Salam semua, semoga pembaca diberi karunia oleh Yang Maha Pengasih. Kisah kali ini menceritakan pernikahan Prabu Anom Suyudana dengan Dewi Banowati yang turut mengakhiri dari cinta segitiga antara Permadi, Banowati, dan Suyudana. Kisah ini ditutup dengan pelantikan Suyudana menjadi raja Hastinapura bergelar Prabu Duryudana. Sumber kisah ini berasal dari Kitab Pustakaraja Purwa karya Ngabehi Ranggawarsita dan blog albumkisahwayang.blogspot.com yang telah dikembangkan dengan imajinasi penulis.
Sudah
menjadi rahasia umum bahwa Raden Permadi dan Dewi Banowati saling jatuh cinta
sejak pertama kali mereka bertemu. Namun, yang namanya garis nasib dan jodoh, sudah
digariskan oleh Sanghyang Widhi yang Maha Esa. Manusia bahkan para dewa cuma bisa
mengusahakan saja. Singkat cerita, jodoh Banowati adalah Prabu Anom Suyudana,
raja muda Hastinapura. Pada hari yang baik, Prabu Anom Suyudana ditemani Adipati
Karna, Arya Dursasana, Resi Dorna, dan Patih Arya Sengkuni datang dari
Hastinapura ke Mandaraka untuk melamar Dewi Banowati. Walaupun Prabu Salya,
sang ayah sudah setuju, seakan ingin hendak menolak takdir jodohnya, Dewi
Banowati meminta persyaratan yang sangat berat untuk dipenuhi calon raja
Hastinapura itu “Kakang Suyudana, aku mau menerimamu tapi asalkan kau mau
menyanggupi syarat dariku.” “Apapun syarat itu, akan ku penuhi.” Dewi Banowati
kemudian menjelaskan syarat-syarat itu “pertama, kakang harus sediakan seekor
gajah putih lengkap dengan sang srati wanita untuk mengarak kita keliling
kotaraja dan yang kedua, aku ingin dirias atau dipaes oleh pemuda paling
tampan.” Seketika saja, wajah Prabu Anom Suyudana memerah padam menahan malu
dan marah. Dia mengerti bahwa sang calon istri meminta dirias oleh pemuda
paling tampan itu artinya dia ingin dirias oleh Permadi. Sang calon istri
memang masih mencintai cinta pertamanya. Tapi mengingat kegagalannya meminang
Drupadi, Rukmini, dan Setyaboma yang memang karena ikut sayembara tapi
diwakilkan orang lain membuatnya harus berjuang sendiri. Dilapangkan dada dan
pikirannya lalu secara tegas dia berkata seraya bersumpah,”baiklah, rayi
Banowati. Aku bersumpah, akan ku penuhi semua syaratmu meskipun harus
mengorbankan seluruh harga diriku.” Kemudian Prabu Anom Suyudana meminta Patih
Sengkuni, Resi Dorna, dan Arya Dursasana untuk pulang duluan ke Hastinapura,
sementara dirinya sendiri ditemani Adipati Karna akan mencari cara untuk
memenuhi dua syarat itu.
Sementara
itu di kerajaan jin Alas Klangenan, Prabu Jayalengkara bermimpi bertemu dengan
seorang putri cantik bernama Banowati dari Mandaraka. setelah bangun dari
tidurnya, dia dilanda angau (sakit cinta). Dimanapun dia melakukan sesuatu
pasti terbayang dan ingin sekali menggerayanginya. Karena sudah tak tertahankan
lagi, Prabu Jayalengkara memimpin pasukan Alas Klangenan untuk menggempur Mandaraka
dan merebut sang putri pujaannya itu. Di tempat lain, Prabu Yudhistira, Dewi
Drupadi, Arya Wrekodara, Raden Nakula dan Raden Sadewa beserta para Punakawan
sedang dalam perjalanan ke Mandaraka. Di tengah jalan, Prabu Yudhistira
mengkhawatirkan kepergian Raden Permadi yang belum pulang ke Amarta sejak
membantu Prabu Kresna mendapatkan Dewi Setyaboma dan Resi Hanoman Mayangkara
menangkap sukma Prabu Rahwana. Raden Wrekodara kemudian menenangkan hati
kakaknya itu “Sudahlah, kakang Prabu. Gak usah khawatir. adhi Jlamprong pasti
baik-baik saja. Sebelum aku pulang, dia sudah izin padaku untuk menemui salah
satu istrinya, Dinda Manuhara.” Lalu mereka berpapasan dengan Prabu Anom
Suyudana dan Adipati Karna. Prabu Yudhistira segera menghormat pada sang kakak
tertua lalu dia bertanya padanya “kakang Adipati, kenapa kalian berada disini?
Bukannya akan kakang Prabu Anom akan segera menikah dengan kakang mbok
Banowati?” kemudian Adipati Karna menceritakan dua persyaratan untuk Prabu Anom
Suyudana kalau ingin menikahi Banowati. Prabu Yudhistira menjadi prihatin lalu
menyarankan agar mereka menemui Permadi di desa Andong Sumawi di rumah Resi Sidiwacana.
Prabu Yudhistira kemudian meminta Ki lurah untuk menyertai Adipati Karna
“kakang ki lurah, kalian ikutlah kakang Adipati dan Prabu Anom. Biar aku dan
aik-adik yang duluan ke Mandaraka.” “sesuai permintaanmu, ndoroku. Mari
anak-anakku.” Singkat cerita, para Punakawan mengikuti Adipati Karna dan Prabu
Anom Suyudana untuk menemui Permadi di desa Andong Sumawi.
Benar
saja, Raden Permadi yang dicari-cari memang sedang berada di desa Andong Sumawi.
Dia sedang berbulan madu dengan sang istri, Dewi Manuhara. Semenjak ditolong
oleh Dewi Manuhara, Raden Permadi menyimpan cinta pada Dewi Manuhara begitupun
sebaliknya. Namun, Raden Permadi sadar diri bahwa dia sudah ditunangkan sejak
kecil oleh Dewi Bratajaya, sepupunya sendiri. Dewi Manuhara merasa sedikit
kecewa dan sadar bahwa tak mungkin seorang gadis desa menikahi seorang pangeran
termahsyur sudah ditunangkan dengan putri raja pula. Demi membesarkan hati sang
calon istri, dia berkata bahwa Dewi Manuhara tetap bisa menjadi istrinya
meskipun bukan permaisuri dan boleh datang ke Amarta atau Madukara kapan saja. Dewi
Manuhara merasa bersyukur sekali dan ikhlas menjadi istri peminggir saja. Dia
sadar dia tak akan diboyong ke Madukara tapi akan tetap bersama sang ayah.
Walau demikian, asalkan dia bisa melayani sang pangeran, itu sudah
membahagiakan hatinya. Demikianlah Raden Permadi dan Dewi Manuhara menikah
secara sederhana. Kini Raden Permadi sedang menikmati masa-masa bulan madunya.
Di saat yang sama, datanglah Adipati Karna dan Prabu Anom Suyudana beserta para
punakawan. Raden Permadi segara menghampiri mereka dan bertanya. Lalu Adipati
membuka kata “begini adhi Permadi, aku dan kakang Suyudana membutuhkan
bantuanmu. Kakang Prabu Anom kini akan menikahi rayi Banowati dan dia meminta
syarat. Salah satu syaratnya Rayi Banowati ingin dirias oleh pemuda paling
tampan. Yang aku tahu hanya kau lah pemuda paling tampan itu dan kau sendiri
pandai merias diri.” Raden Permadi bergetar hatinya. Di dalam hatinya, dia
masih menyimpan cinta tapi apa mau dikata, takdir berkata lain. Dia teringat
pada kata-kata Batari Durga waktu pernikahan Prabu Baladewa dan Dewi Erawati
tempo hari. Dia harus merelakan Dewi Banowati karena dia bukanlah jodohnya.
Dengan wajah merah padam menahan perasaan kesal dan malu, dia mengiyakan
permintaan sang kakak tertua dan Prabu Anom Suyudana.
Raden
Permadi, Adipati Karna, dan Prabu Anom Suyudana memohon pamit kepada Resi
Sidiwacana dan Dewi Manuhara. Sebelum mereka pergi, Resi Sidiwacana menawarkan
diri membantu menemukan gajah putih dan srati wanitanya.”tunggu,nak. aku akan
ikut kalian mencarikan gajah putih dan srati wanitanya. Aku punya teman lama
bernama Ratu Clekutana, pemimpin para Gandarwi di hutan Pringgabaya. Putrinya,
Nini Mirahdinebak seingatku, dia punya seekor gajah putih yang kalian cari.”
Mereka berterima kasih sekali telah mendapatkan bantuan itu. Dewi Manuhara juga
mendoakan sang suami agar berhasil dan dapat kembali ke Amarta dengan selamat.
Raden Permadi berjanji kalau saat anak mereka lahir, dia akan datang lagi ke
desa Andong Sumawi.
Singkat
cerita, mereka berdelapan orang sampai di Hutan Pringgabaya. Permadi segera
mengoleskan Lisah Jayengkaton ke sekitar mata sang kakak dan Prabu Anom
Suyudana. Berkat minyak ajaib itu, mereka bisa melihat sebenarnya dari hutan
Pringgabaya. tempat yang terlihat seperti kumpulan pohon, semak belukar, dan
sulur-sulur ternyata adalah sebuah istana yang megah berhiaskan berlian dan
emas. Alam gaib di hutan itu terbuka. Ketika memasuki istana itu, Ratu
Clekutana dan Nini Mirahdinebak menyambut mereka menandakan kedatangan mereka
diterima. Ratu Clekutana bertanya pada teman lamanya”Sidiwacana, ada angin apa
kau sampai capek-capek datang kesini, sahabatku? “ “begini, keperluanku datang
kesini untuk meminta izin padamu untuk meminjam putrimu dan gajahnya.” Ratu
Clekutana mempersilahkannya namun putrinya memberikan syarat ”Ibu aku bersedia
tapi dengan satu syarat.” Adipati Karna bertanya “Apa syaratnya? Kalau minta
tumbal nyawa kakang Prabu, aku rela jadi gantinya.” “tidak, Adipati. Aku bukan
makhluk kejam haus darah yang meminta tumbal nyawa sana-sini. Syarat itu akan
kami bicarakan empat mata dengan Suyudana di taman belakang.” Untuk menjaga
privasi mereka, Ratu Clekutana mengajak mereka kecuali Suyudana dan
Mirahdinebak melihat-lihat hutan Pringgabaya dari sisi alam gaibnya.
Di
taman belakang istana Pringgabaya gaib yang sepi tak ada siapapun disitu, Prabu
Anom Suyudana dan Nini Mirahdinebak membicarakan apa persyaratannya. Nini
Mirahdinebak berkata “kakang, sebenarnya syarat itu mudah sekali. Izinkan aku
kelon denganmu di taman ini.” “apa? kalau syaratnya seperti itu, aku rasa aku
tak sanggup jika harus tidur denganmu.” Nini Mirahdinebak merayunya, “ayolah
kakang. ini akan menguntangkanmu. Kau bisa menikahi pujaan hatimu sekaligus
gajahku akan jadi milikmu selamanya. Gajah putihku bernama Murdaningkung adalah
gajah keturunan dari gajah Erawata milik Batara Indra. Kekuatan gajahku diatas
kemampuan gajah rata-rata. Jadi akan menguntungkan dalam peperanganmu nanti.”
Prabu Anom Suyudana menimbang-nimbang, pada akhirnya dia setuju dan bersedia
tidur dengan Nini Mirahdinebak. Nini Mirahdinebak segera membuat aura pelindung
mengelilingi taman itu dan memulai persetubuhan itu. Prabu Anom Suyudana menggerayangi
dan melihat tubuh Mirahdinebak yang seksi namun berkulit hitam bagai arang itu
menjadi ketakutan dan jijik sehingga dia memejamkan matanya. Begitu mereka
sama-sama puas, mereka segera mengakhiri permainan enam sembilan itu dan segera
mandi di sendang di tengah taman itu. Begitu menceburkan diri, Prabu Anom
Suyudana seketika merasa kembali perjaka begitupun nini Mirahdinebak kembali
perawan juga. Rupanya ini buah dari sumpah Suyudana sebelum mencari
syarat-syarat pernikahannya tadi, dia berhasil mencari syarat-syarat itu tapi
juga harus mengorbankan harga dirinya sebagai perjaka. Karena syarat-syarat
telah terpenuhi, mereka segera menemui semuanya yang baru balik berkeliling
hutan. Singkat cerita, Adipati Karna, Raden Permadi, dan Prabu Anom Suyudana
beserta para punakawan dan Nini Mirahdinebak yang naik gajah Murdaningkung
segera berangkat ke Mandaraka sementara Resi Sidiwacana kembali ke desa Andong
Sumawi. Begitu meninggalkan Pringgabaya, istana itu menghilang kembali
tertutupi oleh pepohonan, semak, dan sulur. Semuanya kembali menjadi hutan.
Sementara
itu, di kerajaan Mandaraka sedang disiapkan pesta pernikahan Prabu Anom
Suyudana dan Dewi Banowati. Arya Burisrawa sedang membantu memasang umbul-umbul
dan panggung sementara Bambang Rukmarata menyusun dekorasi. Telah hadir pula
para kerabat Mandaraka yakni, keluarga Hastinapura yaitu Prabu Dretarastra.
Dewi Gendari, Patih Arya Sengkuni, dan Resi Dorna. Lalu datang pula keluarga Pandawa
dari Amarta dan wakil keluarga Yadawa yaitu, Prabu Baladewa beserta Dewi
Erawati, Prabu Kresna, dan Dewi Bratajaya. Semenjak dirinya diculik oleh sukma
Prabu Rahwana tempo hari, Dewi Bratajaya memilih tidak pulang ke Mandura tapi
menetap di Dwarawati berkumpul dengan ketiga iparnya. Tak lama setelah
kedatangan keluarga Pandawa dan Yadawa, terdengarlah suara iring-iringan
mempelai pria ke arah kotaraja. Terlihat Prabu Anom Suyudana begitu gagah
mengendarai seekor gajah putih yang dikusiri Nini Mirahdinebak. Dibelakangnya,
terlihat Adipati Karna dan Dewi Srutikanti mengendarai Kereta Jatisura. Di
belakangnya lagi, disusul iring-iringan para Kurawa yang dipimpin Arya
Dursasana, Raden Permadi dan para Punakawan. Hari itu, selain Prabu Anom
Suyudana, para Kurawa, dan Adipati Karna yang nampak cemerlang dengan pakaian
kebesaran mereka, Raden Permadi yang juga memakai pakaian kebesaran menjadi
fokus bagi semua orang terutama Dewi Banowati dan Dewi Baratajaya. Dewi
Banowati menjadi salah tingkah dan gagal fokus melihat sang pujaan hati yang
kini akan menjadi masa lalunya itu. Dewi Bratajaya yang menyadari itu semua
menyindir Dewi Banowati dengan gayanya yang lugas “Haduduh.... rupanya sang
pungguk kembali melihat sang bulan. Aku sendiri heran siapa sih yang mau
dinikahkan pada Dinda Banowati, Kakang Prabu Anom apa kakang Permadi sihh?” “adik,
jaga ucapanmu. Ini pernikahan, bukan tempat menggunjing.” Prabu Baladewa
menegur adiknya dan dengan sigap, Prabu Baladewa segera membawa sang adik
bungsu pergi menghindar. Memang apa yang di kata orang, di mata Dewi Banowati
maupun Dewi Bratajaya, Permadi adalah harta berharga. Sebaliknya, bagi Permadi
baik Banowati maupun Bratajaya, cintanya kepada keduanya sama besar dan tak
bisa berkurang sedikitpun.
Singkat
cerita, Dewi Banowati segera memasuki kamar untuk dirias. Prabu Anom Suyudana
ingin melihat tapi Dewi Banowati melarangnya karena menurutnya pemali bila
mempelai pria melihat mempelai perempuan sedang dirias. Sembari dirias, Dewi
Banowati mengajak bicara sang kekasih, namun Permadi tak menggubrisnya. Hanya
wajahnya yang memerah padam menahan malu. Dewi Banowati bersedih dan menyatakan
perasaannya sembari menitikkan air mata “kakang permadi, teganya kau. Aku hanya
ingin bicara padamu. Aku mencintaimu tapi aku harus menikahi orang lain. Tak
kecewakah kakang? Sungguh bila demikian, kakang tak lebih dari maniak cinta.”
Permadi tak mampu lagi menahan perasaannya dan mengungkapkan isi hati juga
“maafkan aku. Aku sebenarnya sangat cemburu. Aku kesal karena kau harus
menikahi kakang Suyudana. Ingin rasanya aku menghabisinya agar bisa
mendapatkanmu. Kalau perlu kita kawin lari saja.” Dewi Banowati terkejut
mendengarnya lalu mengingatkan sang kekasih untuk melupakan niatnya itu. lalu
dia mengingatkan Permadi bahwa jodoh sejatinya adalah Dewi Bratajaya “kakang, ku
mohon berpkirlah jernih. Belajarlah untuk mengikhlaskan yang bukan milik kita.
Lupakan aku dan bahagiakanlah rayi Bratajaya, kakang telah ditakdirkan berjodoh
dengannya. Biarkan cinta diantara kita menjadi cerita dan kenangan.” Raden
Permadi terharu dan bertanya mengapa dia bisa selapang dada seperti itu.
Banowati bercerita bahawa beberapa hari sebelum dilamar oleh Prabu Anom
Suyudana, dia mendapat sebuah mimpi dimana dia melihat perang dahsyat yang
melibatkan ayahnya, kedua saudaranya, seluruh raja di Jawadwipa, para Kurawa
dan para Pandawa. Diceritakanlah mimpi itu pada ayahnya. Prabu Salya menjelaskan
bahwa perang dalam mimpinya itu adalah firasat dari sebuah takdir yang tak
dapat dielakkan. Keturunan Pandu Dewanata ditakdirkan bermusuhan dengan
keturunan Dretarastra dan puncaknya adalah perang besar di Tegal Kurusetra,
Mahapralaya Baratayudha yang melibatkan seluruh negara di Jawadwipa. Karena
itu, dia menerima lamaran Suyudana agar dia bisa menjadi mata-mata para Pandawa
untuk mencari kelemahan Kurawa. Dewi Banowati bersumpah setia pada para Pandawa
meskipun harus memberikan raganya pada Suyudana.
Permadi
begitu terharu dan petahanannya jebol. Air mata yang ditahannya kini mengalir
menganak sungai. Merekapun saling berpelukan erat hingga tanpa sadar, mereka terlena
dan tak mampu lagi menahan perasaan sehinggalah kedua insan itu tergoda birahi
yang meluap-luap dan terjadilah sebuah kecelakaan yang tak mereka sadari. Raden
Permadi kemudian menggendongnya dan mendudukkannya di atas kasur. Raden Permadi
kemudian melanjutkan riasannya.
Di
luar kamar, Prabu Anom Suyudana duduk menunggu. Di dalam hatinya, kegelisahan
dan perasaan cemburu berkecamuk karena Dewi Banowati lama sekali diriasnya.
Karena tak mampu bersabar lagi, dia menggedar-gedor kamar Dewi Banowati yang
terkunci dari dalam. Dibakar cemburu, Prabu Anom Suyudana menendang pintu itu
dengan Ajian Sahasra Maushal. Akibatnya, pintu pun terbanting dan jebol. Betapa
terkejutnya bahwa mereka masih berhias diri. Suyudana merasa curiga kenapa
meriasnya lama sekali “rayi dewi, kenapa lama sekali?” “Tentu saja lama. Ini
merias pengantin bukan dandan biasa. Harus teliti dan hati-hati. Salah-salah
nanti malah jadi bahan gunjingan sana-sini. Aku kecewa pada kakang Suyudana.
Kakang tak sabaran. “ Prabu Anom Suyudana membela dirinya “aku melakukan ini
karena perasaan gelisah ini. Aku takut kehilanganmu. Sekarang aku tanya, apa
kau didalam melakukan hal itu? aku akan kecewa sekali kalau kau sampai tak
perawan.” Dewi Banowati marah-marah dikatai begitu dan dia membalas “kakang
keterlaluan!!! Mau menangnya sendiri. Mau menikah cari yang perawan padahal diri
sendiri belum tentu masih perjaka! Apa kakang sendiri berani bersumpah kalau
kau masih perjaka? Berani tidak??” Suyudana terdiam tak berani bercakap karena
sadar bahwa dia sendiri sudah tak perjaka sejak bermain cinta dengan
Mirahdinebak, sang srati gajah Murdaningkung. Kemudian Prabu Anom Suyudana
keluar dan mempersilakan Permadi untuk melanjutkan rias pengantin.
Siang
harinya, upacara pernikahan antara Prabu Anom Suyudana dengan Dewi Banowati
diselenggarakan lalu dilanjutkan dengan pesta resepsi yang sangat meriah. Prabu
Anom Suyudana kemudian membawa sang istri berkeliling kotaraja naik gajah
Murdaningkung.
Raden Permadi memerah wajahnya, sembab matanya menahan air mata
karena bersedih hati melihat pujaan hatinya menikahi orang lain dan tahu bahwa
di balik senyum Banowati yang sumringah itu, batin Banowati justru sedang
berduka. Perasaan duka lara yang dialami Permadi perlahan hilang ketika
memandang Dewi Bratajaya yang duduk di kursi undangan. Justru perasaan suka dan
cinta menyembul dari retakan di hatinya. Permadi sendiri tak habis pikir
bagaimana bisa dia bisa jatuh hati pada banyak wanita sekaligus dalam satu
waktu. Di satu sisi dia sangat mencintai Dewi Bratajaya namun di sisi lain dia
juga benar-benar sayang pada Dewi Banowati. Di sisi yang lain pula dia juga
sangat kasih pada istri pertama dan keduanya,
Dewi Jimambang dan Dewi Manuhara yang ia tinggal di rumah orang tua
mereka masing-masing. Anugerah cinta Permadi memang membawa kebahagiaan
sekaligus kesedihan tersendiri.
Pernikahan Suyudana dan Banowati |
Di
saat Prabu Anom Suyudana dan rombongan berarak keliling kotaraja itu, mereka
dikejutkan oleh kedatangan Prabu Jayalengkara dan para pasukannya yang datang
tiba-tiba. “hei raja muda, serahkan perempuan di sampingmu itu atau ku
obrak-abrik pestamu dan ku cincang isi perutmu.” Suyudana sangat marah
mendengarnya. Dia ingin melawannya namun hal itu dicegah oleh Adipati Karna dan
Arya Wrekodara. Mereka menawarkan diri untuk melawan Prabu Jayalengkara.
Pasukan jin Alas Klangenan kemudian menyerang Adipati Karna yang seorang diri.
Namun berkat olesan Lisah Jayengkaton dari adiknya, dia mampu mengalahkan
pasukan jin itu. Sisa-sisa dari mereka lari tunggang langgang. Sementara itu,
Prabu jayalengkara yang terus berlawan dengan Arya Wrekodara menjadi terdesak.
Lalu dia menyandera Dewi Bratajaya yang sedang duduk di dekatnya.
“huaahahahaha.....serahkan Banowati sekarang atau ku bawa perempuan cantik
ini.” Arya Burisrawa menjadi beringas lalu dia menyerang sang raja jin Alas
Klangenan itu dengan membabi buta. Sejak pertemuannya saat pernikahan Dewi
Erawati, Arya Burisrawa diam-diam telah jatuh cinta pada Bratajaya. Namun Arya
Burisrawa yang menyerang serampangan itu dapat dikalahkan dengan mudah oleh
Prabu Jayalengkara. Lalu Arya Wrekodara kembali maju. Kali ini Permadi juga
ikut melawan raja jin itu. Permadi yang marah melihat cintanya disandera segera
merentangkan Busur Gandiwa dan merapal ajian Prahara Bana. Seketika panah-panah yang dikeluarkan Permadi
mengeluarkan topan badai yang membawa terbang Prabu Jayalengkara. Dewi
Bratajaya kemudian diselamatkannya. Ketika Prabu Jayalengkara melesat jatuh
dari angkasa, Arya Wrekodara segera merapal ajian Angkusa Prana ikut melesat ke
angkasa dan menyabetkan Kuku Pancanaka miliknya. Raja jin itu jatuh tewas
dengan isi perut tercincang dan kepala remuk menghantam tanah lalu jasadnya
menghilang bagaikan debu. Setelah para pasukan alas Klangenan pergi semua, arak-arakan
itu kembali dilanjutkan dengan meriah.
Tiga
puluh lima hari setelah pernikahan, Prabu Anom Suyudana memboyong Dewi Banowati
ke Hastinapura. Sesampainya disana, Prabu Dretarastra, Dewi Gendari, Patih
Sengkuni dan seluruh saudara-saudaranya, para Kurawa menyambut kedatangan
mereka. Prabu Dretarastra mendekati putra tertuanya itu “Putraku, kini kau
sudah dewasa dan sudah mendapatkan orang yang bisa diajak timbang-timbang.
Sudah saatnya ku serahkan takhta ini.” Keesokan harinya, Maharesi Bhisma datang
bersama Resi Dorna melantik Suyudana menjadi raja Hastinapura secara penuh
bukan lagi sebagai raja muda.
Setelah upacara pelantikan, Suyudana duduk di
atas takhta bersama permaisurinya. Lalu dia berseru” para hadirin, mulai saat
ini aku lah raja Hastinapura yang baru dan aku akan menamai diriku Duryudana.” Demikianlah, kini Negara
Hastinapura memiliki raja baru yaitu sulung Kurawa, Prabu Duryudana. Jika makna
dari Suyudana adalah“dia yang terbaik” maka Duryudana bermakna “dia yang tak
pernah terkalahkan.” Maksud dari itu semua karena Prabu Duryudana ingin menghibur
diri bahwa dia telah menang persaingan dari Para Pandawa dan Kresna.
Duryudana naik takhta menjadi raja Hastinapura |
*selain nama Suyudana, Duryudana memilik beberapa nama julukan
lain, diantaranya Kurunata (putra sulung Dretarastra), Kurupati (sulung para
Kurawa), Gendarisuta (anak Dewi Gendari), Kurendrapati (raja para Kurawa), Dretarastratmaja
(putra Dretarastra), Jakapitana, Jayawitana, dan Tripamangsah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar