Beberapa hari setelah peristiwa diaspora Wangsa Yadawa ke Hastinapura, datanglah sepasang suami isteri yakni Widapaksa dan Sritanjung. Mereka datang ke Hastinapura untuk menemui Prabu Nakula dan Patih Sadewa. Kebetulan di hari itu, Prabu Nakula dan patih Sadewa sedang berada di Hastinapura. Prabu Parikesit pun bertanya “wahai, kisanak dan nisanak, apa tujuan kamu berdua datang ke sini?” “ampun ananda Prabu parikesit....kedatangan kami yang lancang ini ingin bertemu dengan gusti Prabu Nakula dan patih Sadewa.” Prabu Nakula pun bertanya “untuk apa kalian bertemu kami? Apa kami membuat kesalahan?” Dewi Sritanjung lalu berkata “kami ingin sowan sebagai bentuk darmabakti kami sebagai putra-putri beliau.” Prabu Nakula dan patih Sadewa kaget mendengarnya “apa?! Kalian anak-anak kami? Masakah begitu? “ Patih Sadewa lalu bercerita bahwa anak-anak mereka sudah lama meninggal tiga puluh tahun yang lalu dan sekarang hanya meninggalkan beberapa cucu saja. Widapaksa lalu berkata “saya adalah putra gusti Patih Sadewa dengan Dewi Pradapa, anak begawan Tamba Petra.” Lalu Sritanjung ikut bicara “ dan saya putri gusti Prabu Nakula dengan Dewi Soka yang juga anak begawan Tamba Petra.” Lalu Widapaksa bercerita sejak peristiwa kidung Sudamala dan pernikahan Nakula-Sadewa dengan kakak beradik putri Begawan Tamba Petra, Nakula dan Sadewa memboyong para isteri ke istana masing-masing. Nakula membawa Dewi Soka ke Sawojajar sementara Sadewa membawa Dewi Pradapa ke Baweratalun sehingga pecahlah perang Gonjalisuta lalu disusul perang Bharatayudha setelahnya. Nakula dan Sadewa meninggalkan istana demi ikut bersama para saudaranya ke medan perang dan isteri-isteri mereka dalam keadaan hamil besar. Sampai dua perang ini selesai dan isteri-isteri mereka melahirkan, Nakula dan Sadewa tidak kembali ke Sawojajar maupun Baweratalun karena mereka diangkat menjadi raja dan patih di Mandaraka.
Kemunculan Widapaksa dan Sritanjung |
Prabu
Nakula dan patih Sadewa terharu mendengarnya kisah hidup anak-anak mereka itu.
Raja dan patih kembar itu lalu memeluk anak-anak mereka melepas rindu. Patih
Sadewa meminta maaf diikuti Prabu Nakula karena telah menelantarkan mereka.
Lalu kini gantian Prabu Parikesit menghormat pada paman dan bibinya itu diikuti
saudara-saudara yang lain. Di hari yang bahagia itu, Widapaksa dan Sritanjung
kembali menikah dengan acara meriah. Acara mbanyu mili dan di hari itu juga
Widapaksa diangkat sebagai adipati Sawojajar dan Baweratalun dengan Sritanjung
sebagai permaisurinya. Karena memimpin dua wilayah sekaligusmaka dua negeri itu
digabung menjadi Bumirahtawu.
Beberapa
hari kemudian, Prabusepuh Yudhistira memikirkan sesuatu. Terhitung sejak
setelah Parikesit putera Abimanyu dan Dewi Utari, yang tak lain adalah cucu
Arjuna dinobatkan sebagai raja Hastinapura, para tetua dan Sri Kresna wafat,
Para Pandawa merasa sudah semakin tua saja dan sudah saatnya untuk meninggalkan
kehidupan duniawi. Hingga pada suatu hari, Prabusepuh Yudhistira merasa bahwa
inilah saatnya untuk meninggalkan semua kehidupan duniawi dan berniat untuk
mengembara mendaki puncak Mahameru. Para Pandawa yang lain tidak rela bila
harus ditinggalkan oleh kakaknya, mereka bersikeras untuk ikut mendaki puncak
Mahameru. “kakang Yudhistira, kita ini Pandawa, kemanapun kakang pergi kita
akan bersama.....ajak kami semua.” Prabusepuh Yudhistira makin binguing karena
isterinya, Dewi Drupadi dan para isteri Arjuna, yakni Sumbadra dan Ulupi turut
inginn ikut. Mereka juga ingin ikut dalam perjalanan yang tidak mudah itu. Arjuna
dan Yudhistira berusaha mencegah istrinya, namun Drupadi sudah bertekad “suamiku,
hanya kau, dan adik-adik ipar saja keluargaku sekarang. Ayah, saudara dan
puteraku telah gugur di Bharatayudha.” Sumbadra dan Ulupi juga ikut bicara
“benar kata yunda Drupadi, hanya kakanda kulup, abang dan adik semua keluarga
kami.” “aku mohon, kakanda Parta...ajak kami...” Yudhistira dan Arjuna pun tidak bisa menolak
permintaan saudara dan istrinya.
Sumbadra,
Ulupi, Drupadi dan para Pandawa memulai perjalanan mereka. Prabu Parikesit dan
seluruh cucu Pandawa menangisi mereka. Namun sebeluim pergi, para pandawa
mewariskan semua ilmu kesaktiannya dan ajian-ajiannya. Prabusepuh Yudhistira
memberikan kalung Robyong, payung Tunggalnaga dan Tombak Karawelang kepada
Parikesit, Pancakesuma dan Yodeyi. Arya Wrekodara memberi nasihat tentang
hakikat kehidupan serta menghadiahkan aji Bandung Bandawasa, Ungkal Bener dan
Blabak Pangantolantol kepada Danurwenda. Sedangkan gada Lukitamuka dan tombak
Wilugarba diberikannya kepada Sasikirana. Sementara Bargawastra dan gada
Rujhapala diwariskan kepada Jayasena alias Antasurya. Arjuna juga menghadiahkan kepada
Parikesit keris Polanggeni, keris yang telah membantunya dulu saat hendak lahir
juga panah Pasopati. Panah Ardadedali diwariskan kepada Wiratmaka dan Ajian
Agneyastra diwariskan kepada Wisangkara. dua cupu Tirta mayahadi dan Tirta
Mahusadi milik Nakula dan Sadewa diwariskan kepada Niramitra dan Suhatra.
Negara Mandaraka akan dipimpin oleh mereka berdua. Dengan memakai pakaian
sederhana tanpa lagi perhiasan dan keagungan, mereka pergi meninggalkan istana
yang megah memasuki istana Yang MahaKuasa, istana sang alam. Ketika melewati
sebuah desa benama Samahita, mereka
melihat seorang nenek sedang menimba sumur. Nenek itu jauh lebih tua dari para
pandawa, mungkin sekitar 120 tahun usianya. Namun ia masih sangat kuat menimba
air. Setiap air yang ditimba sampai di atas, kemudian dimasukkan ke dalam sumur
lagi. Dewi Drupadi menanyainya. “ampun, nek...siapakah nenek? Dan apa yang
nenek lakukan di sumur ini?” perempuan itu berbalik dan memperkenalkan dirinya “aku Ruminta, nak. Aku sedang mencari raja
brana milikku di dalam sumur ini.” Prabusepuh Yudhistira bertanya “bagaimana
bisa harta raja brana nenek ada di dalam sumur?” Nyai Ruminta pun bercerita
bahwa semua harta kekayaan raja brana miliknya dimasukkan ke dalam sumur, sebab
sejak perang Bharatayudha ia takut hartanya akan dirampok oleh perajurit Kurawa.
Ia menjadi janda dan menjadi salah satu korban perang. Jika Pandawa tidak dapat
menemukan dan mengembalikan kekayaannya, pasti akan mendapat hukuman Hyang Widhi.
Lalu Arjuna dan Arya Wrekodara maju untuk membantu. Ia berkata “nenek tenang saja. jika Hyang Widhi berkehendak, kami sanggup
mengembalikan harta kekayaan nenek.”lalu Arya Wrekodara berkata kepada Nyai Ruminta sekarang, nenek ke desa. Panggil
kabeh wong di desa, minta bantuan orang
se desa untuk mengisi sumur dengan air sampai penuh meluap-luap.” Singkat
cerita, Nyai Ruminta berhasil mengajak orang sedesa mengambil air dari berbagai
sumur, lalu dituangkan ke dalam sumur yang berisi harta kekayaan itu. Bersama dengan
luapan air sumur, Arjuna menembakkan panah Tirta Waruna lalu air membuncah
seperti air mancur dan bersamaan itu pula, keluarlah barang-barang emas berlian
dari dalam sumur. Nyai Ruminta berterima kasih kepada mereka. Dewi Drupadi minta
kepada sang nenek itu agar harta itu untuk semua orang di desa Samahita.
Setelah meninggalkan desa Samahita, Mereka berdelapan bersiap untuk mendaki gunung Mahameru. Saat akan memulai pendakian, di kaki gunung, mereka bertemu dengan anjing putih bersih dan matanya bersinar terang. Anjing itu pun ikut dalam perjalanan itu. ketika sampai di dekat bengawan Gangga, Dewi Ulupi mendengar suara yang memanggilnya dan kitu adalah suara Irawan, putranya yang telah lama gugur. Arjuna dan Ulupi lalu membasuh wajahnya di sungai itu dan melihat di pantulan air, Irawan nampak bahagia di swargamaniloka. Dewi Ulupi lalu berkata “kakanda, aku akan disini bersemadi sampai seluruh tubuhku lenyap dari dunia ini.”
Ulupi Muksa di Bengawan Gangga |
Perjalanan
para Pandawa, Drupadi dan Sumbadra pun sampai di sebuah kompleks bangunan tua seperti candi. Candi itu bernama Candi
Sekar. Bangunannya melekat di dinding lereng batu gunung yang sejak awal
berlubang ditengah seperti gua dan dibangulah Candi Sekar. Dari celah pintu
candi yang tembus, terlihat megahnya puncak Mahameru yang bersalju. Arjuna yang
mula-mula memasuki bangunan itu setelah sebelumnya mandi di sendang dekat candi
itu. lalu disusul, Yudhistira, Dewi Drupadi, Nakula, Sadewa , lalu Arya
Wrekodara. Ketika giliran Dewi Sumbadra, ia memilih untuk bertapa di Candi
Sekar “kakanda dan adhi-adhiku, aku akan bertapa disini sampai kematian
menjemputku. Kalian lanjutkan perjalanan ke Mahameru” Arjuna susah hati karena
kedua isterinya tidak bisa melanjutkan ke Mahameru. maka kini sisa berenamlah
mereka deitemani si anjing putih menuju ke Mahameru. Dari kejauhan Arjuna
melihat nanar perlahan tubuh Dewi Sumbadra bertukar wujud menjadi batu dan menyatu
menjadi arca Dewi Sri Laksmi.
Perjalanan menuju puncak Mahameru yang menantang dimulai. Arjuna yang sudah benar-benar meninggalkan ke duniawian membuang busur dan anak panahnya.
Sumbadra menjadi arca Sri Laksmi di candi Sekar |
Mahaprasthanikaparwa |
Tiga putera Kunthi ini akhirnya melanjutkan perjalannya. Anjing yang mereka temui di kaki gunung pun masih setia mendampingi perjalanan mereka. Namun tak berapa lama, Arjuna tampak kelelahan dan, tanpa dinyana ia jatuh ke dasar jurang setelah tergelincir ketika melewati padang es. Arjuna tak sanggup melanjutkan perjalanannya. Ini karena kesombongannya, sifat sesumbarnya, dan selalu membanggakan diri bahwa dirinya adalah yang paling tampan dan sakti diantara saudaranya.
Kini
tinggal Arya Wrekodara, Yudhistira dan sang anjing putih. Puncak Mahameru sudah
tampak, namun ketika Arya Wrekodara hendak melangkah, ia menginjak es yang
tipis dan tercebur ke sebuah kubangan air yang sangat dingin dan ketika
berusaha menyelamatkan diri, tubuhnya tertarik arus dari dalam kubangan.
Ternyata kubangan itu adalah aliran dari sungai bawah tanah. Karena mengalami
kedinginan parah dan sudah lemas, Arya Wrekodara sudah tak kuat lagi untuk
melanjutkan menuju puncak itu. Ia pun akhirnya menghembuskan napas terakhirnya
dan tubuhnya tenggelam ke dasar kubangan..Di dalam hati, Yudhistira berkata
bahawa walau adiknya sang Wrekodara alias Raden Bhima itu mendapat pencerahan
suci dari Dewa Ruci, adiknya itu menganggap bahwa dirinyalah yang paling gagah
perkasa merasa tidak ada yang ditakuti, dan paling tidak ingat orang lain
ketika makan.
Tinggal Yudhistira yang dibilang lemah masih tangguh untuk melanjutkan perjalanan menuju puncak Mahameru bersama sang anjing putih. Setelah mencapai puncak Mahameru, seberkas sinar terang muncul dihadapannya. Sinar itu kemudian menjelma menjadi Batara Indra menyambut kedatangan Yudhitira. Batara Indra berkata “Yudhistira kau telah sampai di gerbang swargamaniloka dengan jasad kasarmu, tetapi anjing milikmu tidak diperbolehkan memasuki kahyangan.” Mendengar hal itu, Yudhistira kemudian berkata “ampun pukulun batara...hamba tidak mau masuk ke swargamaniloka kalau tanpa anjingku ini.” Batara Indra lalu berkata lagi “anjing itu binatang najis...tak pantas kiranya barang najis masuk ke Swargamaniloka yang suci dan bersih.” Yudhistira menegaskan kembali ucapannya. Keinginan saya bulat, pukulun batara. Hamba rela tidak ke swargamaniloka bila anjing yang setia menemani perjalanan hamba tidak diijinkan masuk pula.”
Swargarohanaparwa |
Yudhistira
dibawa masuk ke kahyangan. Disana ia ditunjukkan para Kurawa bersama dengan
Sengkuni, Kangsa, Jarasandha, Sisupala, Paundraka, Sasrawindu, dan berbagai
musuh para Pandawa lainnya bersenang-senang menikmati makanan yang enak, tidur
di atasd dipan yang nyaman. Melihat hal
itu, Yudhistira tidak meras iri, ia justru berkata bahwa mereka berhak tinggal
di kahyangan karena mereka gugur untuk membela negerinya.
Di
tempat lain, Yudhistira mendengar suara jeritan dan tangisan keempat adiknya,
kakak sulungnya Karna, istrinya Drupadi, Kakek Bhisma, Begawan Dorna, dan para ksatria baik hati lainnya. Suaranya
sangat memilukan hati Yudhistira pun bertanya “pukulun batara, itu suara ahli keluarga,
kerabat, sahabat, dan teman-teman hamba. Izinkan hamba menemui mereka.” Batara
Indra pun mengajak Yudhistira ke tempat itu. mereka turun dan melihat tempat
yang sangat bau, gelap, penuh darah nanah, dan hewan buas. Udaranya sangat
menyiksa karena di satu tempat hawanya begitu panas tak terkira laksana berada
ditengah api dan ditempat lain dinginnya
menggigit hingga membuat kulit mengelupas. Banyak penyiksaan terpampang di
sana. Ya, Yudhistira diantarkan batara
Indra ke dasar neraka. Yudhistira melihat isterinya disiksa dengan lidah yang
ditarik hiongga menjulur. Sebentar kemudian ia melihat Nakula Sadewa dirantai
dan dikelilingi oleh api. Di sisi lain, Yudhistira menyaksikan Arjuna dan
Bambang Ekalaya disiksa dengan mulut mereka disumpal panah sampai tak mampu
lagi ditampung lalu jari-jari mereka ditebas sampai putus secara
berulang-ulang. Ketika berjalan ke tempat lain, Yudhistira melihat Karna bolak
balik diseruduk lalu ditanduk seekor sapi dan pusarnya dipanah ratusan kali.sebentar
kemudian, Yudhistira menyaksikan Kresna dikejar Cakra Widaksana dan kepalanya
dipenggal berkali-kali. Tak jauh dari sana, Yudhistira kembali melihat
Abimanyu, Kakek Bhisma, dan begawan Dorna dihujani panah sehingga tubuh mereka
bagaikan landak. Melihat hal itu, Yudhistira pun tidak bersedih hati, ia
berkata bahwa tidak ada manusia yang tidak luput dari dosa, begitu juga dengan dirinya,
saudaranya, istrinya, dan semua orang yang ia kenal. Tetapi ia yakin bahwa dosa
mereka lebih sedikit dibanding pahalanya, maka ia yakin bahwa itu tidak akan
berlangsung lama. Yudhistira juga ditunjukkan seorang wanita cantik dengan
berbagai perhiasan, namun disekililingnya tertusuk oleh panah dari emas.
Yudhistira pun berkata bahwa sang wanita bersalah karena serakah atas harta.
Seharusnya dalam hidup, manusia harus mementingkan budi pekerti daripada harta kekayaan.
Batara Indra kemudian menunjukkan Yudhistira kepada orang yang ditarik oleh
capitan sehingga mirip seperti bebek. Yudhistira kemudian berkata bahwa salah
satu kejahatan yang paling hina adalah fitnah.
Setelah
mendengar apa yang dikatakan oleh Yudhistira, batara Indra kemudian menunjukkan
keadaan yang sebenarnya. Diperlihatkannya, Sengkuni tersiksa dengan gembok di
mulutnya dan bibirnya dicapit hingga putus. Hal itu karena mulut Sengkuni
itulah yang menjadi sumber kejahatan. Tampak pula para Kurawa yang dikelilingi
api dan dijaga oleh naga yang selalu menyemburkan api. Dursasana dililit
olehkain kemben berkepala naga sebagai hukumannya taas tindakannya kepada
Drupadi. Sedangkan Duryudhana dijepit oleh dua batu panas sementara di
hadapannya ada sebuah mata air yang sangat jenih dan sejuk. Terlihat pula
Kertamarma yang berlari dikejar ribuan batang buluh yang tajam sehingga
terburailah isi perutnya. Kangsa, Sisupala, Jarasandha, Paundraka, dan
Sasrawindu disiksa dengan dipenggal berkali-kali oleh roda cakra. Lalu
Yudhistira bertanya “pukulun batara, aku sudah banyak melihat para kurawa, tapi
aku tidak melihat putra guruku Aswatama. Bukankah dia sudah mati tapi kenapa
dia tidak ada di neraka ataupun di swarga?” Batara Indra memperlihatkan sebuah
gambaran. Disana ia melihat seonggok jasad hidup mengeluarkan darah dan nanah
busuk dari setiap pori-pori di tubuhnya. Ia berteriak kesakitan lalu ia jatuh
tersungkur dan mati. Terlihat jiwanya terbang lalu datang panah api menembaki
jiwa itu lalu ia masuk lagi ketubuh itu. hal itu terjadi terus menerus dan
berulang ulang. Batara Indra berkata bahwa itu Aswatama. Sang dewa lalu berkata
“Aswatama telah dihukum atas
kejahatannya. Ingat di malam saat pembunuhan di malam setelah Bharatayudha?
Saat itu cucumu Parikesit yang akan lahir sekarat dalam kandungan karena
dipanah Aswatama dengan aji Brahmastra. Dia juga sesumbar tidak takut akan
kematian dan neraka. Karena perbuatan itu, para dewa telah mengutuk Aswatama di
sisa nafasnya bahwa tidak ada satu tempatpun di alam ini yang akan menerimanya
jiwa dan jasadnya. Dia dihukum dengan sakaratul maut yang menyiksa tapi dia
tidak mendapat kematian yang layak. Tubuhnya tidak akan bisa diurai bumi dan
menebarkan aroma busuk tak terkira. Jiwanya kan terus berada dlam jasadnya dan
membawanya menebar kebusukan. Siapapun yang menyaksikan pemandangan itu akan
pingsan. Tempat yang ia singgahi akan menjadi tanah yang gersang. Hukuman itu
akan terus dialami Aswatama sampai Mahapralaya besar tiba.” Yudhistira yang
mendengar itu merasa ngeri. Maka ia lalu meminta agar Batara Indra menempatkan
para Kurawa di bagian swargamaniloka setelah hukuman mereka selesai karena
bagaimanapun para Kurawa adalah saudaranya juga dan pasti mereka berbuat
kebaikan. Batara Indra menyanggupinya kalau kelak para Kurawa akan diangkat ke
swargamaniloka lagi.
Bathara
Indra kemudian membawa Yudhistira kembali ke swargamaniloka, disana dia
diperlihatkan Drupadi, empat adiknya, sang kakak sulung Karna, Kresna dan semua
orang-orang yang ia kasihi yang sedang bercengkerama dengan kakek Bhisma dalam
sebuah kamar yang sangat megah. Anak-anak para Pandawa juga bercengkerama
dengan indah, bahagia bisa bertemu kembali.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar