Sabtu, 28 Januari 2023

Irawan Lair

 

Hai-hai....di tahun yang baru ini, penulis akan mengisahkan kelahiran Bambang Irawan, putra Arjuna dengan Dewi Ulupi. Dikisahkan pula Antareja yang akan berguru kepada Begawan Jayawilapa dan bagaimana awal mula kedekatan hubungan anatara Antareja dan Bambang Irawan. Sumber yang penulis pakai ialah blog albumkisahwayang.blogspot.com dengan pengubahan dan pengembangan seperlunya.

Prabu Nilacandra dari Parangcandera dihadap patihnya, Patih Kalabandoga dan KI Lurah Togog dan Bilung Sarawita. Prabu Nilacandra bercerita kalau ia tadi malam bermimpi bercinta dengan perempuan cantik bernama Dewi Ulupi. Ki Lurah Togog berkata “waduh gusti...mending jangan diteruskan mimpi itu. Dewi Ulupi itu sudah ada yang punya.” Prabu Nilacandra beranya “ emang siapa yang punya, Ki Lurah?” “aduhh....gusti... gusti ini tidak tahu ya? Dewi Ulupi itu istrinya ndoro Arjuna, anggota Pandawa lima dan sekarang sedang hamil.” Prabu Nilacandra nampak kaget tapi ia lalu berkata “aku tidak peduli. Mau dia bersuami atau tidak, aku akan menikahinya. Kandungannya akan kugugurkan.” Togog merasa ndoroya ini akan berbuat jauh, maka ia tidak bisa mencegahnya. Prabu Nilacandra memerintahkan patih Kalabandoga untuk menculik sang isteri Arjuna itu di Desa Yasarata.

Di tengah jalan saat memasuki desa Karang Tumaritis, pasukan Patih Kalabandoga bertemu dengan Ki Lurah Semar, Gareng, Petruk dan Bagong yang juga akan ke sana.sang patih bertanya jalan ke Yasarata. Ki Lurah bertanya “ada tujuan apa ki sanak mau kesana?” “bukan urusan ki sanak tau apa tujuan saya.” Ki Lurah Semar merasa ada firasat tidak baik dengan kedatangan pasukan ini. Maka ia dan anak-anaknya menghadang patih Kalabandoga. Patih kalabandoga tak mau dihalangi jalannya maka ia menyerang Ki Lurah Semar dan anak-anaknya. Gareng Petruk dan Bagong tak tinggal diam. Gareng segera menyabetkan pecutnya. Petruk menghunus pethel (kapak) nya sedangkan Bagong yang dengan gaya slengekan mengalahkan para prajurit dengan kujang miliknya. Patih Kalabandoga tidak sadar berhadapan dengan siapa. Maka ia menyerang secara membabibuta. Gareng, Petruk, dan Bagong mundur selangkah. Desa Karang Tumaritis hampir saja rusak kalau saja rombongan Prabu Kresna dan Prabu Baladewa tidak datang. Prabu Kresna memberi salam “salam paman....sepertinya aku datang agak terlambat. Setyaki cepat bantu paman Gareng dan lainnya.” “baik kakang prabu..” ucap Setyaki. Dengan kesaktiuannya, Arya Setyaki mengeluarkan teriakan aji Singamulangjaya. Pasukan Parangcandera kucar-kacir dengan kerasnya teriakan Arya Setyaki yang bagaikan terompet Panacajanya Batara Wisnu itu. Patih Kalabandoga sendiri lari ke hutan. Prabu Baladewa menawari Ki Lurah Semar dan anak-anaknya untuk ikut bareng ke Yasarata. Ki Lurah Semar berterimakasih tapi ia memilih ikut dari belakang saja. Maka singkat kata, rombongan Kresna dan Baladewa berangkat dengan dibelakangnya ki Lurah Semar dan anak-anaknya.

Sementata itu di Kadipaten Jodipati, Raden Antareja sedang duduk sendirian di bale-bale. Ia melihat para pelayan dan prajurit menghormatinya. Di dalam duduk termenungnya, ia merasa sedikit kesal karena sudah lama ia mengirimkan surat lamarannya sebagai penggawa kepada sang paman, Prabu Yudhistira namun suratnya seakan digantung. Berkali-kali ia mengirimkan tapi endingnya sama saja. Panggilannya seakan tertolak. Perasaannya sebagai pelamar kerja terkoyak-koyak oleh keresahan dan perasaan digantung. Karena lelah memikirkannya, Raden Antareja ketiduran di bale-bale. Dalam tidurnya, ia bertemu kakeknya yakni Batara Anantaboga. “cucuku, aku tau apa keresahanmu. Kamu belum saja diterima kerja. Di istana kamu sering dipandang sebagai anak pangeran. Yang kamu inginkan dipandang sebagai penggawa negara.” “ betul...eyang batara. Aku sebenarnya juga iri sama adhi Gatotkaca yang sudah lebih dulu jadi penggawa. Aku ingin sekali berbakti pada negara ini, pada ayah dan para paman juga.” Batara Anantaboga paham apa kerisauan cucunya lalu ia berkata “Cucuku..berbakti kepada negara tidak harus menjadi penggawa. Menjadi warga negara yang baik, taat membayar pajak, menjaga nama baik negara, dan tidak membuat kerusuhan jua bentuk baktimu pada negara. Pamanmu mungkin sudah paham kalau kamu ini masih suka gegabah, mudah iri, dan gampang marah makanya ia menggantungmu. Adikmu menjadi penggawa karena memang sudah mempunyai kualifikasinya. Ia sudah berguru kepada Batara Tantra saat dulu, saat masih di kahyangan. Gatotkaca sudah digembleng dan diasah sifat-sifat raksasanya” “lalu apa bedanya adhi dengan aku? Aku juga sudah berguru kepada eyang batara.” Batara Anantaboga berkata ada bedanya. Berguru kepada yang punya ikatan darah langsung akan menimbulkan perasaan tidak tega dan cenderung memanjakan. Tentunya ilmu yang terserap tidak maksimal. Batara Anantaboga lalu menjelaskan “ Cucuku...kalau ingin berguru tanpa adanya rasa segan, pergilah ke Yasarata. Di sana ada mertua pamanmu Arjuna. Namanya Begawan Jayawilapa. Di sana semoga kamu bisa mengikis sifat-sifat burukmu, cucuku.” Raden Antareja lalu terbangun dari tidurnya dan datang ke penghadapan malam untuk meminta izin kepada ayah dan pamannya berangkat ke Yasarata. Prabu Yudhistira paham akan keinginan keponakannya lalu ia menawarkan untuk ikut rombongan Amarta “keponakanku, kamu yakin mau berangkat malam ini juga? Gak mau ikut bareng sama ayah dan paman-pamanmu? Kebetulan kami juga akan ke Yasarata karena istrimu pamanmu, bibi Ulupi akan segera melahirkan tapi kami akan berangkat tiga hari lagi.” “tidak Paman Prabu. Saya akan datang ke sana lebih dulu. Untuk urusan mencari ilmu, saya tidak bsa menunggu lama-lama. Semakin cepat saya di sana semakin baik.” Arya Wrekodara bangga dengan putranya. “anakku....ayah hanya bisa memberi restu. Doa ayah akan selalu bersamamu.” Arya Wrekodara memeluk putra sulungnya itu. Setelah pamitan, Raden Antareja dengan kesaktiannya bergerak dengan cepat menembus kegelapan malam.

Singkat kata, Patih Kalabandoga sampai di desa Yasarata malam hari itu. Patih Kalabandoga segera merpaalkan ajian Sirep. Dalam waktu tidak lama, para penduduk yang sedang ronda tertidur pulas bahkan Begawan Jayawilapa, Arjuna, dan Ulupi terkena sirep itu. Setelah memastikan semua orang sudah teler, sang patih Parangcandera masuk ke rumah sang begawan mencari keberadaan Ulupi. Setelah mencari ke sana-kemari, akhirnya Patih Kalabandoga berhasil menemukan Dewi Ulupi sedang tidur bersama Raden Arjuna. Ia pun maju hendak menarik tubuh wanita itu tetapi pagar gaib yang dipasang Arjuna sebelum tidur membuatnya jatuh terduduk. Sebanyak tiga kali Patih Kalabandoga berusaha meraih Dewi Ulupi, maka sebanyak tiga kali pula ia jatuh terduduk di lantai. Patih Kalabandoga paham apa yang telah membuatnya terlempar jatuh. Ia pun berlutut menyembah tempat tidur Dewi Ulupi dan Raden Arjuna untuk menawarkan pengaruh pagar gaib yang ada di situ. Begitu pagar gaib terbuka, ia langsung menggendong tubuh Dewi Ulupi dan memasukkannya ke dalam keranjang buah. Secepat kilat Patih Kalabandoga lalu pergi membawa kendaga itu meninggalkan desa Yasarata. Sementera itu, Arya Burisrawa sedang berkelana seorang diri meninggalkan Kesatrian Madyapura. Dalam hati ia masih menyimpan dendam karena gagal menculik Dewi Sumbadra tempo hari. Akibatnya, ia pun menjadi bulan-bulanan, dihajar dari kiri dan kanan oleh Raden Antareja dan Raden Gatotkaca. Meskipun Arjuna telah memaafkan perbuatannya, namun hatinya masih menyimpan dendam karena sejak peristiwa tersebut ia tidak boleh lagi mendekati Dewi Sumbadra. Bahkan, Prabu Baladewa yang selama ini selalu mendukungnya ternyata juga ikut marah dan melarangnya datang lagi ke Madukara.

Hari itu Arya Burisrawa mendengar kabar bahwa Raden Arjuna memiliki permaisuri lain bernama Dewi Ulupi yang sedang mengandung dan tinggal di Padepokan Yasarata. Ia pun terpikir siasat licik “Aku akan balas dendam padamu Arjuna. Akan kuculik Ulupi dan kugugurkan kandungannya.”  Sungguh kebetulan, di tengah jalan Arya Burisrawa berpapasan dengan Patih Kalabandoga yang sedang membawa kendaga. Ia pun menghentikannya dan bertanya “berhenti dulu kisanak!! Kau sepertinya akan pergi berdagang buah tapi tumben sekali keluar semalam ini. apa isi keranjang itu?” Karena wajah Arya Burisrawa yang mirip raksasa membuat Patih Kalabandoga mengiranya sebagai teman sendiri. Dasar watak Patih Kalabandoga juga lugas, membuatnya langsung berterus terang “Ohh keranjang ini?  Ini bukan keranjang biasa. Aku sebenarnya bukan pedagang. Aku patih Parangcandera, Kalabandoga. Aku mengemban misi penting. Keranjang yang aku panggul ini berisi Dewi Ulupi, istri Arjuna. Dia akan kupersembahkan kepada gustiku, Prabu Nilacandra.” Arya Burisrawa senang mendengarnya dan ia pun menyerang Patih Kalabandoga untuk merebut kendaga itu. Patih Kalabandoga terkejut dan membela diri. Keduanya lalu bertarung sengit. Dalam pertarungan itu Arya Burisrawa unggul. Ia pun menghabisi nyawa Patih Kalabandoga dan melemparkan mayatnya ke dasar jurang.

Arya Burisrawa lalu membuka tutup keranjang dan melihat Dewi Ulupi terbangun dari pingsan dalam keadaan terkejut. Ia pun memaksa wanita itu keluar dan berkata “hehehe...akhirnya kau kudapatkan...sini akan kugugurkan kandunganmu, supaya aku abisa balaskan dendamku pada Arjuna....hahahaha”. Dewi Ulupi ketakutan dan mencoba kabur. Arya Burisrawa pun mengejarnya sambil menari dan tertawa-tawa. Semakin Dewi Ulupi takut, ia justru semakin senang. Ia sengaja tidak langsung menangkap wanita itu tetapi ingin mempermainkannya terlebih dahulu seperti kucing hendak menangkap tikus. Arya Burisrawa menangkapanya dan memijat kuat perut sang permaisuri keempat Madukara itu...Dewi Ulupi meronta-ronta “lepaskan aku......aku tau kau Burisrawa. Kau yang sudah membuat Yunda Sumbadra mati suri tempo hari...lepaskan aku, akan ku laporkan kau pada suamiku...” Arya Burisrawa tak peduli malah terus memaksa terus memijit keluar bayi di kandungan Ulupi. Dewi Ulupi yang terus meronta akhirnya meronta akhirnya bisa melepaskan diri dan menghajar Burisrawa sampai jatuh terpelanting. Dewi Ulupi lari sekencang mungkin namun karena hari masih gelap, ia tidak melihat ada jurang. Ia pun terperosok jatuh. Tubuhnya melayang turun dan pasti tewas jika terbentur tanah. Namun, pertolongan tiba-tiba muncul di saat genting. Raden Antareja yang sedang menuju Yasarata kebetulan lewat dan langsung menyambar tubuh Dewi Ulupi. Perlahan-lahan ia membawa wanita hamil itu naik ke atas dan mendudukkannya di bawah pohon. Arya Burisrawa yang mengejar Dewi Ulupi terkejut melihat Antareja tiba-tiba muncul. Seketika ia pun teringat peristiwa tempo hari saat pemuda bersisik naga itu menghajar dirinya dalam wujud Dewi Sumbadra palsu di atas perahu. Antareja sendiri juga melihat Arya Burisrawa. Pemuda itu pun segera menyerang ke arahnya. Maka, terjadilah pertarungan di antara mereka berdua. Arya Burisrawa lagi-lagi kalah dan memilih kabur meninggalkan tempat itu.

Karena sang isteri tidak ada di rumah, Arjuna membangunkan ayah mertuanya untuk mencari Ulupi. Begawan Jayawilapa segera membangunkan penduduk desa. Mereka mencari-cari sang permaisuri Madukara itu. Tak berapa lama, datanglah Antareja menggendong Dewi Ulupi kembali ke Yasarata. Para warga yang melihat putri sang penghulu desa itu langsung melabrak Antareja mengira ia yang menculik Dewi Ulupi. Raden Arjuna terkejut melihat Raden Antareja bersama Dewi Ulupi, dan ia langsung menuduh keponakannya itulah si pelaku penculikan. “Antareja...beraninya kamu menculik bibimu sendiri....kamu akan...” Namun, Dewi Ulupi segera melerai dan menjelaskan duduk perkara yang sebenarnya “ kakanda tunggu...jangan salahkan Antareja....Antareja yang telah menolongku dari Burisrrawa...dialah penjahat yang sebenarnya......” Raden Arjuna meminta maaf karena telah berburuk sangka kepada Raden Antareja. Ia lalu mengajak sang istri dan keponakannya masuk ke rumah. Akan tetapi, Dewi Ulupi tiba-tiba merintih kesakitan. Agaknya peristiwa penculikan tadi membuat kandungannya bermasalah. Para wanita dibangunkan untuk membantu persalinan Ulupi. Arjuna dan Antareja menunggu dengan harap-harap cemas. Di dalam kamar, Dewi Ulupi mengalami kesusahan. Bayi di kandungannya seakan menguji ibunya saat ia akan lahir. Begawan Jayawilapa mengelus perut putrinya itu. Atas bantuan ayahnya, Dewi Ulupi bisa melahirkan dengan aman dan selamat. Suara tangisan bayi memecah keheningan malam itu. Arjuna dan Antareja masuk ke kamar. Di sana, Begawan Jayawilapa menggendong cucunya. Dewi Ulupi melahirkan anak laki-laki yang sehat dan tampan, sangat mirip dengan wajah Arjuna. Raden Arjuna merasa bahagia tetapi ia belum mempersiapkan nama, karena tidak mengira putranya akan lahir sekarang. Begawan Jayawilapa pun mengusulkan, karena si bayi dilahirkan begitu cepat, seakan ingin menikmati dunia luar maka ia menamai cucnya Bambang Irawan. Dalam bahasa Sangsekerta, Irawan bermakna “dia yang memiliki keinginan untuk kenyamanan.”

Raden Antareja lalu mengutarakan maksud kedatangannya. Ia pun berterus terang “mohon maaf atas kelancangan saya. Kedatangan saya diutus Batara Anantaboga agar berguru kepada anda, kakek Begawan. Awalnya saya berniat menantang kakek bertarung mengukur ilmu kesaktian. tapi, sekarang saya merasa tidak perlu lagi berbuat seperti itu. Saya sekarang sudah bulat ingin berguru kepada anda.” Antareja memohon sambil membungkuk. Begawan Jayawilapa senang mendengarnya. Ia mengangkat kepala Antareja.

Irawan Lair
Ia menjelaskan masa lalunya“cucuku....dunia memang sempit. Dulu saya pernah mengabdi kepada gusti Batara sebagai patih. Sekarang saya akan menjadi guru bagi kamu, cucunya. Karena gusti Batara sudah berpesan demikian, aku dengan senang hati menerimamu, cucuku. Tetapi, kesaktian gusti Batara masih jauh di atas saya. Aku cuma seorang pendeta tua yang menyepi tinggal di desa.” Raden Antareja menyatakan dirinya sudah yakin terhadap Begawan Jayawilapa dan ia sudah membulatkan tekad untuk ikut tinggal di desa Yasarata, berguru segala macam ilmu kehidupan kepada sang pendeta. Begawan Jayawilapa menerima permohonan tersebut. Bersamaan dengan menyingsingnya sang fajar, Ia pun menggelung rambut panjang Antareja menjadi bulat, sebagai perlambang kebulatan tekadnya. Raden Arjuna dan Dewi Ulupi menjadi saksi. Ia ikut senang keponakannya berguru kepada mertuanya.

Keesokan harinya, rupanya rombongan Amarta datang lebih cepat karena kabar kelahiran anak Arjuna lebih cepat sudah tersiar keluar. Tak lama itu pula, rombongan Ki Lurah Semar beserta anak-anaknya, Prabu Kresna dan Prabu Baladewa bersama isteri mereka. Seluruh rombongan berbahagia dengan kelahiran Bambang Irawan. Prabu Kresna memberikan restu kelak ia akan berjodoh dengan putrinya. Prabu Baladewa mendoakan kelak Irawan bisa membesarkan negerinya. Di tengah suasan bahagia itu datang prabu Nilacandra. Dia berteriak-teriak “hei Arjuna.....kemarikan Ulupiku...dia jodohku...!” Arjuna dan Dewi Ulupi marah besar. Harga diri mereka sebagai suami istri hendak direnggut paksa. Raden antareja hendak maju tapi dihalangi Arjuna “tidak perlu, keponakanku. Ini masalah antara seorang suami dan kehormatannya. Aku yang akan menghadapi raja tak sadar diri ini.” Singkat cerita, keduanya bertarung di halaman pendopo Yasarata. Keduanya sangat sengit sehingga pada suatu kesempatan, Prabu Nilacandra keok tertikam Keris Polanggeni. Prajurit Parangcandera kucar-kacir dan segera membawa jasad sang raja. Upacara syukuran dilanjutkan kembali dengan meriah. Hari itu pula, Antareja dan Irawan dipersaudarakan. Bukan hanya sebagai sepupu tapi juga sebagai kakak adik. Sejak saat itu, Raden Antareja tinggal di desa Yasarata untuk berguru.

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar