Sabtu, 07 September 2019

Diantara Permadi, Banowati, dan Suyudana (Suyudana Krama)


Salam semua, semoga pembaca diberi karunia oleh Yang Maha Pengasih. Kisah kali ini menceritakan pernikahan Prabu Anom Suyudana dengan Dewi Banowati yang turut mengakhiri dari cinta segitiga antara Permadi, Banowati, dan Suyudana. Kisah ini ditutup dengan pelantikan Suyudana menjadi raja Hastinapura bergelar Prabu Duryudana. Sumber kisah ini berasal dari Kitab Pustakaraja Purwa karya Ngabehi Ranggawarsita dan blog albumkisahwayang.blogspot.com yang telah dikembangkan dengan imajinasi penulis.
Sudah menjadi rahasia umum bahwa Raden Permadi dan Dewi Banowati saling jatuh cinta sejak pertama kali mereka bertemu. Namun, yang namanya garis nasib dan jodoh, sudah digariskan oleh Sanghyang Widhi yang Maha Esa. Manusia bahkan para dewa cuma bisa mengusahakan saja. Singkat cerita, jodoh Banowati adalah Prabu Anom Suyudana, raja muda Hastinapura. Pada hari yang baik, Prabu Anom Suyudana ditemani Adipati Karna, Arya Dursasana, Resi Dorna, dan Patih Arya Sengkuni datang dari Hastinapura ke Mandaraka untuk melamar Dewi Banowati. Walaupun Prabu Salya, sang ayah sudah setuju, seakan ingin hendak menolak takdir jodohnya, Dewi Banowati meminta persyaratan yang sangat berat untuk dipenuhi calon raja Hastinapura itu “Kakang Suyudana, aku mau menerimamu tapi asalkan kau mau menyanggupi syarat dariku.” “Apapun syarat itu, akan ku penuhi.” Dewi Banowati kemudian menjelaskan syarat-syarat itu “pertama, kakang harus sediakan seekor gajah putih lengkap dengan sang srati wanita untuk mengarak kita keliling kotaraja dan yang kedua, aku ingin dirias atau dipaes oleh pemuda paling tampan.” Seketika saja, wajah Prabu Anom Suyudana memerah padam menahan malu dan marah. Dia mengerti bahwa sang calon istri meminta dirias oleh pemuda paling tampan itu artinya dia ingin dirias oleh Permadi. Sang calon istri memang masih mencintai cinta pertamanya. Tapi mengingat kegagalannya meminang Drupadi, Rukmini, dan Setyaboma yang memang karena ikut sayembara tapi diwakilkan orang lain membuatnya harus berjuang sendiri. Dilapangkan dada dan pikirannya lalu secara tegas dia berkata seraya bersumpah,”baiklah, rayi Banowati. Aku bersumpah, akan ku penuhi semua syaratmu meskipun harus mengorbankan seluruh harga diriku.” Kemudian Prabu Anom Suyudana meminta Patih Sengkuni, Resi Dorna, dan Arya Dursasana untuk pulang duluan ke Hastinapura, sementara dirinya sendiri ditemani Adipati Karna akan mencari cara untuk memenuhi dua syarat itu.
Sementara itu di kerajaan jin Alas Klangenan, Prabu Jayalengkara bermimpi bertemu dengan seorang putri cantik bernama Banowati dari Mandaraka. setelah bangun dari tidurnya, dia dilanda angau (sakit cinta). Dimanapun dia melakukan sesuatu pasti terbayang dan ingin sekali menggerayanginya. Karena sudah tak tertahankan lagi, Prabu Jayalengkara memimpin pasukan Alas Klangenan untuk menggempur Mandaraka dan merebut sang putri pujaannya itu. Di tempat lain, Prabu Yudhistira, Dewi Drupadi, Arya Wrekodara, Raden Nakula dan Raden Sadewa beserta para Punakawan sedang dalam perjalanan ke Mandaraka. Di tengah jalan, Prabu Yudhistira mengkhawatirkan kepergian Raden Permadi yang belum pulang ke Amarta sejak membantu Prabu Kresna mendapatkan Dewi Setyaboma dan Resi Hanoman Mayangkara menangkap sukma Prabu Rahwana. Raden Wrekodara kemudian menenangkan hati kakaknya itu “Sudahlah, kakang Prabu. Gak usah khawatir. adhi Jlamprong pasti baik-baik saja. Sebelum aku pulang, dia sudah izin padaku untuk menemui salah satu istrinya, Dinda Manuhara.” Lalu mereka berpapasan dengan Prabu Anom Suyudana dan Adipati Karna. Prabu Yudhistira segera menghormat pada sang kakak tertua lalu dia bertanya padanya “kakang Adipati, kenapa kalian berada disini? Bukannya akan kakang Prabu Anom akan segera menikah dengan kakang mbok Banowati?” kemudian Adipati Karna menceritakan dua persyaratan untuk Prabu Anom Suyudana kalau ingin menikahi Banowati. Prabu Yudhistira menjadi prihatin lalu menyarankan agar mereka menemui Permadi di desa Andong Sumawi di rumah Resi Sidiwacana. Prabu Yudhistira kemudian meminta Ki lurah untuk menyertai Adipati Karna “kakang ki lurah, kalian ikutlah kakang Adipati dan Prabu Anom. Biar aku dan aik-adik yang duluan ke Mandaraka.” “sesuai permintaanmu, ndoroku. Mari anak-anakku.” Singkat cerita, para Punakawan mengikuti Adipati Karna dan Prabu Anom Suyudana untuk menemui Permadi di desa Andong Sumawi.
Benar saja, Raden Permadi yang dicari-cari memang sedang berada di desa Andong Sumawi. Dia sedang berbulan madu dengan sang istri, Dewi Manuhara. Semenjak ditolong oleh Dewi Manuhara, Raden Permadi menyimpan cinta pada Dewi Manuhara begitupun sebaliknya. Namun, Raden Permadi sadar diri bahwa dia sudah ditunangkan sejak kecil oleh Dewi Bratajaya, sepupunya sendiri. Dewi Manuhara merasa sedikit kecewa dan sadar bahwa tak mungkin seorang gadis desa menikahi seorang pangeran termahsyur sudah ditunangkan dengan putri raja pula. Demi membesarkan hati sang calon istri, dia berkata bahwa Dewi Manuhara tetap bisa menjadi istrinya meskipun bukan permaisuri dan boleh datang ke Amarta atau Madukara kapan saja. Dewi Manuhara merasa bersyukur sekali dan ikhlas menjadi istri peminggir saja. Dia sadar dia tak akan diboyong ke Madukara tapi akan tetap bersama sang ayah. Walau demikian, asalkan dia bisa melayani sang pangeran, itu sudah membahagiakan hatinya. Demikianlah Raden Permadi dan Dewi Manuhara menikah secara sederhana. Kini Raden Permadi sedang menikmati masa-masa bulan madunya. Di saat yang sama, datanglah Adipati Karna dan Prabu Anom Suyudana beserta para punakawan. Raden Permadi segara menghampiri mereka dan bertanya. Lalu Adipati membuka kata “begini adhi Permadi, aku dan kakang Suyudana membutuhkan bantuanmu. Kakang Prabu Anom kini akan menikahi rayi Banowati dan dia meminta syarat. Salah satu syaratnya Rayi Banowati ingin dirias oleh pemuda paling tampan. Yang aku tahu hanya kau lah pemuda paling tampan itu dan kau sendiri pandai merias diri.” Raden Permadi bergetar hatinya. Di dalam hatinya, dia masih menyimpan cinta tapi apa mau dikata, takdir berkata lain. Dia teringat pada kata-kata Batari Durga waktu pernikahan Prabu Baladewa dan Dewi Erawati tempo hari. Dia harus merelakan Dewi Banowati karena dia bukanlah jodohnya. Dengan wajah merah padam menahan perasaan kesal dan malu, dia mengiyakan permintaan sang kakak tertua dan Prabu Anom Suyudana.
Raden Permadi, Adipati Karna, dan Prabu Anom Suyudana memohon pamit kepada Resi Sidiwacana dan Dewi Manuhara. Sebelum mereka pergi, Resi Sidiwacana menawarkan diri membantu menemukan gajah putih dan srati wanitanya.”tunggu,nak. aku akan ikut kalian mencarikan gajah putih dan srati wanitanya. Aku punya teman lama bernama Ratu Clekutana, pemimpin para Gandarwi di hutan Pringgabaya. Putrinya, Nini Mirahdinebak seingatku, dia punya seekor gajah putih yang kalian cari.” Mereka berterima kasih sekali telah mendapatkan bantuan itu. Dewi Manuhara juga mendoakan sang suami agar berhasil dan dapat kembali ke Amarta dengan selamat. Raden Permadi berjanji kalau saat anak mereka lahir, dia akan datang lagi ke desa Andong Sumawi.
Singkat cerita, mereka berdelapan orang sampai di Hutan Pringgabaya. Permadi segera mengoleskan Lisah Jayengkaton ke sekitar mata sang kakak dan Prabu Anom Suyudana. Berkat minyak ajaib itu, mereka bisa melihat sebenarnya dari hutan Pringgabaya. tempat yang terlihat seperti kumpulan pohon, semak belukar, dan sulur-sulur ternyata adalah sebuah istana yang megah berhiaskan berlian dan emas. Alam gaib di hutan itu terbuka. Ketika memasuki istana itu, Ratu Clekutana dan Nini Mirahdinebak menyambut mereka menandakan kedatangan mereka diterima. Ratu Clekutana bertanya pada teman lamanya”Sidiwacana, ada angin apa kau sampai capek-capek datang kesini, sahabatku? “ “begini, keperluanku datang kesini untuk meminta izin padamu untuk meminjam putrimu dan gajahnya.” Ratu Clekutana mempersilahkannya namun putrinya memberikan syarat ”Ibu aku bersedia tapi dengan satu syarat.” Adipati Karna bertanya “Apa syaratnya? Kalau minta tumbal nyawa kakang Prabu, aku rela jadi gantinya.” “tidak, Adipati. Aku bukan makhluk kejam haus darah yang meminta tumbal nyawa sana-sini. Syarat itu akan kami bicarakan empat mata dengan Suyudana di taman belakang.” Untuk menjaga privasi mereka, Ratu Clekutana mengajak mereka kecuali Suyudana dan Mirahdinebak melihat-lihat hutan Pringgabaya dari sisi alam gaibnya.
Di taman belakang istana Pringgabaya gaib yang sepi tak ada siapapun disitu, Prabu Anom Suyudana dan Nini Mirahdinebak membicarakan apa persyaratannya. Nini Mirahdinebak berkata “kakang, sebenarnya syarat itu mudah sekali. Izinkan aku kelon denganmu di taman ini.” “apa? kalau syaratnya seperti itu, aku rasa aku tak sanggup jika harus tidur denganmu.” Nini Mirahdinebak merayunya, “ayolah kakang. ini akan menguntangkanmu. Kau bisa menikahi pujaan hatimu sekaligus gajahku akan jadi milikmu selamanya. Gajah putihku bernama Murdaningkung adalah gajah keturunan dari gajah Erawata milik Batara Indra. Kekuatan gajahku diatas kemampuan gajah rata-rata. Jadi akan menguntungkan dalam peperanganmu nanti.” Prabu Anom Suyudana menimbang-nimbang, pada akhirnya dia setuju dan bersedia tidur dengan Nini Mirahdinebak. Nini Mirahdinebak segera membuat aura pelindung mengelilingi taman itu dan memulai persetubuhan itu. Prabu Anom Suyudana menggerayangi dan melihat tubuh Mirahdinebak yang seksi namun berkulit hitam bagai arang itu menjadi ketakutan dan jijik sehingga dia memejamkan matanya. Begitu mereka sama-sama puas, mereka segera mengakhiri permainan enam sembilan itu dan segera mandi di sendang di tengah taman itu. Begitu menceburkan diri, Prabu Anom Suyudana seketika merasa kembali perjaka begitupun nini Mirahdinebak kembali perawan juga. Rupanya ini buah dari sumpah Suyudana sebelum mencari syarat-syarat pernikahannya tadi, dia berhasil mencari syarat-syarat itu tapi juga harus mengorbankan harga dirinya sebagai perjaka. Karena syarat-syarat telah terpenuhi, mereka segera menemui semuanya yang baru balik berkeliling hutan. Singkat cerita, Adipati Karna, Raden Permadi, dan Prabu Anom Suyudana beserta para punakawan dan Nini Mirahdinebak yang naik gajah Murdaningkung segera berangkat ke Mandaraka sementara Resi Sidiwacana kembali ke desa Andong Sumawi. Begitu meninggalkan Pringgabaya, istana itu menghilang kembali tertutupi oleh pepohonan, semak, dan sulur. Semuanya kembali menjadi hutan.
Sementara itu, di kerajaan Mandaraka sedang disiapkan pesta pernikahan Prabu Anom Suyudana dan Dewi Banowati. Arya Burisrawa sedang membantu memasang umbul-umbul dan panggung sementara Bambang Rukmarata menyusun dekorasi. Telah hadir pula para kerabat Mandaraka yakni, keluarga Hastinapura yaitu Prabu Dretarastra. Dewi Gendari, Patih Arya Sengkuni, dan Resi Dorna. Lalu datang pula keluarga Pandawa dari Amarta dan wakil keluarga Yadawa yaitu, Prabu Baladewa beserta Dewi Erawati, Prabu Kresna, dan Dewi Bratajaya. Semenjak dirinya diculik oleh sukma Prabu Rahwana tempo hari, Dewi Bratajaya memilih tidak pulang ke Mandura tapi menetap di Dwarawati berkumpul dengan ketiga iparnya. Tak lama setelah kedatangan keluarga Pandawa dan Yadawa, terdengarlah suara iring-iringan mempelai pria ke arah kotaraja. Terlihat Prabu Anom Suyudana begitu gagah mengendarai seekor gajah putih yang dikusiri Nini Mirahdinebak. Dibelakangnya, terlihat Adipati Karna dan Dewi Srutikanti mengendarai Kereta Jatisura. Di belakangnya lagi, disusul iring-iringan para Kurawa yang dipimpin Arya Dursasana, Raden Permadi dan para Punakawan. Hari itu, selain Prabu Anom Suyudana, para Kurawa, dan Adipati Karna yang nampak cemerlang dengan pakaian kebesaran mereka, Raden Permadi yang juga memakai pakaian kebesaran menjadi fokus bagi semua orang terutama Dewi Banowati dan Dewi Baratajaya. Dewi Banowati menjadi salah tingkah dan gagal fokus melihat sang pujaan hati yang kini akan menjadi masa lalunya itu. Dewi Bratajaya yang menyadari itu semua menyindir Dewi Banowati dengan gayanya yang lugas “Haduduh.... rupanya sang pungguk kembali melihat sang bulan. Aku sendiri heran siapa sih yang mau dinikahkan pada Dinda Banowati, Kakang Prabu Anom apa kakang Permadi sihh?” “adik, jaga ucapanmu. Ini pernikahan, bukan tempat menggunjing.” Prabu Baladewa menegur adiknya dan dengan sigap, Prabu Baladewa segera membawa sang adik bungsu pergi menghindar. Memang apa yang di kata orang, di mata Dewi Banowati maupun Dewi Bratajaya, Permadi adalah harta berharga. Sebaliknya, bagi Permadi baik Banowati maupun Bratajaya, cintanya kepada keduanya sama besar dan tak bisa berkurang sedikitpun.
Singkat cerita, Dewi Banowati segera memasuki kamar untuk dirias. Prabu Anom Suyudana ingin melihat tapi Dewi Banowati melarangnya karena menurutnya pemali bila mempelai pria melihat mempelai perempuan sedang dirias. Sembari dirias, Dewi Banowati mengajak bicara sang kekasih, namun Permadi tak menggubrisnya. Hanya wajahnya yang memerah padam menahan malu. Dewi Banowati bersedih dan menyatakan perasaannya sembari menitikkan air mata “kakang permadi, teganya kau. Aku hanya ingin bicara padamu. Aku mencintaimu tapi aku harus menikahi orang lain. Tak kecewakah kakang? Sungguh bila demikian, kakang tak lebih dari maniak cinta.” Permadi tak mampu lagi menahan perasaannya dan mengungkapkan isi hati juga “maafkan aku. Aku sebenarnya sangat cemburu. Aku kesal karena kau harus menikahi kakang Suyudana. Ingin rasanya aku menghabisinya agar bisa mendapatkanmu. Kalau perlu kita kawin lari saja.” Dewi Banowati terkejut mendengarnya lalu mengingatkan sang kekasih untuk melupakan niatnya itu. lalu dia mengingatkan Permadi bahwa jodoh sejatinya adalah Dewi Bratajaya “kakang, ku mohon berpkirlah jernih. Belajarlah untuk mengikhlaskan yang bukan milik kita. Lupakan aku dan bahagiakanlah rayi Bratajaya, kakang telah ditakdirkan berjodoh dengannya. Biarkan cinta diantara kita menjadi cerita dan kenangan.” Raden Permadi terharu dan bertanya mengapa dia bisa selapang dada seperti itu. Banowati bercerita bahawa beberapa hari sebelum dilamar oleh Prabu Anom Suyudana, dia mendapat sebuah mimpi dimana dia melihat perang dahsyat yang melibatkan ayahnya, kedua saudaranya, seluruh raja di Jawadwipa, para Kurawa dan para Pandawa. Diceritakanlah mimpi itu pada ayahnya. Prabu Salya menjelaskan bahwa perang dalam mimpinya itu adalah firasat dari sebuah takdir yang tak dapat dielakkan. Keturunan Pandu Dewanata ditakdirkan bermusuhan dengan keturunan Dretarastra dan puncaknya adalah perang besar di Tegal Kurusetra, Mahapralaya Baratayudha yang melibatkan seluruh negara di Jawadwipa. Karena itu, dia menerima lamaran Suyudana agar dia bisa menjadi mata-mata para Pandawa untuk mencari kelemahan Kurawa. Dewi Banowati bersumpah setia pada para Pandawa meskipun harus memberikan raganya pada Suyudana.
Permadi begitu terharu dan petahanannya jebol. Air mata yang ditahannya kini mengalir menganak sungai. Merekapun saling berpelukan erat hingga tanpa sadar, mereka terlena dan tak mampu lagi menahan perasaan sehinggalah kedua insan itu tergoda birahi yang meluap-luap dan terjadilah sebuah kecelakaan yang tak mereka sadari. Raden Permadi kemudian menggendongnya dan mendudukkannya di atas kasur. Raden Permadi kemudian melanjutkan riasannya.
Di luar kamar, Prabu Anom Suyudana duduk menunggu. Di dalam hatinya, kegelisahan dan perasaan cemburu berkecamuk karena Dewi Banowati lama sekali diriasnya. Karena tak mampu bersabar lagi, dia menggedar-gedor kamar Dewi Banowati yang terkunci dari dalam. Dibakar cemburu, Prabu Anom Suyudana menendang pintu itu dengan Ajian Sahasra Maushal. Akibatnya, pintu pun terbanting dan jebol. Betapa terkejutnya bahwa mereka masih berhias diri. Suyudana merasa curiga kenapa meriasnya lama sekali “rayi dewi, kenapa lama sekali?” “Tentu saja lama. Ini merias pengantin bukan dandan biasa. Harus teliti dan hati-hati. Salah-salah nanti malah jadi bahan gunjingan sana-sini. Aku kecewa pada kakang Suyudana. Kakang tak sabaran. “ Prabu Anom Suyudana membela dirinya “aku melakukan ini karena perasaan gelisah ini. Aku takut kehilanganmu. Sekarang aku tanya, apa kau didalam melakukan hal itu? aku akan kecewa sekali kalau kau sampai tak perawan.” Dewi Banowati marah-marah dikatai begitu dan dia membalas “kakang keterlaluan!!! Mau menangnya sendiri. Mau menikah cari yang perawan padahal diri sendiri belum tentu masih perjaka! Apa kakang sendiri berani bersumpah kalau kau masih perjaka? Berani tidak??” Suyudana terdiam tak berani bercakap karena sadar bahwa dia sendiri sudah tak perjaka sejak bermain cinta dengan Mirahdinebak, sang srati gajah Murdaningkung. Kemudian Prabu Anom Suyudana keluar dan mempersilakan Permadi untuk melanjutkan rias pengantin.
Siang harinya, upacara pernikahan antara Prabu Anom Suyudana dengan Dewi Banowati diselenggarakan lalu dilanjutkan dengan pesta resepsi yang sangat meriah. Prabu Anom Suyudana kemudian membawa sang istri berkeliling kotaraja naik gajah Murdaningkung.
Pernikahan Suyudana dan Banowati
Raden Permadi memerah wajahnya, sembab matanya menahan air mata karena bersedih hati melihat pujaan hatinya menikahi orang lain dan tahu bahwa di balik senyum Banowati yang sumringah itu, batin Banowati justru sedang berduka. Perasaan duka lara yang dialami Permadi perlahan hilang ketika memandang Dewi Bratajaya yang duduk di kursi undangan. Justru perasaan suka dan cinta menyembul dari retakan di hatinya. Permadi sendiri tak habis pikir bagaimana bisa dia bisa jatuh hati pada banyak wanita sekaligus dalam satu waktu. Di satu sisi dia sangat mencintai Dewi Bratajaya namun di sisi lain dia juga benar-benar sayang pada Dewi Banowati. Di sisi yang lain pula dia juga sangat kasih pada istri pertama dan keduanya,  Dewi Jimambang dan Dewi Manuhara yang ia tinggal di rumah orang tua mereka masing-masing. Anugerah cinta Permadi memang membawa kebahagiaan sekaligus kesedihan tersendiri.
Di saat Prabu Anom Suyudana dan rombongan berarak keliling kotaraja itu, mereka dikejutkan oleh kedatangan Prabu Jayalengkara dan para pasukannya yang datang tiba-tiba. “hei raja muda, serahkan perempuan di sampingmu itu atau ku obrak-abrik pestamu dan ku cincang isi perutmu.” Suyudana sangat marah mendengarnya. Dia ingin melawannya namun hal itu dicegah oleh Adipati Karna dan Arya Wrekodara. Mereka menawarkan diri untuk melawan Prabu Jayalengkara. Pasukan jin Alas Klangenan kemudian menyerang Adipati Karna yang seorang diri. Namun berkat olesan Lisah Jayengkaton dari adiknya, dia mampu mengalahkan pasukan jin itu. Sisa-sisa dari mereka lari tunggang langgang. Sementara itu, Prabu jayalengkara yang terus berlawan dengan Arya Wrekodara menjadi terdesak. Lalu dia menyandera Dewi Bratajaya yang sedang duduk di dekatnya. “huaahahahaha.....serahkan Banowati sekarang atau ku bawa perempuan cantik ini.” Arya Burisrawa menjadi beringas lalu dia menyerang sang raja jin Alas Klangenan itu dengan membabi buta. Sejak pertemuannya saat pernikahan Dewi Erawati, Arya Burisrawa diam-diam telah jatuh cinta pada Bratajaya. Namun Arya Burisrawa yang menyerang serampangan itu dapat dikalahkan dengan mudah oleh Prabu Jayalengkara. Lalu Arya Wrekodara kembali maju. Kali ini Permadi juga ikut melawan raja jin itu. Permadi yang marah melihat cintanya disandera segera merentangkan Busur Gandiwa dan merapal ajian Prahara Bana. Seketika panah-panah yang dikeluarkan Permadi mengeluarkan topan badai yang membawa terbang Prabu Jayalengkara. Dewi Bratajaya kemudian diselamatkannya. Ketika Prabu Jayalengkara melesat jatuh dari angkasa, Arya Wrekodara segera merapal ajian Angkusa Prana ikut melesat ke angkasa dan menyabetkan Kuku Pancanaka miliknya. Raja jin itu jatuh tewas dengan isi perut tercincang dan kepala remuk menghantam tanah lalu jasadnya menghilang bagaikan debu. Setelah para pasukan alas Klangenan pergi semua, arak-arakan itu kembali dilanjutkan dengan meriah.
Tiga puluh lima hari setelah pernikahan, Prabu Anom Suyudana memboyong Dewi Banowati ke Hastinapura. Sesampainya disana, Prabu Dretarastra, Dewi Gendari, Patih Sengkuni dan seluruh saudara-saudaranya, para Kurawa menyambut kedatangan mereka. Prabu Dretarastra mendekati putra tertuanya itu “Putraku, kini kau sudah dewasa dan sudah mendapatkan orang yang bisa diajak timbang-timbang. Sudah saatnya ku serahkan takhta ini.” Keesokan harinya, Maharesi Bhisma datang bersama Resi Dorna melantik Suyudana menjadi raja Hastinapura secara penuh bukan lagi sebagai raja muda.
Duryudana naik takhta menjadi raja Hastinapura
Setelah upacara pelantikan, Suyudana duduk di atas takhta bersama permaisurinya. Lalu dia berseru” para hadirin, mulai saat ini aku lah raja Hastinapura yang baru dan aku akan menamai diriku Duryudana.” Demikianlah, kini Negara Hastinapura memiliki raja baru yaitu sulung Kurawa, Prabu Duryudana. Jika makna dari Suyudana adalah“dia yang terbaik” maka Duryudana bermakna “dia yang tak pernah terkalahkan.” Maksud dari itu semua karena Prabu Duryudana ingin menghibur diri bahwa dia telah menang persaingan dari Para Pandawa dan Kresna.
*selain nama Suyudana, Duryudana memilik beberapa nama julukan lain, diantaranya Kurunata (putra sulung Dretarastra), Kurupati (sulung para Kurawa), Gendarisuta (anak Dewi Gendari), Kurendrapati (raja para Kurawa), Dretarastratmaja (putra Dretarastra), Jakapitana, Jayawitana, dan Tripamangsah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar