Jumat, 12 Juli 2024

Sarpa Yadhnya (Parikesit Lena/Mahabarata Kawedar)

Hai semua pembaca dan penikmat kisah-kisah pewayangan! Setelah hampir satu bulan vakum, penulis kembali bisa menulis kisah-kisah pewayangan dan kali ini penghabisan terakhir Mahabarata, jadi Kisah mahabarata resmi selesai. Kisah kali ini mengisahkan kelahiran Resi Astika, perlakuan tidak sopan Prabu Parikesit kepada Begawan Samiti yang berakhir dengan kematian Prabu Parikesit karena gigitan Naga Taksaka. Kisah diakhiri dengan Resi Astika menghentikan sesaji kurban ular yang dilakukan Prabu Udrayana dan diwedarkannya isi Kisah Mahabarata. Sumber kisah ini adalah Kitab Mahabharata karya Mpu Vyasa, https://id.wikipedia.org/wiki/Parikesithttps://id.wikipedia.org/wiki/Adiparwahttps://metrobali.com/negeri-terbelit-naga-taksaka/, https://id.wikipedia.org/wiki/Jaratkaruhttps://en.wikipedia.org/wiki/Manasa, dan sumber-sumber lain di internet.

Alkisahnya, Dewi Manasa, putri Batara Guru yang diaku sebagai adik Batara Basuki dan Naga Taksaka, putra Dewi Kadru tinggal di sebuah hutan yang jauh di pedalaman. Di gubuknya yang indah, hidup bersama para ular. Dewi Manasa adalah anak jelmaan racun Halahala Kalakota yang dahulu ditelan Batara Guru saat pengadukan Samuderamanthana. Ketika ia turun ke bumi, ia bertemu seorang pertapa bernama Begawan Jaratkaru. Begawan Jaratkaru terlihat dalam kondisi kepayahan seperti kelelahan. Dewi Manasa menolong sang begawan yang tengah kelelahan itu. Dewi Manasa lalu bertanya “ampun resi agung, kenapa kau bisa sepayah dan selelah ini? Apakah tuanku tidak makan apapun?” Bukankah di hutan ini banyak bahan makanan yang bisa kau konsumsi?” Jaratkaru berkata “ hai wanita cantik, aku pergi seorang diri mengembara dan mengunjungi berbagai tempat suci dan petirtaan. Bahkan aku berpantang untuk makan dan tidur, serta hanya mengandalkan udara semata untuk bertahan hidup, hingga akhirnya aku berusia tua seperti sekarang ini.” Lalu Dewi Manasa menghidangkan makanan dan minuman untuknya namun ia menolak makan. Ia hanya menenggak secawan besar air untuk mengganjal perutnya.

Begawan Jaratkaru dan Dewi Manasa
Setelah dirasa kenyang, Begawan Jaratkaru lalu melanjutkan ceritanya. Begawan Jaratkaru bercerita “dalam perjalananku, aku mencium bau wangi akar narwastu lalu aku mencium sumber wangi itu berasal dari sebuah pohon dengan lubang besar menganga di bawahnya. Aku melihat sukma ayah, ibu, kakek, nenek, dan para leluhurku sedang tergantung dengan posisi kepala menghadap bawah, yang terdapat sebuah lubang mengarah ke neraka. Kaki mereka terikat dengan tali dari jalinan rumput wangi (akar narwastu) yang digerogoti oleh tikus. Mereka mencaciku yang memutuskan untuk membujang selamanya sehingga mengakhiri garis keturunan. Mereka lalu membujukku untuk menikah dan melanjutkan keturunan agar bisa berangkat ke swargamaniloka.”  Dewi Manasa kemudian tertarik dengan kisah sang begawan dan meminta melanjutkan ceritanya.  Namun setelah didesak, sang begawan melanjutkan. Begawan Jaratkaru berkata “Pada awalnya aku menolak untuk mengikuti bujukan mereka, tetapi aku terus dirayu-rayu dan akhirnya akhirnya aku menyanggupi dengan syarat: pertama, wanita yang dipilihnya harus bersedia menikah atas kemauan si wanita sendiri dan yang kedua, si wanita bersedia untuk tidak dinafkahi lahir olehku. Dalam kondisiku yang kian tua dan miskin, aku terus berkelana untuk mencari pasangan yang sesuai keinginanku. Saat berada di dalam hutan, aku berdoa tiga kali untuk memohon pasangan hidup demi menunaikan janjinya kepada leluhur. Tapi setelah tiga kali aku berdoa, tetap saja Dewata diam saja. Aku frustrasi, sedih, marah, kecewa...campur aduk sudah rasanya...usahaku terasa percuma dan sia-sia. Aku pun pergi kabur kanginan hingga sampai seperti ini.” Dewi Manasa pun merasa inilah mungkin yang dikatakan sang kakak dahulu “kelak akan datang seorang perjaka tua yang putus asa dan akan menjadikanmu pasangannya. Kelak darinya pula, akan lahir seorang anak yang cerdas dan bisa membantu hubungan baik antara para naga dan manusia.” Dewi Manasa pun berkata “ tuanku, ambillah diriku sebagai pasanganmu. Nikahilah aku. aku bersedia dengan hati rela dan ikhlas. Aku bersedia tidak kau nafkahi secara lahir. Cukup menjadi pasanganmu sudah membuatku bahagia.” Begawan jaratkaru pun tak percaya dengan yang diucapkan Manasa. Ia akhirnya menemukan orang yang ia cari-cari dan itu sesuai dengan kriterianya. Singkat cerita, di tengah hutan yang indah itu, digelarlah pernikahan antara Begawan Jaratkaru dan Dewi Manasa. Datang pula Batara Guru, Batari Durga, dan Batara Basuki memberkahi pernikahan sang putri. Setelah menikah, Jaratkaru tinggal di gubuk istrinya. Begawan Jaratkaru memperingatkan istrinya bahwa ia akan minggat apabila sang istri mengecewakannya dua kali, sehingga Manasa melayani suaminya dengan penuh perhatian. Benar saja, selama tinggal di sana, sang begawan asik terlarut dalam semadhinya. Jarang sekali ia menggauli isterinya itu atau membantunya dalam hal rumah tangga. Meski demikian, Dewi Manasa memang isteri berbakti. Keinginan suami dituruti. Sepanjang hari ia juga banting tulang mencari kayu bakar, bahan makanan, dan menyiapkan segala keperluan suaminya.  Seiring berjalannya waktu, Manasa pun hamil. Hal itu membuat keduanya bahagia bukan main dan setelah sembilan bulan lamanya mengandung, akhirnya lahir seorang anak lelaki. Nama anak itu ialah Bambang Astika.

Segalanya baik-baik saja sehingga semakin lama beban Manasa semakin berat. Sesabar-sabarnya isteri tapi jika dapat pria yang cuma bisa menumpang hidup rasanya menyiksa. Lelah dan letih rasanya. Pada suatu pagi, Dewi Manasa kelelahan karena sepanjang hari sebelumnya ia kelabakan harus mengurus rumah, merawat Astika, dan menyiapkan segalanya untuk sang suami sendirian tanpa pembantu atau teman sehingga Dewi Manasa ketiduran dan bablas sampai siang. Jaratkaru pun ikut bangun kesiangan sehingga ia melewatkan pamujan trisandhya pagi. Sang begawan murka dan terjadilah pertengkaran. Begawan Jaratkaru pun mengancam untuk mengusir sang isteri ke neraka karena dianggap sebagai istri yang lalai. namun akhirnya ia berhasil ditenangkan oleh Batara Surya. Batara Surya memberikan nasehat “Jaratkaru, kau harusnya malu pada dirimu yang malas! Kau harusnya bersyukur punya isteri berbakti dan baik hati. Jangan hidup serba enak menumpang tanpa beban. Dunia ini bukan sekadar kegiatan rohani tapi juga jasmani. Keegoisanmu di masa lalu telah memberatkan hidup orang lain!” Begawan Jaratkaru pun meminta maaf dan berjanji tidak akan mengulanginya lagi. Sejak itu, Begawan Jaratkaru bersedia melepas kriteria isterinya yakni ia bersedia menafkahi Manasa lahir dan batin. Begawan Jaratkaru kembali hidup dengan penuh kerja keras. Sekarang selain bersemadhi, kini Jaratkaru lah yang bertugas mencari kayu bakar dan mengambil air, sementara Manasa cukup mengurus Astika kecil dan membersihkan rumah. Hari-hari yang dilalui Begawan Jaratkaru dengan normal. Namun karena usia Jaratkaru yang memang sudah tua, ia merasa kelelahan tak kuat membawa beban berat. Hal itu membuatnya gampang capek dan akhirnya pada suatu hari, karena saking lelahnya, ia ketiduran. Pada saat itu, sang resi tertidur di pangkuan istrinya setelah lelah mencari kayu bakar. Sang begawan tertidur lelap sangat sehingga sudah hampir tiba waktunya matahari terbenam yang artinya sebenta lagi masa untuk melakukan pamujan trisandhya sandekala. Di dalam tidurnya, Jaratkaru mendapat penglihatan dari para dewa-dewi bahwa sebentar lagi ia harus pergi meninggalkan isterinya. Sementara itu, Manasa menghadapi dilema. Ia bingung untuk memilih apakah lebih baik membangunkan suaminya, atau membiarkan suaminya tertidur sehingga melewatkan trisandhya sandekala. Akhirnya Manasa memilih pilihan yang pertama. Ia berbisik di telinga suaminya agar terbangun untuk menyiapkan sesajen. Tindakan tersebut membuat sang resi marah. Ia berkata bahwa matahari tidak akan berani untuk terbenam sebelum Jaratkaru melaksanakan pamujan. Jaratkaru pun meninggalkan Manasa, meskipun sang istri telah meminta maaf dan mengakui kesalahannya. "Hai suamiku, maafkan dinda! Bukan maksud dinda menghina kakanda, saat aku membangunkan kakanda. Dinda  hanya mengingatkan saat sembahyang kakanda, tiap senja. Salahkah itu, apakah aku harus menyembah kakanda? Seyogyanyalah engkau kembali ... kakanda. Karena aku telah melahirkan, anak kita ini akan menghapuskan korban ular bagi saudara-saudaraku, dan kakanda dapat membuat tapabrata lagi." Mulai dari hari itu, pernikahan antara Begawan Jaratkaru dengan Dewi Manasa sang putri ular berakhir. Anak tersebut dipeliharalah oleh Batara Basuki, dididik serta diasuh menurut segala apa yang diharuskan bagi brahmana, dirawat dan diberi kalung brahmana. Dengan lahirnya Bambang Astika, maka arwah yang menggantung di ujung bambu itu dapat melesat pulang ke alam kelanggengan, menikmati pahala tapanya, yaitu tapa yang luar biasa. Patuhlah Astika, sehingga dapat membaca Weda. Diijinkannyalah dia untuk mempelajari segala sastra, mengikuti ajaran Bhrgu. Bambang Astika tinggal dengan ibu dan pamannya sampai beberapa lama sehingga Astika sudah cukup umur. Setelah remaja, Dewi Manasa harus kembali ke kahyangan bersama kedua kakak angkatnya, Batara Basuki dan Naga Taksaka. Bambang Astika pun pergi berkelana. Setelah cukup ilmu, ia mengajar ilmu dan hikmah lalu mendirikan padepokan di pinggir Wanamarta.

Pada suatu ketika, Prabu Parikesit sedang pergi berburu di hutan Wanasengkala. Di sana ia berhasil mendapatkan bidikan seekor kijang namun karena panahnya tidak benar-benar melukainya, kijang itu berhasil kabur dan menghilang di balik kegelapan hutan. Prabu Parikesit pun mengejarnya dan tak menemukannya. Lalu di dekat sebuah pohon beringin besar, ada sebuah gubuk tua. Gubuk itu nampak reot dan rusak. Bahkan saking reotnya, beberapa ekor tikus dan juga tampak sebuah liang tempat ular bersarang di sana. Prabu Parikesit berhasil mengusir tikus-tikus tersebut dan membunuh ular yang ada di dalam liang itu. setelah membereskan gubuk itu, Prabu Parikesit beristirahat. Ketika ia masuk ke dalam gubuk, ia baru sadar kalau gubuk ini ada yang menempati. Yaitu seorang pertapa. Prabu Parikesit mengenali pertapa itu, ialah Begawan Samiti. Gubuk ini ternyata tempat tinggal begawan Samiti. Karena terlalu  kelelahan, tanpa izin sang begawan Prabu Parikesit pun langsung beristirahat setelah lelah melakukan perburuan. Ketika itu Begawan Samiti sedang melakukan tapa mbisu. Karena masih kepikiran soal buruannya yang hilang, Parikesit pun bertanya “ampun Bapa, adakah Bapa tau mana seekor kijang lewat rumah bapa? Itu buruan patik yang berhasil kabur.” Begawan Samiti hanya bergeming, diam membisu. Tak ada sepatah kata dua kata terucap dari bibir sang begawan yang kering itu, karena pantang berkata-kata saat bertapa apalagi tapa ini jenis tapa mbisu.

Prabu Parikesit mengalungkan bangkai ular di leher Begawan Samiti
Berkali-kali prabu Parikesit meminta sang begawan menjawab pertanyaannya namun hanya hening yang ada. Sang begawan tetap saja diam. Setelah pertanyaannya berkali-kali tidak digubris, Prabu Parikesit merasa dongkol hati “Dasar Begawan Bodoh! Kau Ini Benar-Benar Bisu Tuli dan Hanya Suara Nafasmu yang Ku Dengar!? Suara Hela Nafasmu Seperti Desisan Ular!!”  Dengan penuh kemarahan Prabu Parikesit mengambil bangkai ular yang tadi ia bunuh lalu dengan anak panahnya, lalu mengalungkannya ke leher Begawan Samiti. Prabu parikesit pun pulang ke Hastinapura dengan perasaan dongkol dan kecewa.

Salah seorang murid Begawan Samiti yakni Wasi Kresa baru saja kembali dari berburu dan mendengar seseorang marah-marah. Ia lalu mendekat ke gubuk dan menyaksikan tindakan tidak sopan Prabu Parikesit dengan mengintip dari balik celah gedhek (dinding anyaman bambu). Wasi Kresa pun pergi mengendap-endap meninggalkan gubuk sebelum sang prabu menyadari keberadaannya. Singkat cerita, Wasi Kresa datang ke rumah putra Begawan Samiti yakni Resi Srenggi. “Den bagus! Den Bagus Srenggi! Buka pintunya, den! Ini aku Kresa! Resi Srenggi pun membuka pintu dan menenangkan Wasi Kresa “Hei Kresa, tenang dulu.... ada apa kok nampak terburu-buru?” lalu Wasi Kresa menceritakan kejadian yang ia saksikan tadi kepada sang putra Samiti tersebut.  Resi Srenggi kaget dan segera pergi ke rumah bapaknya dan melihat ayahnya sendang bertapa bisu namun telah berkalungkan bangkai ular dan ada anak panah milik Prabu Parikesit di dekatnya. Resi Srenggi sangat murka lalu menyumpahi Prabu Parikesit “Parikesit! Dasar Raja Bodoh! Orang Sedang Bertapa Malah Kau Perlakukan Tidak Hormat! Aku Sumpahi Kau Akan Mati digigit Ular Tujuh Hari Dari Sekarang!”Sumpahan Resi Srenggi diiringi suara gelegar halilintar dan kelit yang menyambar-nyambar menakutkan. Begawan Samiti terbangun dari tapa bratanya dan merasa kecewa terhadap perbuatan putranya tersebut “Srenggi?!” bentak Begawan Samiti. resi Srenggi pun menoleh dan melihat sang ayah sudah bangun “ampun, bapa...jangan hukum daku...anak mana yang tidak sakit hati yang melihat ayahnya diperlakukan tidak adil, apalagi oleh seorang raja!” Begawan Samiti lalu berkata “kesabaranmu belum di tahap puncak, Srenggi! kau sudah berani mengutuk raja yang telah memberikan kita tempat berlindung. Kita bisa hidup di negaranya sudah bersyukur!” lalu Begawan Samiti meminta Resi Srenggi menyucikan pikirannya dahulu. Akhirnya Samiti berencana untuk membatalkan kutukan putranya. Ia lalu mengutus muridnya yang tak lain Resi Utangka. Resi Utangka sebelumnya pernah berguru kepada Begawan Weda, murid Begawan Dhomya. Resi Utangka pun datang kepada Prabu Parikesit di Hastinapura. Sesampainya di istana, Patih Harya Dwara bersama ketiga putra Parikesit yakni Raden Janamejaya (Udrayana), Raden Indrasena (Ramayana), Raden Ramasena (Ramaparwa), lalu diikuti Tumenggung Wisangkara, dan Panglima Wiratmaka bersama para keturunan Pandawa lainnya menyambut Resi Utangka dengan hormat. Resi Utangka pun membeberkan apa tujuannya datang ke hastinapura “ampun gusti Paduka, kedatangan patik kemari untuk Paduka agar datang kembali ke pertapaan guru saya, Begawan Samiti. Putra guru, den bagus Srenggi telah mengutuk pasu Paduka agar mati karena gigitan ular karena perbuatan paduka. Karena itulah , paduka telah diundang guru ke pertapaan demi melindungi diri Paduka.” Resi Yodeya, yang tak lain ayah dari Endang Yodini mendukung apa yang dikatakan Resi Utangka “anak prabu, baiknya kau datang penuhi undangan Begawan Samiti.” Lalu kakek Semar memberikan petunjuknya “hmm...ndoro prabu... dengarkanlah Den bagus Resi Utangka dan den bagus  Yodeya... ini demi kebaikan ananda prabu.” tetapi sang raja menjaga gengsi dan malu saat mendengar tawaran begawan Samiti, Resi Yodeya, dan Kakek Semar. Ia memilih untuk berlindung “tidak, tuan resi...aku malu jika harus bertemu dengan gurumu. Gurumu terlalu baik untukku. Aku akan melindungi diriku di balik tembok istana yang kokoh ini.” Maka hari itu segera dibangun tembok besar dan menara mengelilingi istana dan dalem puri. Selama beberapa hari itu, penjagaan semakin ketat dan jalan juga lorong menuju kamar sang raja Hastinapura juga dilengkapi oleh perangkap-perangkap mematikan. Sang raja mengisolasi dirinya sendiri demi terhindarkan dari kematian. Di sekeliling menara juga telah siap para tabib yang ahli menangani bisa ular.

Di tempat penyucian diri, Resi Srenggi masih merasa marah kepada Prabu Parikesit kemudian ia berdoa memanggil para naga dan ular. Tak lama kemudian, datang dari langit, seekor naga sakti terbang  ke arahnya, yaitu naga Taksaka. Naga Taksaka pun bertanya kepada sang resi “ada apa kiranya Resi memanggilku?” “hamba memanggil tuanku karena suatu tugas. Tugas dari hamba ialah menghabisi Prabu Parikesit karena dia telah menghinaku dengan mengalungkan bangkai dari bangsa tuanku di leher ayahku seakan-akan hendak menantangku.” Naga Taksaka merasa diatas angin “kebetulan sekali tuanku memenggil saya. Saya juga ada dendam pribadi dengan Arjuna dan keturunannya karena pernah mengusirku dahulu. Apapun keingiananmu akan aku kabulkan.” Maka berangkatlah Naga Taksaka pergi ke Hastinapura untuk melaksanakan perintahnya menggigit raja Parikesit. Penjagaan di Hastinapura sangat ketat. Sang Prabu berada dalam menara tinggi di tengah kamarnya dan dikelilingi oleh prajurit, brahmana, dan ahli bisa. Naga Taksaka pada awalnya mengalami kesulitan untuk menjalankan perintah itu. 

Akhirnya pada hari ketujuh, yaitu hari yang diramalkan menjadi hari kematiannya sang Prabu, naga Taksaka meminta saudaranya yakni Naga Kaliya untuk menyamar menjadi seorang pelayan dan dia akan menyamar menjadi ulat dan masuk ke dalam buah jambu yang dihaturkan kepada Sang Prabu. Pelayan jelmaan naga Kaliya pun masuk ke kamar sang prabu “ampun paduka, ini saya pelayanmu....hamba datang memberikan makanan untuk makan malam hari.” Prabu Parikesit pun berkata di tangga rahasia menara. “letakkan makanannya di depan pintu tangga. biar aku yang mengambilnya sendiri.”  Setelah pelayan itu pergi, Prabu Parikesit membuka pintu tangga. Ia pun melihat keluar jendela, hari sudah hampir gelap. Prabu parikesit pun mengambil buah jambu itu sambil berkata mengejek “ahahaha...sudah hampir malam dan hari akan berganti...sumpah Srenggi sudah tawar karena kecerdasanku menghindari kematian. Ah..aku lapar.... aku makan saja jambu ini.”

Parikesit Lena
Pada saat Prabu Parikesit menyantap jambu yang dihidangkan, Tiba-tiba seekor ulat keluar dari buah itu dan lalu berubah wujud kembali sebagai Naga Taksaka. Prabu Parikesit kaget dan ketakutan. Ia berlarian ke sana kemari. Suara minta tolong terdengar lantang namun sudah terlambat. Kutukan tersebut menjadi kenyataan., naga Taksaka melilit tubuh sang raja, menggigit dan menyuntikkan bisa racunnya. Tubuh sang prabu pun perlahan terbakar dan perlahan meleleh oleh bisa panas dan korosif milik Taksaka. Naga Taksaka pun terbang menembus atap menara istana dengan gembira hati karena dendamnya dan dendam resi Srenggi telah terbalaskan.

Orang-orang di istana melihat di kejauhan kamar raja terbakar. Raden Janamejaya bersama lainnya menuju ke kamar itu. Perangkap-perangkap maut di lorong kamar ayahnya segera di-nonaktikan. Ketika memasuki kamar, benar kamar itu terbakar tapi api itu tidak menyebar, hanya terpusat di satu tempat yakni di dekat pintu tangga menara. Di sana ia tidak melihat ayahnya melainkan hanya mahkota dan pakaiannya saja tergeletak dan di dekatnya ada setumpuk abu juga beberapa sisik ular naga. Raden Janamejaya sangat sedih karena ayahnya telah tewas digigit naga sama seperti yang dikatakan Resi Utangka tujuh hari yang lalu. Setelah tujuh hari perkabungan, Raden Janamejaya dilantik sebagai raja Hastinapura. Ia pun memakai nama saat pengembaraannya yakni Prabu Udrayana.

Setelah menjadi raja, Prabu Udrayana melakukan sesaji Aswamedha (kurban kuda) dan menaklukan kembali kerajaan Gandaradesa lalu datanglah lagi Resi Utangka. Di sana mereka melepas rindu. Prabu Udrayana lalu bercerita “Resi...ketahuilah setelah ayahnda meninggal karena Naga taksaka beberpa bulan yang lau masih menyisakan trauma padaku dan keluarga. Apa salah ayahnda sampai harus menerima kutukan itu?” Resi Utangka lalu membeberkan alasan dibalik kematian Prabu Parikesit“gusti paduka, ketahuilah paduka bahawa kematian ayahanda paduka karena dulu Naga Takska punya dendam pada keluarga paduka dan dendam itu mendapat jalan lantaran Resi Srenggi.” Prabu Udrayana terhenyak “apa maksudmu, resi?” Resi Utangka lalu menjelaskan “ paduka, sebenarnya karena setelah mengutuk, den bagus Resi Srenggi juga mengutus naga Taksaka untuk menghabisi ayahnda paduka.” Prabu Udrayana menjadi marah mendengarnya. Ia pun berlalu pergi.

Singkat cerita, sekembalinya dari Gandaradesa, Prabu Udrayana berbincang dengan para sesepuh “para tumenggung, patih dan paman-pamanku sekalian. Aku telah mendengar penjelasan dari Resi Utangka bahawa ayahanda meninggal karena ulah Naga Taksaka yang punya dendam pribadi pada keluarga kita. Aku akan mengadakan upacara sesaji Sarpa Yadhnya, sesaji untuk membunuh semua ular dan naga demi ketenangan ayahnda.”  Para sesepuh kaget mendengarnya. Lalu adik pertama sang prabu yakni Raden Indrasena menyampaikan pendapatnya “kakang prabu, apa tidak terlalu berlebihan? Hanya karena satu ular naga yang bersalah, semua harus dikorbankan? Ingat kakang, ular juga punya peran penting di dunia sebagai pembasmi hama tikus. Raja naga Anantaboga juga adalah kakek canggah kita dari eyang Antareja.” Prabu Udrayana berkata “aku tidak peduli, dinda Indrasena. Karena gigitan ular pula ayah kita meninggalkan kita semua. Dinda Ramasena, cepat siapkan sarana upacara yadhnya !” Raden Ramasena hanya bisa menyanggupi “baik, kakang prabu. Perintahmu segera ku laksanakan.” Keputusan Udrayana sangat disesalkan oleh para sesepuh terutama oleh Arya Danurwenda, sepupu ayahnya yakni putra Antareja juga Tumenggung Wiratmaka, putra Irawan yang kakek dari pihak ibu adalah tumenggung istana Jangkarbumi, kerajaan para naga. Beberapa hari kemudian, Raden Indrasena dan Raden Ramasena menyiapkan segala kebutuhan upacara dan mengundang para pendeta, ajar, resi, dan ahli mantra untuk membantu proses upacara. Setelah sarana dan prasarana sudah lengkap, sang raja menyelenggarakan Sesaji Sarpa Yadhnya. Api di tungku pengorbanan berkobar-kobar. Dengan mantra-mantra suci yang dibacakan oleh para brahmana dan resi, beribu-ribu ular (naga) melayang di langit bagaikan terhisap dan lenyap ditelan api pengorbanan. Di istana Jangkarbumi, Arya Danurwenda juga pangeran ular naga merasakan dada dan kulitnya terbakar karena ia bisa merasakan kesakitan dan penderitaan para ular yang terbakar api yadhnya. Karena keadaan semakin tidak baik-baik saja, Arya Danurwenda segera memberitahu para sepupunya yakni Prabu Sasikirana, Tumenggung Wiratmaka dan Raden Antasurya. Setelah berkumpul di istana Jangkarbumi, semuanya kaget melihat tubuh Danurwenda yang dipenuhi luka bakar “Kakang Danurwenda, kenapa dengan tubuh kakang? Tubuh kakang terlihat gosong.” Tanya Antasurya. Danurwenda lalu berkata “ini karena ananda Prabu Udrayana melakukan sesaji Sarpa Yadhnya. Kalian kan tahu aku juga pangeran ular naga.” Prabu Sasikirana membenarkan “benar juga. Upacara ini tidak boleh diteruskan. Bisa-bisa semua ular dan naga di seluruh dunia habis.” “benar kakang, tapi apa yang bisa kita lakukan?” tanya Tumenggung Wiratmaka. Lalu datanglah bersama kakek Semar Arya Wisangkara membantu “kakang semua, mungkin aku bisa memberikan solusi!”  Prabu Sasikirana bertanya apa solusinya. Arya Wisangkara berkata bahawa mereka Kerajaan Nagaloka di kahyangan.

Singkat cerita,  para cucu pandawa ditemani kakek Semar terbang ke kahyangan bertemu Naga Taksaka. Sesampainya di kahyangan, angin panas tiba-tiba bertiup kencang. Arya Danurwenda semakin merasa kesakitan. Ia tak kuat lagi berjalan dan tubuhnya seakan-akan ditarik ke bawah ke arah api yadhnya yang menyala berkobar-kobar. Prabu Sasikirana segera menggendong sepupunya itu.

Naga Taksaka disedot kekuatan mantra Sarpa Yadhnya
Ketika sampai di istana Nagaloka, para cucu Pandawa melihat Naga Taksaka mengalami hal yang sama seperti Danurwenda. Tubuh sang naga menjadi lemah dan seakan tersedot, ditarik kekuatan mantra api yadhnya. Prabu Sasikirana, Arya Wisangkara, dan Raden Antasurya segera menolong sang naga. Naga Taksaka bertanya “hei keturunan pandawa, apa yang kalian lakukan disini?” raden Antasurya berkata “naga Taksaka, bantu kami untuk menghentikan sesaji kurban ular yang dilakukan ananda prabu Udrayana.” “benar, tuanku naga Taksaka. Hanya tuan yang bisa membantu kami.” Ucap Tumenggung Wiratmaka  Naga Taksaka lau menjawab “tidakkah kalian melihat, aku juga tidak bisa membantu. Aku ikut tersedot.....” belum sempat melanjutkan bicara, Naga taksaka terhisap angin panas semakin jauh. Untungnya saja, ia masih berpegangan pada jubah milik Sasikirana dan kebetulan ia sedang terbang. Naga Taksaka lalu teringat tentang keponakannya Bambang Astika. Naga Taksaka berkata pada para cucu Pandawa “cucuku, aku tahu siapa yang bisa membantu kita.” Dengan sisa kekuatannya, Naga Taksaka menyuruh Sasikirana turun ke Hutan Wanamarta. Maka turunlah mereka ke Hutan Wanamarta. Sementara, kakek Semar akan pergi ke tempat lain untuk menemui seseorang.

Tanpa disadari mereka, sukma Maharesi Abiyasa yang tak lain kakek canggah mereka yang ada di kahyangan memperhatikan mereka. Maharesi Abiyasa segera berdoa “ohh pukulun dewata, bantulah para cicit piutku agar bisa menyadarkan Udrayana.” Tak lama kemudian datanglah batara Ganesa “Abiyasa, aku telah datang menjawab doamu. Solusi untuk masalah ini akan aku tuliskan di dalam sebuah kitab. Kitab tentang leluhurmu, dirimu, dan keturunanmu akan kutulis secara terperinci.” Batara Ganesa segera menyiapkan daun-daun lontar dan menuliskan semua isi kitab itu, dimulai dari kisah para leluhur kerajaan Hastinapura, lalu dilanjutkan kehidupan kerajaan di Hastinapura dari Santanu hingga Abiyasa, kehidupan Dretarastra, Pandu Dewanata, dan Arya Widura beserta pernikahan mereka, kisah keluarga Yadawa, kelahiran Pandawa dan Kurawa, masa muda mereka, berdirinya Amarta, permainan dadu, pengasingan dan penyamaran, Bharatayudha hingga akhirnya pada pengorbanan ular. Semua ditulis dengan rinci tanpa satu bab pun terlewat. Dengan kecepatan daya ingat sang Batara Ganesa, Kitab Mahabarata pun berhasil dituliskan. Sukma Maharesi Abiyasa lalu turun ke bumi untuk memberikan kitab itu kepada salah satu muridnya yakni Begawan Wesampayana. Kala itu Begawan Wesampayana sedang tidur dan didatangi gurunya itu lewat mimpi “muridku yang terkasih...terimalah kitab ini dan sampaikan kepada Udrayana, cucu cicitku kisah tentang kakek buyutnya dan alasan kenapa Taksaka harus menghabisi Parikesit yang sebenarnya.” “baiklah guru....hamba terima kitab ini” tak lama, Begawan Wesampayana bangun dengan keringat bercucuran dan mendapati sebuah kitab. Kitab itu sama seperti yang diberikan sang guru lewat mimpi.lalu datang kakek Semar “Wesampayana! Kau ada di padepokan? Keluarlah, ini aku kakek Semar” Begawan Wesampayana pun keluar dari padepokannya. Ia menyambut sang punakawan yang telah menemani gurunya dan para Pandawa itu. Baegawan Wesampayana berceritera “kakek, tadi aku baru saja mendapat mimpi dari guru dan mendapat kitab Mahabarata yang Beliau dapat dari Kahyangan.” Kakek Semar pun ikut bercerita bahwa sekarang ada huru-hara di Hastinapura dan dan mungkin sang guru memberinya kitab itu untuk meredam huru-hara yang terjadi. Tanpa banyak waktu, berangkatlah mereka berdua ke Hastinapura dan tak lupa pula Begawan Wesampayana membawa kitab Mahabarata.

Sesampainya di hutan, Naga Taksaka segera memanggil sang keponakan. Lalu berdirilah seorang resi muda. Ia lah Bambang Astika atau sekarang ia dikenal sebagai Resi Astika. Sang pandita muda itu menyambut kedatangan mereka. “salam paman Taksaka. Dan kalian pasti para cucu Pandawa itu. suatu kehormatan bisa bertemu kalian.” Naga Taksaka dan lainnya menerima salam Resi Astika. Sang resi lalu betanya” ada apa paman taksaka dan para cucu Pandawa yang agung menemuiku?” Naga Taksaka menceritakan setiap kejadian dari awal hingga akhir. Naga Taksaka meminta bantuan kepada Astika untuk menggagalkan upacara sesaji Prabu Udrayana “keponakanku, setelah mendengar kisahku, aku minta tolong segera hentikan sesaji Sarpa Yadhnya milik Prabu Udrayana.”

Resi Astika menghentikan sesaji Sarpa Yadhnya
Resi Astika menerima tugas tersebut lalu pergi ke lokasi upacara sesaji. Di sana angin yang sangat panas berhembus sangat kencang menarik semua ular dan naga ke tengah api yang marak. Resi Astika lalu mendekati Prabu Udrayana. Ia menyembah-nyembah sang raja Hastinapura memohon agar Sang Raja membatalkan yadhnya “ampun Paduka Prabu, tolong hentikan upacara ini. Keseimbangan alam akan goyah jika bangsa ular tidak ada.” Prabu Udrayana bertanya “apa hubungannya ini denganmu? Memang siapa kau bernai meminta begitu?” Resi Astika menajwab “aku Astika, putra Dewi Manasa sang dewi ular. Kakekku Batara Guru dan Batari Durga. Pamanku Batara Basuki dan Naga Taksaka yang akan paduka habisi. Aku mohon dengan kemurahan hati paduka hentikan sesaji ini.” Sang Raja yang memiliki rasa belas kasihan terhadap Resi Astika luluh dan akhirnya membatalkan upacaranya. Sesaat setelah upacara dibatalkan para ular naga menunduk hormat kepada Resi Astika dan memohon maaf kepada Prabu Udrayana lalu mereka kembali ke hutan. Akhirnya, Resi Astika berterima kasih kepada sang raja lalu ia mohon diri untuk kembali ke padepokannya. Naga Taksaka, Arya Danurwenda, dan para ular, naga, beserta keturunan mereka pun selamat dari upacara tersebut.

Setelah Resi Astika menggagalkan upacara yang dilangsungkan sang raja, Prabu Udrayana dikunjungi oleh kakek Semar dan Begawan Wesampayana. Sang prabu menyambut kedatangan kedua orang kepercayaan kakek buyutnya itu. “anak prabu, kedatangan ku bersama begawan Wesampayana untuk meluruskan dan bernostalgia dengan kisah-kisah dari para leluhurmu.” Prabu Udrayana seketika itu merasa rindu kepada ayah dan kakek buyutnya. Ia memohon pada Begawan Wesampayana agar menuturkan kisah para leluhurnya “Wahai bapa Begawan, engkau telah melihat dengan mata kepalamu sendiri, tingkah polah para kakek buyutku, Kurawa dan Pandawa. Aku penasaran untuk mendengarkan sejarah mereka darimu. Apa sebab dari perpecahan di antara mereka yang diakibatkan oleh perbuatan luar biasa tersebut? Mengapa pula Perang Bharatayudha—yang menyebabkan kematian insan yang tak terhitung banyaknya—terjadi di antara para leluhurku, yang pikiran jernihnya dikaburkan oleh takdir? Wahai bapa Begawan yang mulia, ceritakanlah kepadaku segala hal yang terjadi sejelas-jelasnya.” Begawan Wesampayana pun menuturkan kisah panjang untuk sang raja, yaitu kisah para kakek buyutnya―Pandawa dan Kurawa. Sesuai keinginan Udrayana, Wesampayana memulai dari ikhtisar perseteruan antara Pandawa dan Kurawa. Kemudian kisah berlanjut tanpa kronologis dan meloncat-loncat karena mengikuti kehendak sang raja.

Begawan Wesampayana mewedarkan isi kitab Mahabarata
Maka dari itu percakapan antara Udrayana dan Wesampayana menentukan mana cerita yang didahulukan dan mana yang belakangan. Kilas balik yang tercatat meliputi kisah Prabu Sentanu dan Satyawati, kemudian kelahiran Karna dan Sri Kresna, kisah awal mula kehidupan Begawan Dorna, kisah para leluhur sang raja, yaitu Dusyanta, Shakuntala, dan putra mereka yakni Baharata, serta kisah kakek moyangnya yang bernama Maharaja Yayati yang menurunkan lima putra dan mendirikan lima suku besar. Lima suku tersebut diturunkan oleh Yadu, Tuwasu, Drahyu, Hanu, dan Puru. Leluhur Udrayana diturunkan oleh Puru. Garis keturunan berlanjut kepada keluarga keraton Hastinapura. Lalu berlanjut ke kisah leluhur maharesi Abiyasa, dimulai dari Resi Manumayasa, kemudian berlanjut ke putranya, Bambang Sekutrem yang menikahi putri prabu Baharata, Nilawati lalu Begawan Sakri, hingga pernikahan anak Sakri yakni Palasara dengan Satyawati hingga melahirkan Abiyasa, orang yang menjadi penyambung darah Baharata yang hampir putus karena Bhisma, anak Sentanu bersumpah hidup membujang. Dari Abiyasa lahirlah Drestarastra, Pandhu Dewanata, dan Arya Widura. lalu juga kisah Begawan Mandawya atau Animandaya dengan Begawan Dharmajaya yang membuat sang begawan Dharmajaya lahir sebagai Arya Widura. Kisah dilanjutkan ke kelahiran Pandawa dan Kurawa, lalu masa muda mereka, pembakaran rumah Bale Sigala-gala, pernikahan Pandawa dan Kurawa, pendirian Amarta, sesaji Rajasuya, permainan dadu dan pengasingan Pandawa hingga Perang Bharatayudha. Prabu Udrayana merasa terkesan dan akhirnya tau seluk beluk tentang keluarganya. Prabu udrayana lalu bertanya “Bapa Begawan, lalu bagaimana kisah hidup mereka selanjutnya?” Begawan Wesampayana lalu menceritakan kelahiran ayah Prabu Udrayana yakni prabu Parikesit, kutukan Dewi Gendari kepada Sri Kresna, Prabu Yudhistira menjadi raja, lalu kisah diakhiri dengan kemoksaan sesepuh Hastinapura, penghancuran Trah Yadawa, dan moksanya para Pandawa. Prabu Udrayana bersama seluruh keturunan Pandawa dan Kurawa lainnya terharu. Setelah disampaikannya kisah Mahabarata, begawan Wesampayana pun pamit pulang bersama kakek Semar dan para sesepuh lainnya. Sebelum pergi, begawan Wesampayana menyerahkan Kitab Mahabarata kepada sang raja dan hendaknya isi dari kitab itu disebarkan Sejak hari itu, Kisah Mahabarata menjadi kisah yang melegenda. Prabu Udrayana memerintah negeri dengan bijaksana. Setelah meninggalnya Prabu Udrayana beberapa puluh tahun kemudian, Hastinapura diperintah putra Udrayana yakni raden Shatanika yang bergelar Prabu Gendrayana. Khawatir kisah leluhurnya akan hilang karena kitab Mahabarata yang mulai lapuk, Kitab Mahabarata ditulis ulang, diperbanyak, dan disebarkan luas ke seluruh daratan Aryawata (Hindustan dan Jawadwipa) dari generasi ke generasi.....

TAMAT


Tidak ada komentar:

Posting Komentar