Hai semua, akhirnya bisa nulis lagi. Nah kali ini saya akan menceritakan tentang sayembara ulang yang dilakukan Pandawa dan Kurawa. Disini juga diceritakan legenda Sungai Serayu di daerah Banyumas yang memang berhubungan dengan Pandawa dan Kurawa. Sumber cerita saya bersumber dari Kitab Pustakaraja Purwa dan ditambah dengan kisah-kisah legenda Sungai Serayu dan Tuk Bima Lukar yang ada di internet yang kemudian diubah dan diperhalus.
Berita
tentang Arya Bratasena yang berhasil selamat dari tipu daya Resi Dorna bahkan
mendapatkan ilmu berharga membuat Prabu Anom Suyudana dan para Kurawa semakin
geram pada para Pandawa. Mereka terutama Prabu Anom Suyudana geram karena takut
takhta Hastinapura akan jatuh ke tangan Puntadewa. Kebencian itu membuat para
tetua Hastinapura yang sedang bersidang semakin pusing untuk mencari cara
mendamaikan mereka. Lalu Patih Arya Sengkuni memberikan usulan di sidang itu “raka
prabu, kalau saya boleh berbicara, saya mengusulkan agar para Pandawa diajak
kembali ke Hastinapura soal permasalahan itu biarlah kakang Resi Dorna yang
menentukan jalan tengah penyelesaiannya”. Maharesi Bhisma kurang setuju dengan
usulan itu, namun sebelum dia menyanggahnya, Prabu Dretarastra menyetujui
usulan itu. Lalu Prabu Dretarastra mengutus adiknya, Arya Widura untuk
mengundang para Pandawa, Dewi Kunthi, dan Dewi Drupadi kembali ke Hastinapura.
Sementara
itu, di pertapaan Saptarengga, Maharesi Abiyasa datang dari rumahnya di puncak
Saptaharga ditemani Ki lurah Semar membawa benda-benda pusaka miliknya. Para
Pandawa, para Punakawan, Dewi Kunthi, dan Dewi Drupadi menyembah hormat
padanya. Sebagai kakek dari Pandawa maupun Kurawa, dia berkata tak ingin
memihak siapapun, karena cucu-cucunya itu punya sisi baik dan buruk
masing-masing. Justru dia khawatir akan keberadaan Patih Sengkuni dan tipu
dayanya yang semakin hari semakin mengobrak-abrik kedamaian Hastinapura karena
dia titisan Wasi Dwapara, dewanya adu domba dan perselisihan. Kemudian Maharesi
melanjutkan “Cucu-cucuku Pandawa, kedatanganku kesini selain mengingatkan akan
keberadaan Patih Sengkuni, aku ingin mewariskan pusaka-pusaka ini pada kalian.
Pusaka-pusaka ini adalah warisan para leluhur Hastinapura, dari Prabu Baharata
dan Resi Sakri. Menurut cerita, pusaka-pusaka ini konon didapat setelah leluhur
kita mengalahkan musuh kahyangan bernama Kalimantara dan sekarang aku akan
mewariskan pada kamu berdua, Puntadewa dan Permadi karena aku melihat kalian
berdualah yang mampu menjaga pusaka-pusaka ini.” Maharesi Abiyasa pun
menyerahkan pusaka-pusakanya.Puntadewa mendapat pusaka berupa kitab bernama Jamus
Kalimahusada, tombak Kyai Karawelang, dan payung agung Kyai Tunggulnaga,
sedangkan Raden Permadi mendapatkan panah Ardadedali, panah Sarotama, dan keris
Pulanggeni. Kedua cucu Maharesi Abiyasa itu berterima kasih dan akan
menggunakan pusaka-pusaka itu untuk menegakkan jalan dharma. Tak berapa lama
kemudian datanglah Arya Widura untuk menjemput Para Pandawa, Dewi Kunthi, Dewi
Drupadi dan para Punakawan untuk kembali ke keraton Hastinapura untuk membahas
tentang pewarisan takhta Hastinapura dan solusi untuk perdamaian
Pandawa-Kurawa. Demikianlah, rombongan para Pandawa dan Arya Widura mohon pamit
kepada Maharesi Abiyasa untuk kembali ke Hastinapura.
Sesampainya
di Hastinapura, rombongan Dewi Kunthi dan para Pandawa tidak mau masuk keraton
dipersilahkan tinggal di wisma tamu dekat Taman Kadilengleng oleh Arya Widura.
Beberapa hari kemudian para Pandawa dan Kurawa berkumpul di taman Kadilengleng
dipanggil oleh Resi Dorna “Anak-anakku Pandawa dan Kurawa. Aku mewakili para
tetua dan Prabu Dretarastra sudah suntuk, sudah lelah melihat kalian tak pernah
akur karena soal takhta. Aku disini akan membuat sayembara ulang untuk
menentukan siapa yang pantas menjadi penerus Prabu Dretarastra.” Kemudian Prabu
Anom Suyudana disusul para Kurawa dan Pandawa bertanya “ Apa sayembaranya,
guru?” Sejenak, Resi Dorna bersemadi. Beberapa saat kemudian dia bangun dan
berkata “Anak-anakku aku mendapat penglihatan dari dewata tentang sebuah pohon
jambu raksasa di tengah hutan Ara Gumiling. Kebetulan pohon jambu itu berbuah
dengan lima warna berbeda. Ini adalah sayembara pertama kalian. Petikkan aku
buah jambu lima warna itu.” Tanpa ba-bi-bu lagi para Kurawa segera bergegas ke
hutan Warnawata mencari pohon jambu yang dimaksud, sementara para Pandawa
memohon restu kepada Resi Dorna, Maharesi Bhisma, Prabu Dretarastra, dan Dewi Kunthi lebih dahulu.
Tak
butuh waktu lama, para Kurawa yang sudah mencari ke setiap sudut hutan Ara
Gumuling menemukan pohon jambu raksasa dengan buah lima warna berbeda. Pohon
itu bercahaya terang menyilaukan. Tanpa permisi dulu, para Kurawa memanjatnya
beramai-ramai. Tiba-tiba muncul kabut dingin beracun dari dalam lubang pohon
yang membuat para Kurawa jatuh pingsan semua. Tak berapa lama, para Pandawa
telah sampai di hutan Ara Gumiling dan melihat ada kabut aneh di pojok hutan.
Mereka melihat banyak tanaman membeku tertutup es dan mengering. Terkejutlah
mereka melihat sepupu mereka jatuh pingsan di dekat sebuah pohon jambu raksasa.
Raden Puntadewa segera mengajak adik-adiknya untuk berlutut memberi hormat
kepada pohon jambu ajaib itu. Tiba-tiba dari atas pohon muncul sesosok makhluk
halus yang diselimuti kabut biru datang menghampiri para Pandawa.” Wahai para
putra Pandu, aku terkesan akan keluhuran budi kalian. Namaku Gandarwa Mayanila.
Karena sikap kalian yang santun pada pohon tempat tinggalku ini, aku
persilahkan untuk mengambil buah jambu lima warna yang ada di pohon ini.” Raden
Puntadewa berterima kasih pada kemurahan hati sang Gandarwa. Begitu mendapatkan
izin, Arya Bratasena segera maju memeluk batang pohon jambu raksasa itu lalu
Raden Permadi memanjat bahu Arya Bratasena. Kemudian Raden Pinten naik ke bahu
Raden Permadi sehingga yang paling atas adalah Raden Tangsen. Raden Tangsen
kemudian memetik buah jambu lima warna itu lalu turun ke tanah dipersambahkan
pada sang kakak tertua, Raden Puntadewa.
Setelah mereka semua berkumpul,
Gandarwa Mayanila menjelaskan kepada Puntadewa dan adik-adiknya tentang buah jambu yang
telah mereka petik itu “ anak-anak Pandu, buah jambu yang kalian petik itu
sebenarnya adalah Panca Mayaretna, lima batu mulia kahyangan . Aku sebenarnya
ditunjuk para dewa untuk menjaga lima permata ini. Permata berwarna putih itu
bisa mengeluarkan air bah besar dengan ombak dahsyatnya. Permata yang hitam
mampu membuat bumi bergoncang hebat dan retak-retak bagaikan gempa. Lalu
permata berwarna kuning, permata itu mampu mengeluarkan badai topan dan angin kencang.
Kemudian permata berwarna merah itu mampu mengeluarkan gejolak api dan lahar
panas. Sementara permata hijau mampu mengeluarkan akar-akar kuat, sulur, dan
tumbuhan rambat yang membelit. Sekarang aku serahkan batu-batu mulia ini pada
kalian” Raden Puntadewa berterima kasih sekali lagi namun sebelum Gandarwa
Mayanila pergi, dia meminta satu hal padanya “tunggu tuan Gandarwa. Sebelum kau
kembali ke alammu. Aku meminta satu hal. Tolong hilangkan pengaruh kabut dingin
beracunmu agar sepupu-sepupuku yang kau buat pingsan bisa sembuh” Gandarwa Mayanila mengerti dan segera
menghilang. Seketika setelah sang gandarwa menghilang, kabut beracun pun ikut hilang
sirna tertiup angin kencang. Tanaman-tanaman yang tadinya layu dan membeku
perlahan bersemi lagi dan para Kurawa yang tadinya pingsan mulai terbebas dari
pengaruh kabut beracun.
Batu mulia Panca Mayaretna |
Bersamaan
dengan menghilangnya Gandarwa Mayanila, Resi Dorna dan Patih Arya Sengkuni
datang. Raden Puntadewa segera mempersembahkan batu mulia Panca Mayaretna yang
berbentuk buah jambu lima warna kepada Resi Dorna. Prabu Anom Suyudana yang
baru berdiri buru-buru menyelat dan berkata bahwa para Kurawa telah dicurangi
para Pandawa dengan diberi siasat kabut beracun. Resi Dorna nampak bimbang
terlebih ada Patih Arya Sengkuni. Kemudian Resi Dorna duduk bersemadi di bawah
pohon jambu raksasa untuk meminta pertimbangan dari dewata agung. Tiba-tiba
muncul sebuah papan traju* yang
terbuat dari baja sepanjang seratus depa dan terpasang pada batu besar di dekat
pohon jambu itu. Resi Dorna kemudian memerintahkan para Pandawa dan Kurawa untuk
naik papan traju itu lalu berkata
“Siapapun yang bebannya lebih berat maka dia lah yang menang”. Para Kurawa
segera menaiki sisi kanan papan traju semantara para Pandawa naik ke sisi kiri
sambil mengerah kesaktian masing-masing dan sungguh ajaib, seratus orang
ditimbang empat orang hasilnya seimbang. Arya Bratasena kemudian meloncat ke
papan traju sambil mengerahkan ajian Angkusa Prana dan Bayu Bajra. Sekali
hentak, para Kurawa yang berdiri di ujung papan menjadi terpental. Para Kurawa
yang terpental antara lain Arya Bogadenta, Arya Wersaya, Arya Wikataboma dan
Bomawikata, Raden Anuwinda, Arya Naranurwinda, Arya Surtayu dan Surtayuda, Arya
Gardapati, Arya Gardapura, dan Arya Widandini. Prabu Anom Suyudana dibantu sang
paman, Sengkuni segera mengumpulkan adik-adiknya. Prabu Anom Suyudana terus
mencari-cari adiknya yang terpental namun belum ketemu juga. Rupanya hentakan
itu membawa para Kurawa yang terpental ke negeri-negeri kecil di sekitar
Hastinapura.
Para
Kurawa yang tersisa kembali menghadap ke Resi Dorna agar diadakan sayembara
ulang. Tekanan yang dialami Resi Dorna terlebih dengan adanya Patih Sengkuni
membuatnya tak bisa lagi menyimpan uneg-uneg terdalamnya. Resi Dorna segera
mengumumkan sayembara barunya“ siapapun yang bisa membuat sungai yang bersumber
dari Gunung Dihyang, puncak pegunungan Himayan dan bermuara ke Laut Selatan,
dialah pemenangnya. Setelah selesai, kita akan berkumpul lagi di tegal
Kurusetra!” seketika hening sejenak. Para Kurawa terdiam begitupun para
Pandawa. Namun keheningan itu pecah setelah Patih Arya Sengkuni mengajak Prabu
Anom Suyudana dan adik-adiknya untuk mempersiapkan peralatan-peralatannya dan mereka
segera pergi ke puncak Dihyang. Sementara itu, para Pandawa memohon izin dan
restu dari sang guru. Setelah itu mereka juga pergi ke puncak gunung Dihyang.
Sesampainya disana, mereka melihat para Kurawa sudah mulai menggali sungai dan
mencari sumber mata air. Dibandingkan dengan para Kurawa yang menggunakan
kekuatan otot, para Pandawa memilih untuk bersemadi di puncak Gunung Dihyang
sisi sebelah timur, memohon petunjuk dari Sanghyang Widhi. Setelah cukup lama
bersemadi, tiba-tiba muncullah sinar terang dihadapan mereka. Batara Narada
turun dari langit memenuhi semadi para Pandawa “Holah dalah, cucu-cucuku
Pandawa. Tapa dan semadi kalian aku terima. Apa yang membuat kalian bersemadi
sedemikian kerasnya?” sulung Pandawa, Raden Puntadewa kemudian menjelaskan
bahwa mereka ingin membuat sebuah sungai dari puncak gunung Dihyang tembus ke
laut Selatan dan mereka bersemadi agar usaha mereka direstui oleh Sanghyang
Widhi. Batara Narada paham dan berkata “Cucuku, keinginan kalian telah mendapat
restu. Sekarang kamu Bratasena, tanggalkan pakaianmu lalu kencing dan mandi suci
di kubangan itu. Permadi, keluarkan panah Sarotama. Kalian akan menggali sungai
secara ajaib. Puntadewa dan si kembar, kalian akan kuajari mantra mengubah air
kotor menjadi air bersih.” Setelah mengajarkan mantra itu, Batara Narada segera
kembali ke kahyangan Jonggring Saloka.
Sesuai
dengan petunjik dari Batara Narada, Arya Bratasena segera menanggalkan
pakaiannya, bertelanjang lalu kencing di sebuah lubang, lalu Arya Bratasena
mandi suci di kubangan dan mengalirkan air bekas mandinya ke lubang bekas tempatnya
kencing. Setelah Puntadewa, Pinten, dan Tangsen menjapa mantra dari Batara
Narada, terjadilah sebuah keajaiban. Atas seizin Sanghyang Widhi, air bekas
kencing dan mandi suci Arya Bratasena berubah menjadi air bersih dan muncul sebagai
air mancur raksasa dari dalam lubang membanjiri seluruh kubangan dan membuat
kubangan penuh dengan air bagaikan air bah. Raden Puntadewa menandai lubang
kubangan tempat Arya Bratasena kencing dan mandi suci lalu menamai tempat itu
Tuk Bima Lukar. Agar air bah itu tidak menghancurkan lereng Gunung Dihyang dan
daerah sekitarnya, Raden Permadi segera merentangkan Busur Gandiwa dan
menembakkan panah Sarotama. Seketika tanah yang dilewati panah itu tersibak,
berubah menjadi jalur sungai ke arah selatan. Untuk membantu adiknya dan
mempercepat waktu, Arya Bratasena yang masih telanjang bulat membantu menggali sungai
itu dengan ehm maaf, “lingga”nya sampai di muaranya di Laut Selatan. Sementara
Puntadewa dan si kembar yang berjalan di belakang terus membacakan mantra agar
air bah jelmaan kencing dan air bekas mandi suci itu tetap bersih sampai di Laut
Selatan.
Tak
terasa panah Sarotama yang ditembakkan Permadi dan Arya Bratasena yang ikut
membantu menggali tanah telah menciptakan muara di ujung pesisir pantai
selatan. Tiba-tiba saja laju panah Sarotama terhenti karena terhalang benda
keras. Ketika diperiksa, ternyata panah itu membentur seekor udang raksasa
terdampar di pinggir pantai. Ketika berniat membawa udang itu ke laut, tiba-tiba
udang raksasa itu berubah menjadi seorang wanita cantik. Wanita itu datang ke
arah para Pandawa. Arya Bratasena yang masih bertelanjang bulat menjadi malu
dan bersembunyi dibalik punggung saudara-saudaranya sambil menutup auratnya.
Sang wanita juga tersipu malu lalu memalingkan mukanya. Lalu dengan
kesaktiannya, wanita itu menggerakkan panah Sarotama dan begitu panah bergerak,
panah itu menyibak tanah dan pasir yang menutupi muara. Tak lama kemudian air
bah jelmaan kencing yang telah bersih itu datang mengisi sungai dari hulu
sampai ke laut. Sungai itu telah selesai dibuat dan Arya Bratasena bisa kembali
memakai pakaiannya. Setelah berpakaian, Arya Bratasena mendatangi sang wanita.
Seolah ada getaran cinta bergelora, Arya Bratasena berkata “duh ni sanak, sira ayu. Kamu cantik. Siapa sebenarnya
ni sanak?“
Tersadar karena belum memperkenalkan dirnya, sang wanita mundur
sedikit dan memperkenalkan dirinya “ohh maaf, saya lupa memperkenalkan diri. Perkenalkan
nama saya Urangayu. Saya putri dari Batara Mintuna, dewa air tawar. Saya masih
keponakan Batara Baruna, dewa air laut. Saya sengaja duduk bersemadi di tepi
pantai ini karena saya mendapat petunjuk akan bertemu jodoh saya di tepi pantai
ini. Wangsit yang saya dapatkan mengatakan bahwa jodoh saya adalah seorang
pangeran Hastinapura, ksatria bertubuh tinggi besar bernama Raden Arya Bima.”
Kemudian Bratasena menjelaskan bahwa dia adalah orang yang dia cari. Dia
mengatakan bahwa memang memiliki nama asli Raden Arya Bima. Petunjuk dewata
menjadi kenyataan dan Dewi Urangayu meminta agar Arya Bratasena segera
menikahinya. Arya Bratasena menjelaskan bawa dia sendiri sudah menikah” maaf ni
sanak. Aku sudah beristeri satu, namanya Nagagini, putri Batara Anantaboga. Apa
kamu mau dimadu?” Dewi Urangayu kemudian menjawab bahwa dia tak keberatan bila
dimadu. Arya Bratasena akhirnya menyanggupi untuk menikahinya tapi kemudian
berkata “Nini Dewi, aku bersedia, aku sanggup menikahimu tapi nanti setelah
kakakku, Puntadewa menjadi raja. Apa kau sanggup menunggu ?” kemudian Dewi
Urangayu menyanggupinya “ aku sanggup menunggu, kangmas Bratasena.” Setelah
semua selesai, para Pandawa bersama Dewi Urangayu berangkat menuju tegal
Kurusetra, tempat yang telah disepakati untuk berkumpulnya Pandawa-Kurawa
Pertemuan dengan Dewi Urangayu |
Tak
lama kemudian setelah mereka sampai di pinggir tegal Kurusetra, datanglah Resi
Dorna dan Patih Arya Sengkuni bersama para Kurawa. Resi Dorna memeriksa hasil
kerja para muridnya itu dan hasilnya sungai buatan para Pandawa lah yang sampai
ke Laut Selatan sedangkan sungai buatan para Kurawa tidak menuju ke Laut
Selatan, malah justru menyatu dengan sungai buatan para Pandawa. Maka, Resi
dorna menyatakan bahwa para Pandawa yang menjadi pemenangnya dan berhak atas
takhta Hastinapura. Prabu Anom Suyudana kemudian berkeringat dingin dan jatuh
pingsan mendengar keputusan itu. Para Kurawa dan patih Sengkuni segera membawa
sang putra mahkota Hastinapura itu kembali ke keraton. Resi Dorna yang terjepit
diantara para Kurawa menjadi limbung dan jatuh di pertemuan dua sungai. Resi
Dorna terlihat megap-megap tak mampu berenang ke pinggir karena arus kedua sungai
yang bertemu terlalu kuat. Arya Bratasena segera menolong sang guru dan
membawanya ke tempat selamat. Arca lingga-yoni yang dibawa Resi Dorna terbawa
arus dan terhempas air bah sungai hingga batu arca itu terdampar di seberang
sungai. Oleh Resi Dorna tempat dimana lingga-yoni itu terdampar dinamai
Panembahan Drona. Setelah para Kurawa dan Patih Arya Sengkuni benar-benar
pergi, Resi Dorna memberikan hadiah atas kemenangan mereka berupa batu mulia
Panca Mayaretna yang mereka dapatkan tadi. Raden Puntadewa mendapat permata
putih, Arya Bratasena mendapat permata kuning, Raden Permadi mendapatkan
permata merah. Sementara permata hitam dan hijau diberikan kepada Raden Pinten
dan Raden Tangsen. Kelima Pandawa berterima kasih pada sang guru atas kemurahan
hati dan kebijaksanaannya. Setelah itu, Dewi Urangayu memohon pamit kepada para
Pandawa dan Resi Dorna untuk kembali ke Kahyangan Kisiknarmada. Setelah itu
Resi Dorna menamai sungai buatan Pandawa itu Bengawan Serayu, karena pada saat mereka
selesai membangun sungai, Arya Bratasena bertemu dan langsung jatuh cinta
dengan Dewi Urangayu lalu Bratasena berkata “sira ayu”padanya dan sungai buatan
Kurawa yang menyatu dengan Bengawan Serayu dinamai Bengawan Klawing alias Cing
cing Gumuling. Resi Dorna kemudian memberikan peringstan”anak-anakku Pandawa.
Jangan sampai kalian melangkahi apalagi mencebur ke bengawan buatan para Kurawa
ini. Nanti kalian terkena sial karena para Kurawa membuat bengawan ini penuh dengan
hawa nafsu dan dendam pada kalian. Berhati-hatilah, anak-anakku.” Para Pandawa
mengerti lalu kemudian mengajak sang guru itu untuk kembali menghadap pada uwa
Prabu Dretarastra dan eyang Maharesi Bhisma di Hastinapura.
* papan jungkat-jungkit
; papan timbangan.