Hai semua pembaca dan penikmat kisah-kisah pewayangan! Setelah hampir satu bulan vakum, penulis kembali bisa menulis kisah-kisah pewayangan dan kali ini penghabisan terakhir Mahabarata, jadi Kisah mahabarata resmi selesai. Kisah kali ini mengisahkan kelahiran Resi Astika, perlakuan tidak sopan Prabu Parikesit kepada Begawan Samiti yang berakhir dengan kematian Prabu Parikesit karena gigitan Naga Taksaka. Kisah diakhiri dengan Resi Astika menghentikan sesaji kurban ular yang dilakukan Prabu Udrayana dan diwedarkannya isi Kisah Mahabarata. Sumber kisah ini adalah Kitab Mahabharata karya Mpu Vyasa, https://id.wikipedia.org/wiki/Parikesit, https://id.wikipedia.org/wiki/Adiparwa, https://metrobali.com/negeri-terbelit-naga-taksaka/, https://id.wikipedia.org/wiki/Jaratkaru, https://en.wikipedia.org/wiki/Manasa, dan sumber-sumber lain di internet.
Alkisahnya, Dewi
Manasa, putri Batara Guru yang diaku sebagai adik Batara Basuki dan Naga
Taksaka, putra Dewi Kadru tinggal di sebuah hutan yang jauh di pedalaman. Di
gubuknya yang indah, hidup bersama para ular. Dewi Manasa adalah anak jelmaan racun
Halahala Kalakota yang dahulu ditelan Batara Guru saat pengadukan
Samuderamanthana. Ketika ia turun ke bumi, ia bertemu seorang pertapa bernama
Begawan Jaratkaru. Begawan Jaratkaru terlihat dalam kondisi kepayahan seperti
kelelahan. Dewi Manasa menolong sang begawan yang tengah kelelahan itu. Dewi
Manasa lalu bertanya “ampun resi agung, kenapa kau bisa sepayah dan selelah
ini? Apakah tuanku tidak makan apapun?” Bukankah di hutan ini banyak bahan
makanan yang bisa kau konsumsi?” Jaratkaru berkata “ hai wanita cantik, aku
pergi seorang diri mengembara dan mengunjungi berbagai tempat suci dan
petirtaan. Bahkan aku berpantang untuk makan dan tidur, serta hanya
mengandalkan udara semata untuk bertahan hidup, hingga akhirnya aku berusia tua
seperti sekarang ini.” Lalu Dewi Manasa menghidangkan makanan dan minuman
untuknya namun ia menolak makan. Ia hanya menenggak secawan besar air untuk
mengganjal perutnya.
|
Begawan Jaratkaru dan Dewi Manasa |
Setelah dirasa kenyang, Begawan Jaratkaru lalu melanjutkan
ceritanya. Begawan Jaratkaru bercerita “dalam perjalananku, aku mencium bau
wangi akar narwastu lalu aku mencium sumber wangi itu berasal dari sebuah pohon
dengan lubang besar menganga di bawahnya. Aku melihat sukma ayah, ibu, kakek,
nenek, dan para leluhurku sedang tergantung dengan posisi kepala menghadap
bawah, yang terdapat sebuah lubang mengarah ke neraka. Kaki mereka terikat dengan
tali dari jalinan rumput wangi (akar narwastu) yang digerogoti oleh tikus.
Mereka mencaciku yang memutuskan untuk membujang selamanya sehingga mengakhiri
garis keturunan. Mereka lalu membujukku untuk menikah dan melanjutkan keturunan
agar bisa berangkat ke swargamaniloka.” Dewi
Manasa kemudian tertarik dengan kisah sang begawan dan meminta melanjutkan
ceritanya. Namun setelah didesak, sang
begawan melanjutkan. Begawan Jaratkaru berkata “Pada awalnya aku menolak untuk
mengikuti bujukan mereka, tetapi aku terus dirayu-rayu dan akhirnya akhirnya aku
menyanggupi dengan syarat: pertama, wanita yang
dipilihnya harus bersedia menikah atas kemauan si wanita sendiri dan yang
kedua, si wanita bersedia untuk tidak dinafkahi lahir olehku. Dalam
kondisiku yang kian tua dan miskin, aku terus berkelana untuk mencari pasangan
yang sesuai keinginanku. Saat berada di dalam hutan, aku berdoa tiga kali untuk
memohon pasangan hidup demi menunaikan janjinya kepada leluhur. Tapi setelah
tiga kali aku berdoa, tetap saja Dewata diam saja. Aku frustrasi, sedih, marah,
kecewa...campur aduk sudah rasanya...usahaku terasa percuma dan sia-sia. Aku
pun pergi kabur kanginan hingga sampai seperti ini.” Dewi Manasa pun merasa
inilah mungkin yang dikatakan sang kakak dahulu “kelak akan datang seorang
perjaka tua yang putus asa dan akan menjadikanmu pasangannya. Kelak darinya
pula, akan lahir seorang anak yang cerdas dan bisa membantu hubungan baik antara
para naga dan manusia.” Dewi Manasa pun berkata “ tuanku, ambillah diriku
sebagai pasanganmu. Nikahilah aku. aku bersedia dengan hati rela dan ikhlas.
Aku bersedia tidak kau nafkahi secara lahir. Cukup menjadi pasanganmu sudah
membuatku bahagia.” Begawan jaratkaru pun tak percaya dengan yang diucapkan
Manasa. Ia akhirnya menemukan orang yang ia cari-cari dan itu sesuai dengan
kriterianya. Singkat cerita, di tengah hutan yang indah itu, digelarlah
pernikahan antara Begawan Jaratkaru dan Dewi Manasa. Datang pula Batara Guru,
Batari Durga, dan Batara Basuki memberkahi pernikahan sang putri. Setelah
menikah, Jaratkaru tinggal di gubuk istrinya. Begawan Jaratkaru memperingatkan
istrinya bahwa ia akan minggat apabila sang istri mengecewakannya dua kali,
sehingga Manasa melayani suaminya dengan penuh perhatian. Benar saja, selama
tinggal di sana, sang begawan asik terlarut dalam semadhinya. Jarang sekali ia
menggauli isterinya itu atau membantunya dalam hal rumah tangga. Meski
demikian, Dewi Manasa memang isteri berbakti. Keinginan suami dituruti.
Sepanjang hari ia juga banting tulang mencari kayu bakar, bahan makanan, dan
menyiapkan segala keperluan suaminya. Seiring
berjalannya waktu, Manasa pun hamil. Hal itu membuat keduanya bahagia bukan
main dan setelah sembilan bulan lamanya mengandung, akhirnya lahir seorang anak
lelaki. Nama anak itu ialah Bambang Astika.
Segalanya baik-baik
saja sehingga semakin lama beban Manasa semakin berat. Sesabar-sabarnya isteri
tapi jika dapat pria yang cuma bisa menumpang hidup rasanya menyiksa. Lelah dan
letih rasanya. Pada suatu pagi, Dewi Manasa kelelahan karena sepanjang hari
sebelumnya ia kelabakan harus mengurus rumah, merawat Astika, dan menyiapkan
segalanya untuk sang suami sendirian tanpa pembantu atau teman sehingga Dewi Manasa
ketiduran dan bablas sampai siang. Jaratkaru pun ikut bangun kesiangan sehingga
ia melewatkan pamujan trisandhya pagi. Sang begawan murka dan terjadilah
pertengkaran. Begawan Jaratkaru pun mengancam untuk mengusir sang isteri ke
neraka karena dianggap sebagai istri yang lalai. namun akhirnya ia berhasil
ditenangkan oleh Batara Surya. Batara Surya memberikan nasehat “Jaratkaru, kau
harusnya malu pada dirimu yang malas! Kau harusnya bersyukur punya isteri
berbakti dan baik hati. Jangan hidup serba enak menumpang tanpa beban. Dunia
ini bukan sekadar kegiatan rohani tapi juga jasmani. Keegoisanmu di masa lalu
telah memberatkan hidup orang lain!” Begawan Jaratkaru pun meminta maaf dan
berjanji tidak akan mengulanginya lagi. Sejak itu, Begawan Jaratkaru bersedia
melepas kriteria isterinya yakni ia bersedia menafkahi Manasa lahir dan batin.
Begawan Jaratkaru kembali hidup dengan penuh kerja keras. Sekarang selain
bersemadhi, kini Jaratkaru lah yang bertugas mencari kayu bakar dan mengambil
air, sementara Manasa cukup mengurus Astika kecil dan membersihkan rumah.
Hari-hari yang dilalui Begawan Jaratkaru dengan normal. Namun karena usia
Jaratkaru yang memang sudah tua, ia merasa kelelahan tak kuat membawa beban
berat. Hal itu membuatnya gampang capek dan akhirnya pada suatu hari, karena
saking lelahnya, ia ketiduran. Pada saat itu, sang resi tertidur di pangkuan
istrinya setelah lelah mencari kayu bakar. Sang begawan tertidur lelap sangat
sehingga sudah hampir tiba waktunya matahari terbenam yang artinya sebenta lagi
masa untuk melakukan pamujan trisandhya sandekala. Di dalam tidurnya, Jaratkaru
mendapat penglihatan dari para dewa-dewi bahwa sebentar lagi ia harus pergi
meninggalkan isterinya. Sementara itu, Manasa menghadapi dilema. Ia bingung
untuk memilih apakah lebih baik membangunkan suaminya, atau membiarkan suaminya
tertidur sehingga melewatkan trisandhya sandekala. Akhirnya Manasa memilih
pilihan yang pertama. Ia berbisik di telinga suaminya agar terbangun untuk menyiapkan
sesajen. Tindakan tersebut membuat sang resi marah. Ia berkata bahwa matahari
tidak akan berani untuk terbenam sebelum Jaratkaru melaksanakan pamujan.
Jaratkaru pun meninggalkan Manasa, meskipun sang istri telah meminta maaf dan
mengakui kesalahannya. "Hai suamiku, maafkan dinda! Bukan maksud dinda
menghina kakanda, saat aku membangunkan kakanda. Dinda hanya mengingatkan saat sembahyang kakanda,
tiap senja. Salahkah itu, apakah aku harus menyembah kakanda? Seyogyanyalah
engkau kembali ... kakanda. Karena aku telah melahirkan, anak kita ini akan
menghapuskan korban ular bagi saudara-saudaraku, dan kakanda dapat membuat
tapabrata lagi." Mulai dari hari itu, pernikahan antara Begawan Jaratkaru
dengan Dewi Manasa sang putri ular berakhir. Anak tersebut dipeliharalah oleh Batara
Basuki, dididik serta diasuh menurut segala apa yang diharuskan bagi brahmana,
dirawat dan diberi kalung brahmana. Dengan lahirnya Bambang Astika, maka arwah
yang menggantung di ujung bambu itu dapat melesat pulang ke alam kelanggengan,
menikmati pahala tapanya, yaitu tapa yang luar biasa. Patuhlah Astika, sehingga
dapat membaca Weda. Diijinkannyalah dia untuk mempelajari segala sastra,
mengikuti ajaran Bhrgu. Bambang Astika tinggal dengan ibu dan pamannya
sampai beberapa lama sehingga Astika sudah cukup umur. Setelah remaja, Dewi
Manasa harus kembali ke kahyangan bersama kedua kakak angkatnya, Batara Basuki
dan Naga Taksaka. Bambang Astika pun pergi berkelana. Setelah cukup ilmu, ia
mengajar ilmu dan hikmah lalu mendirikan padepokan di pinggir Wanamarta.
Pada suatu ketika,
Prabu Parikesit sedang pergi berburu di hutan Wanasengkala. Di sana ia berhasil
mendapatkan bidikan seekor kijang namun karena panahnya tidak benar-benar
melukainya, kijang itu berhasil kabur dan menghilang di balik kegelapan hutan.
Prabu Parikesit pun mengejarnya dan tak menemukannya. Lalu di dekat sebuah
pohon beringin besar, ada sebuah gubuk tua. Gubuk itu nampak reot dan rusak.
Bahkan saking reotnya, beberapa ekor tikus dan juga tampak sebuah liang tempat
ular bersarang di sana. Prabu Parikesit berhasil mengusir tikus-tikus tersebut
dan membunuh ular yang ada di dalam liang itu. setelah membereskan gubuk itu,
Prabu Parikesit beristirahat. Ketika ia masuk ke dalam gubuk, ia baru sadar
kalau gubuk ini ada yang menempati. Yaitu seorang pertapa. Prabu Parikesit
mengenali pertapa itu, ialah Begawan Samiti. Gubuk ini ternyata tempat tinggal
begawan Samiti. Karena terlalu
kelelahan, tanpa izin sang begawan Prabu Parikesit pun langsung beristirahat
setelah lelah melakukan perburuan. Ketika itu Begawan Samiti sedang melakukan
tapa mbisu. Karena masih kepikiran soal buruannya yang hilang, Parikesit pun bertanya
“ampun Bapa, adakah Bapa tau mana seekor kijang lewat rumah bapa? Itu buruan
patik yang berhasil kabur.” Begawan Samiti hanya bergeming, diam membisu. Tak
ada sepatah kata dua kata terucap dari bibir sang begawan yang kering itu,
karena pantang berkata-kata saat bertapa apalagi tapa ini jenis tapa mbisu.
|
Prabu Parikesit mengalungkan bangkai ular di leher Begawan Samiti |
Berkali-kali
prabu Parikesit meminta sang begawan menjawab pertanyaannya namun hanya hening
yang ada. Sang begawan tetap saja diam. Setelah pertanyaannya berkali-kali
tidak digubris, Prabu Parikesit merasa dongkol hati “Dasar Begawan Bodoh! Kau
Ini Benar-Benar Bisu Tuli dan Hanya Suara Nafasmu yang Ku Dengar!? Suara Hela Nafasmu
Seperti Desisan Ular!!” Dengan penuh
kemarahan Prabu Parikesit mengambil bangkai ular yang tadi ia bunuh lalu dengan
anak panahnya, lalu mengalungkannya ke leher Begawan Samiti. Prabu parikesit
pun pulang ke Hastinapura dengan perasaan dongkol dan kecewa.
Salah seorang murid
Begawan Samiti yakni Wasi Kresa baru saja kembali dari berburu dan mendengar
seseorang marah-marah. Ia lalu mendekat ke gubuk dan menyaksikan tindakan tidak
sopan Prabu Parikesit dengan mengintip dari balik celah gedhek (dinding anyaman
bambu). Wasi Kresa pun pergi mengendap-endap meninggalkan gubuk sebelum sang
prabu menyadari keberadaannya. Singkat cerita, Wasi Kresa datang ke rumah putra
Begawan Samiti yakni Resi Srenggi. “Den bagus! Den Bagus Srenggi! Buka
pintunya, den! Ini aku Kresa! Resi Srenggi pun membuka pintu dan menenangkan
Wasi Kresa “Hei Kresa, tenang dulu.... ada apa kok nampak terburu-buru?” lalu
Wasi Kresa menceritakan kejadian yang ia saksikan tadi kepada sang putra Samiti
tersebut. Resi Srenggi kaget dan segera
pergi ke rumah bapaknya dan melihat ayahnya sendang bertapa bisu namun telah
berkalungkan bangkai ular dan ada anak panah milik Prabu Parikesit di dekatnya.
Resi Srenggi sangat murka lalu menyumpahi Prabu Parikesit “Parikesit! Dasar
Raja Bodoh! Orang Sedang Bertapa Malah Kau Perlakukan Tidak Hormat! Aku Sumpahi
Kau Akan Mati digigit Ular Tujuh Hari Dari Sekarang!”Sumpahan Resi Srenggi
diiringi suara gelegar halilintar dan kelit yang menyambar-nyambar menakutkan. Begawan
Samiti terbangun dari tapa bratanya dan merasa kecewa terhadap perbuatan
putranya tersebut “Srenggi?!” bentak Begawan Samiti. resi Srenggi pun menoleh
dan melihat sang ayah sudah bangun “ampun, bapa...jangan hukum daku...anak mana
yang tidak sakit hati yang melihat ayahnya diperlakukan tidak adil, apalagi
oleh seorang raja!” Begawan Samiti lalu berkata “kesabaranmu belum di tahap
puncak, Srenggi! kau sudah berani mengutuk raja yang telah memberikan kita
tempat berlindung. Kita bisa hidup di negaranya sudah bersyukur!” lalu Begawan
Samiti meminta Resi Srenggi menyucikan pikirannya dahulu. Akhirnya Samiti
berencana untuk membatalkan kutukan putranya. Ia lalu mengutus muridnya yang
tak lain Resi Utangka. Resi Utangka sebelumnya pernah berguru kepada Begawan
Weda, murid Begawan Dhomya. Resi Utangka pun datang kepada Prabu Parikesit di
Hastinapura. Sesampainya di istana, Patih Harya Dwara bersama ketiga putra
Parikesit yakni Raden Janamejaya (Udrayana), Raden Indrasena (Ramayana), Raden
Ramasena (Ramaparwa), lalu diikuti Tumenggung Wisangkara, dan Panglima
Wiratmaka bersama para keturunan Pandawa lainnya menyambut Resi Utangka dengan
hormat. Resi Utangka pun membeberkan apa tujuannya datang ke hastinapura “ampun
gusti Paduka, kedatangan patik kemari untuk Paduka agar datang kembali ke
pertapaan guru saya, Begawan Samiti. Putra guru, den bagus Srenggi telah
mengutuk pasu Paduka agar mati karena gigitan ular karena perbuatan paduka.
Karena itulah , paduka telah diundang guru ke pertapaan demi melindungi diri
Paduka.” Resi Yodeya, yang tak lain ayah dari Endang Yodini mendukung apa yang
dikatakan Resi Utangka “anak prabu, baiknya kau datang penuhi undangan Begawan
Samiti.” Lalu kakek Semar memberikan petunjuknya “hmm...ndoro prabu...
dengarkanlah Den bagus Resi Utangka dan den bagus Yodeya... ini demi kebaikan ananda prabu.” tetapi
sang raja menjaga gengsi dan malu saat mendengar tawaran begawan Samiti, Resi
Yodeya, dan Kakek Semar. Ia memilih untuk berlindung “tidak, tuan resi...aku
malu jika harus bertemu dengan gurumu. Gurumu terlalu baik untukku. Aku akan
melindungi diriku di balik tembok istana yang kokoh ini.” Maka hari itu segera
dibangun tembok besar dan menara mengelilingi istana dan dalem puri. Selama
beberapa hari itu, penjagaan semakin ketat dan jalan juga lorong menuju kamar
sang raja Hastinapura juga dilengkapi oleh perangkap-perangkap mematikan. Sang
raja mengisolasi dirinya sendiri demi terhindarkan dari kematian. Di
sekeliling menara juga telah siap para tabib yang ahli menangani bisa ular.
Di tempat penyucian diri,
Resi Srenggi masih merasa marah kepada Prabu
Parikesit kemudian
ia berdoa memanggil para
naga dan ular. Tak lama kemudian, datang dari langit, seekor naga sakti
terbang ke arahnya, yaitu naga Taksaka. Naga Taksaka pun
bertanya kepada sang resi “ada apa kiranya Resi memanggilku?” “hamba memanggil
tuanku karena suatu tugas. Tugas dari hamba ialah menghabisi Prabu Parikesit
karena dia telah menghinaku dengan mengalungkan bangkai dari bangsa tuanku di
leher ayahku seakan-akan hendak menantangku.” Naga Taksaka merasa diatas angin
“kebetulan sekali tuanku memenggil saya. Saya juga ada dendam pribadi dengan
Arjuna dan keturunannya karena pernah mengusirku dahulu. Apapun keingiananmu
akan aku kabulkan.” Maka berangkatlah Naga Taksaka pergi ke Hastinapura untuk melaksanakan perintahnya
menggigit raja Parikesit. Penjagaan di Hastinapura sangat ketat. Sang Prabu berada dalam menara tinggi di tengah
kamarnya dan dikelilingi
oleh prajurit, brahmana, dan ahli bisa. Naga Taksaka pada awalnya mengalami
kesulitan untuk menjalankan perintah itu.
Akhirnya pada hari ketujuh, yaitu hari yang diramalkan menjadi hari
kematiannya sang Prabu, naga Taksaka meminta saudaranya yakni Naga Kaliya
untuk menyamar menjadi seorang pelayan dan dia akan menyamar menjadi ulat dan masuk ke dalam
buah jambu yang dihaturkan kepada
Sang Prabu. Pelayan jelmaan naga Kaliya pun masuk ke
kamar sang prabu “ampun paduka, ini saya pelayanmu....hamba datang memberikan
makanan untuk makan malam hari.” Prabu Parikesit pun berkata di tangga rahasia
menara. “letakkan makanannya di depan pintu tangga. biar aku yang mengambilnya
sendiri.” Setelah pelayan itu pergi,
Prabu Parikesit membuka pintu tangga. Ia pun melihat keluar jendela, hari sudah
hampir gelap. Prabu parikesit pun mengambil buah jambu itu sambil berkata
mengejek “ahahaha...sudah hampir malam dan hari akan berganti...sumpah Srenggi
sudah tawar karena kecerdasanku menghindari kematian. Ah..aku lapar.... aku
makan saja jambu ini.”
|
Parikesit Lena |
Pada saat Prabu Parikesit menyantap jambu yang dihidangkan,
Tiba-tiba seekor ulat keluar dari buah itu dan lalu berubah wujud kembali
sebagai Naga Taksaka. Prabu Parikesit kaget dan ketakutan. Ia berlarian ke sana
kemari. Suara minta tolong terdengar lantang namun sudah terlambat. Kutukan tersebut menjadi kenyataan., naga Taksaka melilit
tubuh sang raja, menggigit
dan menyuntikkan bisa racunnya.
Tubuh sang prabu pun perlahan terbakar dan perlahan meleleh oleh bisa panas dan
korosif milik Taksaka. Naga Taksaka pun terbang menembus atap menara istana
dengan gembira hati karena dendamnya dan dendam resi Srenggi telah terbalaskan.
Orang-orang di istana
melihat di kejauhan kamar raja terbakar. Raden Janamejaya bersama lainnya
menuju ke kamar itu. Perangkap-perangkap maut di lorong kamar ayahnya segera
di-nonaktikan. Ketika memasuki kamar, benar kamar itu terbakar tapi api itu
tidak menyebar, hanya terpusat di satu tempat yakni di dekat pintu tangga
menara. Di sana ia tidak melihat ayahnya melainkan hanya mahkota dan pakaiannya
saja tergeletak dan di dekatnya ada setumpuk abu juga beberapa sisik ular naga.
Raden Janamejaya sangat sedih karena ayahnya telah tewas digigit naga sama
seperti yang dikatakan Resi Utangka tujuh hari yang lalu. Setelah tujuh hari
perkabungan, Raden Janamejaya dilantik sebagai raja Hastinapura. Ia pun memakai
nama saat pengembaraannya yakni Prabu Udrayana.
Setelah menjadi raja,
Prabu Udrayana melakukan sesaji Aswamedha (kurban kuda) dan menaklukan kembali
kerajaan Gandaradesa lalu datanglah lagi Resi Utangka. Di sana mereka melepas
rindu. Prabu Udrayana lalu bercerita “Resi...ketahuilah setelah ayahnda
meninggal karena Naga taksaka beberpa bulan yang lau masih menyisakan trauma
padaku dan keluarga. Apa salah ayahnda sampai harus menerima kutukan itu?” Resi
Utangka lalu membeberkan alasan dibalik kematian Prabu Parikesit“gusti paduka,
ketahuilah paduka bahawa kematian ayahanda paduka karena dulu Naga Takska punya
dendam pada keluarga paduka dan dendam itu mendapat jalan lantaran Resi
Srenggi.” Prabu Udrayana terhenyak “apa maksudmu, resi?” Resi Utangka lalu
menjelaskan “ paduka, sebenarnya karena setelah mengutuk, den bagus Resi
Srenggi juga mengutus naga Taksaka untuk menghabisi ayahnda paduka.” Prabu Udrayana
menjadi marah mendengarnya. Ia pun berlalu pergi.
Singkat cerita, sekembalinya
dari Gandaradesa, Prabu Udrayana berbincang dengan para sesepuh “para
tumenggung, patih dan paman-pamanku sekalian. Aku telah mendengar penjelasan
dari Resi Utangka bahawa ayahanda meninggal karena ulah Naga Taksaka yang punya
dendam pribadi pada keluarga kita. Aku akan mengadakan upacara sesaji Sarpa
Yadhnya, sesaji untuk membunuh semua ular dan naga demi ketenangan
ayahnda.” Para sesepuh kaget
mendengarnya. Lalu adik pertama sang prabu yakni Raden Indrasena menyampaikan
pendapatnya “kakang prabu, apa tidak terlalu berlebihan? Hanya karena satu ular
naga yang bersalah, semua harus dikorbankan? Ingat kakang, ular juga punya
peran penting di dunia sebagai pembasmi hama tikus. Raja naga Anantaboga juga
adalah kakek canggah kita dari eyang Antareja.” Prabu Udrayana berkata “aku
tidak peduli, dinda Indrasena. Karena gigitan ular pula ayah kita meninggalkan
kita semua. Dinda Ramasena, cepat siapkan sarana upacara yadhnya !” Raden
Ramasena hanya bisa menyanggupi “baik, kakang prabu. Perintahmu segera ku
laksanakan.” Keputusan Udrayana sangat disesalkan oleh para sesepuh terutama
oleh Arya Danurwenda, sepupu ayahnya yakni putra Antareja juga Tumenggung
Wiratmaka, putra Irawan yang kakek dari pihak ibu adalah tumenggung istana
Jangkarbumi, kerajaan para naga. Beberapa hari kemudian, Raden Indrasena dan
Raden Ramasena menyiapkan segala kebutuhan upacara dan mengundang para pendeta,
ajar, resi, dan ahli mantra untuk membantu proses upacara. Setelah sarana dan
prasarana sudah lengkap, sang raja menyelenggarakan Sesaji Sarpa Yadhnya. Api
di tungku pengorbanan berkobar-kobar. Dengan mantra-mantra suci yang dibacakan
oleh para brahmana dan resi, beribu-ribu ular (naga) melayang di langit bagaikan
terhisap dan lenyap ditelan api pengorbanan. Di istana Jangkarbumi, Arya
Danurwenda juga pangeran ular naga merasakan dada dan kulitnya terbakar karena
ia bisa merasakan kesakitan dan penderitaan para ular yang terbakar api yadhnya.
Karena keadaan semakin tidak baik-baik saja, Arya Danurwenda segera memberitahu
para sepupunya yakni Prabu Sasikirana, Tumenggung Wiratmaka dan Raden
Antasurya. Setelah berkumpul di istana Jangkarbumi, semuanya kaget melihat
tubuh Danurwenda yang dipenuhi luka bakar “Kakang Danurwenda, kenapa dengan
tubuh kakang? Tubuh kakang terlihat gosong.” Tanya Antasurya. Danurwenda lalu
berkata “ini karena ananda Prabu Udrayana melakukan sesaji Sarpa Yadhnya.
Kalian kan tahu aku juga pangeran ular naga.” Prabu Sasikirana membenarkan
“benar juga. Upacara ini tidak boleh diteruskan. Bisa-bisa semua ular dan naga di
seluruh dunia habis.” “benar kakang, tapi apa yang bisa kita lakukan?” tanya
Tumenggung Wiratmaka. Lalu datanglah bersama kakek Semar Arya Wisangkara
membantu “kakang semua, mungkin aku bisa memberikan solusi!” Prabu Sasikirana bertanya apa solusinya. Arya
Wisangkara berkata bahawa mereka Kerajaan Nagaloka di kahyangan.
Singkat cerita, para cucu pandawa ditemani kakek Semar
terbang ke kahyangan bertemu Naga Taksaka. Sesampainya di kahyangan, angin
panas tiba-tiba bertiup kencang. Arya Danurwenda semakin merasa kesakitan. Ia
tak kuat lagi berjalan dan tubuhnya seakan-akan ditarik ke bawah ke arah api
yadhnya yang menyala berkobar-kobar. Prabu Sasikirana segera menggendong
sepupunya itu.
|
Naga Taksaka disedot kekuatan mantra Sarpa Yadhnya |
Ketika sampai di istana Nagaloka, para cucu Pandawa melihat Naga
Taksaka mengalami hal yang sama seperti Danurwenda. Tubuh sang naga menjadi
lemah dan seakan tersedot, ditarik kekuatan mantra api yadhnya. Prabu
Sasikirana, Arya Wisangkara, dan Raden Antasurya segera menolong sang naga.
Naga Taksaka bertanya “hei keturunan pandawa, apa yang kalian lakukan disini?”
raden Antasurya berkata “naga Taksaka, bantu kami untuk menghentikan sesaji
kurban ular yang dilakukan ananda prabu Udrayana.” “benar, tuanku naga Taksaka.
Hanya tuan yang bisa membantu kami.” Ucap Tumenggung Wiratmaka Naga Taksaka lau menjawab “tidakkah kalian
melihat, aku juga tidak bisa membantu. Aku ikut tersedot.....” belum sempat
melanjutkan bicara, Naga taksaka terhisap angin panas semakin jauh. Untungnya
saja, ia masih berpegangan pada jubah milik Sasikirana dan kebetulan ia sedang
terbang. Naga Taksaka lalu teringat tentang keponakannya Bambang Astika. Naga
Taksaka berkata pada para cucu Pandawa “cucuku, aku tahu siapa yang bisa
membantu kita.” Dengan sisa kekuatannya, Naga Taksaka menyuruh Sasikirana turun
ke Hutan Wanamarta. Maka turunlah mereka ke Hutan Wanamarta. Sementara, kakek
Semar akan pergi ke tempat lain untuk menemui seseorang.
Tanpa disadari mereka,
sukma Maharesi Abiyasa yang tak lain kakek canggah mereka yang ada di kahyangan
memperhatikan mereka. Maharesi Abiyasa segera berdoa “ohh pukulun dewata,
bantulah para cicit piutku agar bisa menyadarkan Udrayana.” Tak lama kemudian
datanglah batara Ganesa “Abiyasa, aku telah datang menjawab doamu. Solusi untuk
masalah ini akan aku tuliskan di dalam sebuah kitab. Kitab tentang leluhurmu,
dirimu, dan keturunanmu akan kutulis secara terperinci.” Batara Ganesa segera menyiapkan
daun-daun lontar dan menuliskan semua isi kitab itu, dimulai dari kisah para
leluhur kerajaan Hastinapura, lalu dilanjutkan kehidupan kerajaan di
Hastinapura dari Santanu hingga Abiyasa, kehidupan Dretarastra, Pandu Dewanata,
dan Arya Widura beserta pernikahan mereka, kisah keluarga Yadawa, kelahiran
Pandawa dan Kurawa, masa muda mereka, berdirinya Amarta, permainan dadu,
pengasingan dan penyamaran, Bharatayudha hingga akhirnya pada pengorbanan ular.
Semua ditulis dengan rinci tanpa satu bab pun terlewat. Dengan kecepatan daya
ingat sang Batara Ganesa, Kitab Mahabarata pun berhasil dituliskan. Sukma
Maharesi Abiyasa lalu turun ke bumi untuk memberikan kitab itu kepada salah
satu muridnya yakni Begawan Wesampayana. Kala itu Begawan Wesampayana sedang
tidur dan didatangi gurunya itu lewat mimpi “muridku yang terkasih...terimalah
kitab ini dan sampaikan kepada Udrayana, cucu cicitku kisah tentang kakek
buyutnya dan alasan kenapa Taksaka harus menghabisi Parikesit yang sebenarnya.”
“baiklah guru....hamba terima kitab ini” tak lama, Begawan Wesampayana bangun
dengan keringat bercucuran dan mendapati sebuah kitab. Kitab itu sama seperti
yang diberikan sang guru lewat mimpi.lalu datang kakek Semar “Wesampayana! Kau
ada di padepokan? Keluarlah, ini aku kakek Semar” Begawan Wesampayana pun
keluar dari padepokannya. Ia menyambut sang punakawan yang telah menemani
gurunya dan para Pandawa itu. Baegawan Wesampayana berceritera “kakek, tadi aku
baru saja mendapat mimpi dari guru dan mendapat kitab Mahabarata yang Beliau
dapat dari Kahyangan.” Kakek Semar pun ikut bercerita bahwa sekarang ada
huru-hara di Hastinapura dan dan mungkin sang guru memberinya kitab itu untuk
meredam huru-hara yang terjadi. Tanpa banyak waktu, berangkatlah mereka berdua
ke Hastinapura dan tak lupa pula Begawan Wesampayana membawa kitab Mahabarata.
Sesampainya di hutan,
Naga Taksaka segera memanggil sang keponakan. Lalu berdirilah seorang resi
muda. Ia lah Bambang Astika atau sekarang ia dikenal sebagai Resi Astika. Sang
pandita muda itu menyambut kedatangan mereka. “salam paman Taksaka. Dan kalian
pasti para cucu Pandawa itu. suatu kehormatan bisa bertemu kalian.” Naga
Taksaka dan lainnya menerima salam Resi Astika. Sang resi lalu betanya” ada apa
paman taksaka dan para cucu Pandawa yang agung menemuiku?” Naga Taksaka
menceritakan setiap kejadian dari awal hingga akhir. Naga Taksaka meminta
bantuan kepada Astika untuk menggagalkan upacara sesaji Prabu Udrayana
“keponakanku, setelah mendengar kisahku, aku minta tolong segera hentikan
sesaji Sarpa Yadhnya milik Prabu Udrayana.”
|
Resi Astika menghentikan sesaji Sarpa Yadhnya |
Resi Astika menerima tugas tersebut
lalu pergi ke lokasi upacara sesaji. Di sana angin yang sangat panas berhembus
sangat kencang menarik semua ular dan naga ke tengah api yang marak. Resi
Astika lalu mendekati Prabu Udrayana. Ia menyembah-nyembah sang raja Hastinapura
memohon agar Sang Raja membatalkan yadhnya “ampun Paduka Prabu, tolong hentikan
upacara ini. Keseimbangan alam akan goyah jika bangsa ular tidak ada.” Prabu
Udrayana bertanya “apa hubungannya ini denganmu? Memang siapa kau bernai
meminta begitu?” Resi Astika menajwab “aku Astika, putra Dewi Manasa sang dewi
ular. Kakekku Batara Guru dan Batari Durga. Pamanku Batara Basuki dan Naga
Taksaka yang akan paduka habisi. Aku mohon dengan kemurahan hati paduka
hentikan sesaji ini.” Sang Raja yang memiliki rasa belas kasihan terhadap Resi
Astika luluh dan akhirnya membatalkan upacaranya. Sesaat setelah upacara
dibatalkan para ular naga menunduk hormat kepada Resi Astika dan memohon maaf
kepada Prabu Udrayana lalu mereka kembali ke hutan. Akhirnya, Resi Astika berterima
kasih kepada sang raja lalu ia mohon diri untuk kembali ke padepokannya. Naga
Taksaka, Arya Danurwenda, dan para ular, naga, beserta keturunan mereka pun
selamat dari upacara tersebut.
Setelah Resi Astika
menggagalkan upacara yang dilangsungkan sang raja, Prabu Udrayana dikunjungi
oleh kakek Semar dan Begawan Wesampayana. Sang prabu menyambut kedatangan kedua
orang kepercayaan kakek buyutnya itu. “anak prabu, kedatangan ku bersama
begawan Wesampayana untuk meluruskan dan bernostalgia dengan kisah-kisah dari
para leluhurmu.” Prabu Udrayana seketika itu merasa rindu kepada ayah dan kakek
buyutnya. Ia memohon pada Begawan Wesampayana agar menuturkan kisah para
leluhurnya “Wahai bapa Begawan, engkau telah melihat dengan mata kepalamu
sendiri, tingkah polah para kakek buyutku, Kurawa dan Pandawa. Aku penasaran
untuk mendengarkan sejarah mereka darimu. Apa sebab dari perpecahan di antara
mereka yang diakibatkan oleh perbuatan luar biasa tersebut? Mengapa pula Perang
Bharatayudha—yang menyebabkan kematian insan yang tak terhitung
banyaknya—terjadi di antara para leluhurku, yang pikiran jernihnya dikaburkan
oleh takdir? Wahai bapa Begawan yang mulia, ceritakanlah kepadaku segala hal
yang terjadi sejelas-jelasnya.” Begawan Wesampayana pun menuturkan kisah
panjang untuk sang raja, yaitu kisah para kakek buyutnya―Pandawa dan Kurawa. Sesuai
keinginan Udrayana, Wesampayana memulai dari ikhtisar perseteruan antara
Pandawa dan Kurawa. Kemudian kisah berlanjut tanpa kronologis dan
meloncat-loncat karena mengikuti kehendak sang raja.
|
Begawan Wesampayana mewedarkan isi kitab Mahabarata |
Maka dari itu percakapan
antara Udrayana dan Wesampayana menentukan mana cerita yang didahulukan dan
mana yang belakangan. Kilas balik yang tercatat meliputi kisah Prabu Sentanu
dan Satyawati, kemudian kelahiran Karna dan Sri Kresna, kisah awal mula
kehidupan Begawan Dorna, kisah para leluhur sang raja, yaitu Dusyanta, Shakuntala,
dan putra mereka yakni Baharata, serta kisah kakek moyangnya yang bernama Maharaja
Yayati yang menurunkan lima putra dan mendirikan lima suku besar. Lima suku
tersebut diturunkan oleh Yadu, Tuwasu, Drahyu, Hanu, dan Puru. Leluhur Udrayana
diturunkan oleh Puru. Garis keturunan berlanjut kepada keluarga keraton
Hastinapura. Lalu berlanjut ke kisah leluhur maharesi Abiyasa, dimulai dari
Resi Manumayasa, kemudian berlanjut ke putranya, Bambang Sekutrem yang menikahi
putri prabu Baharata, Nilawati lalu Begawan Sakri, hingga pernikahan anak Sakri
yakni Palasara dengan Satyawati hingga melahirkan Abiyasa, orang yang menjadi
penyambung darah Baharata yang hampir putus karena Bhisma, anak Sentanu
bersumpah hidup membujang. Dari Abiyasa lahirlah Drestarastra, Pandhu Dewanata,
dan Arya Widura. lalu juga kisah Begawan Mandawya atau Animandaya dengan
Begawan Dharmajaya yang membuat sang begawan Dharmajaya lahir sebagai Arya
Widura. Kisah dilanjutkan ke kelahiran Pandawa dan Kurawa, lalu masa muda
mereka, pembakaran rumah Bale Sigala-gala, pernikahan Pandawa dan Kurawa,
pendirian Amarta, sesaji Rajasuya, permainan dadu dan pengasingan Pandawa
hingga Perang Bharatayudha. Prabu Udrayana merasa terkesan dan akhirnya tau
seluk beluk tentang keluarganya. Prabu udrayana lalu bertanya “Bapa Begawan,
lalu bagaimana kisah hidup mereka selanjutnya?” Begawan Wesampayana lalu
menceritakan kelahiran ayah Prabu Udrayana yakni prabu Parikesit, kutukan Dewi
Gendari kepada Sri Kresna, Prabu Yudhistira menjadi raja, lalu kisah diakhiri
dengan kemoksaan sesepuh Hastinapura, penghancuran Trah Yadawa, dan moksanya
para Pandawa. Prabu Udrayana bersama seluruh keturunan Pandawa dan Kurawa
lainnya terharu. Setelah disampaikannya kisah Mahabarata, begawan Wesampayana
pun pamit pulang bersama kakek Semar dan para sesepuh lainnya. Sebelum pergi,
begawan Wesampayana menyerahkan Kitab Mahabarata kepada sang raja dan hendaknya
isi dari kitab itu disebarkan Sejak hari itu, Kisah Mahabarata menjadi kisah
yang melegenda. Prabu Udrayana memerintah negeri dengan bijaksana. Setelah
meninggalnya Prabu Udrayana beberapa puluh tahun kemudian, Hastinapura
diperintah putra Udrayana yakni raden Shatanika yang bergelar Prabu Gendrayana.
Khawatir kisah leluhurnya akan hilang karena kitab Mahabarata yang mulai lapuk,
Kitab Mahabarata ditulis ulang, diperbanyak, dan disebarkan luas ke seluruh
daratan Aryawata (Hindustan dan Jawadwipa) dari generasi ke generasi.....
TAMAT