Salam semua, semoga Tuhan Yang Maha Kuasa melimpahkan rahmat, taufik, dan hidayah-Nya. Kali ini penulis akan menceritakan kelahiran ksatria yang berjulukan otot kawat tulang besi. Yuts, dia lah si Gatotkaca. Dikisahkan pula secara singkat pertemuan tak sengaja antara Permadi dan Dewi Manuhara, yang kelak melahirkan Dewi Pregiwa dan kelak akan berjodoh dengan Gatotkaca. Kisa ini bersumber dari Kitab Pustakaraja Purwa, blog albumkisahwayang.blogspot.com dan beberap sumber lainnya di internet yang sudah di ubah dan dikembangkan oleh imajinasi penulis seperlunya.
Para
Pandawa dan Pringgandani telah menjadi sahabat sejak sebelum negara Amarta
berdiri. Para raksasa Pringgandani telah membantu para Pandawa membangun
Amarta. Terlebih semenjak pernikahan Arya Bratasena dengan Ratu Arimbi, ratu
Pringgandani yang baru, , hubungan mereka semakin erat. Kini Ratu Arimbi sedang
mengandung dan akan melahirkan. Baik para Pandawa maupun para Kadang Braja menggadang-gadang
putra yang dikandung Ratu Arimbi menjadi pewaris takhta Pringgandani dan
ksatria hebat sakti mandraguna. Di depan bilik istrinya, Arya Bratasena
harap-harap cemas menanti kelahiran putranya. Setelah lama menunggu, terdengar
suara tangisan bayi. Suara tangisannya terdengar ke seluruh Pringgandani. Arya
Bratasena segera masuk dan melihat keadaan istri dan anaknya.” Kanda, anak kita
laki-laki yang sehat.” Arya Bratasena melihat putranya itu. Putranya itu
seperti bayi pada umumnya. Tampan dan gagah hanya saja sejak lahir telah dianugerahi
sepasang taring kecil. Arya Bratasena kemudian memberi nama sang putra dan mengganti
namanya. “Hari ini putraku telah lahir. Akan kunamai dia Bambang Tetuka dan mulai
sekarang namaku sang Wrekodara Bima.” Kabar gembira itu segera diumumkan ke
seluruh Pringgandani, Amarta, Mandura, dan Dwarawati.
Sebulan
kemudian, kemudian diselenggarakanlah pesta selapanan untuk memotong tali pusar
Bambang Tetuka. Seluruh keluarga Pandawa, keluarga Yadawa, kadang Braja, dan
para sesepuh datang. Tak ketinggalan juga Ki Lurah Semar, Gareng, Petruk, dan
Bagong datang di acara itu. Setelah peresmian nama Bambang Tetuka, Arya
Wrekodara mulai memotong tali pusar putranya itu. Tapi aneh sekali, tali pusar
Bambang Tetuka alot sekali, tak bisa dipotong dengan pisau. Arya Wrekodara mencoba
dengan kuku Pancanaka namun juga tak bisa. Alot sekali. Arya Wrekodara menjadi
gusar karenannya. Kemudian Permadi mencoba memotongnya dengan Keris Pulanggeni
dan Kalanadah, lalu panah Sangkali, panah Panah Sarotama, namun tetap tidak
bisa terputus. Prabu Baladewa juga mencoba memotong tali pusar keponakannya itu
dengan ujung tombak Nenggala yang konon merupakan mata bajak terkuat yang mampu
membuat tanah terbelah menjadi jurang dalam sekali tebas. Namun mata tombak
Nenggala juga tak bisa memotong bahkan senjata itu terlempar. Prabu Yudhistira
kemudian mencoba dengan mata tombak Kyai Karawelang, tapi hasilnya juga sama.
Cakra Widaksana yang dikeluarkan Prabu Kresna juga hanya menciptakan
percikan-percikan api dan kilat. Semuanya termangu bengong melihat keajaiban
itu. Ratu Arimbi merasa khawatir “Kanda bagaimana ini? Aku tidak mau putra kita
tetap membawa tali pusar sampai besar nanti.” “Tidak ada sesuatu yang tidak
bisa dipotong, cucuku.” Suara eyang
Abiyasa membuyarkan kekhawatiran cucu mantunya itu. Semua orang menghaturkan
sungkem padanya. Arya Wrekodara mendekati kakeknya itu, meminta solusi untuk
masalah ini “lalu , apa solusinya, eyang?” “ tali pusar putramu itu ulet. Tak
bisa dipotong dengan senjata biasa. Yang bisa memotongnya hanya senjata
kahyangan yang hanya dibawa oleh Batara Narada. Nah cucuku, Permadi.
Bertapabrata lah di pinggir Bengawan Yamuna. Kelak Batara Narada akan datang di
sana.” Raden Permadi segera menjalankan perintah sang kakek.
Sementara
itu nun jauh di puncak gunung Mahameru, di Kahyangan Jonggring Saloka, Batara
Guru, raja para dewa dan Batara Indra, raja para bidadari kedatangan seorang
patih dari kerajaan Kiskandamatra, yaitu patih Sekipumantra. Dia datang
menghadap “sembah pada pukulun berdua. Hamba Sekipumantra dari Kiskandamatra
menyampaikan surat dari raja hamba, Prabu Naga Kalapercona untuk melamarkan
Dewi Surendra, salah satu bidadari kahyangan kesayangan Pukulun Indra.” Batara
Indra membaca isi surat itu. surat itu ternyata berisi ancaman jika bidadari
itu tidak diberikan, maka Dewi Surendra akan diambil paksa dan kahyangan akan
dirusak dan dihancurkan oleh Naga Kalapercona sendiri. Setelah membaca isi
surat itu, Batara Indra merah wajahnya tandanya marah. Seketika sebuah kilat
menyambar Patih Sekipumantra dan melemparkannya kembali ke Kiskandamatra. Halilintar
yang dikeluarkan Indra menandakan dia tak setuju dan menolak lamaran itu.
Singkat cerita, Patih Sekipumantra mengabarkan pada rajanya itu bahwa lamaran
mereka ditolak. Prabu Naga Kalapercona murka luar biasa dan langsung bertolak
dan menyerang kahyangan beserta para prajuritnya. Pasukan Dorandara dan Batara
Indra sudah bersiap sedia dan mereka mulai bertempur di Repatkepanasan. Awalnya
pertempuran berjalan imbang sehinggalah Prabu Naga Kalapercona mulai kut
bertempur. Dia berubah menjadi naga raksasa dan menyerang pasukan Dorandara
dengan api dan bisa panasnya. Pasukan Dorandara kewalahan bahkan halilintar-halilintar
yang ditembakkan Batara Indra tak ayal hanya gelitikan kecil baginya. Api yang
dilontarkan Batara Brahma hanya seperti batu kerikil panas. Topan badai yang di
hembuskan Batara Bayu juga tak lebih seperti kibasan ekor domba, tak mampu
membuat tubuhnya goyah sedikitpun. Bahkan gelombang tsunami yang dibawa Batara
Baruna dan Batara Mintuna juga tak mampu membuat raja itu berpindah tempat satu
jengkalpun. Malah semua itu berbalik pada mereka. Para dewa menjadi terdesak
mundur. Mereka segera masuk kembali ke Jonggring Saloka dan Batara Indra segera
memerintahkan Batara Cingkarabala dan Balaupata menutup Lawang Selomatangkep.Prabu
Naga Kalapercona semakin murka dan terus menyemburkan apinya ke atas kahyangan.
Batara Guru dan Batara Indra menjadi khawatir kahyangan akan dirusak oleh raja
yaksa buas itu. Lalu Batara Narada berbicara pada mereka “Adhi Guru dan Indra,
menurutku Prabu Naga Kalapercona tidak ditakdirkan kalah oleh para dewa. Dia
hanya ditakdirkan kalah oleh putra kedua Arya Wrekodara Bima, kini dia menunggu
pusarnya dipotong dan yang bisa memotongnya hanya senjata kahyangan yang dibuat
dari pohon Kastuba.” Batara Guru segera memerintahkan Batara Empu Ramayadi
untuk menebang pohon Kastuba dan menjadikannya senjata. Tak butuh berapa lama,
senjata pun jadi. Senjata itu berbentuk panah panjang bagai tombak dan oleh
Batara Empu Ramayadi senjata itu dinamai Konta Wijaya. Senjata itu diserahkan
ada Batara Guru lalu diberi daya kesaktian. Batara Guru segera menyerahkan itu
pada Batara Narada “ini senjatanya kakang Narada. Serahkan ini pada paman dari
putra Bima itu. Menurut trineta-ku, kini paman dari anak itu sedang bertapa
brata di pinggir bengawan Yamuna.” Singkat cerita, Batara Narada mulai turun ke
bumi dan mencari orang yang dimaksud Batara Guru.
Sudah
lebih dari dua tahun Permadi bertapa di tepi bengawan Yamuna sampai-sampai tak
menyadari jika di sisi lain bengawan, ada ksatria lain yang juga bertapa brata
disana. Ksatria itu adalah Adipati Karna. Dia bertapa karena mendapat sebuah
wangsit dari ayahnya, Batara Surya untuk mendapatkan senjata sakti dari Batara
Narada. Kebetulan sekali, Batara Narada datang ke tepi bengawan Yamuna.
Demi
kejayaan putranya, Batara Surya mengelabui Batara Narada dengan mendatangkan
mendung dan membuat sinar matahari menjadi remang-remang bagaikan senja. Mata sipit
Batara Narada tak mampu melihat dengan jelas di tengah suasana yang
remang-remang itu sehingga bukannya menuju tempat Permadi, malah ia mengarah ke
tempat bertapa brata Adipati Karna. Wajah Permadi dan Adipati Karna yang
sama-sama tampan jadi semakin samar dengan suasana remang dan cahaya perbawa
yang dipancarkan mereka. Batara Narada kemudian membangunkan Karna yang dikiranya Permadi itu“ Bangunlah
cucuku, aku serahkan senjata ini untukkau gunakan melawan angkara.” “terima
kasih, pukulun Narada.” Selepas memberikan senjata Konta, langit kembali
terang. Batara Narada menyadari bahwa dia memberikan senjata itu pada orang
yang salah. Dia menyadarinya saat melihat ada ksatria lain dari atas di tempat
yang berbeda. Lalu Batara Narada mendatangi ksatria itu, Dilihatnya itu adalah
Permadi. Lalu Batara Narada segera membangunkannya “Permadi, bangunlah” “hormat
pada Pukulun Narada. Ada apa tergopoh-gopoh? Apa yang terjadi, pukulun?” Batara
Narada menceritakan semuanya. Raden Permadi segera mengetahui siapa yang
mendapatkan senjata sakti. Dia menyimpulkan bahwa kakaknya, Adipati Karna yang
telah mendapatkan senjata Konta Wijaya. Singkat cerita, Permadi segera mengejar
Adipati Karna. Dengan aji Sepi Angin, Karna yang menaiki Kereta Jatisura dapat
tersusul adiknya itu “Kakang Adipati, aku ucapkan selamat atas senjata sakti
yang baru kau dapat. Tapi aku mohon bantuanmu. Pinjamkan senjatamu itu untuk
memotong tali pusar keponakan kita.” “tidak bisa, adhi. Ini senjata sakti. Mana
mungkin senjata sakti digunakan untuk memotong pusar bayi. Saru sekali.” Raden
Permadi memohon agar kakaknya itu sudi meminjamkannya bahkan warangkanya saja
tidak mengapa, namun Adipati Karna tetap tidak mau dan tak peduli soal nasib
keponakannya. Raden Permadi menjadi berang dan hilang kesabaran. Dia pun
menyerang kakaknya itu dan berusaha mengambil senjata Konta Wijaya. Perang
tanding pun terjadi begitu seru sampai suatu ketika, Permadi berhasil memegang
warangka sementara Adipati Karna memegang gagang panah Konta Wijaya. Mereka
saling tarik sehinggalah mereka berdua terjerembab karena senjata Konta telah
lepas dari warangkanya. Adipati Karna yang bangun lebih dahulu segera menaiki
kereta dan melecut pergi meninggalkan Bengawan Yamuna. Dengan perasaan sedih, Permadi
bersama Ki Lurah Semar segera kembali ke Pringgandani.
Panah konta Wijaya |
Sesampainya
Di Pringgandani, tampak Arya Wrekodara dan Ratu Arimbi sedang bersama Bambang
Tetuka. Di sana pula Prabu Yudhistira , Raden Nakula-Sadewa, Prabu Baladewa,
dan Prabu Kresna telah menunggu. Mereka segera mendatangi Permadi dan Semar dan
menanyakan dimana senjata sakti dari Batara Narada. Raden Permadi menyerahkan
warangka senjata Konta. Hadirin yang disana terheran kenapa cuma warangkanya
saja. Kemudian Permadi menceritakan pengalamannya “ Sewaktu Batara Narada
menyerahkan senjata Konta, pukulun salah kirim. Pukulun malah memberikannya
pada kakang Adipati Karna. Aku berusaha meminjam baik-baik padanya tapi dia tak
mau. Akhirnya kami berebut senjata Konta. Aku mendapat warangka dan kakang
Adipati tetap dapat panah Konta. Tapi, menurut penuturan pukulun Narada,
keseluruhan senjata itu mampu memotong pusar Tetuka.“ arya Wrekodara
mengijinkan Permadi untuk memotong tali pusar putranya itu. Ajaib, baru sekali
tebas, tali pusar Bambang Tetuka yang terkenal alot terlepas seketika. Oleh
Arya Wrekodara, tali pusar itu di hanyutkan di bengawan Narmada. Keajaiban tak
berhenti sampai disitu. Warangka Konta Wijaya menghilang dan masuk ke pusar
Bambang Tetuka. Arya Wrekodara dan Ratu Arimbi khawatir terjadi apa-apa pada
Bambang Tetuka. Prabu Kresna segera menenangkan mereka “ adhi Bungkus! adhi Arimbi!
jangan khawatir. Warangka itu hanya bersatu dengan putra kalian. Putra kalian hanya
menjadi semakin kuat. Hanya saja kelak suratan hidup matinya ada di tangan
pemilik Konta Wijaya sekarang. Dia tak boleh sampai bertarung dengan Karna.”
Arya Wrekodara dan Ratu Arimbi tenang kembali. Pesta digelar keesokan harinya
untuk merayakan terlepasnya pusar Bambang Tetuka. Namun di tengah suasana
bahagia itu, Batara Narada datang lagi dan menyampaikan bahwa Bambang Tetuka
harus menjadi jago dewata melawan patih Sekipumantra dan Prabu Naga
Kalapercona. Awalanya kedua orang tua Tetuka tak setuju tapi setelah Semar dan
Permadi meyakinkan mereka bahwa hanya Tetuka yang mampu melawan mereka, Arya
Wrekodara mengijinkannya dan beritahu dia bila terjadi apa-apa pada Bambang
Tetuka.
Di
kahyangan, Raden Permadi yang sambil menggendong keponakannya, Bambang Tetuka
melawan para raksasa prajurit Kiskandamatra. Banyak juga para raksasa yang
kalah dan tewas di tangan penengah Pandawa itu. Melihat beberapa prajuritnya
tewas, Patih Sekipumantra menyerang Raden Permadi secara curang. Patih
Sekipumantra melemparkan panah Guntur
Magunung dan membuat Raden Permadi dan Bambang Tetuka yang masih bayi
terlempar dari kahyangan. Sebelum terjatuh, Raden Permadi sempat melepas gendongan
Bambang Tetuka. Ki Lurah Semar dan Batara Narada segera menolong mereka. Batara
Narada segera menggendong Bambang Tetuka yang terlepas dari gendongan sedangkan
Ki Lurah Semar mencari keberadaan Raden Permadi.
Tersebutlah
di sebuah hutan di timur bengawan Yamuna, terdapatlah sebuah desa bernama
Andong Sumawi. Penghulu di desa itu adalah seorang resi bernama Resi
Sidiwacana. Dia memiliki seorang putri. Namanya Dewi Manuhara. Parasnya cantik
jelita, perangainya ramah dan menyenangkan. Pada suatu hari, Dewi Manuhara
bercerita pada ayahnya “ ayah, aku tadi bermimpi tentang seorang ksatria tampan
rupawan. Namanya Permadi. Aku dan dia berjalan bersama di sebuah kebun bunga
yang indah. Kami bermesraan di sana. Ingin rasanya aku mengabdi padanya.” Tanpa
disangka-sangka, Raden Permadi yang dimimpikannya tiba-tiba melayang jatuh dari
angkasa. Resi Sidiwacana terkejut dan sigap berusaha menangkap sang ksatria.
Dengan kekuatan yang dimilikinya, dia melompat terbang dan menggendong Raden
Permadi yang pingsan. Dewi Manuhara gembira namun juga kasihan. Sang pujaan
hati kini pingsan dan terluka cukup parah. “Ayah, kita rawat dia sampai dia
sembuh. Pasti dia pingsan karena luka akibat pertarungan. Kasihan bila di
biarkan. “ “baik, putriku. Ayo bantu aku untuk membopongnya ke dalam
padepokan.” Demikianlah, Raden Permadi dirawat oleh Resi Sidiwacana dan Dewi
Manuhara sampai dia pulih kembali.
Patih Sekipumantra tertawa terbahak-bahak dan
sesumbar “hahahaha. Tak ada yang bisa mengalahkanku di dunia ini bahkan
Sanghyang Widhi sekalipun. Hei para Dewa, serahkan Dewi Surendra pada
junjunganku, wahahaha...” Lalu Batara Narada yang terbang sambil membawa bayi
Bambang Tetuka “Hei, Sekipumantra. Jangan sesumbar! Ucapan bisa menjadi balak
dan malapetaka. Sanghyang Widhi yang Maha Agung sudah memilih bayi ini untuk
mengalahkanmu dan rajamu. Kalau bayi ini kalah, kami selaku para dewa akan
serahkan Dewi Surendra.” Ia pun segera meletakkan bayi Bambang Tetuka di tanah
kahyangan dan mepersilakan Patih Sekipumantra untuk menghajar bayi itu. Patih
Sekipumantra maju dengan lagaknya yang pongah campur kasihan. Dia memukul
Bambang Tetuka dengan satu pukulan. Bukannya mati, Bambang Tetuka malah diam
saja dan tak terluka sedikitpun. Patih Sekipu memukulnya lagi dan lagi, tapi
bukannya mati babak belur, Bambang Tetuka justru bisa berjalan dan berlari. Di
puncak kekesalannya, Patih Sekipumantra menendang Bambang Tetuka sekuat tenaga.
Alhasil Bambang Tetuka terlempar jauh dan masuk ke Kawah Candradimuka. Para
dewa yang melihat itu terkejut dan takut kalau bapak si anak itu akan ngamuk
bila tahu anaknya itu mati di Candradimuka. Lalu para dewa melemparkan segala
senjata mereka ke dalam kawah. Semua senjata semacam gada, pedang, keris,
perisai, godam, panah, busur, parang, kujang, dan yang semacam itu semua masuk
semua ke dalam kawah yang panas membara, melebur dengan lahar dan tubuh Bambang
Tetuka.
Bambang Tetuka keluar dari Kawah Candradimuka |
Di
dalam Kawah Candradimuka, berkat senjata-senjata dilemparkan para dewa, tubuh Bambang
Tetuka yang hampir telah lebur dengan lahar bisa terbentuk kembali. Bambang
Tetuka yang belum waktunya mati dibawa Batara Empu Ramayadi. Atas seizin
Sanghyang Widhi yang Maha Kuasa, atma Bambang Tetuka kembali memasuki tubuhnya
dan Bambang Tetuka berhasil dihidupkan lagi. Oleh Batara Empu Ramayadi, Bambang
Tetuka langsung digembleng dengan kuat di dalam kawah yang panas membara itu.
Lalu air sisa leburan senjata para dewa itu diminum oleh Bambang Tetuka.
Terjadilah sebuah keajaiban. Setelah Bambang Tetuka minum air kawah hasil
peleburan senjata para Dewa, kawah Candradimuka bergolak kuat. Api menyala
berkobar-kobar. Laharnya meluap-luap dan muncullah seorang pemuda berbadan
gagah dari dalam kawah. Demikianlah, Bambang Tetuka berubah menjadi dewasa
dalam sekejap. Berbagai senjata pusaka milik para dewa telah menyatu dalam
tubuhnya, membuatnya menjadi bertambah kuat dan gagah perkasa.
Batara
Guru lalu datang menyambut Bambang Tetuka “Selamat datang kembali, cucuku. Kau
walau telah digembleng bahkan lebur dalam Candradimuka, kau tetap kuat dan
ulet. Oleh sebab itu, kau akan ku beri nama baru, sang Gatotkaca. Gatot
bermakna ulet atau kuat dan Kaca berarti cermin atau pengilon.” “terima kasih,
Pukulun Batara Guru, Batara Siwa sang Girinatha.” Oleh Batara Guru, Raden
Gatotkaca diberi tiga kekuatan istimewa berbentuk pakaian pusaka. Pertama
Caping Basunanda yang memiliki kekuatan menahan efek cuaca seperti apapun.
Kedua adalah Kotang Antrakusuma. Baju perisai dengan bintang di dada itu bisa
membuat Gatotkaca terbang tanpa sayap, bergerak secepat kilat menyerang
sedahsyat halilintar, dan mengendalikan udara disekitarnya. Yang terakhir
adalah Terompah Padakacarma. Terompah atau sepatu yang terbuat dari selongsong
bekas kulit Batara Anantaboga ini memiliki kekuatan yang bisa membuat Gatotkaca
bisa mengawal kekuatan udaranya dan membuatnya kebal serangan juga mampu
mendeteksi apapun bahkan serangan berupa sihir atau balak dari tempat yang
paling angker sekalipun. Ketiga pakaian itu segera dipakaikan ke Gatotkaca. Di
luar kahyangan, Patih Sekipumantra menggedor-gedor lawang Selomatangkep minta
agar para dewa menyerahkan Dewi Surendra. Dengan ditemani batara Narada,
Gatotkaca mohon diri untuk melawan lagi Patih Sekipumantra.
Patih
Sekipumantra terkejut, dari dalam kahyangan muncul seorang pemuda gagah. “Hei,
Sekipumantra! Kau masih ingat pada anak bayi yang kau lempar tadi? Aku, akulah
anak bayi yang barusan kau lempar ke dalam kawah. Sekarang aku akan
membinasakanmu dan junjunganmu.” Raden Gatotkaca menyerang Patih Sekipumantra
tanpa ampun. Apapun yang dilakukan Patih Sekipumantra, pasti bisa ditiru oleh
Gatotkaca. Pada puncaknya, Gatotkaca menendang Patih Sekipumantra dengan
kekuatan anginnya lalu dihempaskannya lagi ke tanah. Karena terdesak, Patih
Sekipumantra menggigit leher Gatotkaca. Raden Gatotkaca kesakitan lalu meronta
melepaskan diri. Begitu berhasil melepaskan diri, Gatotkaca membalas menggigit
leher patih Kiskandamatra itu dengan taringnya yang runcing. Saking kerasnya
gigitan dan koyakan Gatotokaca, Patih Sekipumantra akhirnya tewas dengan leher
yang hampir putus. Di saat yang sama Patih Naga Kalapercona datang dan
mendapati patihnya tewas mengenaskan. Marah karena patih andalannya telah
terbunuh, Prabu Naga Kalapercona mengamuk dan menyemburkan racun panasnya ke
arah Gatotkaca. Bukannya membunuh Gatotkaca, racun itu malah berbalik kepada
Prabu Naga Kalapercona. Gatotkaca yang setelah membinasakan Patih Sekipumantra
masih mengamuk malah bertambah dahsyat amukannya terus menyerang Kalapercona
dengan membabi buta. Nasib sang raja itu tak jauh beda dengan patihnya. Dia
juga tewas dalam keadaan isi perut terburai dan kepala yang hampir putus karena
digigit Gatotkaca. Selepas menghabisi Praba Naga Kalapercona, Gatotkaca tak
mampu mengendalikan dirinya. Nafsu membunuh dan sifat bawaan bangsa raksasa
yang mendarah daging dalam diri Gatotkaca sudah tak dapat dibendung. Gatotokaca
terus mengamuk dan menyerang pasukan Kiskandamatra yang tersisa. Amukan sang
ksatria otot kawat tulang besi itu semakin menjadi-jadi bagaikan badai topan.
Bukan hanya para prajurit Kiskandamatra saja yang dihabisi, beberapa dewa yang
mencoba menenangkannya tak luput dari serangannya, bahkan bebatuan di Repat
Kepanasan juga diserangnya sampai bebatuan yang panas itu beterbangan dan
membuat beberapa bangunan kahyangan rusak. Batara Narada khawatir kalau
Gatotokaca tak bisa mengendalikan amukannya, seluruh Marcapada dan kahyangan
akan rusak dibuatnya.
Di
saat yang bersamaan, ayah dan paman dari Gatotkaca, Arya Wrekodara dan Prabu
Kresna datang ke kahyangan. Batara Narada segera mendatangi mereka dan meminta
bantuan menenangkan Gatotkaca. Prabu Kresna mengerti duduk perkaranya lalu
segera mengheningkan segala ciptanya. Seketika, langit di atas kahyangan
mendung gelap dan diiringi halilintar menggelegar. Angin bertiup menderu bagai
badai raksasa dan awan-awan pun berputar-putar membentuk bumerang bulat raksasa
keemasan seterang sepuluh matahari. Prabu Kresna telah merapal ajian Maha Cakrabhaskara. Begitu Prabu Kresna
membuka mata, dia segera melemparkan Maha
Cakrabhaskara kearah Raden Gatotkaca.
Raden Gatotkaca yang sedikit lengah akhirnya terkena Maha Cakrabhaskara. Gatotkaca pun jatuh dengan mulut berdarah.
Meskipun
Gatotkaca tidak tewas, kedua taring panjangnya terpotong oleh Maha Cakrabhaskara. Kedua taring itu
lenyap dan merasuk kedalam tubuh Gatotkaca, berubah menjadi kesaktian
tersembunyi. Kesaktian yang hanya akan keluar di saat Gatotkaca sangat marah
atau dalam kondisi terdesak.
Terpotongnya taring Gatotkaca |
Setelah
di bawa ke balai-balai di dalam kahyangan, Gatotkaca pun tersadar dari
pingsannya karena percikan air dari Cangkok Wijayakusuma. Dirinya melihat sudah
dikelilingi banyak orang. Batara Narada membantu Gatotkaca duduk lalu
menjelaskan siapa yang bersamanya “Cucuku, Gatotkaca. Perkenalkan merka adalah
keluargamu.yang bertubuh tinggi besar itu Bima Wrekodara, ayahmu. Ayahmu adalah
salah satu Pandawa, lima putra Pandu Dewanata. Yang kulitnya agak gelap dan
bermahkota bulu merak itu Kresna, dia adalah sepupu ayahmu.” Gatotkaca kemudian
sungkem pada mereka berdua. Prabu Kresna. Arya Wrekodara merasa senang putranya baik-baik saja dan kini telah menjadi
permuda dalam waktu singkat. Prabu Kresna kemudian menasehatinya untuk berhenti
menggunakan sifat bangsa raksasa “Gatotkaca, ketahuilah. Tadi kau pingsan
karena aku memotong keberingasanmu. Taringmu telah terpotong oleh senjataku.
Maka dari itu, jinakkanlah sifat-sifat raksasamu.”Gatotkaca hanya terdiam dan
mematuhi nasehat pamannya itu. Batara Guru dan para dewa lainnya senang dengan
keberhasilan Gatotkaca menumpas musuh kahyangan satu ini. Bahkan karena kelewat
senangnya, Batara Guru berjanji untuk menjadikan Raden Gatotkaca menjadi raja
kahyangan selama sehari. Para dewa terkejut namun ikut senang dengan janji
junjungan mereka itu. Arya Wrekodara kemudian bertanya Batara Guru “ Batara
Guru, sang Siwa! Dimana adikku Jlamprong sekarang?” “Bima Wrekodara, adikmu telah
dicurangi patih Sekipumantra saat menyelamatkan putramu hingga terjatuh dari
kahyangan. Kau tak usah khawatir. Keselamatannya terjaga dan sekarang adikmu berada
di desa Andong Sumawi, dirawat Resi Sidiwacana, tetua desa itu. Kelak adikmu
akan menikahi Dewi Manuhara, putri sang resi dan dari pernikahan iu, akan lahir
jodoh putramu Gatotkaca” Arya Wrekodara merasa bahagia dan lega mendengarnya. Karena
sudah dirasa cukup dan musuh telah dikalahkan, Raden Gatotkaca, Arya Wrekodara,
dan Prabu Kresna memohon pamit untuk kembali ke Pringgandani.
Maha
Cakrabhaskara : salah satu bentuk ajian peningkatan
dari Cakra Widaksana, mampu mengubah Cakra Widaksana menjadi cakram (bumerang
bulat) raksasa yang mampu menutupi matahari. Bentuk ini adalah bentuk kedewaan
dari Cakra Widaksana.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar