Salam semua, semoga pembaca mendapatkan rahmat dari Yang Maha Kuasa. Kisah kali ini menceritakan Prabu Yudhistira bertriwikrama menjadi raksasa untuk menyelamatkan adik-adiknya di kawah Candradimuka/neraka. Kisah ini juga mengisahkan derita orang tua para Pandawa, Prabu Pandu Dewanata dan Dewi Madrim di neraka. Kisah diakhiri dengan permintaan triwikrama untuk mengentas Pandu dan Madrim dari neraka diterima dewata. Kisah ini merupakan penggabungan dua lakon, yaitu Dewa Amral dan Pandu Swarga. Sumber kisah ini adalah blog albumkisahwayang.blogspot.com dan beberapa blog pedalangan lainnya.
Malam
Sukra Umanis, Prabu Yudhistira dan keempat Pandawa melihat pemandangan serba
indah bagaikan surga. Di tengah
pemandangan serba indah itu, mereka terlihat bahagia dan bersuka ria. Namun
tiba-tiba pemandangan indah itu berubah mengerikan bagai neraka. Api menjilat
dan membakar tubuh-tubuh manusia. Bau anyir darah tercium sehingga satu yojana.
Di sisi lain neraka, udara dingin berbau busuk menyeruak membuat kulit dan
daging melepuh. Di dasar neraka itu, para Pandawa melihat orang tua mereka,
Pandu Dewanata dan Dewi Madrim disiksa dengan berbagai siksaan pedih. Mereka
ditusuk perutnya dengan jarum besi sebesar tombak hingga isi perut mereka
terburai lalu begitu tersungkur, punggung mereka disetrika dengan batu sepanas
matahari dan disemprot air yang sangat dingin sedingin es berbau busuk sampai
melepuh. Lalu di saat bersamaan, para Pandawa kecuali Prabu Yudhistira
tiba-tiba diseret sesuatu dan ketika Prabu Yudhistira menghampiri, tiba-tiba
pemandangan menjadi gelap dan menyesakkan dada. Di tengah kegelapan, Prabu
Yudhistira melihat jutaan pasang mata mengerikan menatapnya dengan raut yang
menghina dan melihat adik-adiknya berada dalam gentong besar dan hendak
dicampakkan ke neraka. “Hentikan.... tolong Hentikan! Jangan ! Jangan!” teriak
Prabu Yudhistira memecah keheningan malam. Prabu Yudhistira terbangun dari
mimpinya. Keringat bercucuran dari wajahnya. Dewi Drupadi ikut terbangun
kemudian menenangkan suaminya yang baru saja bermimpi buruk itu. “kanda, apa
yang mengganggumu?” tanya Dewi Drupadi. Balas Yudhistira “tidak dinda. Aku
hanya bermimpi buruk soal nasib kanjeng ayahanda dan ibu Madrim.” “kanda, mari
kita ke sanggar. Kita berdoa agar kanjeng ayahanda dan ibu Madrim ditempatkan
di tempat terbaik di sisi-Nya”
Di
kahyangan Jonggring Saloka, Batara Guru dan Batari Durga kedatangan putra
bungsu mereka, Dewasrani dari istana Nusarukmi di Kahyangan Dandangmangore. Dia
datang berkeluh kesah “Kanjeng romo! Kanjeng ibu, aku sudah tak tahan lagi.
Namaku disamai oleh Puntadewa dan ayahnya, Pandu Dewanata. Kalau Pandu sudah
kanjeng romo beri hukuman, aku tidak puas. Aku juga ingin kanjeng romo
menghukum Puntadewa. Di dunia ini tak boleh ada nama serba “dewa” kecuali para
dewa itu sendiri. Kalo tidak dituruti, aku lebih baik mati mencebur ke
Candradimuka“ sifat keibuan Batari Durga muncul.
Dia kasihan pada Dewasrani dan
membujuk sang suami agar menuruti keinginan putra bungsunya itu. “suamiku,
tolong turutilah keinginan putra bungsumu.” Batara Guru tidak tahan dengan
ratapan Dewasrani. Akhirnya dia memutuskan “baiklah, baiklah... aku memutuskan
raja Amarta itu harus dibawa ke neraka mau atau tidak mau. Kakang Narada aku
tugaskan kau ke Amarta sekarang. Jemput Puntadewa Yudhistira kemari lalu buang
dia ke neraka.” Batara Narada menjadi heran mendengarnya “welah dalah, adhi
Guru. Ini tak masuk akal sama sekali. Apa salah pembarep Pandawa itu? kalo
sekadar nama disamai, itu wajar. Lagipula yang bernama “dewa” bukan hanya dia.
Ada adiknya, Raden Sadewa atau sepupunya, Prabu Baladewa. Kenapa harus dia yang
dihukum? permintaan putra adhi Guru yang seorang dewa kenakalan dan dewa
kejahilan terlalu kekanak-kanakan.” Batara Guru marah dan memaki sang tangan
kanan “POKOKE RA PEDULI BLAS! Pokoke bawa si Puntadewa Yudhistira. Sekarang aku
beri pilihan, ikuti perintahku atau kau kudepak dari kahyangan? kakang Narada
sekarang keputusanmu.” “ adhi Guru, perintah memang perintah. Aku cuma
mengingatkan saja. Adhi Guru, segala perbuatan ada karmapalanya, bahakan
berlaku untuk kita para dewa.” Batara Narada segera turun ke marcapada menuju
Amarta.
Pernintaan konyol Dewasrani |
Perasaan
tidak enak menyelubungi sanubari. Di kerajaan Dwarawati, laut nampak tak
bersahabat seperti biasanya hari itu. Angin bertiup sangat kencang bagai badai.
Gelombang pasang menghantam tembok pulau Dwaraka hingga membanjiri sebagian
kotaraja. Prabu Kresna melihat gelagat awan di angkasa. Nampak tak biasa dan
berputar-putar. Tiba-tiba salah satu pusaka di ruang pusaka bercahaya terang. Ketika
di dekati rupanya pusaka Kaca Lopian memunculkan gambaran. Gambaran itu mirip
sekali dengan mimpi Prabu Yudhistira yang mengerikan beberapa malam lalu. “jadi
ini jawabannya, yang membuat aku tidak enak hati beberapa hari terakhir. Aku
harus ke Amarta sekarang.” Prabu Kresna segera menaiki kereta Jaladara dan
segera memecut pantas menuju Amarta.
Di
kerajaan Amarta, Prabu Yudhistira sedang dihadap keempat adiknya, yaitu, Arya
Wrekodara, Raden Arjuna, Raden Nakula, dan Raden Sadewa. Perasaan tidak enak terus
menggelayuti pikiran dan hatinya. Mimpinya yang beberapa hari itu selalu
berulang dan membuatnya tersiksa. Ketika mereka membahas masalah negara,
tiba-tiba batara Narada turun dari angkasa. Para Pandawa segera menghaturkan
sembah. Batara Narada datang untuk menyampaikan perintah dari Batara Guru yaitu
Prabu Yudhistira harus membuang nama Puntadewa didepan gelar Yudhistira dan
harus ikut Batara Narada untuk disiksa di neraka. Prabu Yudhistira terkejut
lalu berkata “Puntadewa adalah nama lahirku. Yang memberiku nama itu
ayahandaku, Pandu Dewanata. Sekarang ayahanda sudah meninggal, aku tak bisa
membuang namaku begitu saja. Bawalah aku saja ke neraka menemani ayahanda dan
ibunda Madrim. Masalah negara biar-adik-adikku yang mengurus.” “kakang Punta,
jangan pergi ke neraka. Siapa yang akan memerintah negara?” Arya Wrekodara
berusaha menahan kakaknya itu. dirinya kemudian berkata dengan tegas “pukulun
Narada, aku bersedia menjadi ganti kakang asal kakang prabu jangan masuk
neraka.” Lalu dari belakang Raden Arjuna dan si kembar juga menyatakan hal yang
sama “aku juga bersedia. ” “kami juga, buat apa kami hidup tanpa kakang. kakang
sudah menjadi pengganti ayahanda sejak kecil. ” batara Narada menjadi
serbasalah. Dengan berat hati, seluruh Pandawa dibawa oleh Batara Narada
kecuali Prabu Yudhistira. Dia dibebaskan sementara Arya Wrekodara, Raden
Arjuna, Raden Nakula dan Raden Sadewa dimasukkan ke dalam gentong ajaib lalu
oleh Batara Narada dibawa terbang ke kahyangan.
Hati
prabu Yudhistira serasa diiris sembilu. Mata sembab dan dada sesak seakan ingin
meluapkan segala yang ada. prabu Yudhistira hanya mampu terduduk dengan
tertunduk. Lalu, datanglah Dewi Kunthi dan bertanya “Punta, dimana
adik-adikmu?” Prabu Yudhistira menceritakan segalanya siapa tahu mendapatkan
solusi. Namun bukan solusi yang didapat namun hal lain yang jauh lebih
menyakitkan. Dewi Kunthi bersedih hati. Perasaan ibu mana yang tak terluka
mendengar putranya pergi dibawa orang dan saudaranya tak mampu membela. Dewi
Kunthi menjadi marah pada Yudhistira karena tak mampu melindungi adik-adiknya
dari arogansi para dewa. Tak pernah dia melihat sang ibu menjadi semurka itu.
Dengan berlinang air mata, Prabu Yudhistira berlari keluar keraton. Segala
emosi yang menyelimutinya membuat kepala dan dadanya terasa berat. Tangan sang
raja berdarah putih itu tanpa sengaja menyentuh dadanya yang sesak itu dan
mengenai Kalung Robyong Mustikawarih.
Tiba-tiba, jantung Prabu Yudhistira tersentak
keras, nafasnya terengah-engah juga pandangannya mulai kabur dan kosong. Bola matanya
berputar-putar lalu memutih. Prabu Yudhistira hilang kesadaran, lalu dia
berteriak keras. Suara teriakan itu tiba-tiba berubah berat menjadi erangan
yang bergemuruh di angkasa dan secara ajaib, tubuhnya berubah menjadi semakin
besar dan menakutkan. Prabu Yudhistira triwikrama menjadi raksasa mengerikan
berkulit putih maha besar jauh lebih besar dari gunung Mahameru bahkan besarnya
dua kali lipat triwikrama Batara Wisnu. Tangannya masing masing membawa kitab
Jamus Kalimahusada, panah tajam, tombak, dan tangan satunya dalam posisi mudra.
Rambut gimbalnya jauh lebih tajam dari segala pisau, keris, dan belati. Segala rasa
takut, duka, luka, murka, dan kecewa menggulung akal sehatnya membangkitkan
energi mahadahsyat. Duka kehilangan orang-orang terkasih tumpah menjadi
kemurkaan yang mengerikan “HUWOOOO....... KALIAN PARA DEWA DENGARKAN INI. AKU
BUKAN LAGI PUNTADEWA YUDHISTIRA YANG PENYABAR. AKU PRABU BATARA DEWA AMRAL.
KEMBALIKAN ADIK-ADIKKU ATAU KU OBRAK-ABRIK SELURUH KAHYANGAN PARA DEWA!
HUOOOOOOO!!!!!!”
Triwikrama Dewa Amral |
Prabu
Kresna terus memecut kereta Jaladara. Ketika hampir melewati tapal batas negara
di desa Karang Tumaritis, tiba-tiba terdengar suara teriakan yang berubah
menjadi erangan yang menggelegar. Suara itu datang dari luar kotaraja
Indraprastha. Prabu Kresna menghentikan laju kereta. Prabu Kresna tiba-tiba
merasa mual dan membayangkan aroma kematian karena ada hawa mengerikan yang
tercipta dari ketakutan, duka, murka, dan kecewa yang sangat kuat. Di tengah
lamunannya, Ki Lurah Semar mengejutkannya. Dia melihat Prabu Kresna tiba-tiba
bersandar di bawah pohon. “Welah dalah Mbelegedug.... ada apa, ndara Prabu
Kresna? Tiba-tiba menyandarkan diri?” “Ki Lurah, aku merasakan hawa mengerikan
dari Amarta. Aku takut terjadi sesuatu pada para Pandawa.” “aku juga merasakan
hal yang sama. Aku khawatir bila hawa mengerikan ini berkaitan dengan
kahyangan. Semalam aku mendapat pesan gaib dari ayahku, Batara Padawenang.
Katanya para Pandawa akan dihukum di neraka karena ulah Dewasrani.” Seketika
Prabu Kresna berubah raut mukanya, kecut seperti menyimpan kedukaan. Batara
Wisnu dalam dirinya seakan berbisik untuk berubah wujud menjadi Maha
Brahalasewu. Tangan sang prabu Kresna menyentuh Panah Aji Kesawa dan seketika Prabu
Kresna triwikrama menjadi raksasa besar berkulit hitam legam bertangan banyak.
Tanpa banyak bicara, Maha Brahalasewu segera menuju kahyangan. Sementara Ki
Lurah Semar memanggil anak-anaknya untuk menemui Raden Gatotkaca. “Gareng!
Petruk! Bagong! sekarang aku mau nyusul Pandawa ke Jonggring Saloka. Kalian ke
Pringgondani, panggil ndara Gatotkaca untuk menjaga Amarta.” “asiquuee,
akhirnya jalan-jalan “seloroh bagong. Gareng menimpalinya “Ngawur kamu, Gong. Bapak
nyuruh jaga negara dibilang jalan-jalan” Petruk kemudian menengahi “sudah-sudah,
kang Gareng. Yuk jalan. Gausah kayak emak-emak ghibah.” Mereka bertiga pun
berangkat.
Sementara
itu, Batara Narada dan keempat Pandawa telah tiba di Jonggring Saloka. Batara
Guru bertanya “ kok malah mereka berempat? Puntadewa Yudhistira kemana? “
dengan santainya, Arya Wrekodara berkata “Maaf pukulun, nyawa kakak kami jauh
lebih berharga untuk dikorbankan demi permintaanmu yang tak masuk akal itu.
Kami saja yang turun sebagai ganti korban,” batara Guru bertanya pada Dewasrani
apakah nyawa keempat Pandawa itu cukup untuk menebus kesalahan Prabu
Yudhistira. Dewasrani berpikir inilah kesempatan untuk menyebarkan kenakalannya
diantara manusia. Dengan lenyapnya empat Pandawa, segala sifat nakal dan
arogannya akan menyebar di muka bumi lebih mudah. Masalah Prabu Yudhistira bisa
dikesampingkan dan bisa dia habisi kapan saja. Lalu dia berkata “ayahanda,
keempat Pandawa sudah cukup bagiku” batara Guru kemudian memanggil Batara
Yamadipati untuk menggiring keempat Pandawa ke Kawah Candradimuka di dasar neraka.
Sesampainya
disana, Raden Arjuna berkata “Pukulun Yamadipati, sudah sampai disini saja
tugasmu. Biar kami sendiri yang terjun ke dasar.” Batara Yamadipati
mempersilakan. Begitu tubuh keempat Pandawa menyentuh lahar kawah yang mendidih
itu, terjadi keajaiban. Neraka kawah Candradimuka yang panas tak terkira
tiba-tiba berubah menjadi sejuk. Lahar yang tadinya bergejolak mendadak
berhenti dan berubah menjadi sedingin air pegunungan. Para Kingkara mendadak
keluar dari neraka dan heran kenapa suasana neraka berubah sejuk. Di dasar
neraka, empat Pandawa melihat dua orang yang familiar. Mereka tak lain adalah
Prabu Pandu Dewanata dan Dewi Madrim yang sudah berbadan ruhani. Keempat
Pandawa menangis terharu terutama Nakula dan Sadewa lalu memeluk kedua orang
tuanya itu. Arya Wrekodara dan Raden Arjuna memluk Pandu Dewanata sedangkan Nakula
dan Sadewa memeluk sang ibu, Dewi Madrim. “anak-anakku, bagaimana kabar kalian?
Ibu Kunthi bagaimana?” tanya Prabu Pandu Dewanata memecah keharuan “Arya
Wrekodara menjawab dengan bahasa polosnya “syukur pada Ida Sanghyang Widhi,
kami baik-baik saja. Kanjeng ibu Kunthi sehat.” Dewi Madrim bertanya
“anak-anakku, bagaimana dengan kabar di Marcapada?” Raden Nakula berkata “di
Marcapada baik-baik saja. Hastinapura tetap damai sentosa di perintah kanda
Prabu Duryudana. Untuk mengurangi ketegangan kami dan kakang para Kurawa, Kami
berlima telah berjaya mendirikan Kerajaan Amarta. Mandiri dan merdeka dari
Hastinapura” Kedua orang tua Pandawa itu menangis haru mendengar keberhasilan para
putra mereka. Raden Sadewa kemudian bertanya, “Ayahanda! Kanjeng ibu! Saat kami
mencebur ke kawah neraka ini aneh rasanya. Kok tidak terasa panas sama sekali
bahkan udaranya terasa sangat sejuk?” Prabu Pandu Dewanata menjelaskan bahwa
neraka Candradimuka ini akan terasa sejuk bila yang diceburkan ke dalamnya
adalah orang berhati baik dan tulus. Arya Wrekodara dan ketiga adiknya
bersyukur karena mereka bukan digolongkan orang yang berhati jahat. Tiba-tiba
mereka dikejutkan dengan suara keras yang amat memekakkan telinga dari luar
Candradimuka.
Suara
keras itu terdengar dari Lawang Selomatangkep. Datang sesosok raksasa putih
tinggi besar bertangan enam bernama Prabu Batara Dewa Amral mengamuk dan
menghancurkan pos jaga Batara Cingkarbala dan Balaupata. Lawang Selomatangkep
juga dibuka paksa sampai berderit keras. Para dewa, para bidadara dan bidadari,
berlarian kesana-kemari karena panik. Begitu memasuki kahyangan, para dewa
menyerang raksasa itu namun segala serangan itu tak sat pun mempan malah
berbalik pada mereka sendiri. Suara erangan dan teriakannya menggoncang
kahyangan dan gunung Mahameru. Lalu dia tendang segala benda dibawah kakinya
dan mencabuti segala pepohonan, bangunan, bebatuan besar, dan tanah cadas lalu
dilemparkannya ke segala arah. Kahyangan Jonggring Saloka rusak berat dibuatnya.
Taman Karang Kaendran berubah tertutup tanah dan batu, hampir tak bersisa.
Takhta Madeprawaka bergeser dari tempatnya. Balai Marakata dan Balai Marcukunda
terlempar dan hampir rubuh. Gunung Mahameru longsor dan memuntahkan awan panas
yang menyesakkan. Para bidadara dan bidadari yang dipimpin Batara Indra beramai-ramai
turun ke Marcapada menyelamatkan diri. Para dewa yang masih bertahan seketika
ciut nyali bahkan pingsan karena hawa membunuh yang dipancarkan Dewa Amral
sangat kuat dan begitu mengerikan, bahkan Batara Guru dan Batari Durga ikut
merasa mual karenanya “HUWOOOOO AKAN KU HANCURKAN SELURUH KAHYANGAN
DEWAAAA...!!!” Dewa Amral kemudian terjun ke Kawah Candradimuka di dasar neraka.
Sesampainya di dasar dia melihat keempat
adiknya bersama sepasang pria dan wanita. Dewa Amral datang lalu bersimpuh di
hadapan mereka. Mata sang raksasa sembab karena tahu yang dihadapannya itu
Prabu Pandu dan Dewi Madrim, ayah dan ibunya yang telah lama meninggalkan
mereka. Prabu Pandu Dewanata memeluk Dewa Amral “walau kau berubah wujud
seperti ini. Aku mampu mengenalimu putraku, Puntadewa.” “AYAHANDA ! KANJENG
IBU! TUGAS KAMI BERLIMA DI DUNIA MASIH BANYAK. AKU AKAN MEMBAWA MEREKA KELUAR
DARI NERAKA INI!. AKU JUGA AKAN MENGENTAS KALIAN DARI NERAKA DAN KU BAWA KE
SWARGA MANILOKA.” “putraku, kami tidak sengsara selama tinggal di neraka karena
amal-amal baik kalian dalam membela kebenaran dan keadilan . Sebalikanya
walaupun kami tinggal di Swarga Maniloka, kami akan merasa tersiksa bagai di
neraka jika kalian berbuat jahat di Marcapada. Apapun keputusanmu, kami akan
bahagia bila itu untuk kebaikan semua” Dewa Amral mengangkat keempat adiknya keluar
dari neraka dan segera meminta keadilan pada Batara Guru agar kedua orangtuanya
dimasukkan ke Swarga Maniloka. Kemudian sampailah mereka di depan takhta
Madeprawaka. Batara Guru dan Batara Narada datang lalu bertanya “Dewa Amral, perihal
nama “dewa” kau sudah tahu aku melakukan itu karena ulah Dewasrani, putraku. Tolong
maafkan lah dia.” “BATARA GURU, PERIHAL NAMA “DEWA” DAN DEWASRANI BISA AKU
LUPAKAN. TAPI SEKARANG SAATNYA KEADILAN. DALAM MIMPI, AKU MENYAKSIKAN SENDIRI
AYAH DAN IBUKU HIDUP DI NERAKA, DISIKSA. DOSA-DOSA AYAHANDA DAN KANJENG IBU
SUDAH LEBUR SETIMPAL DENGAN AZAB YANG DITERIMA. AKU KESINI MINTA KEADILAN
AYAHANDA DAN KANJENG IBU MASUK SURGAAAAA......!!!” Batara Guru diam seribu
bahasa tidak memberikan jawaban. Dewa Amral tak sabar lagi lalu mengamuk berniat
menghancurkan seluruh kahyangan. Batara Guru marah kemudian menembakkan sinar
trinetra namun meleset. Karena lengah, Batara Guru berhasil digenggam Dewa
Amral. Batara Narada menjadi ketar-ketir. Kahyangan kacau dan kini Batara Guru
tertangkap Dewa Amral. Lalu datanglah Maha Brahalasewu untuk meredam amarah
Dewa Amral. Dewa Amral menjadi semakin marah dan terus menggenggam Batara Guru
dengan kuatnya. Tiba-tiba tangannya ditampik dan Batara Guru terbebas dari
cengkraman. Ketika menoleh rupanya Maha Brahalasewu sudah ada di depannya. Dewa
Amral balas menyerang Maha Brahalasewu. Dewa Amral lalu membawa Maha
Brahalasewu ke tengah lapangan Repat Kepanasan.
Kedua triwikrama itu bertarung
tanpa henti. Seluruh kahyangan berguncang hebat. Keduanya bagaikan Batara Wisnu
dan Batara Dharma yang sedang berperang tanding. Kerusakan di alam kahyangan
membuat bumi gonjang-ganjing, langit kolap kalip, hawa panas dan dingin
bercampur menciptakan topan badai dahsyat.
Dewa Amral melawab Maha Brahalasewu |
Batara
Narada khawatir kalau kahyangan benar-benar hancur. Batara Narada tiba-tiba
mendapat pesan gaib dari Batara Padawenang di Alang-alang Kumitir “Narada, cari
jago agar kedua triwikrama itu tenang. Jago itu sekarang ada di Amarta. Dia
adalah perempuan dengan rambut berhiaskan jepit bunga teratai.” Batara Narada merasa
ini kesempatan untuk menghentikan Dewa Amral dan meredakan amarah Maha
Brahalasewu. Lalu dia kembali turun ke Marcapada. Di tengah perjalanan dia
bertemu Ki lurah Semar “adhi narada, ada apa kembali turun ke Marcapada?”
“kakang Semar, batara Padawenang memberiku pesan wangsit untuk menjemput jago
kahyangan yang bisa menenangkan kedua triwikrama. Jago itu seorang perempuan
dengan rambut berhiaskan jepit bunga teratai.” “adhi Narada, jago yang dimaksud
itu Gusti Permaisuri Drupadi, istri gusti Prabu Yudhistira. Mari ikut aku.”
Di
Keraton Indraprastha, Dewi Drupadi menerima kedatangan keponakannya, Raden Gatotkaca dari Pringgondani dan tiga
punakawan Gareng, Petruk, dan Bagong. Tak lama kemudian Batara Narada dan Ki
Lurah Semar turun dari angkasa. Batara Narada kemudian bercerita “Drupadi,
cucuku. Kedatanganku bersama kakang Semar kemari untuk menjemputmu menjadi jago
kahyangan. Kahyangan sekarang dikacaukan oleh raksasa putih. Tadinya ada bala
bantuan tapi bala bantuan itu kerepotan dan kini justru bertarung dengannya
sampai mati” Dewi Drupadi terkejut lalu bertanya“Ampun, pukulun. Bukan
bermaksud meragukan keputusan dewata tapi kenapa harus saya? Kenapa bukan
kakang Yudhistira atau adik-adik ipar? Kenapa bukan kakang Gowinda? Apa
istimewanya saya di hadapan dewa?” batara Narada berkata “saat ini Para Pandawa
ditawan oleh raksasa putih itu. Kedua raksasa itu butuh ditenangkan dan kamu
yang dirasa paling cocok untuk menenangkan mereka, cucuku.” Dewi Drupadi
menjadi bersemangat dan bersedia naik ke kahyangan.
Di
tengah Repat Kepanasan, debu panas dan tanah membumbung tinggi. Pertarungan
Dewa Amral dan Maha Brahalasewu terus berlangsung. Mereka bertarung cepat
bahkan mata para dewa tak mampu melihatnya karena laju sekali. Dewa Amral saling melempar seribu tombak
sementara Maha Brahalasewu melempar seribu anak panah hingga senjata-senjata
itu meledak di tanah. Ledakan
menyebarkan berton-ton debu dan pasir ke segala arah. Kahyangan Jonggring
Saloka menjadi diselimuti badai debu dan pasir. Tiba-tiba Dewa Amral dan Maha
Brahalasewu terhempas oleh daya kekuatan yang asing. Ketika mereka bangun,
mereka mendapati ada sesosok wanita duduk bersila di tengah Repat Kepanasan mengheningkan
cipta sambil menjapa mantra penenang jiwa. Sosok itu adalah Dewi Drupadi. Kedua
triwikrama menjadi lemah dan tak berdaya seketika. Akhirnya mereka berubah
kembali ke wujud semula. Dewa Amral badar kembali jadi Prabu Yudhistira dan
telah reda amarahnya sedangkan Maha Brahalasewu badar kembali menjadi Prabu
Kresna. Arya Wrekodara, Raden Arjuna, dan kembar Nakula-Sadewa keluar dari
persembunyian. Batara Narada kemudian menceritakan apa yang sebenarnya terjadi.
Dewi Drupadi bersyukur sang suami, para iparnya dan Prabu Kresna tidak-apa-apa.
Tiba-tiba
datanglah Dewasrani merasa kesal karena rencananya melenyapkan Pandawa telah
gagal. Dewasrani beserta pasukan siluman dan hantu dari Dandangmangore kemudian
menyerang para Pandawa. Arya Wrekodara berusaha mengusir pasukan siluman itu
namun kewalahan karena jumlah siluman dan hantu terlalu banyak. Lalu datang Ki
Lurah Semar mengeluarkan kentut
saktinya. Karena daya kentut sakti itu, Dewasrani dan pasukannya terhempas
kembali ke Istana Nusarukmi di Dandangmangore. Batara Guru dan Batari Durga khilaf
dari kesalahannya lalu meminta maaf karena terlalu menuruti keinginan Dewasrani
yang kekanak-kanakan dan arogan. Para Pandawa dan Prabu Kresna mengikhlaskan
itu. lalu Batara Guru berkata “untuk masalah orang tua kalian, Pandu dan
Madrim, aku sudah memutuskan mereka berdua sudah layak dientas dari neraka dan
kuperkenankan memasuki Swarga Maniloka.” Dewi Drupadi dan para Pandawa merasa
bersyukur dan berterima kasih. Setelah dirasa cukup, para Pandawa, Dewi
Drupadi, Prabu Kresna dan Ki lurah Semar kembali ke Amarta. Sementara para dewa
segera memperbaiki bagian-bagian kahyangan yang rusak.