan calon istrimu. Bantulah calon kakak iparmu ini.” “begitu
ya. Aku bersedia membantu asal adhimas Arjuna dan eyang Begawan dibebaskan.”
Prabu Duryudana akhirnya luluh dan memerintahkan para prajurit untuk
membebaskan Arjuna dan begawan Metreya.
Begitu
turun ke medan laga, Prabu Anom Jayadrata dan Raden Arjuna berusah mengalahkan
Prabu Jayapuspakara namun mereka dihadang oleh serangan hewan-hewan buas. Lalu
disaat bersamaan, Arya Wrekodara yang kebetulan datang mencari sang adik datang
bersama Prabu Kresna. “hoi ada apa ini, Jlamprong? Hewan-hewan di kebun
binatang lepas ya” dengan santainya, Arya Wrekodara membuat hewan-hewan buas
itu lari pontang panting. Lalu Raden Arjuna segera memanah Prabu Jayapuspakara
yang sedang berwujud manusia. Raja itu kesakitan dan menjadi lengah karena
kesaktiannya berkurang. Di saat demikian, Prabu Anom Jayadrata segera memukul
kepala sang raja dengan gadanya, gada Kyai Glinggang. Dengan sekali pukul,
Prabu Jayapuspakara tewas dengan kepala pecah berantakan. Geram melihat rajanya
tewas, sisa-sisa hewan buas yang berada disitu menyerang mereka bertiga namun
oleh Arya Wrekodara, gerombolan hewan buas itu dapat diusir.
Prabu
Duryudana merasa tak enak hati karena laporan palsu Arya Dursasana minta maaf
pada Raden Arjuna dan Begawan Metreya. Raden Arjuna memang sudah ikhlas tapi
tidak untuk Begawan Metreya. Harga dirinya sebagai seorang brahmana telah jatuh
karena Arya Dursasana yang menutup diri dari kebenaran yang ada. lalu
terucaplah kutuk pasu “hei Dursasana putra Dretarastra, kau putra raja yang
diajari tentang yang benar dan yang salah. Namun kebenaran itu malah tak pernah
mau kau kenalkan dalam hidupmu. Kau menutup dirimu dari kebenaran. Ingatlah karmapalamu!
Bila ada perang besar antara dharma dan adharma nanti, kau akan menjadi salah
satu tumbalnya dan jasadmu akan menjadi susah dikenali karenanya.” Begawan
Metreya kemudian memilih pulang ke Gunung Maestri. Karena nama baik Arjuna
telah dipulihkan, Dewi Durshilawati dan Prabu Anom Jayadrata mengakhiri hukuman
mengurung diri mereka dan pernikahan mereka dapat dilaksanakan. Pesta pun
berlangsung meriah meskipun ada sedikit kerusakan akibat serangan tadi.
Setelah
pesta selesai selama tujuh hari tujuh malam, Prabu Kresna mohon diri untuk
kembali ke Amarta bersama AryaWrekodara dan Raden Arjuna. Begitu juga dengan
Prabu Anom Jayadrata. Dia tidak ingin berlama-lama membiarkan kerajaan kosong
tanpa pemimpin. Dewi Durshilawati juga memutuskan untuk tinggal di Sindu
Banakeling bersama sang suami.
Prabu Anom Jayadrata memboyong Dewi Durshilawati |
*Samiaji adalah salah
satu nama julukan Prabu Yudhistira/Puntadewa. Selain itu dia juga dijuluki
Dwijakangka, Dharmaputra, Ajatasatru, Gunatalikrama, Darmakusumah.dll
*Gowinda artinya anak
penggembala, julukan kesayangan Dewi Drupadi untuk Prabu Kresna
Tidak ada komentar:
Posting Komentar