Sabtu, 22 Juni 2024

Bambang Udrayana (Janamejaya Kridha)

Hai semua pembaca dan penikmat kisah-kisah pewayangan! Setelah hampir satu bulan vakum, penulis kembali bisa menulis kisah-kisah pewayangan dan kali ini untuk dua series terakhir Mahabarata. Kisah kali ini mengisahkan kisah masa muda Raden Janamejaya yang pergi menghilangkan diri demi meguru memperbanyak ilmu. Kisah ini juga diselipkan pencarian sang pangeran mahkota Hastinapura itu oleh kedua saudaranya. Kisah diakhiri dengan pernikahan Janamejaya dengan Dewi Gendrawati. Kisah ini mengambil sumber dari Yudayana Ical - Kumpulan Cerita Wayang dengan perubahan dan penambahan karakter seperlunya.

Setelah kembali dari alam jin berkat bantuan Lengkung kusuma beberapa waktu lalu,  Pada suatu ketika raden Janamejaya, putra Parikesit yang tertua ingin mengembara ia meninggalkan istana yang hanya disertai Semar, Gareng, dan Petruk.”uyut Semar...semenjak kejadian di pertapaan waktu itu..aku sadar jika aku masih kurang ilmu...izinkan aku untuk pergi mengembara menimba ilmu.” Kakek Semar berkata “hmmm..blegedang blegedug...hmemel...hemel....cucuku, aku Cuma seorang abdi dari jaman kakekmu dan kakek buyutmu.....aku akan selalu mengikutimu, cucuku...” sekepergian janamejaya, prabu Parikesit, patih harya Dwara, Bambang Wiratmaka, dan Bambang Wisangkara membahas kepergian janamejaya untuk meguru “adhiku Wisangkara dan Wiratmaka. Janamejaya pergi bersama kakek Semar untuk meguru...kalian coba selediki kemana perginya “sendika dhawuh kakang prabu.”
rupanya, Raden Janamejaya pergi ke Gunung Manikmaya dan dididik ilmu pengetahuan oleh Begawan Sidikara. Sang begawan menerima sang putra Parikesit itu dengan senang hati karena ia bukan orang lain. Latar belakang begawan Sidikara pun tak kaleng-kaleng. Ia adalah putra dari Prabu Jayasentika, paman dari ayah Wiratmaka, Bambang Irawan yang menjadi raja di Rancangkancana. Setelah menyelesaikan pendidikan, Janamejaya izin untuk mencari kayu bakar di hutan.

Janamejaya Kridha
Ketika itu, Janamejaya melihat seberkas cahaya yang terang dan muncul dari cahaya itu muncul seorang dewa yang amat tampan rupawan. Wajahnya mirip sekali dengan wajah buyutnya, Arjuna. Janamejaya rupanya bertemu dewa Kamajaya. “oh jagat dewa batara....ampuni hamba pukulun.....ada apakah kiranya pukulun dewata menemui hamba yang hina dina ini?” batara kamajaya kemudian menyuruh Janamejaya bangun “bangunlah cucuku...jangan terlalu menyanjungku....aku ini bapak angkat buyutmu Arjuna....jadi anggaplah aku juga sebagai kakek canggahmu.” Batara kamajaya kemudian berkata “cucuku...takdirmu selanjutnya tidak akan berada di padepokan Sidikara.... pergilah kamu ke Gunung Candramukha. Kelak masa depanmu menanti jemputan darimu, cucuku.” “sendika dhawuh, kakek pukulun dewata.” Batara kamajaya pun menghilang dari pandangan kembali ke kahyangan.

Sementara itu di Gunung Candramukha. Disekap seorang putri yang sangat cantik. Ialah Dewi Gendrawati, putra prabu Gendraparawa yang diculik oleh Ditya Wagotara, putra Kalasrenggi raja Pageralun yang telah dibunuh oleh Irawan waktu di Bharatayudha. Untuk berusaha melepaskan diri,  Gendrawati yang sedang disandra Wagotara, membuat permintaan “Wagotara! Kalau kau ingin aku tetap dalam genggamanku, turuti keinginanku.” Wagotara dengan suaranya yang berat bertanya “apa keinginanmu? Katakan!” dengan penuh keyakinan, Gendrawati mengajukan keinginannya “dengarkan permintaanku! Aku ingin kau membawakan aku seorang ksatria bagus!” Wagotara menyanggupi “jangankan satu ksatria, seribu pun akan kuturutkan keinginanmu, dewiku.” . maka pergilah Wagotara mencari sang ksatria bagus yang diminta. Di sepanjang perjalanan, yang ditemuinya hanya orang-orang biasa dan semuanya dihabisi lalu diminum darahnya. Di perjalanan yang cukup panjang itu akhirnya ia bertemu dengan seorang pria yang menurutnya orang kaya dan sepertinya seorang ksatria. ”Hei ksatria bagus...siapakah kau? Kau harus ikut aku demi menuruti keinginan seseorang!” ksatria bagus itu berkata “aku Udrayana...punggawa dari kerajaan yang jauh dari sini! Kau baru bertemu denganku hari ini dan kau memintaku untuk menuruti keinginanmu?! Aku tidak mau!” Wagotara merasa diremehkan menjadi marah “Hei...sombong lagakmu! Aku sudah memintamu baik-baik tapi malah berbicara kasar begitu. Cara halus tak bisa membuatmu menurutiku, cara kasar akan membuatmu berpikir lagi..”  dan perang tanding terjadi dengan hebatnya. Udrayana lalu mengerahkan ajian angin Garudha. Mendadak angin sangat kencang berhembus dan mengangkat tubuh sang ditya. Tak mau kalah, Ditya Wagotara mengerahkan kekuatan ajian Tirta Sewu. Seketika muncul air mancur menyembur dan hendak menenggelamkan Udrayana. Merasa ditantang, Udrayana kemudian mematrapkan ajian Prahara Salaksa. Seketika angin yang tadi berhembus menjadi diam. Namun tiba-tiba muncul dari angkasa, badai berputar-putar disertai kilat dan petir. Cahaya dan kilatan petir menyambar ke arah Udrayana namun seketika Udrayana mengalihkan petir itu ke arah Ditya Wagotara.  Sang raksasa itu tersambar petir yang diarahkan Udrayana dan akhirnya Ditya Wagotara terbunuh. Setelah tewasnya Wagotara, Udrayana melanjutkan perjalanan. Di tengh perjalanan itu, ia menemukan sebuah gua. Ketika memasuki gua itu, Udrayana melihat putri Gendrawati disekap. “jangan berteriak, ni sanak. Ni sanak akan aman.” Gendrawati lalu berkata “siapakah kau? Bagaimana kau bisa masuk?” udrayana tak lantas menjawab, ia membuka sekapan Gendrawati. Setelah lepas, Gendrawati lalu berterima kasih “terima kasih. Ki sanak. Kalau boleh tau siapa ki sanak dan bagaimana kau bisa tahu aku ada di sini?” Udrayana lalu memperkenalkan dirinya dan menceritakan kejadian yang baru saja ia alami, mulai dari bertemu Wagotara dan perang tandingnya sehingga berhasil mengalahkannya.

Pembebasan Gendrawati
Gendrawati kembali berterima kasih dan ia pun merasa Udrayana ini lah yang akan menjadi jodohnya. Setelah dirasa sudah cukup, Udrayana mengantarkan Gendrawati pulang ke ayahnya yakni Prabu Gendraparwa dari Rancangkapura. Gendrawati lalu berkata “ki sanak, apakah kita akan bertemu kembali?” Udrayana menjawab “semoga saja. Jika Hyang Widhi berkehendak, kita akan bertemu dan berjodoh.”  Udrayana pun kembali melanjutkan pengembaraannya.

Di sisi lain, adik-adik raden Janamejaya yakni raden Indrasena dan raden Ramasena diminta juga oleh Prabu Parikesit mencari keberadaan sang kakak. Sebelum memasuki hutan, mereka berdua berdiskusi “kakang Indrasena baik kita menyamar saja. Agar kita tidak diketahui orang ramai.” Raden Indrasena lalu berkata “hmmm, boleh juga idemu. Baik kita akan menyamar.” Mereka pun melakukan penyamaran. Dengan bermodalkan nekat dan membeli pakaian di dekat pemintalan tua, mereka berdua mengubah pakaian mereka menjadi pakaian sederhana khas pemuda gunung.  Raden Indrasena menyamar dengan nama Bambang Ramayana dan raden Ramasena menyamar sebagai Bambang Ramaprawa. Di tengah perjalanan, mereka bertemu dengan seorang pria tua. Pria tua itu lalu memperkenalkan diri sebagai Danyang Sumila di pertapaan Sidara.” Anak bagus berdua sepertinya pemuda-pemuda kesasar. Mari ikut eyang ke gubuk sederhanaku.” Tanpa rasa curiga, bambang ramaparwa dan Bambang Ramayana ikut saja. Setelah dijamu, Mereka memantapkan niat untuk berguru kepada Danyang Sumila. Danyang Sumila setuju. Mulai hari itu, kedua pemuda itu dididik berbagai ilmu.

Waktu pun berganti dengan laju. Satu hari, dua hari, sepekan, satu sasih hingga tiga sasih kemudian, Bambang Ramayana dan Bambang Ramaparwa sudah mahir dan cakap. Kekuatan mereka sudah mumpuni. Setelah tamat sebagai imbalan jasa kedua ksatria gunung beserta sang guru Danyang Sumila melakukan perjalanan sehinggalah ketika melewati sebuah tanah lapang mereka bertemu dengan Begawan Sidikara dan keempat abdinya yang tak lain Semar, Gareng, Petruk dan Bagong. Rupanya antara Danyang Sumila dan Begawan Sidikara terlibat permusuhan yang sangat keras disebabkan di masa lalu Begawan Sidikara lebih mahir dan pandai. Begawan Sidikara juga murid kesayangan guru mereka yakni Begawan Gowasena, kakek dari Arya Yodeya yang tak lain merupakan paman jauh Prabu Parikesit. Bambang Ramayana dan Bambang Ramaparwa diminta membunuh Begawan Sidikara “kalian berdua, bunuh musuhku itu!” tanpa pikir panjang, Ramayana dan Ramaparwa menyerang sang resi itu. Awalnya sang resi terdesak namun setelah beberapa saat, datanglah Udrayana.

Balas Dendam Sumila
Kedua pemuda itu tidak mampu dan kalah. Melihat dua muridnya itu kalah, Danyang Sumila mengamuk dan menyiksa muridnya dengan membabi-buta. Bambang Udrayana melihat kedua dua pemuda itu dianiaya gurunya sendiri. Bambang Udrayana pun segera menepis tangan Danyang Sumila “hei, guru! Tindakanmu sudah di luar batas!” tepisan dari Udrayana membuat tubuh Danyang Sumila terjatuh. Bambang Udrayana segera mendekat dan menyembuhkan kedua pemuda gunung itu. tindakan Udrayana mencegah perbuatan amoral guru kedua pemuda itu membuat mereka simpati dan berbalik mendukung Begawan Sidikara. Melihat hal itu, Danyang Sumila melarikan diri kembali ke pertapaan Sidara. Selanjutnya ketiga pemuda itu dan Begawan Sidikara pergi ke Gunung Sidara mencari Danyang Sumila, maka peperangan terjadi. Tanpa banyak waktu, Danyang Sumila dihabisi oleh Udrayana dengan Sarotama. Bambang Ramaparwa dan Bambang Ramayana kaget melihat senjata itu karena hanya keturunan Arjuna saja yang bisa memiliki Panah Sarotama. “ki sanak, kau bisa menggunakan Sarotama?!” tanya Bambang Ramayana. Bambang Udrayana pun menjawab “tentu, aku bisa menggunakan Sarotama.” Lalu ganti Bambang Ramaparwa bertanya “bagaimana bisa?! Hanya eyang buyut kami Arjuna dan para anak keturunannya yang bisa memakai senjata itu. siapa kau sebenarnya, ki sanak?!” Udrayana pun membuka jati dirinya “aku Udrayana, juga dikenal sebagai Raden Janamejaya. Putra raja Hastinapura, Prabu Parikesit.” Kedua pemuda itu kaget. Bambang Ramaparwa dan Bambang Ramayana pun ikut membabar jati diri mereka “kakang? Darimana saja kakang selama ini?! Aku Indrasena dan adhi Ramasena.....sudah tiga sasih kami mencari keberadaan kakang!” Janamejaya pun berkata kalau ia minggat dari keraton untuk meguru berbagai ilmu. Lalu ketiga pangeran itu sepakat untuk ikut mengembara bersama.

Singkat cerita, Janamejaya kembali ke kerajaan Rancangkapura namun ia masih memakai nama Udrayana. Terdengar di negeri itu ada sayembara untuk mencarikan calon suami bagi Gendrawati. Berbagai raja, pangeran, dan perdana menteri melamar untuk sayembara panahan yang luar biasa namun semuanya gagal. Kini giliran Prabu Mandalayaksa untuk melakukan sayembara “hahaha, kalau untuk menarik busur kecil begini, aku juga bisa.” Omongan sesumbar sang raja Awu-awu Bumi itu membuat kesal para pelamar lainnya. Namun seperti kata pepatah “air beriak tanda tak dalam,” kemampuan Mandalayaksa jelas tak sebanding dengan busur sakti itu. Prabu Mandalayaksa pun tumbang menyerah. Di saat itu datang Udrayana naik ke panggung dan mengangkat busur itu. busur itu seakan menurut dan bisa diangkat. Lalu ketika menarik busur itu, suaranya terdengar begitu keras dan nyaring. Suranya terdengar hingga jauh ke Hastinapura. Prabu parikesit sampai tekaget-kaget mendengarnya. Prabu gendraparwa pun langsung naik ke panggung dan menyatakan Udrayana sebagai pemenang sayembara. Bersama dengan itu, sang prabu juga menyerahkan Gendrawati kepada sang pangeran maka perkawinan berlangsung megah hari itu juga. Tiba-tiba Prabu Mandalayaksa dari Awu-awu Bumi tidak terima dan berusaha merebut paksa Dewi Gendrawati. Terjadilah perang di arena sayembara. Antara Udrayana dan Mandalayaksa saling menyerang. Keduanya bagaikan ombak bersabung dengan badai tetapi akhirnya Prabu Mandalayaksa dapat diusir. Setelah pernikahan, Udrayana membuka jati dirinya sebagai Raden Janamejaya dihadapan Prabu Gendraparwa dan Dewi Gendrawati. Prabu Gendraparwa merasa suka hati bisa menjadi besan dari keturunan Pandawa. Setelah berbulan madu di Rancangkapura selama bebrapa sasih, Raden Janamejaya dan Dewi Gendrawati pun boyongan kembali ke Hastinapura. Kedatangan kedua pasangan itu diiringi Raden Indrasena, Raden Ramasena, kakek Semar dan para punakawan. Prabu Parikesit dan segenap keluarga besar keturunan para Pandawa gembira hati dengan kedatangan putra-putranya terlebih lagi kini Janamejaya kembali dengan membawa ilmu dan juga isteri. Pesta unduh mantu pun digelar begitu meriah tujuh hari tujuh malam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar