Hai semua pembaca dan penikmat kisah pewayangan. Kisah kali ini menceritakan kehancuran dari Wangsa Yadawa, yakni klan keturunan Prabu Yayati yang juga saudara dari Wangsa Baharata yakni klan para Pandawa. Kehancuran itu dikarenakan perang saudara kedua setelah Gonjalisuta akibat dari dua kutukan yakni kutukan Samba dan kutukan Dewi Gendari. Kisah diawali dengan dijelaskan detail mokswanya para tetua Hastinapura, kelahiran Bajrawan, cicit Sri Kresna lalu perang besar di Tegal Tirtaprabhasa. Dikisahkan pula wafatnya Prabu Sri Kresna yang disusul Resi Curiganata alias Prabu Baladewa kembali ke alam dewata. Diakhir kisah, diceritakan tenggelamnya istana Dwarawati, ekspansi para Yadwa yang masih selamat dan Prabuanom Kresnayaka beserta keturunan Sri Kresna yang masih tersisa mendirikan kerajaan pengganti Dwarawati yang tenggelam ke dasar samudera. Kisah ini mengambil sumber dari Kitab Mahabharata karya Mpu Vyasa, Serial Kolosal India Suryaputra Karna, dan blog https://caritawayang.blogspot.com/2012/10/kematian-kresna.html dengan penguabahan dan penambahan, dan penyelarasan seperlunya.
Tiga puluh tahun
setelah Bharatayudha, para Pandawa disaksikan para tetua Hastinapura, prabu Sri
Kresna dan Begawan Curiganata melantik para keturunan mereka dan keturunan para
Kurawa sebagai penerus kerajaan. Prabu Parikesit, putra Abimanyu dilantik
menjadi raja Hastinapura dengan wakilnya yakni Harya Dwara, putra Samba.
Pelantikan ini sempat terganggu oleh Bambang Pancakesuma, putra Pancawala yang
dihasut Kertiwindu, keturunan dari Sengkuni dan antek-anteknya. Namun satu
anteknya yakni Danyang Suwela menghilang bagaikan asap. Entah kemana ia pergi.
Akhirnya Bambang Pancakesuma berhasil disadarkan dan kembali dilantik sebagai
raja Amarta dengan wakilnya Arya Wiwitsuh didampangi Yuyutsena, putranya. Patih
Wiwitsuh adalah salah satu dari Kurawa yang masih tersisa selain Kertamarma
yang hilang ingatan.. Cucu nakula dan sadewa yakni Bambang Suhatra, Bambang
Niramitra, Niken Sayekti dan Endang Pritawati masih-masing memerintah negara
Mandaraka, Bulukatiga, dan Cindekembang. Cucu Ajuna yang lain yakni Bambang
Wiratmaka, putra Irawan dan Bambang Wisangkara, putra Wisanggeni dilantik
sebagai kepala bhayangkari dan telik sandi Hastinapura. Putra pertama Prabu
Gatotkaca yakni Prabu Sasikirana dilantik sebagai raja Pringgandani. Kedua
adiknya yakni Bambang Suryakaca dan Arya Jayasumpena menjadi patih dan kepala
bhayangkari kerajaan. Arya Danurwenda, putra Antareja menjadi raja Jangkarbumi
dan Jayasena, putra Antasena, dilantik sebagai Haryapati Parangjaledri. Arya
Srenggamurti ikut pula dilantik sebagai raja Gisiksamodra dan Endang Pancaseni,
putri Sri Pancasena diangkat sebagai kepala Komnas Perempuan dan anak
se-Aryawata bersama Endang Yodeyi, cucu Yudhistira yang lain dari putranya, Harya Yodeya.
Dibawah kekuasaan Parikesit dan Pancakesuma, Kerajaan Hastinapura dan Amarta
memutuskan untuk membentuk poros
Indraprastha-Kurugangga-Awangga-Sindu-Dwaraka-Mandura-Madra dengan demikian
akan memudahkan segala sesuatunya dan
perekonomian mengalir lancar. Prabu Parikesit terkenal akrab dengan
Prabu Warsaka, putra Bambang Warsakusuma, cucu Adipati Karna. Selain itu, Prabu
Surata, putra Jayadrata dengan Dewi Durshilawati semakin mempererat jalinan
persahabatan dengan cucu Arjuna itu.
Para tetua Hastinapura yakni Dewi Kunthi, Dewi Gendari, Adipati Drestarastra, dan Arya Widura secara bersamaan mendapatkan mimpi melihat cahaya dan terdampar di taman bunga. Karena mimpi itu, mereka memutuskan untuk meninggalkan keraton dan menjalani hidup sebagai seorang pertapa. Singkat cerita, para tetua sampai di hutan di kaki bukit dan mulai bersemadhi. Pada suatu hari yang cerah di musim semi yang indah, Adipati Drestarastra berduka lara karena terus teringatkan oleh para putranya “anak-anakku...rindunya kau pada kalian semua..” Dewi Gendari dan Dewi Kunthi menenangkannya “kakanda, aku juga rindu pada mereka. Tapi apa boleh buat mereka telah mendahului kita.. kita hanya bisa bersabar. “ “benar kata kakangmbok Gendari, cukup kita doakan agar mereka bisa tenang di alam sana.” Beberapa hari kemudian datanglah para Pandawa dan beberpaa cucu mereka untuk menjenguk. Mengetahui bahwa Drestarastra masih diliputi duka akan kematian putra-putranya, para Pandawa lalu berdoa kepada dewata agar terobati rasa rindu uwak mereka itu. Datanglah sebuah sebuah mukjizat kepada anggota wangsa Baharata yang masih hidup pada saat itu.
Para Tetua Hastinapura terjebak dan terbakar di hutan |
Pada suatu hari, Prabu
Sri Kresna bermimpi ditemui Batara Kala. Dalam mimpi itu Batara Kala berkata
“Hyang Wisnu, waktunya telah dekat. Kau harus melihat penglihatanku.”
“penglihatan apa itu, Kala?” tanpa banyak bicara Batara Kala menciptakan sebuah
gambaran penglihatan. Dalam penglihatan itu, batara Kala dan Batara Wisnu dalam
wujud Kresna melihat Kerajaan Dwarawati dan pulau Dwaraka tenggelam oleh air
berwarna merah seperti darah. Banyak jasad manusia mengambang dan yang selamat
berpegangan dia tas sebilah perahu dari gelagah besar. Batara Kala lalu berkata
lagi “Tiga tahun setelah cicitmu lahir, tanda-tanda itu akan terlihat.” Sang
Danardana lalu terbangun dan mengabarkan kepada para Pandawa bahwa ia dan begawan
Curiganata harus segera kembali ke Dwarawati dan meminta Para Pandawa dan para
cucu untuk bersiap pada kemungkinan terburuk.
Keesokan harinya datang
kabar kalau Dewi Usha, isteri Anirudha akan melahirkan. Bambang Anirudha
bersama ayah yakni Prabu Danuasmara alias Partajumena dan sang kakek, Prabu Sri
Kresna beserta ke sembilan isteri utama yakni Dewi Radha, Dewi Rukmini, Dewi
Setyaboma, Dewi Jembawati, Dewi Kalindi, Dewi Nagnajiti, Dewi Mitrawinda, Dewi
Charuharsini, dan Dewi Bhadra menunggu dengan cemas. Setelah dua belas jam
menanti, akhirnya Dewi Usha melahirkan seorang anak yang tampan. Kerajaan Dwarawati, para Yadawa dan para
kerabat sang Prabu menyambut kelahiran cicit Prabu Sri Kresna. Lalu Prtabu Sri
Kresna mengangkat cicitnya itu “mulai hari ini, cicitku akan aku beri nama
Bambang Bajrawan.” Seluruh rakyat dan para yadawa bersuka cita. Namun bukan
dengan pesta melempar bubuk warna-warni melainkan dengan hal-hal tak biasa.
Pesta kelahiran cicit Kresna itu diwarnai dengan berbagai perbuatan tak
terpuji. Keadaan negara sedang kacau karena kini para Yadawa suka menghamburkan
harta dengan mabuk-mabukan, berjudi, dan main serong. Prabu Sri Kresna dan Resi
Curiganata prihatin dan menyarankan mereka semua agar berhenti mabuk-mabukan
dan main serong. Setelah kelahiran Bajrawan, diadakan pasewakan agung. Datang
dari Hastinapura, harya Dwara, putra Samba yang kini jadi patih di sana. Lalu
Arya Sencaki beserta putra dan cucunya, Jaya Sanga-sanga dan Arya Nabantara,
tak lupa Bambang Lengkungkusuma dari desa Karang Tumaritis dan Prabu Kismaka
dari Trajutresna. Sri Kresna dan para kerabat memanggil salah seorang cucunya,
Raden Kresnayaka, putra dari Setyaka ke pasewakan agung. Kresnayaka bertanya
“ampun eyang Prabu...apakah gerangan yang membuat saya harus dipanggil? Apa
saya melakukan suatu kesalahan?” prabu Sri Kresna berkata “tidak cucuku. Tidak
ada kesalahan yang kau perbuat. Aku hanya ingin mendengar pendapatmu untuk
siapa kelak pelanjut takhta di Dwarawati ini.” “coba eyang prabu tanyakan pada
kakanda Dwara dan kakanda Anirudha dahulu. Mungkin juga dengan kakang prabu
Kismaka dan Lengkungkusuma” Lalu harya Dwara berkata “aku tidak berkeinginan
untuk jadi raja. Aku cukup menjadi patih di hastinapura saja.” “aku juga tidak
berkeinginan pula. Cukuplah aku dengan Trajutresna yang sekarang damai tenteram.
Aku tidak mau berakhir seperti ayahanda Prabu Sitija.” lanjut Kismaka.” Bambang
Anirudha juga ikut memberikan pendapatnya “aku tidak mau menjadi raja. Aku akan
melanjutkan tugasku di Dadapaksi sebagai pemimpin disana.” Keributan terjadi
sejenak lalu bisa ditenangkan kembali. Kini giliran jaya Sanga-sanga yang
bicara “begini saja, kalu menurut usulanku, bagaimana kalau Setyaka saja yang
menjadi raja Dwarawati selanjutnya? Secara dalam garis urutan suksesi ia adalah
yang pertama setelah kakanda Samba meninggal dan kakanda Partajumena
mengundurkan diri dari garis suksesi takhta” Bambang Lengkung Kusuma lalu
berbicara “sejak hari terakhir bharatayudha tiga puluhan tahun lalu, kakang
Setyaka tidak pernah pulang lagi. Ia memilih mengasingkan diri di Grojogansewu.
Kalau pun kita panggil pulang juga, kakang Setyaka tak akan mau kembali.” Lalu
kini Wisabajra, putra Nisatha cucu begawan Curiganata yang bicara “benar, dinda
Lengkung. Apa kata kita lantik saja Kresnayaka, putra dinda Setyaka?” tak lama
kemudian terdengar teriakan “saya
Setuju. Saya sependapat.” Rupanya itu suara Prabu Walmuka, paman Wisabajra. Ia
ditemani isteri dan anaknya yakni Dewi Susenawati dan raden Wisandanu.
Wisandanu juga memberikan suaranya “saya sependapat dengan ayahnda prabu
Walmuka. Saya melihat perkembangan dinda Kresnayaka sejak kami berguru di
Sokalima. Dia sudah terbukti menjadi pemimpin. Bahkan ketika pengusutan nama
baik Parikesit, ia membantu dengan secara halus dan melalui pendekatannya,
rakyat seantero negeri bisa kembali percaya pada dinda Prabu Parikesit.” Setelah mencapai kata mufakat, maka dicapailah
keputusan bahawa Kresnayaka adalah pangeran mahkota Dwarawati selanjutnya. Kini
Kresnayaka adikenal sebagai Prabuanom Kresnayaka.
Di bawah kepemimpinan
prabuanom Kresnayaka, perjudian dan zina bisa ditekan di Dwarawati. Kegiatan
siraman rohani digalakkan kembali setelah lama vakum sejak Bharatayudha
berlangsung. Kini rakyat lebih tentram hidupnya. Meski demikian, kebiasaan
minum-minum rakyat Dwarawati susah sekali diberantas karena pabrik miras sangat
banyak di saantero negeri Dwarawati. Karena masalah ini, Prabuanom Kresnayaka
segera melakukan koalisi gabungan dengah Hastinapura dan Awangga untuk
pemberantasan miras oplosan. Berkat bantuan dari dua negara itu, pabrik-pabrik
miras bisa ditekan pajak yang sangat tinggi dan mengakibatkan harga miras
sangat mahal. Rakyatpun susah untuk membeli miras. Namun ada satu pabrik miras
lagi yang masih melenggang bebas yakni pabrik milik Harya Kertamarma.
Belakangan diketahui, kini Harya Kertamarma sudah sembuh dari hilang
ingatannya. Identitasnya sebagai Kurawa sudah kembali. Ia mendendam hati pada
Prabu Sri Kresna padahal nyawanya sudah diselamatkan dari maut. “hehehe....akan
aku obrak-abrik kerajaan ini hingga tenggelam ke dasar lautan kalau bisa!”
Enam tahun pun berlalu
dengan cepat dan hari itu tepat setelah kutukan yang diucapkan Dewi Gendari.
Prabu Sri Kresna melihat berbagai tanda alam yang tidak baik. Angin bergemuruh,
lautan bergejolak, banjir semakin intens dan perlahan pulau Dwaraka tergerus
gempuran air. “sudah waktunya, hari itu sudah tiba.” Lalu Prabu Sri Kresna
menuju kepada parta isterinya. “isteri-isteriku, waktunya sudah tiba. Tugas
kita sebagai avatara Wisnu dan Sri Laksmi akan berakhir. Jika kabar kematianku
telah pasti, aku akan menanti kalian.” Para isetri Sri Kresna bersedih hati.
“kakanda, jangan berkata demikian.” Ucap Dewi Radha “benar , kakanda. Kita akan
melihat cucu dan cicit kita menjadi raja.” Sambung dewi Rukmini. Dewi jembawati
lalu berkata “kakanda, jangan berkata yang tidak-tidak. Kutukan itu pasti bisa
kakanda elakkan.” “kata yunda Jembawati benar. Kutukan ini hanya bualan semata
seorang yang murka .” lalu para isteri Sri kresna lainnya beramai-ramai
berkata “benar kakanda.” Prabu Sri
Kresna hanya bisa menghela nafas panjang. Lalu ia mendatangi Kresnyaka.
“cucuku, kakek merasa kerajaan ini akan dalam masalah besar. Sekarang aku dan
beberapa rakyat kita akan melakukan kegiatan siraman rohani di Tirtaprabhasa.
Jika terjadi sesuatu padaku, cepat bawa nenek-nenekmu, keluarga kita, kerabat
kita, dan rakyat kita ke tempat aman.” Prabuanom Kresnayaka tidak mengerti
namun ia tak berani bertanya lagi. “baik, eyang Prabu. Perintahmu adalah titah
bagiku.” Sama seperti ayahnya Setyaka, Prabuanom Kresnayaka merasa ini sebuah
firasat buruk. Singkat cerita, Prabu Sri Kresna dan Begawan Curiganata beserta
sebagian besar para lelaki wangsa Yadawa dan rakyat Dwarawati melakukan
perjananan suci ke desa Tirtaprabasa. Tak disangka, serpihan gada yang lahir
dari kutukan Samba dahulu telah menjelma sebagai rumput gelagah bernama eruka
tumbuh di pinggir pantai desa itu. Di Tirtaprabasa, para Yadawa bersama harya
Kertamarma dan Sencaki tetap saja bermabuk-mabukan dan mereka pun saling
bercanda dengan melempar ejekan. Dalam keadaan mabuk, Kertamarma berkata,
"Hei Sencaki...Kau ini Pengecut....Kau kejam, Kau membunuh Saudaraku Burisrawa
yang tak bersenjata, yang sedang meninggalkan medan laga untuk memulihkan
tenaga" Sencaki berkata juga sambil mabuk, "Kertamarma, Kau Sendiri
Apa Tak Sadar Diri? kesatria macam apa kau ini? Dalam Bharatayudha juga, Kau membunuh
orang tua Pancakesuma, Drestajumna dan Srikandhi saudara Yunda Drupadi kau
cincang-cincang dalam keadaan tidur. Kau Bahkan Memperkosa Iparmu Sendiri...
Perbuatan macam apa yang kau lakukan? Kau Laknat! Bajingan!". Ucapan
tersebut disambut oleh tepuk tangan dari Partajumena dan Jaya Sanga-sanga yang
juga mabuk, yang artinya bahwa ia membenarkan pendapat Sencaki.
Setelah saling melontarkan ejekan, mereka bertengkar ramai. Sencaki mengambil pedang lalu memenggal kepala Kertamarma di hadapan Sri Kresna.
Perang Mosalaparwa, seluruh Yadawa tewas di tangan keluarga sendiri |
Singkat cerita, Prabu Sri Kresna hidup luntang-lantung. Selama bersasih-sasih, Sri Kresna duduk di sebuah batu dibawah pohon, mengenang segala peristiwa Ia tahu bahwa sudah saatnya ia ‘kembali’. Kemudian ia memulai menutup panca indrianya melakukan yoga dengan sikap Lalita Mudra. Bagian dibawah kakinya berwarna kemerah-merahan. Di saat ia tengah bersemadhi di balik semak-semak dan pohon itu, ada seorang pemburu bernama Ki Jara mencari hewan buruan. “Ah, akhirnya kutemukan juga buruanku”, Ia merentangkan busur dan menembakkan panah yang berasal dari sepotong besi yang berasal dari senjata mosala yang telah dihancurkan kemudian panah itu diberi racun. Ia memanah dan panah itu tepat mengenai benda kemerah-merahan itu. Jara, sang Pemburu segera berlari ketempat itu untuk menangkap mangsanya. Ia melihat ada kaki lalu dipanahnya.
Ki Jara memohon Ampun karena memanah kaki Sri Kresna |
Raden Arjuna ditemani Raden Wisabajra dan Wisandanu telah sampai di gerbang kota Dwarawati. Arjuna segera ditemui Resi Curiganata. “Arjuna, akhirnya kau datang. keadaannya gawat, para pria wangsa kami saling membunuh satu sama lain di Tirtaprabhasa. Kami yang tersisa disini juga mendapat kabar...kalau Kanha sekarat....” begawan Curiganata tak mampu lagi menahan kesedihannya. Mereka melihat kotaraja dan keraton sudah lengang sekali. Hanya tersisa para janda dan anak yatim. Sesampainya di istana, Arjuna mendapati Prabu Sri Kresna sakit keras akibat luka-luka di kakinya. “madhawa, bertahalah...ini aku Arjuna! Parta mu! Aku akan menyembuhkan kakang Madhawa.” Merasa ajalnya telah dekat, sang Narayana mengabarkan pada Arjuna “Parta, tidak usah repot....tugas kita sebagai avatara Wisnu akan berakhir hari ini. Cepat kau mengungsikan para Yadawa yang tersisa ke Hastinapura karena sebentar lagi Dwarawati akan tenggelam ditelan samudera beberapa jam setelah aku pergi. Aku titip juga...cucu-cucu dan...cicitku...jagalah mereka dengan baik...”. Tak lama sang titisan Wisnu itu wafat. Kesedihan terjadi di antara para Yadawa yang tersisa. Ketika prosesi ngaben dilangsungkan, Kesembilan istri utama Sri Kresna yakni Radha, Rukmini, Jembawati, Setyaboma, Kalindi, Nagnajiti, Mitrawinda, Charuharsini dan Bhadra naik ke atas pancaka ‘kakanda Wisnu, aku akan menyusul kakanda. Kita akan kembali ke Untarasegara. Di istana Bentukaloka.” Lalu mereka menusuk diri dengan keris dan jatuhlah mereka ke dalam api pancaka yang mara. Mereka memutuskan mesatya (labuh geni). Abu Kresna dan kesembilan isterinya disimpan oleh Arjuna. sebagian abunya dilarung ke laut dan sebagian lagi akan dilarung juga di Widarakandang.
Baladewa Mukswa dan Dwarawati tenggelam ke dasar samudera |
Singkat cerita, para
Yadawa yang tersisa selamat. Namun di tengah perjalanan melewati padang rumput yang luas, harta mereka hilang dirampok oleh para penyamun. Arjuna yang
hendak menolong kehilangan kesaktiannya. akibatnya, sebagian dari para Yadawa ada yang kabur dan kucar-kacir. Setelah sampai di Hastinapura, Cicit Kresna yakni Bambang Bajrawan
diasuh oleh pamannya, Harya Dwara dan Prabuanom Kresnayaka bersama Arya
Nabantara mendirikan kerajaan baru di pinggir danau besar di dekat Kurusetra
bernama Dwarakapuri bersama para keturunan wangsa Yadawa dan Dwarawati yang
selamat. Bebrapa rakyat Dwarawati yang tersisa juga ada yang menetap di
Trajutresna dibawah naungan Prabu Kismaka dan ada pula yang tinggal menyepi di
Desa Karang Tumaritis bersama Kakek Semar dan cucunya, Lengkung Kusuma dan
Besut. Sebagian kecil juga ada yang mengikuti Wisabajra dan Wisandanu kembali
ke tanah leluhur yakni di Mandura dan Widarakandang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar