Jumat, 09 Agustus 2019

Bambang Tetuka (Gatotkaca Lahir)


Salam semua, semoga Tuhan Yang Maha Kuasa melimpahkan rahmat, taufik, dan hidayah-Nya. Kali ini penulis akan menceritakan kelahiran ksatria yang berjulukan otot kawat tulang besi. Yuts, dia lah si Gatotkaca. Dikisahkan pula secara singkat pertemuan tak sengaja antara Permadi dan Dewi Manuhara, yang kelak melahirkan Dewi Pregiwa dan kelak akan berjodoh dengan Gatotkaca. Kisa ini bersumber dari Kitab Pustakaraja Purwa, blog albumkisahwayang.blogspot.com dan beberap sumber lainnya di internet yang sudah di ubah dan dikembangkan oleh imajinasi penulis seperlunya.
Para Pandawa dan Pringgandani telah menjadi sahabat sejak sebelum negara Amarta berdiri. Para raksasa Pringgandani telah membantu para Pandawa membangun Amarta. Terlebih semenjak pernikahan Arya Bratasena dengan Ratu Arimbi, ratu Pringgandani yang baru, , hubungan mereka semakin erat. Kini Ratu Arimbi sedang mengandung dan akan melahirkan. Baik para Pandawa maupun para Kadang Braja menggadang-gadang putra yang dikandung Ratu Arimbi menjadi pewaris takhta Pringgandani dan ksatria hebat sakti mandraguna. Di depan bilik istrinya, Arya Bratasena harap-harap cemas menanti kelahiran putranya. Setelah lama menunggu, terdengar suara tangisan bayi. Suara tangisannya terdengar ke seluruh Pringgandani. Arya Bratasena segera masuk dan melihat keadaan istri dan anaknya.” Kanda, anak kita laki-laki yang sehat.” Arya Bratasena melihat putranya itu. Putranya itu seperti bayi pada umumnya. Tampan dan gagah hanya saja sejak lahir telah dianugerahi sepasang taring kecil. Arya Bratasena kemudian memberi nama sang putra dan mengganti namanya. “Hari ini putraku telah lahir. Akan kunamai dia Bambang Tetuka dan mulai sekarang namaku sang Wrekodara Bima.” Kabar gembira itu segera diumumkan ke seluruh Pringgandani, Amarta, Mandura, dan Dwarawati.
Sebulan kemudian, kemudian diselenggarakanlah pesta selapanan untuk memotong tali pusar Bambang Tetuka. Seluruh keluarga Pandawa, keluarga Yadawa, kadang Braja, dan para sesepuh datang. Tak ketinggalan juga Ki Lurah Semar, Gareng, Petruk, dan Bagong datang di acara itu. Setelah peresmian nama Bambang Tetuka, Arya Wrekodara mulai memotong tali pusar putranya itu. Tapi aneh sekali, tali pusar Bambang Tetuka alot sekali, tak bisa dipotong dengan pisau. Arya Wrekodara mencoba dengan kuku Pancanaka namun juga tak bisa. Alot sekali. Arya Wrekodara menjadi gusar karenannya. Kemudian Permadi mencoba memotongnya dengan Keris Pulanggeni dan Kalanadah, lalu panah Sangkali, panah Panah Sarotama, namun tetap tidak bisa terputus. Prabu Baladewa juga mencoba memotong tali pusar keponakannya itu dengan ujung tombak Nenggala yang konon merupakan mata bajak terkuat yang mampu membuat tanah terbelah menjadi jurang dalam sekali tebas. Namun mata tombak Nenggala juga tak bisa memotong bahkan senjata itu terlempar. Prabu Yudhistira kemudian mencoba dengan mata tombak Kyai Karawelang, tapi hasilnya juga sama. Cakra Widaksana yang dikeluarkan Prabu Kresna juga hanya menciptakan percikan-percikan api dan kilat. Semuanya termangu bengong melihat keajaiban itu. Ratu Arimbi merasa khawatir “Kanda bagaimana ini? Aku tidak mau putra kita tetap membawa tali pusar sampai besar nanti.” “Tidak ada sesuatu yang tidak bisa dipotong, cucuku.”  Suara eyang Abiyasa membuyarkan kekhawatiran cucu mantunya itu. Semua orang menghaturkan sungkem padanya. Arya Wrekodara mendekati kakeknya itu, meminta solusi untuk masalah ini “lalu , apa solusinya, eyang?” “ tali pusar putramu itu ulet. Tak bisa dipotong dengan senjata biasa. Yang bisa memotongnya hanya senjata kahyangan yang hanya dibawa oleh Batara Narada. Nah cucuku, Permadi. Bertapabrata lah di pinggir Bengawan Yamuna. Kelak Batara Narada akan datang di sana.” Raden Permadi segera menjalankan perintah sang kakek.
Sementara itu nun jauh di puncak gunung Mahameru, di Kahyangan Jonggring Saloka, Batara Guru, raja para dewa dan Batara Indra, raja para bidadari kedatangan seorang patih dari kerajaan Kiskandamatra, yaitu patih Sekipumantra. Dia datang menghadap “sembah pada pukulun berdua. Hamba Sekipumantra dari Kiskandamatra menyampaikan surat dari raja hamba, Prabu Naga Kalapercona untuk melamarkan Dewi Surendra, salah satu bidadari kahyangan kesayangan Pukulun Indra.” Batara Indra membaca isi surat itu. surat itu ternyata berisi ancaman jika bidadari itu tidak diberikan, maka Dewi Surendra akan diambil paksa dan kahyangan akan dirusak dan dihancurkan oleh Naga Kalapercona sendiri. Setelah membaca isi surat itu, Batara Indra merah wajahnya tandanya marah. Seketika sebuah kilat menyambar Patih Sekipumantra dan melemparkannya kembali ke Kiskandamatra. Halilintar yang dikeluarkan Indra menandakan dia tak setuju dan menolak lamaran itu. Singkat cerita, Patih Sekipumantra mengabarkan pada rajanya itu bahwa lamaran mereka ditolak. Prabu Naga Kalapercona murka luar biasa dan langsung bertolak dan menyerang kahyangan beserta para prajuritnya. Pasukan Dorandara dan Batara Indra sudah bersiap sedia dan mereka mulai bertempur di Repatkepanasan. Awalnya pertempuran berjalan imbang sehinggalah Prabu Naga Kalapercona mulai kut bertempur. Dia berubah menjadi naga raksasa dan menyerang pasukan Dorandara dengan api dan bisa panasnya. Pasukan Dorandara kewalahan bahkan halilintar-halilintar yang ditembakkan Batara Indra tak ayal hanya gelitikan kecil baginya. Api yang dilontarkan Batara Brahma hanya seperti batu kerikil panas. Topan badai yang di hembuskan Batara Bayu juga tak lebih seperti kibasan ekor domba, tak mampu membuat tubuhnya goyah sedikitpun. Bahkan gelombang tsunami yang dibawa Batara Baruna dan Batara Mintuna juga tak mampu membuat raja itu berpindah tempat satu jengkalpun. Malah semua itu berbalik pada mereka. Para dewa menjadi terdesak mundur. Mereka segera masuk kembali ke Jonggring Saloka dan Batara Indra segera memerintahkan Batara Cingkarabala dan Balaupata menutup Lawang Selomatangkep.Prabu Naga Kalapercona semakin murka dan terus menyemburkan apinya ke atas kahyangan. Batara Guru dan Batara Indra menjadi khawatir kahyangan akan dirusak oleh raja yaksa buas itu. Lalu Batara Narada berbicara pada mereka “Adhi Guru dan Indra, menurutku Prabu Naga Kalapercona tidak ditakdirkan kalah oleh para dewa. Dia hanya ditakdirkan kalah oleh putra kedua Arya Wrekodara Bima, kini dia menunggu pusarnya dipotong dan yang bisa memotongnya hanya senjata kahyangan yang dibuat dari pohon Kastuba.” Batara Guru segera memerintahkan Batara Empu Ramayadi untuk menebang pohon Kastuba dan menjadikannya senjata. Tak butuh berapa lama, senjata pun jadi. Senjata itu berbentuk panah panjang bagai tombak dan oleh Batara Empu Ramayadi senjata itu dinamai Konta Wijaya. Senjata itu diserahkan ada Batara Guru lalu diberi daya kesaktian. Batara Guru segera menyerahkan itu pada Batara Narada “ini senjatanya kakang Narada. Serahkan ini pada paman dari putra Bima itu. Menurut trineta-ku, kini paman dari anak itu sedang bertapa brata di pinggir bengawan Yamuna.” Singkat cerita, Batara Narada mulai turun ke bumi dan mencari orang yang dimaksud Batara Guru.
Sudah lebih dari dua tahun Permadi bertapa di tepi bengawan Yamuna sampai-sampai tak menyadari jika di sisi lain bengawan, ada ksatria lain yang juga bertapa brata disana. Ksatria itu adalah Adipati Karna. Dia bertapa karena mendapat sebuah wangsit dari ayahnya, Batara Surya untuk mendapatkan senjata sakti dari Batara Narada. Kebetulan sekali, Batara Narada datang ke tepi bengawan Yamuna.
Panah konta Wijaya
Demi kejayaan putranya, Batara Surya mengelabui Batara Narada dengan mendatangkan mendung dan membuat sinar matahari menjadi remang-remang bagaikan senja. Mata sipit Batara Narada tak mampu melihat dengan jelas di tengah suasana yang remang-remang itu sehingga bukannya menuju tempat Permadi, malah ia mengarah ke tempat bertapa brata Adipati Karna. Wajah Permadi dan Adipati Karna yang sama-sama tampan jadi semakin samar dengan suasana remang dan cahaya perbawa yang dipancarkan mereka. Batara Narada kemudian membangunkan Karna yang dikiranya Permadi itu“ Bangunlah cucuku, aku serahkan senjata ini untukkau gunakan melawan angkara.” “terima kasih, pukulun Narada.” Selepas memberikan senjata Konta, langit kembali terang. Batara Narada menyadari bahwa dia memberikan senjata itu pada orang yang salah. Dia menyadarinya saat melihat ada ksatria lain dari atas di tempat yang berbeda. Lalu Batara Narada mendatangi ksatria itu, Dilihatnya itu adalah Permadi. Lalu Batara Narada segera membangunkannya “Permadi, bangunlah” “hormat pada Pukulun Narada. Ada apa tergopoh-gopoh? Apa yang terjadi, pukulun?” Batara Narada menceritakan semuanya. Raden Permadi segera mengetahui siapa yang mendapatkan senjata sakti. Dia menyimpulkan bahwa kakaknya, Adipati Karna yang telah mendapatkan senjata Konta Wijaya. Singkat cerita, Permadi segera mengejar Adipati Karna. Dengan aji Sepi Angin, Karna yang menaiki Kereta Jatisura dapat tersusul adiknya itu “Kakang Adipati, aku ucapkan selamat atas senjata sakti yang baru kau dapat. Tapi aku mohon bantuanmu. Pinjamkan senjatamu itu untuk memotong tali pusar keponakan kita.” “tidak bisa, adhi. Ini senjata sakti. Mana mungkin senjata sakti digunakan untuk memotong pusar bayi. Saru sekali.” Raden Permadi memohon agar kakaknya itu sudi meminjamkannya bahkan warangkanya saja tidak mengapa, namun Adipati Karna tetap tidak mau dan tak peduli soal nasib keponakannya. Raden Permadi menjadi berang dan hilang kesabaran. Dia pun menyerang kakaknya itu dan berusaha mengambil senjata Konta Wijaya. Perang tanding pun terjadi begitu seru sampai suatu ketika, Permadi berhasil memegang warangka sementara Adipati Karna memegang gagang panah Konta Wijaya. Mereka saling tarik sehinggalah mereka berdua terjerembab karena senjata Konta telah lepas dari warangkanya. Adipati Karna yang bangun lebih dahulu segera menaiki kereta dan melecut pergi meninggalkan Bengawan Yamuna. Dengan perasaan sedih, Permadi bersama Ki Lurah Semar segera kembali ke Pringgandani.
Sesampainya Di Pringgandani, tampak Arya Wrekodara dan Ratu Arimbi sedang bersama Bambang Tetuka. Di sana pula Prabu Yudhistira , Raden Nakula-Sadewa, Prabu Baladewa, dan Prabu Kresna telah menunggu. Mereka segera mendatangi Permadi dan Semar dan menanyakan dimana senjata sakti dari Batara Narada. Raden Permadi menyerahkan warangka senjata Konta. Hadirin yang disana terheran kenapa cuma warangkanya saja. Kemudian Permadi menceritakan pengalamannya “ Sewaktu Batara Narada menyerahkan senjata Konta, pukulun salah kirim. Pukulun malah memberikannya pada kakang Adipati Karna. Aku berusaha meminjam baik-baik padanya tapi dia tak mau. Akhirnya kami berebut senjata Konta. Aku mendapat warangka dan kakang Adipati tetap dapat panah Konta. Tapi, menurut penuturan pukulun Narada, keseluruhan senjata itu mampu memotong pusar Tetuka.“ arya Wrekodara mengijinkan Permadi untuk memotong tali pusar putranya itu. Ajaib, baru sekali tebas, tali pusar Bambang Tetuka yang terkenal alot terlepas seketika. Oleh Arya Wrekodara, tali pusar itu di hanyutkan di bengawan Narmada. Keajaiban tak berhenti sampai disitu. Warangka Konta Wijaya menghilang dan masuk ke pusar Bambang Tetuka. Arya Wrekodara dan Ratu Arimbi khawatir terjadi apa-apa pada Bambang Tetuka. Prabu Kresna segera menenangkan mereka “ adhi Bungkus! adhi Arimbi! jangan khawatir. Warangka itu hanya bersatu dengan putra kalian. Putra kalian hanya menjadi semakin kuat. Hanya saja kelak suratan hidup matinya ada di tangan pemilik Konta Wijaya sekarang. Dia tak boleh sampai bertarung dengan Karna.” Arya Wrekodara dan Ratu Arimbi tenang kembali. Pesta digelar keesokan harinya untuk merayakan terlepasnya pusar Bambang Tetuka. Namun di tengah suasana bahagia itu, Batara Narada datang lagi dan menyampaikan bahwa Bambang Tetuka harus menjadi jago dewata melawan patih Sekipumantra dan Prabu Naga Kalapercona. Awalanya kedua orang tua Tetuka tak setuju tapi setelah Semar dan Permadi meyakinkan mereka bahwa hanya Tetuka yang mampu melawan mereka, Arya Wrekodara mengijinkannya dan beritahu dia bila terjadi apa-apa pada Bambang Tetuka.
Di kahyangan, Raden Permadi yang sambil menggendong keponakannya, Bambang Tetuka melawan para raksasa prajurit Kiskandamatra. Banyak juga para raksasa yang kalah dan tewas di tangan penengah Pandawa itu. Melihat beberapa prajuritnya tewas, Patih Sekipumantra menyerang Raden Permadi secara curang. Patih Sekipumantra melemparkan panah Guntur Magunung dan membuat Raden Permadi dan Bambang Tetuka yang masih bayi terlempar dari kahyangan. Sebelum terjatuh, Raden Permadi sempat melepas gendongan Bambang Tetuka. Ki Lurah Semar dan Batara Narada segera menolong mereka. Batara Narada segera menggendong Bambang Tetuka yang terlepas dari gendongan sedangkan Ki Lurah Semar mencari keberadaan Raden Permadi.
Tersebutlah di sebuah hutan di timur bengawan Yamuna, terdapatlah sebuah desa bernama Andong Sumawi. Penghulu di desa itu adalah seorang resi bernama Resi Sidiwacana. Dia memiliki seorang putri. Namanya Dewi Manuhara. Parasnya cantik jelita, perangainya ramah dan menyenangkan. Pada suatu hari, Dewi Manuhara bercerita pada ayahnya “ ayah, aku tadi bermimpi tentang seorang ksatria tampan rupawan. Namanya Permadi. Aku dan dia berjalan bersama di sebuah kebun bunga yang indah. Kami bermesraan di sana. Ingin rasanya aku mengabdi padanya.” Tanpa disangka-sangka, Raden Permadi yang dimimpikannya tiba-tiba melayang jatuh dari angkasa. Resi Sidiwacana terkejut dan sigap berusaha menangkap sang ksatria. Dengan kekuatan yang dimilikinya, dia melompat terbang dan menggendong Raden Permadi yang pingsan. Dewi Manuhara gembira namun juga kasihan. Sang pujaan hati kini pingsan dan terluka cukup parah. “Ayah, kita rawat dia sampai dia sembuh. Pasti dia pingsan karena luka akibat pertarungan. Kasihan bila di biarkan. “ “baik, putriku. Ayo bantu aku untuk membopongnya ke dalam padepokan.” Demikianlah, Raden Permadi dirawat oleh Resi Sidiwacana dan Dewi Manuhara sampai dia pulih kembali.
 Patih Sekipumantra tertawa terbahak-bahak dan sesumbar “hahahaha. Tak ada yang bisa mengalahkanku di dunia ini bahkan Sanghyang Widhi sekalipun. Hei para Dewa, serahkan Dewi Surendra pada junjunganku, wahahaha...” Lalu Batara Narada yang terbang sambil membawa bayi Bambang Tetuka “Hei, Sekipumantra. Jangan sesumbar! Ucapan bisa menjadi balak dan malapetaka. Sanghyang Widhi yang Maha Agung sudah memilih bayi ini untuk mengalahkanmu dan rajamu. Kalau bayi ini kalah, kami selaku para dewa akan serahkan Dewi Surendra.” Ia pun segera meletakkan bayi Bambang Tetuka di tanah kahyangan dan mepersilakan Patih Sekipumantra untuk menghajar bayi itu. Patih Sekipumantra maju dengan lagaknya yang pongah campur kasihan. Dia memukul Bambang Tetuka dengan satu pukulan. Bukannya mati, Bambang Tetuka malah diam saja dan tak terluka sedikitpun. Patih Sekipu memukulnya lagi dan lagi, tapi bukannya mati babak belur, Bambang Tetuka justru bisa berjalan dan berlari. Di puncak kekesalannya, Patih Sekipumantra menendang Bambang Tetuka sekuat tenaga. Alhasil Bambang Tetuka terlempar jauh dan masuk ke Kawah Candradimuka. Para dewa yang melihat itu terkejut dan takut kalau bapak si anak itu akan ngamuk bila tahu anaknya itu mati di Candradimuka. Lalu para dewa melemparkan segala senjata mereka ke dalam kawah. Semua senjata semacam gada, pedang, keris, perisai, godam, panah, busur, parang, kujang, dan yang semacam itu semua masuk semua ke dalam kawah yang panas membara, melebur dengan lahar dan tubuh Bambang Tetuka.
Bambang Tetuka keluar dari Kawah Candradimuka
Di dalam Kawah Candradimuka, berkat senjata-senjata dilemparkan para dewa, tubuh Bambang Tetuka yang hampir telah lebur dengan lahar bisa terbentuk kembali. Bambang Tetuka yang belum waktunya mati dibawa Batara Empu Ramayadi. Atas seizin Sanghyang Widhi yang Maha Kuasa, atma Bambang Tetuka kembali memasuki tubuhnya dan Bambang Tetuka berhasil dihidupkan lagi. Oleh Batara Empu Ramayadi, Bambang Tetuka langsung digembleng dengan kuat di dalam kawah yang panas membara itu. Lalu air sisa leburan senjata para dewa itu diminum oleh Bambang Tetuka. Terjadilah sebuah keajaiban. Setelah Bambang Tetuka minum air kawah hasil peleburan senjata para Dewa, kawah Candradimuka bergolak kuat. Api menyala berkobar-kobar. Laharnya meluap-luap dan muncullah seorang pemuda berbadan gagah dari dalam kawah. Demikianlah, Bambang Tetuka berubah menjadi dewasa dalam sekejap. Berbagai senjata pusaka milik para dewa telah menyatu dalam tubuhnya, membuatnya menjadi bertambah kuat dan gagah perkasa.
Batara Guru lalu datang menyambut Bambang Tetuka “Selamat datang kembali, cucuku. Kau walau telah digembleng bahkan lebur dalam Candradimuka, kau tetap kuat dan ulet. Oleh sebab itu, kau akan ku beri nama baru, sang Gatotkaca. Gatot bermakna ulet atau kuat dan Kaca berarti cermin atau pengilon.” “terima kasih, Pukulun Batara Guru, Batara Siwa sang Girinatha.” Oleh Batara Guru, Raden Gatotkaca diberi tiga kekuatan istimewa berbentuk pakaian pusaka. Pertama Caping Basunanda yang memiliki kekuatan menahan efek cuaca seperti apapun. Kedua adalah Kotang Antrakusuma. Baju perisai dengan bintang di dada itu bisa membuat Gatotkaca terbang tanpa sayap, bergerak secepat kilat menyerang sedahsyat halilintar, dan mengendalikan udara disekitarnya. Yang terakhir adalah Terompah Padakacarma. Terompah atau sepatu yang terbuat dari selongsong bekas kulit Batara Anantaboga ini memiliki kekuatan yang bisa membuat Gatotkaca bisa mengawal kekuatan udaranya dan membuatnya kebal serangan juga mampu mendeteksi apapun bahkan serangan berupa sihir atau balak dari tempat yang paling angker sekalipun. Ketiga pakaian itu segera dipakaikan ke Gatotkaca. Di luar kahyangan, Patih Sekipumantra menggedor-gedor lawang Selomatangkep minta agar para dewa menyerahkan Dewi Surendra. Dengan ditemani batara Narada, Gatotkaca mohon diri untuk melawan lagi Patih Sekipumantra.
Patih Sekipumantra terkejut, dari dalam kahyangan muncul seorang pemuda gagah. “Hei, Sekipumantra! Kau masih ingat pada anak bayi yang kau lempar tadi? Aku, akulah anak bayi yang barusan kau lempar ke dalam kawah. Sekarang aku akan membinasakanmu dan junjunganmu.” Raden Gatotkaca menyerang Patih Sekipumantra tanpa ampun. Apapun yang dilakukan Patih Sekipumantra, pasti bisa ditiru oleh Gatotkaca. Pada puncaknya, Gatotkaca menendang Patih Sekipumantra dengan kekuatan anginnya lalu dihempaskannya lagi ke tanah. Karena terdesak, Patih Sekipumantra menggigit leher Gatotkaca. Raden Gatotkaca kesakitan lalu meronta melepaskan diri. Begitu berhasil melepaskan diri, Gatotkaca membalas menggigit leher patih Kiskandamatra itu dengan taringnya yang runcing. Saking kerasnya gigitan dan koyakan Gatotokaca, Patih Sekipumantra akhirnya tewas dengan leher yang hampir putus. Di saat yang sama Patih Naga Kalapercona datang dan mendapati patihnya tewas mengenaskan. Marah karena patih andalannya telah terbunuh, Prabu Naga Kalapercona mengamuk dan menyemburkan racun panasnya ke arah Gatotkaca. Bukannya membunuh Gatotkaca, racun itu malah berbalik kepada Prabu Naga Kalapercona. Gatotkaca yang setelah membinasakan Patih Sekipumantra masih mengamuk malah bertambah dahsyat amukannya terus menyerang Kalapercona dengan membabi buta. Nasib sang raja itu tak jauh beda dengan patihnya. Dia juga tewas dalam keadaan isi perut terburai dan kepala yang hampir putus karena digigit Gatotkaca. Selepas menghabisi Praba Naga Kalapercona, Gatotkaca tak mampu mengendalikan dirinya. Nafsu membunuh dan sifat bawaan bangsa raksasa yang mendarah daging dalam diri Gatotkaca sudah tak dapat dibendung. Gatotokaca terus mengamuk dan menyerang pasukan Kiskandamatra yang tersisa. Amukan sang ksatria otot kawat tulang besi itu semakin menjadi-jadi bagaikan badai topan. Bukan hanya para prajurit Kiskandamatra saja yang dihabisi, beberapa dewa yang mencoba menenangkannya tak luput dari serangannya, bahkan bebatuan di Repat Kepanasan juga diserangnya sampai bebatuan yang panas itu beterbangan dan membuat beberapa bangunan kahyangan rusak. Batara Narada khawatir kalau Gatotokaca tak bisa mengendalikan amukannya, seluruh Marcapada dan kahyangan akan rusak dibuatnya.
Di saat yang bersamaan, ayah dan paman dari Gatotkaca, Arya Wrekodara dan Prabu Kresna datang ke kahyangan. Batara Narada segera mendatangi mereka dan meminta bantuan menenangkan Gatotkaca. Prabu Kresna mengerti duduk perkaranya lalu segera mengheningkan segala ciptanya. Seketika, langit di atas kahyangan mendung gelap dan diiringi halilintar menggelegar. Angin bertiup menderu bagai badai raksasa dan awan-awan pun berputar-putar membentuk bumerang bulat raksasa keemasan seterang sepuluh matahari. Prabu Kresna telah merapal ajian Maha Cakrabhaskara. Begitu Prabu Kresna membuka mata, dia segera melemparkan Maha Cakrabhaskara kearah Raden Gatotkaca. Raden Gatotkaca yang sedikit lengah akhirnya terkena Maha Cakrabhaskara. Gatotkaca pun jatuh dengan mulut berdarah.
Terpotongnya taring Gatotkaca
Meskipun Gatotkaca tidak tewas, kedua taring panjangnya terpotong oleh Maha Cakrabhaskara. Kedua taring itu lenyap dan merasuk kedalam tubuh Gatotkaca, berubah menjadi kesaktian tersembunyi. Kesaktian yang hanya akan keluar di saat Gatotkaca sangat marah atau dalam kondisi terdesak.
Setelah di bawa ke balai-balai di dalam kahyangan, Gatotkaca pun tersadar dari pingsannya karena percikan air dari Cangkok Wijayakusuma. Dirinya melihat sudah dikelilingi banyak orang. Batara Narada membantu Gatotkaca duduk lalu menjelaskan siapa yang bersamanya “Cucuku, Gatotkaca. Perkenalkan merka adalah keluargamu.yang bertubuh tinggi besar itu Bima Wrekodara, ayahmu. Ayahmu adalah salah satu Pandawa, lima putra Pandu Dewanata. Yang kulitnya agak gelap dan bermahkota bulu merak itu Kresna, dia adalah sepupu ayahmu.” Gatotkaca kemudian sungkem pada mereka berdua. Prabu Kresna. Arya Wrekodara merasa senang  putranya baik-baik saja dan kini telah menjadi permuda dalam waktu singkat. Prabu Kresna kemudian menasehatinya untuk berhenti menggunakan sifat bangsa raksasa “Gatotkaca, ketahuilah. Tadi kau pingsan karena aku memotong keberingasanmu. Taringmu telah terpotong oleh senjataku. Maka dari itu, jinakkanlah sifat-sifat raksasamu.”Gatotkaca hanya terdiam dan mematuhi nasehat pamannya itu. Batara Guru dan para dewa lainnya senang dengan keberhasilan Gatotkaca menumpas musuh kahyangan satu ini. Bahkan karena kelewat senangnya, Batara Guru berjanji untuk menjadikan Raden Gatotkaca menjadi raja kahyangan selama sehari. Para dewa terkejut namun ikut senang dengan janji junjungan mereka itu. Arya Wrekodara kemudian bertanya Batara Guru “ Batara Guru, sang Siwa! Dimana adikku Jlamprong sekarang?” “Bima Wrekodara, adikmu telah dicurangi patih Sekipumantra saat menyelamatkan putramu hingga terjatuh dari kahyangan. Kau tak usah khawatir. Keselamatannya terjaga dan sekarang adikmu berada di desa Andong Sumawi, dirawat Resi Sidiwacana, tetua desa itu. Kelak adikmu akan menikahi Dewi Manuhara, putri sang resi dan dari pernikahan iu, akan lahir jodoh putramu Gatotkaca” Arya Wrekodara merasa bahagia dan lega mendengarnya. Karena sudah dirasa cukup dan musuh telah dikalahkan, Raden Gatotkaca, Arya Wrekodara, dan Prabu Kresna memohon pamit untuk kembali ke Pringgandani.
Maha Cakrabhaskara : salah satu bentuk ajian peningkatan dari Cakra Widaksana, mampu mengubah Cakra Widaksana menjadi cakram (bumerang bulat) raksasa yang mampu menutupi matahari. Bentuk ini adalah bentuk kedewaan dari Cakra Widaksana.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar