Hai hai.......Selamat datang kembali.......Sudah lama saya tidak posting.....Btw, kisah kali ini mengisahkan kelahiran para putra Prabu Kresna. Para putra Kresna itu yakni Bambang Gunadewa, Raden Samba, Bambang Partajumena (Pradyumna), dan Arya Setyaka. Sumber kisah ini berasal dari blog albumkisahwayangblogspot.com dan beberpa blog pewayangan lainnya dipadukan dengan imajinasi penulis.
Serangan raja
Gumbalaraksa
Setelah Prabu Kresna
mendapat wejangan dari Semar, sang prabu sering bertapa brata merenungi
kesalahannya. Sang prabu perlahan bangkit dari keterpurukan. Ia menata hidup
lebih baik. Sampai pada suatu hari, para permaisuri sang prabu mengandung. Dewi
Radha membantu para madunya untuk mempersiapkan kelahiran. Sembilan bulan
berlalu bagai anak panah melesat, hari persalinan kian dekat. Namun tiba-tiba
kerajaan Dwarawati diserang oleh Prabu Yaksasradewa dari kerajaan Gumbalaraksa.
Prabu kresna segera mengugsikan para isterinya ke desa Widarakandang tepatnya
di bukit Goloka. Perang berangsung begitu sengit. Kerajaan Gumbalarraksa kalah
namun sang raja melarikan diri ke arah bukit Goloka. Prabu Kresna segera
mengejar namun ia kalah langkah. Dewi Rukmini, Dewi Jembawati, Dewi Setyaboma
dan Dewi Radha berhasil dibawa lari ke Gumbalaraksa dan mengobrak-abrik desa
Widarakandang.
Malam itu, Prabu Kresna
dihadap Patih Udawa, Arya Setyaki,dan seluruh kerabat Yadawa berunding
bagaimana cara melepaskan keempat isteri Kresna. Arya Rukmana, kakak Dewi Rukmini berkata “tidak perlu panjang lebar, adik ipar. Kita gempur
habis-habisan Prabu Yaksasradewa. Jangan kita beri ampun.” Prabu Kresna
menyangah usulan Rukmana “tidk bisa, kakak. Kalau kita serang membabi buta
begitu, keselamatan isteri-iseriku yang lain juga terancam.” Arya Rukmana
marah-marah menganggap iparnya itu terlalu lembut teradap musuh. Ia menyindir
kalau Prabu Kresna teledor dan tidak pantas menjadi iparnya lagi. Prabu
Baladewa jengah dengan sikap Arya Rukmana yang kekanak-kanakan. Ia menntng
sepupunya iu bertarung sau lawan satu. Perang tading terjadi sangat sengit. Dengan
panah,Arya Rukmana menyerang kakak sepupunya itu namun dapat ditangkis degan
gada Alugora. Karena sedang dimabuk amarah. Keduanya sampai menghancurkan taman
di balairung. seketika datanglah Patih Udawa dan Arya Setyaki guna meredam
amarah pangeran dari Kumbina itu. seketika redamlah amarah sang pangeran
Kumbina dan raja Mandura.
Rahasia Prabu
Yaksasradewa
Di luar Keraton ada gara
gara terjadi yang menewaskan pasukan Narayani yang disebabkan oleh amukan
seorang resi. kepada sang Rresi sang Prabu Kresna harus menyerahkan Dewi
Rukmini kepada sang Resi katanya, dengan seketika Arya Setyaki, Arya Rukmana,
Prabu Baladewa, dan Patih Udawa keluar keraton dan mengalahkan sang Resi guna
meredam amukan sang Resi. tiba tiba mereka terpental jauh ke Pintu Keraton lalu
berubahlah wujud sang Resi yang aneh itu menjadi cahaya seterang matahari di
tengah hari.
Setelah itu sang Prabu
keluar dari Keraton guna melihat sesosok cahaya yang masuk di Keraton
pasowanan, mereka semua melihat sosok di balik cahaya tersebut ialah Batara
Narada yang turun ke halaman istana guna memberi tahu kelemahan sang raja
Gumbalaraksa yng telah menculik sang Dewi Rukmini dan ketiga isteri Kresna
lainnya, karena sebelumnya ia pergi ke Suralaya guna melamar Dewi Tunjungbiru,
tapi dewata tidak memberikanya lalu sang Raja mengamuk di Suralaya. Akhirnya ia
kalah dan melampiaskannya dengn menculik para titisan Dewi Srilaksmi dan Dewi
Laksmita. Lalu Sang Kanekaputra memberikan sesuatu di dalam isi
salah satu cupunya karena Sang Kanekaputra mempunyai banyak cupu pusaka di
Kayangan Sidiudaludal, lalu Patih Udawa mengambilnya dari tangan Sang Pukulun
Narada. Seketika keluarlah keris sakti. Oleh Batara Narada, keris itu bernama
Keris Kyai Tantra. Batara Narada berkata “Kresna, keris ini adalah kelemahan
Prabu yaksasradewa. Kau harus menusukan keris ini tepat saat dia lengah.”
Setelah menjelaskan, batara Narada segera kembali ke kahyangan.
Tipu Hela Nini Penjual
Jamu
Prabu Kresna
memerintahkan Patih Udawa dan Arya Rukmana utuk menjaga kerajaan Dwarawati
sementara ia dan Arya Setyaki akan menyusup ke kerajaan Gumbalaraksa. Ditengah
perjalanan sang Prabu memanggil Resi Mayangkara Hanoman untuk ke Gumbalaraksa
duluan “Hanoman, bantulah aku. Pegilah ke keraton Gumbalaraksa. pastikan di
sana para istriku tidak di apa apakan oleh raja itu”. “sendika dawuh gusti.
Perintahmu akan ku laksanakan” Resi Mayangkara Hanoman segera terbang menuju
keraton Gumbalaraksa bersama Arya Setyaki. Ketika memasuki keraton, Resi
Mayangkara dan Arya Setyaki berubah wujud jadi prajurit jaga. Sesampainya ke
kaputren, meereka melihat para isteri Kresna baik-baik saja. Mereka segera
keluar keraton. Mereka melihat seorang nini penjual jamu disana.. Singkat
cerita, di depan keraton nini penjual jamu berteriak menawarkan "JAMU JAMU
JAMU" lalu sang Prabu Yaksasasradewa menghampiri sang tukang jamu untuk
minum jamu agar ia perkasa “ni sanak, kemari sini.....buatkan aku jamu agar aku
perkasa. Buatkan juga untuk para prajuritku.” Nini penjual jamu memasuki
keraton. Di meja makan, sang prabu duduk dihadap segenap prajuritnya. Sang
penjual jamu membuatan jamu terenak di dunia. Semauanya diminum dengan lahap.
Begitu para prajurit selesai meminumnya, kini tinggal giliran sang prabu. si
Nini memberikan bumbung itu ke raja dan menyodorkannya ke cangkir kayu. Setelah
meminum jamu itu, sang prabu seketika puyeng dan pusing. Matanya
berkunang-kunang dan seetka ia hau. Ia melihat nini penjual jamu bertukar ujud
jadi Batara Wisnu lalu jadi raksasa bertangn banyak. Raksas membawa banyak
senjata dan salah satunya bumbung milik nini tukang jamu yang berubah ujud
menjadi Keris Kyai Tantra. Sang prabu segera bangun. Betapa kagetnya, ia
menyadari para prajuritnya teler dan banyak yang tumbang.
Kelahiran para putra
Kanha
Prabu Yaksasradewa segera
memurnikan jamu dalam dirinya lalu bertarung melawan nini penjual jamu itu. Tak
disangka, penjual jamuini sakti dan lincah. Pengaruh jamu beracun itu tak
kunjung hilang. Di saat yang tepat, nini penjual jamu bertukar wujud ke asal
sebagai Prabu Kresna. Sang raja Dwarawati berjuluk Raden Kanha itu menghunus keris
Kyai Tantra tepat ke jantung Prabu Yaksasradewa. Keris itu menghunjam jauh ke
dada dan dirobeknya sampai ke perut sang raja gila tersebut. Seketika matilah Prabu
Yaksasradewa. Para prajurit yang membela raja mereka dapat dikalahkan dengan
mudah oeh Resi Mayangkara dan Arya Setyaki. Akhirnya mereka berdua pulang dengan
membawa kesenangan dan kemenangan yang gemilang. Resi Mayangkara Hanoman
kembali ke Kendalisadha guna menjaga roh Dasamuka dan roh Indrajid yang belum
mukswa ke alam baka.
Sesampainya di Dwarawati,
para isteri Kresna mengeluh kesakitan dan akhirnya melahirkan anak yang
dikandungnya, merupakan kabar gembira oleh seluruh wadyabala Dwarawati, dimulai
oleh dari Dewi Rukmini, disusul Dewi Jembawati lalu Dewi Setyaboma. Saat Dewi
Rukmini melahirkan, secara samar-samar Batara Kamajaya menitiskan sebagian
dirinya ke dalam jabang bayi Rukmini. Bayi yang dilahirkan sang Dewi Rukmini
tersebut begitu berseri-seri dan rupawan. oleh sang Prabu Kresna, anaknya dari
Dewi Rukmini itu diberi nama Bambang Partajumena. Meskipun paling akhir
mengalami kontraksi, Dewi Setyaboma termasuk lancar melahirkannya. Ia melahirkan
seorang putera yang tampan. anaknya itu dinamai Bambang Setyaka. Justru, Persalinan
Dewi Jembawati ini yang paling lama dan berat. Setelah satu setengah hari,
barulah anak-anaknya lahir. Bayi yang dilahirkan Dewi Jembawati rupanya bayi
kembar namun yang disayangkan dua bayinya berbulu lebat bahkan salah satu
bayinya ada yang punya ekor seperti kera. Prabu Kresna memberi nama anaknya
dari Dewi Jembawati yang punya ekor Bambang Gunadewa dan yang satunya Raden
Samba. Bambang Gunadewa dijadkan kakak bagi Raden Samba. Semenjak kelahiran dua
putrnya, Dewi Jembawati memilih mengasingkan diri di Astana Gandamadana
menemani ayahnya, Resi Jembawan.
Raja Paranggaruda Hendak
Menumbalkan para Titisan Dewa
Bersamaan dengan itu,
raja Paranggaruda yakni Prabu Kilatmaka menyerang dan menaklukan negeri-negeri
di sekeliling Dwarawati. Kerajaan Dwarawati dalam bahaya. Pasukan Narayani tak
kuasa dan dapat dipukul mundur oleh pasukan Paranggaruda. Bahkan pasukan
Sangkarsana dari Mandura yang memberikan bantua tak luput dan kini justru
bertekuk lutut di tangan Prabu Kilatmaka. Prabu Baladewa dan Prabu Kresna
ditawan. Prabu Kilatmaka menawan mereka karena mendapat wangsit dewata bahawa ia
akan menjadi raja diraja dunia bila menumbalkan titisan Wisnu dan titisan
Basuki di jaman ini. Kepala mereka dilarung dan darahnya dihanyutkan ke
bengawan Yamuna tiga hari lagi. Tumenggung Paranggaruda yakni Tumenggung
Kilatyaksa mengejar para abdi dalem yang melarikan diri bersama Arya Setyaki
dan Patih Udawa. Walaupun kelabakan, Patih Udawa dan Arya Setyaki mampu
menyelamatkan diri bersama para abdi dalem Dwarawati. Mereka segera menuju ke
Astana Gandamadana meminta bantuan Resi Jembawan.
Di tengah perjalanan,
Patih Udawa dan Arya Setyaki bertemu dengan Raden Arjuna dan para punakawan,
kebetulan tujuan mereka sama. Mereka saling bertanya kabar. Lalu Patih Udawa
menjelaskan apa saja yang tejadi di Dwarawati “adhi Parta, sekarang kerajaan
Dwarawati sedang gawat darurat.” Arya Setyaki melanjutkan “benar kakang guru,
sekarang kakang Prabu Kresna dan kakang prabu baladewa ditawan raja
Paranggaruda. Mereka akan ditumbalkan sebagai syarat kejayaan Paranggaruda.” Raden
Arjuna kaget tidak menyangka kalau ipanya berhasil dikalahkan raja yang gila.
Maka ia mengajak para sepupunya itu untuk sowan kepada eyangnya, Maharesi
Abiyasa di gunung Saptaharga. Sesampainya disana, Raden Arjuna dan yang lainnya
menceritakan apa yang terjadi pada kerajaan Dwarawati. Maharesi Abiyasa
prihatin mendengarnya. Raden Arjuna lalu bertanya “apa ada penyelasaian untuk
masalah ini, eyang Maharesi?” “cucuku, tidak ada masalah yang muncul melainkan
ada penyelesaiannya. Wangsit dari dewata tidak pernah meleset... kemarilah
cucuku, sini aku bisiki apa isi pesan itu...” maharesi Abiyasa membisiki Arjuna
dn Ki Lurah Semar apa-apa solusi untuk masalah itu. Raden Arjuna berubah raut
wajahnya, seperti kaget lalu ia berkata
“ampun, eyang Maharesi. Bukan cucumu ini tidak mau percaya tapi apa
eyang Maharesi yakin itukah caranya?” maharesi Abiyasa menjawab kegelisahan
cucunya itu “percayalah pada setiap keputusan Hyang Widhi, cucuku. Mungkin ini
juga adalah ujian bagi para keponakanmu itu.” Arjuna tak lagi ragu. Mantaplah
hatinya untuk memberitahu hal itu kepada para isteri Prabu Kresna. Raden Arjuna
pun pamit disusul Patih Udawa dan Arya Setyaki.
Wangsit kemenangan
Dwarawati
Kini sudah hampir dua
tahun, Dewi Jembawati tinggal di Astana Gandamadana. Hari itu, kedatangan
Arjuna, Patih Udawa dan Arya Setyaki bagaikan angin segar bagi Jembawati karena
selama dua tahun ini tiada kabar apapun dari Dwarawati. Dewi Jembawati bertanya
basa basi bagaimana ia bisa tahu tentang pengasingannya. Arjuna berkata bahwa kabar
pengasingan iparnya tersebut telah menyebar cepat di Mandura dan Amarta. Ia dan
para punakawan prihatin dengan nasib iparnya tersebut “kakak ipar, aku tau bia
kakak bersedih karena kelahiran Gunadewa dan Samba. Tapi bukan berarti kakak
ipar harus terus berlarut-larut dalam kesedihan. Sekarang kakang Madawa dan
kakang Balarama ditawan raja Paranggaruda.” Mendenga kabar itu, Dewi Jembawati
khawatir dengan keselamatan suami, kakak ipar dan para madunya.” Duh adhi
Parta, kenapa baru kamu datang dan critakan hal ini. Bagaimana sekarang kita
menyelamatkan kakang prabu dan kakak ipar?” Ki Lurah Semar lalu menenangkan
hati Dewi Jembawati “helah dalah...hemmm blegedang gedug hemel.....sebelum kami
kemari, kami sowan kepada ndoro Abiyasa, kakek ndoro Arjuna. Kami dibisikinya
tentang penglihatannya dari para dewa, raja Paranggaruda hanya bisa dikalahkan
oleh para putra ndoro Kresna. Maka dari itu, kita harus kumpulkan Gunadewa dan
Samba dan para saudaranya.” Dewi Jembawati tidak menyangka bahwa para putranya
akan terjun ke medan perang dan menjadi penyelamat ayah mereka. Ia ragu untuk
melakukannya. Raden Arjuna berusah meyakinkan iparnya bahwa ini cara
satu-satunya. Rsi Jembawan menerima usulan Ki Lurah Semar “benar putriku....mungkin
inilah jalan yang akan ditunjukkan dewata kapada para cucuku.....para dewa juga
berkata demikian padaku melalui semadhiku. Aku akan merestui para cucuku untuk
ke medan perang.” Dewi Jembawati kembali mendapatkan semangatnya. Mereka pun
segera berangkat ke Dwarawati menyelamatkan Prabu Kresna dan Prabu Baladewa.
Singkat cerita, Raden
Arjuna dan Dewi Jembawati memasuki keraton Dwarawati secara diam-diam. Mereka
mendapati para istri Kresna lainnya ditawan juga. Dengan kekuatan panahnya,
Arjuna menjebol pintu penjara. Dewi
Rukmini dan lainnya segela memeluk Dewi Jembawati. Isteri ketiga Prabu Kresna
lalu mengatakan bahawa yang bisa membebaskan suami mereka adalah para putra
mereka. Dewi Rukmini, Dewi Radha, dan Dewi Setyaboma ragu, bagaimana bisa
anak-anak mereka yang masih berumur balita itu bisa berperang, apalagi raja
yang mereka hadapi sakti mandraguna. Raden Arjuna berkata “jangankan
mengalahkan raja sakti, bisa saja ia menjungkir balikkan dunia. Kalian ingat
dengan Gatotkaca? Gatotkaca mampu mengalahkan raja Naga Kalapercona dan Patih
Sekipumantra di umur dua tahun. Bukan cuma itu, ayahku beserta paman Widura,
dan uwa Dretarastra mengalahkan raja Nagapaya di usia balita. Percayalah pada
kehendak Hyang Widhi, jika anak kalian ada dalam lindungan-Nya.” Berkat
perkataan Arjuna, para isteri Kresna bersedia membawa para putra mereka ke
medan perang.
Kesaktian para Putra
Kresna
Di tempat lain, prabu Kilatmaka dihadap patihna, Patih Kilatwarna dan Tumenggung Kilatyaksa membahas kapan penumbalan Prabu Kresna dan Prabu Baladewa. Patih Kilatwarna berkata bahwa hari ini sudah tepat tiga hari dan inilah waktu yang tepat. Maka disiapkan altar penumbalan dan berbagai banten sesajian. Ketika golok hendak ditebaskan kepada dua raja kakak adik itu, datang Raden Arjuna menggendong para keponakannya yakni Bambang Partajumena, Bambang Gunadewa, Arya Setyaka, dan Raden Samba diiringi para ibu mereka.
Arjuna membawa para putra Prabu Kresna |
Raja Paranggaruda itu
membanting bayi Bambang Gunadewa namun ajaib, Bambang Gunadewa seakan kebal
bantingan malah kini ia bisa berjalan dan berlari.lalu Patih Kilatwarna maju
dan memukul bayi Raden Samba. Ajaibnya, bayi raden Samba tidak terluka
sdikitpun bahkan seperti kakaknya, ia juga bisa berjalan dan berlari. Bulu-bulu
di tubuhnya ini rontok dan ia berubah jadi bayi normal. Rupanya dua anak Kresna
dan Jembawati itu dilindungi Batara Sambu. Tak disangka, Bambang Gunadewa
melilitkan ekornya dan membanting Patih Kilatwarna. Di saat bersamaan bayi Arya
Setyaka dan Bambang Partajumena melemparkan bebatuan kerikil ke arah patih
Paranggaruda itu. Lemparan bebatuan itu juga berhasil membebaskan Prabu Kresna
dan Baladewa dari para algojo Paranggaruda. Patih Kilatwarna marah mendapati
calon tumbalnya lepas. Maka ia membalas dengan melemparkan kerikil juga ke arah
mereka. Sama seperti para kakaknya, bayi Arya Setyaka dan Bambang Partajumena
kini bisa berjalan dan berlari. Bersama-sama, mereka melemparkan batu besar dan
menimpas kepala patih Paranggaruda hingga tewas.
Prabu Kilatmaka berang
melihat patihnya tewas. Ia lalu meludahkan liur saktinya kepada empat anak
Prabu Kresna itu. Bukannya meleleh, keempatnya secara ajaib bertukar wujud jadi
anak remaja berusia dua belas tahun. Mereka melompat-lompat ke arah Prabu
Kilatmaka, menggigiti dan menampar wajah raja Paranggaruda itu. Prabu Kilatmaka
merasa risih dan berusaha menangkap mereka. Namun, para putra Kresna semakin
lincah dan sesekali berhasil memukul atau menendang raja Paranggaruda tersebut.
Prabu Kresna yang melihat dari kejauhan segera memanggil para putranya untuk
meninggalkan musuhnya barang sejenak. Raden Arjuna pun menggandeng para keponakannya
itu untuk menghadap. Prabu Kresna merasa senang melihat kelincahan mereka.
Namun, ia tidak suka putranya berkelahi seperti seekor kera. Maka, ia pun
meminjamkan Cakra Widaksana kepada Raden Samba, Gada Kumadaki kepada Arya
Setyaka, Terompet Pancajanya kepada Bambang Partajumena, dan Keris Gandawisa
kepada Bambang Gunadewa sebagai bekal untuk mengalahkan Prabu Kilatmaka.
Kemenangan Para Putra
Kresna
Para putra Kresna
menerima senjata tersebut dan kembali maju menghadapi Prabu Kilatmaka. Begitu
jarak mereka tidak terlalu jauh, Bambang Partajumena meniup Terompet Pancajanya
kearah sang raja Paranggaruda. Seketika Prabu Kilatmaka jadi linglung dan
bingung karena ditimpa berbagai bencana yang disebabkan tiupan terompet sakti
berbentuk kerang laut itu. Disusul pukulan Gada Kumadaki dari Arya Setyaka
menimpa perutnya dan tebasan keris Gandawisa dari Bambang Gunadewa
merobek-robek kulit kandel sang raja. Terakhir, Raden Samba melemparkan Senjata
Cakra yang tepat mengenai leher Prabu Kilatmaka. Seketika Prabu Kilatmaka pun
tewas dengan leher putus dan badan hancur tersayat-sayat.
Melihat rajanya terbunuh,
Tumenggung Kilatyaksa marah dan memimpin pasukannya untuk melakukan bela pati,
yaitu bertempur sampai mati melawan pasukan Narayani dari Dwarawati.
Pertempuran sengit kembali terjadi. Perang pun berlanjut. Pasukan gabungan
Narayani dan Sangkarsana terus menggempur pasukan Paranggaruda bagaikan ombak
pasang air laut. Beberapa kali Arya Setyaki dan Prabu Baladewa membantu Arjuna.
Mereka terkena sabetan senjata dan terluka disana-sini. Namun pada akhirnya,
Ditya Kilatyaksa pun tewas terkena panah Raden Arjuna. Pasukan Paranggaruda
juga lari kucar-kacir dan hampir semuanya berhasil ditewaskan.
Prabu Kresna telah
mengobati Prabu Baladewa dan Arya Setyaki dengan menggunakan Cangkok
Wijayakusuma. Sabg raja Dwarawati lalu berkata “terima kasih para putraku.
Kalian telah berhasil melewati ujian dari deata. Kalian memang para putraku
yang hebat.”Parabu Baladewa dan lainnya lalu bersama-sama memuji kemenangan
Raden Samba dan saudara-saudaranya. Karena Raden Samba mampu menggunakan Cakra
Widaksana dengan baik, Prabu Kresna pun memberikan nama tambahan untuknya yakni
Raden Samba Wisnubrata. Hal ini karena Cakra Widaksana ialah pusaka milik
Batara Wisnu yang kemudian terlahir sebagai Prabu Kresna. Bambang Partajumena
juga dipuji dengan menggelegarnya tiupan Terompet pancajanya olehnya. Maka
Prabu Kresna menambahkan nama kedua baginya yakni Bambang Partadewa karena ia
sangat perkasa bagaikan sang Batara Wisnu sendiri yang meniupkan terompet sakti
itu, begitu lantang terdengar. Prabu Kresna lalu berkata bahwa Bambang Gunadewa
akan menjadi putra mahkota Dwarawati. Bambang Gunadewa lalu datang ke ayahnya
lalu berkata “Ayahanda prabu, ananda hargai keputusan ayahnda. Tapi ananda
tidak berniat menjadi raja. Ananda lebih tertarik dengan dunia kepanditaan.
Lagi pula apa kata dunia kalau putra mahkota Dwarawati punya ekor seperti kera.
Ananda lebih memilh jika Adhi Samba dijadikan putra mahkota yang sah” Raden
Samba berkata “ampun kakang Gunadewa, apa adhi mampu mengemban tanggung jawab
itu?” jawab Raden Samba. Bambang Gunadewa lalu berkata “ aku yakin kau pasti
mampu, adikku.” “benar, kakang Gunadewa. Kau pasti bisa.” Sambung Arya Setyaka.
“aku setuju dengan itu. Kakang Samba memiliki kecakapan itu.” Balas Bambang Partajumena.
Adapun Kerajaan
Paranggaruda yang kini telah kosong karena raja dan seluruh pasukannya tewas,
menjadi negeri bawahan Dwarawati. Prabu Kresna pun mengubah Kerajaan
Paranggaruda menjadi kadipaten sebagai tempat tinggal Raden Samba. Sejak saat
itu, Raden Samba pun mendapat nama baru pula, yaitu Raden Kusuma Kilatmaka. Prabu
Kresna lalu mengadakan pesta syukuran untuk merayakan pelantikan Raden Samba
Wisnubrata sebagai putra mahkota. Setelah pesta selesai, Prabu Kresna
mengirimkan mereka untuk pergi berguru kepada Resi Jembawan dan Maharesi
Abiyasa. Untuk masalah olah kanuragan dan kesaktian, mereka akan dilatih oleh
Arjuna dan Arya Setyaki secara langsung.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar