Hai-hai....semua pembaca dan penikmat kisah pewayangan. Kisah kali ini menceritakan keajaiban Narayana menumbuhkan pohon berbuah mutiara demi menghidupi sebuah pasar baru. Kisah berlanjut dengan rencana Pralambasura dan Dhumrasura untuk menghabisi Narayana dan Kakrasana. kisah diakhiri dengan kesedihan Narayana disebabkan pernikahan Radha dan Narayana. Kisah ini mengambil sumber dari Serial Kolosal India Radha Krishna Starbharat dan Serial animasi the Little Krishna dengan pengubahan seperlunya.
Pohon
berbuah Mutiara
Beberapa hari setelah
serangan banteng jelmaan Aristasura, pesta panen raya yang awalnya ditunda
akhirnya bisa terlaksana. Para warga Barsana dan Gobajra berkumpul di pura
untuk berdoa semoga panen tahun ini membawa berkah. Setelah ritual doa, pesta
rakyat diselenggarakan. Banyak orang membuat kedai kecil di pinggir jalan.
Berbagai jajanan, barang-barang kebutuhan, pakaian, dan barang-barang mahal
dari berbagai negeri dijajakan. Singkat cerita panen raya selesai, Namun
beberapa hari setelahnya, masih banyak juga para pedagang menjajakan barang
dagangannya malah mereka memutuskan untuk membuat lapak di sana. Kian hari,
pedagang semakin ramai. Nanda Antagopa dan para petinggi antardesa mengumpulkan
para penduduk Barsana dan Gobajra untuk berunding tentang nasib para pedagang
“pak Lurah Ugrapada dan temanku Wresabanu, bagaimana pendapat kalian tentang
para pedagang yang membangun lapak disini? Apakah kita biarkan?” Lurah Ugrapada
berkata “pak Lurah Nanda, tentu tidak, tapi kita tidak bisa mengusir mereka.
Itu sama saja mengusir rezeki untuk kedua desa kita.” Wresabanu lalu berkata
“menurut hemat saya, lebih baik kita jadikan tempat itu pasar baru kita, jadi
warga desa tidak perlu jauh-jauh pergi ke Mandura atau Hastinapura untuk
membeli kebutuhan sehari-hari.” Lurah Ugrapada setuju tapi menanyakan sumber
dana untuk membangun pasar “aku setuju saja untuk itu, tapi dengan apa kita
membangun pasar itu? kita perlu banyak dana untuk membangunnya sedangkan
anggaran dari mandura terbilang masih cukup kecil. Kalian mengeti sendirikan
yang mengatur keuangan negeri ini Adipati Kangsa.” Suasana rapat itu menjadi
hening karena memikirkan kendala biaya. Namun dari belakang peserta rapat
seseorang mengangkat tangan dan berkata dengan lantang “aku bersedia mencari
sumber dananya.” Semua orang pun menoleh dan kaget bahawa yang berbicara
barusan ialah Narayana. Ia dan beberapa anak muda di sana: Kakrasana, Rara
Ireng, Udawa, Endang Radha, Charu, Pragota, Rarasati, Madhu Manggala, Ayyan
Yadawa dan Subala. Nyai Jathila lalu berkata “hei nak...kau ini aneh-aneh
saja....kau ini masih bocah....memang kau bisa membawa banyak uang?” Kutila,
adik Ayyan yang juga ada di sana mengejek “halah ibu, paling dia akan
merengek-rengek minta ke ibunya...”semua orang tertawa. Namun Narayana berkata
“bibi, jangan pernah remehkan kami para pemuda. Justru itu kami akan membuat
pasar baru ini akan berkembang. Paman-paman, bibi-bibi sekalian kami berjanji
dalam kurun waktu tiga hari, kami akan sumber dananya.” Mendengar keyakinan
para anak muda itu, Ugrapada tertarik dan setuju. Rapat pun dibubarkan.
Anak-anak muda itu pun keluar. Nyai Jathila dan Kutila menyeringai sambil
bergumam “halah, anak Yasodha itu paling ia tidak mampu lalu merengek ke ibunya
meminta perhiasannya dijual.”
Setelah dari rapat itu,
Narayana meminta saudara-saudarinya dan teman-temannya untuk berkumpul di hutan
Nidhiwana. Setelah berkumpul, Ayyan lalu bettanya”Narayana, bagaimana sekarang?
Kita tidak mungkin bisa mendapatkan sumber dana untuk pasar baru ini.” Udawa
lalu membalas perkataan Ayyan “benar Kanha, harusnya dinda Kanha realistis.”
Charu dan Subala ikut menceramahi temannya itu “benar, temanku. Kita tidak akan
bisa mendapatkan sumber dana itu bahkan kalau haru menjual rumah kita masih
belum cukup.” Narayana dengan tenang
menjawab keraguan teman-teman dan saudaranya itu “nah makanya itu, kita
berkumpul disini , kakang-kakangku. Kita tidak perlu menjual sumber daya milik
kita. Kita akan ciptakan di sini.” Teman-teman Narayana keheranan apa
maksudnya. Narayana lalu meminta dua kakangnya, Udawa dan Kakrasana dan
teman-temannya yang lain menyiapkan lahan kosong “Kakangku Udawa dan Kakrasana
dan teman-teman-temanku, bantu aku. tolong siapkan lahan kosong!” “untuk apa,
Kanha?” Narayana tidak menjawab tapi hanya tersenyum. Udawa paham kalau adiknya
itu akan membuat hal aneh tak bertanya lagi. Ia turuti saja kemauannya. Setelah
lahannya siap, Narayana meminta Kakrasana untuk membajak tanah itu. Kakrasana
bertanya “lha kok aku yang harus membajak tanah ini, Kanha? Memangnya aku ini
apa? Lembu?” Narayana bercanda “ya karena kakang kan banteng.” Kakrasana
ngomel-ngomel melulu sepanjang membajak tanah.
 |
Pohon berbuah Mutiara |
Setelah tanah menjadi gembur,
Narayana meminta teman-temannya mengumpulkan segala perhiasan mutiara yang
mereka punya “nah, sekarang aku, Charu, Subala, Ayyan, Madhu, dan adhiku
Pragota akan menanam mutiara-mutiara ini.” Seluruh teman-temannya keheranan tak
masuk akal karena sepengetahuan mereka, mutiara didapat dari kerang dan tiram,
bukan ditanam. Narayana lalu berkata “apa yang tidak mungkin jika Hyang Widhi
berkehendak. Sudah ayo bantu aku.” singkat cerita Narayana, Ayyan, dan Pragota
menanam mutiara-mutiara itu sementara Charu, Subala, dan Madhu menancapkan kayu
lanjaran agar tanaman-tanaman itu dapat tumbuh tegak. Mutiara sudah ditanam,
kini Narayana meminta para pemudi: Rara Ireng dan Rarasati, juga Radha untuk
menyiram mutiara-mutiara itu “Radha dan adhi-adhiku Rara Ireng juga Rarasati,
tolong siramkan tanah ini dengan susu dan minyak samin kalian.” Radha dan Rara
Ireng heran “Kanha kau ini jangan bercanda kelewatan begitu.” “benar kakang,
menumbuhkan mutiara saja itu mustahil apalagi kalau disiram pakai susu dan
minyak samin. Sepertinya kakang ini harus ke tabib.” Rarasati ikut menimpali “kalau
mutiaranya gak tumbuh, kami minta ganti rugi.” Setelah berbagai protes tadi,
para wanita bersedia membantu menyiram. Tanpa disadari oleh para pemuda-pemudi
itu, kegiatan mereka dipergoki oleh Nyai Jathila.
Di hari kedua,
keajaiban terjadi. Tanaman mutiara mereka mulai tumbuh dan semakin besar dalam
waktu singkat. Batang, cabang dan rantingnya berwarna merah bersepuh layaknya
tembaga. Dedauanannya hijau segar layaknya batu ratna wilis yang segar dan
ketika menguning berguguan layaknya batu ratna cempaka, kuning kemilau ditimpa
sinar sang baskara. Ketika tumbuh, tanaman itu mengeluarkan bau yang sangat
harum memabukkan. Kembang-kembangnya pun bermekaran dengan indah memenuhi
seluruh pohon, warnanya layaknya emas dan perak yang baru disepuh.
Serangga-serangga dan burung-burung penyerbuk bahkan dibuat mabuk oleh
keharuaman tanaman itu. di hari ketiga, sebagian besar kembang itu berubah
menjadi mutiara yang menjurai-jurai, putih berkilauan. Nyai Jathila yang
melihat keanehan itu terkaget sekagetnya. Ketika buah-buah itu berjatuhan dari
ranting pohonnya itu sangat indah bak hujan permata. Mentari lalu mengenai
batang pohon-pohon mutiara itu menyebarkan sinar yang sangat terang menyilaukan
membuat Nyai Jathila tidak mampu melihat lalu jatuh pingsan. Singkat cerita, tepat
di hari ketiga para pemuda berhasil mengumpulkan sumber dana yakni ber-gerobak-gerobak
mutiara yang berkualitas tinggi sesuai janji. Para petinggi desa gembira hati.
Dengan bergerobak mutiara itu, dana ini sudah sanga tmencukupi bahkan bisa
dialokasikan untuk memakmurkan Barsana dan Gobajra selamanya. akhirnya pasar baru pun dibangun. Para
pedagang berbagai negeri berkumpul dan menjadi jalur transit baru perdagangan.
Keangkuhan
Pralambasura dan Dhumrasura
Pada suatu ketika,
seorang raksasa suruhan Adipati Kangsa bernama Pralambasura bertemu dengan
teman lamanya, Dhumrasura sang raksasa asap. Dhumrasura bertanya “temanku,
Pralambasura. Ada apa gerangan dikau datang bertemu denganku.” Pralambasura
menjawab dengan berapi-api berkata “perintah dari yang Mulia Adipati Kangsa.
Aku akan menghabisi anak yang menjadi malaikat kematian Kangsa. Tapi aku tidak
bisa melakukan ini sendiri. Kau tahukan sudah berapa raksasa dan monster
berhasil dia habisi.” Dhumrasura berkata dengan tinggi “temanku, bagiku itu hal
mudah. Lebih baik kita pisahkan si malaikat kematian itu dari teman-temannya
lalu akan aku bakar dia menjadi abu.” Pralambasura berkata lagi “lalu aku harus
apa?” “temanku, gampang saja. Kau bisa habisi teman-temannya. Kalau bisa
saudara dari si malaikat kematian itu.” Pralambasura setuju lalu mereka
berangkat menuju Barsana dan Gobajra.
Hari itu, para
penggemabala sedang bermain tarik tambang. Udawa, Kakrasana, Subala dan Charu
berada di sisi kiri sementara Narayana, Pragota, Ayyan, dan Madhu Manggala di sisi
kanan. Permainan semakin seru. Ke-dua belah sisi sama kuatnya. Tiba-tiba
Narayana kepikiran dengan ternak-ternak yang ia gembalakan. Narayana izin untuk
pergi menengok. Kakrasana lalu berkata “hei Kanha, jangan seenaknya pergi gitu.
Kekuatannya nanti tidak imbang.” Lalu dari kejauhan datang seorang anak
penggembala. Narayana memanggil anak itu “hei kamu...kesini..ayo bantu aku..”
anak itu mendekat. Narayana lalu berkata “kawanku...siapa kamu...sepertinya
kamu anak baru pindah disini.” Anak itu menjawab “aku...Prala...ehh namaku
Prakosa......” “Prakosa...kebetualan sekali...teman-temanku memerlukan
bantuanmu.” Prakosa hanya bisa mengangguk dan menggantikan tempat Narayana di
tarik tambang. Setelah Prakosa masuk, kemenangan ternyata berpihak kepada tim
Kakrasana. “nah karena kalian kalah, sebagai hukuman, kalian harus menggendong
kami ketempat Kanha.” Singkat cerita, mereka semua saling bergendongan dan lari
mengikuti Narayana. Prakosa lalu menggendong Kakrasana di bahunya.
Narayana lalu segera pergi
ke dekat hutan dan menengok lembu sapi yang sedang merumput disana. Di tengah
jalan, ia bertemu Endang Radha, Rara Ireng dan Larasati yang sedang istirahat
di bawah pohon. Narayana lalu menggoda mereka dengan mengambil guci berisi susu
milik mereka. Ketika para wanita bangun, mereka mendapati guci mereka dibawa
lari oleh Narayana. Mereka mengejar sang pemuda yang dijuluki Makhan Chori
(pencuri mentega) itu sampai ke tengah hutan. Radha dan lainnya kehilangan
jejaknya namun ia menemukan ceceran susu di dekat sebuah pohon. Benar ternyata
Narayana memakan semua mentega dan susu itu. Radha dan Rara Ireng menangkap
basahnya. “aha...ketahuan juga kau Kanha!” Nah kakang Kanha tidak bisa lari
lagi” sorak Rara Ireng. Narayana yang kepergok tak bisa berkutik. Radha lalu memaksa
Narayana untuk menari. Mau tak mau, Narayana pun menari dengan lemah gemulai
sambil memainkan seruling. Semua wanita itu terpana. Lalu datang Udawa,
Pragota, dan teman-teman Narayana yang lain. Narayana lalu bertanya kemana
Kakrasana “kakang Udawa, mana kakang Balarama?” Radha lalu menyela “Kanha,
jangan alihkan pembicaraan. Ayo terus menari” Ketika Radha dan Narayana sedang
tegang begitu , Rarasati berteriak “astaga ada api melayang.” Apa yang dilihat
Rarasati membuat Radha dan lainnya kaget. Ada bola api berasap yang terbang
lalu hinggap di pepohonan. Setelah hinggap, segala pepohonan itu terbakar.
Hutan pun terbakar hebat. Lalu muncullah Dhumrasuralalu ia berkata dengan
sombongnya “hahahaha....sekarang kau dan teman-temanmu akan terpanggang. Dan kakakmu
akan dilumat oleh sahabatku.” Dhumrasura lalu menghembuskan nafas berapinya ke
penjuru sisi. Radha, Rara Ireng, dan teman-teman Narayana lainnya merasa
kepanasan. Begitu juga para lembu sapi
ternak mereka.Narayana melihat ke sekeliling dan menemukan sebuah ceruk batu.
“teman-teman ayo kalian berlindung di sana. Singkat kata, mereka masuk dan
berdesak-desakan di sana sementara udara hutan menjadi sesak karena asap dan
api dimana-mana.
Kakrasana yang di
gendong Prakosa melihat ia malah menjauhi tempat teman-temannya dan Narayana berkumpul
“hei Prakosa....kok kita malah menjauh dari teman-teman. Kau ini tersasar kah?”
“tidak, temanku. aku ada di arah yang benar.” Lalu Prakosa mengubah wujudnya
menjadi wujud aslinya yakni Ditya Pralambasura.”Hahahaha...akhirnya aku bisa
membuat tuanku Kangsa senang.” Kakrasana marah “Jadi Ini Rencanamu...Kau Mau
Menjabakku Dan Kakak-Adikku.Kau Tidak Tahu Saja Kami Orang-Orang yang
Menghabisi Banyak Kawanmu”
 |
Kakrasana mengalahkan Pralambasura |
Pralambasura meremehkan Kakrasana lalu berkata “Kau
Yakin? Coba lihat ke sana.” Kakrasana menoleh dan kaget melihat hutan tempat
Narayana dan teman-temasnnya berkumpul tiba-tiba terbakar dan diselimuti asap
tebal. Kakrasana menjadi marah lalu menghajar Pralambasura. Karena tidak terima
dihajar seorang anak remaja, Pralambasura menantang Kakrasana untuk adu gulat. Pertarungan
pun terjadi dengan sangat sengit. Awalnya dia bisa membuat Kakrasana kewalahan,
namun setelah mempelajari cara Pralambasura begulat Kakrasana mampu
mengimbangi. Akhirnya, Pralambasura terdesak dan akhirnya jatuh ke tanah dalam
keadaan terjepit. Kakrasana yang marah lalu berkata “Kau Salah, Kangsa Pasti
Akan Kecewa Karena Kau Yang Akan Mati!” Dengan satu kali hantaman di kepala,
Kakrasana berhasil meremukkan kepala Pralambasura dan ia pun tewas seketika itu
juga. Kakrasana lalu pergi menyusul ke hutan tempat Narayana dan yang lainnya.
Kebakaran hutan semakin
meluas, bahkan mulai membakar pinggir desa Gobajra dan Barsana. Para penduduk
dipimpin oleh Nanda Antagopa dan Wresabanu mengungsi ke gunung. Sementara itu
Radha dan lainnya yang merasa kesesakan dan kepanasan karena terus menghirup
asap berkata “ Kanha cepat selamatkan kami.” Narayana lalu berkata
“teman-teman, kalian ikuti arahanku. Kecuali jika aku panggil, kalian jangan
menoleh ke arahku. Kalian duduk mengheningkan cipta dan baca mantra-mantra.” Radha dan semuanya
mengerti lalu duduk mengheningkan cipta sesuai arahan Narayana. Dhumrasura
tertawa “Hahahaha......ada apa bocah? Kau tidak ingin teman-temanmu melihat
akhir darimu?” “tentu bukan itu, Dhumrasura. Aku hanya tidak ingin
teman-temanku melihat akhir darimu.” Dhumrasura menjadi jumawa dan melemparkan
bola api ke arah Narayana. Anak kesayangan Yasodha itu pun melakukan jurus
silat. Narayana mengayunkan tangannya lalu memutar-mutarnya seperti sayap yang
mengibas. Seketika, kekuatan pukulan tangan Narayana membentuk angin lesus yang
menghisap lalu memadamkan api di seluruh hutan. Tekanan anginnya membuat
Dhumrasura ikut terhisap dan berputar-putar. Tubuh Dhumrasura terpuntir-puntir
kemudian seperti halnya asap itu sendiri, ia hilang lenyap tak berbekas.
Setelah semua api
padam, Narayana pun meminta teman-temannya menoleh “teman-temanku...sekarang
kalian boleh menoleh.” Radha dan lainnya yang telah menyelesaikan mantra melihat
kebakaran telah padam. Mereka bersorak gembira . tapi Rara Ireng dan Rarasati
masih cemas “kita sudah lepas dari Dhumrasura, tapi bahgaimana keadaan kakang
Balarama?” “benar, katanya, ada yang mencoba menghabisinya.”
 |
Narayana mengalahkan Dhumrasura |
Lalu mereka
mendengar suara dari belakang “siapa yang bisa menghabisiku?” Rara Ireng,
Rarasati dan lainnya menoleh melihat Kakrasana masih sehat tanpa kekurangan
suatu apapun “sudah...jangan dengarkan Dhumrasura, yang dikatakannya hanya
bohong belaka.” Akhirnya mereka bergembira kembali. Di tengah puing hutan yang
terbakar, Radha dan Kanha (Narayana) kembali menarikan tarian Raasleela.
Bersama teman-temannya mereka bergembira hati. Suara seruling Narayana mengalun
indah ke seluruh penjuru desa. Para penduduk merasa damai mendengarnya. Seketika
hutan yang terbakar kembali tumbuh dalam sekejap. Banyak pepohonan kembali
bersemi diantarnya pohon widara (bidara) dan semak-semak kemangi suci (tulasi; vrindha)
yang menyebarkan aroma wangi yang sedap. Hutan itu lalu dinamai hutan
Brindhawana/Vrindhavana. Oleh Nanda Antagopa, hutan itu ia sebut sebagai
Widarakandha karena disana juga banyak pohon widara dan nama itu digunakannya
menggantikan nama Gobajra. Sejak saat itulah nama Gobajra berganti menjadi
Widarakandha atau Brindhawan.
Balada
cinta Ayyan-Radha-Kanha
Hari-hari Radha dan
Narayana semakin berwarna. Radha telah tengglam ke dalam cintanya kepada
Narayana. Bukan lagi cinta secara duniawi. Namun kini cintanya telah menembus
relung jiwa dan mengakar. Yang kini dicintai Radha bukan tubuh Kanha, melainkan
jiwa dan segala perbuatannya. Begitu dengan Kanha (Narayana), ia sangat cinta
dan menyayangi Radha lebih dari apapun. Bagaikan buku berjumpa dengan ruasnya. Namun nampaknya cinta itu juga menggelayuti
diri Ayyan. Ayyan juga jatuh hati kepada Endang Radha. Putra Ugrapada itu
kemudian berkata kepada ibunya “ibu, aku sejak lama mengagumi dan mencintai
adik kita Radha. Aku ingin sekali menikahinya.” Nyai Jathila pun berniat jahat mengambil
kesempatan itu untuk menjatuhkan semangat putra kesayangan Yasodha. Nyai
Jathila menceritakan keluh kesah dan keinginan Ayyan kepada sang suami, Lurah
Ugrapada. Sang lurah Barsana menyadarinya. Sudah berpa malam ini, ia melihat
Ayyan mengigau seakan dia sedang dimabuk kasmaran oleh Radha. Maka keesokan
paginya, Lurah Ugrapada datang kepada Ki Wresabanu menyampaikan lamaran Ayyan
kepada Radha. Radha yang melihat dari balik tirai ingin tahu. Tanpa pikir
panjang, Ki Wresabanu menyetujui lamaran Ayyan. Keesokan harinya, Lurah
Ugrapada memberi pengumuman “para penduduk barsana yang aku cintai, aku akan
memberikan sebuah pengumuman yang sangat penting. Pada sasih depan, putraku
Ayyan akan menikahi Endang Radha, putri Wresabanu.” Sorak sorai membahana di
Barsana. Namun, tidak dengan Endang Radha di rumahnya. Ia menangis sejadinya di
pelukan ibunya “ibu....kenapa begini....huhu....aku tidak mampu mencintai
kakang Ayyan...aku hanya mencintai Kanha....” Nyai Kirtidha berkata juga dengan
penuh rasa pilu “ibu juga tak berdaya.....tapi apa mau dikata..ayahmu sudah
setuju dengan lamaran pak lurah....” lalu di tengah kesedihannya itu, Radha
mencari cara agar Narayana bisa ke Barsana.
Sementara itu di desa
Widarakandha, hati Narayana terasa sakit mendengar kabar pernikahan Ayyan dan
Radha. Baginya, cinta Radha bagaikan paruhan jiwanya. Kehilangannya bagaikan
separuh jiwanya terenggut. Ketika ia melihat ke langit, seekor burung merpati
datang kepadanya. Di kakinya ada sepucuk surat. Ketika Narayana membuka surat
itu, tertulislah di sana “Kanha ku yang
kusayang dan kasihi, sudah tahukah dikau tentang kabar pernikahanku?
Sesungguhnya, jauh dalam relung benak dan hati, aku lebih mencintai dikau lebih
dari apapun jua. Tapi keadaanku tak berdaya. Lamaran pak lurah Ugrapada telah
datang kepada ayahandaku dan beliau pun bersedia. Mendengar hal demikian,
kalbuku remuk redam. Air mataku berderai tak berhenti layaknya hujan. Melarat
hati ini untuk menanggung duka lara ini. Hampir musnah warasku karenanya. Aku
berharap Kanha ku yang tersayang kemari dan datang, bukan sebagai cinta, tapi
sebagai sahabatku yang aku kasihi. Aku mengharap kedatangan dikau untuk menjadi
perias di malam pengantinku. Aku ingin menutup kisah prema kita dengan
keindahan. Biarkan ratap pilu yang akan menggenang cukup hanya dikau dan aku
yang rasakan sahaja. Dari yang Tersayang, Radha.” ketika membaca surat itu,
tak terasa oleh Narayana air matanya menggenang lalu mengalir menganak sungai. Campur
aduk kalbunya. Para saudara Narayana tak ada yang berani mendekat untuk
menenangkannya. Udawa berkata “biarkan dia sejenak....biarkan Kanha tenang
sejenak.
Hari pernikahan Ayyan
dan Radha hampir tiba. Saat itu masa pingitan dan waktunya mempelai perempuan
menentukan siapa perias pengantinnya. Lama sekali Radha menanti kedatangan
Narayana untuk menjadi perias pengantinnya namun ia tak kunjung datang. Hal itu
membuat Radha semakin sedih dan pilu. Keluarga pun jadi risau dan gundah karena
Radha tidak mau dirias oleh orang-orang dari Barsana, tapi hanya pilihannya
sendiri meskipun dia orang asing. Lalu datang seorang wanita yang sangat cantik.
Semua orang terpana. Maka Radha memutuskan untuk memilih orang asing itu. Nyai
Kirtidha menjemputnya. Ia pun bertanya siapa nama wanita itu “ni sanak, kau
sangat cantik. Siapakah namamu?” “aku Gopadewi, aku seorang pengelana wanita.
Pekerjaanku adalah tukang rias keliling.”nyai Kirtidha bersyukur sekali dan ia
menawarkan agar ia mau merias putrinya yang akan menikah. Gopadewi mau-mau saja
bahkan bersedia tidak dibayar, dengan syarat apapun yang diinginkan si mempelai
harus dituruti oleh keluarganya karena baginya kepuasan dari pelanggan harus
diutamakan. Nyai Kirtidha setuju. Ditinggalkannya lah, Gopadewi dan Radha di
kamar itu. Gopadewi mulai merias Radha. Di sela-sela merias, Radha berkata
dengan hati yang hancur “kakandaku Kanha, kenapa dikau tidak hadir? Apakah
dikau benar-benar ingin memutuskan ini. Membiarkan ku teraduk-aduk oleh takdir
cinta yang sedih ini.” Gopadewi lalu berkata “siapa Kanha yang kau bicarakan
itu, anak manis?” Radha berkata bahwa Kanha adalah cintanya. Dialah cinta
pertamanya yang ia cintai bukan hanya secara ragawi melainkan sampai ke
rohaninya. Sudah berkali-kali juga Kanha menyelamatkannya dan penduduk desa.
Sekarang Radha berpikir bahawa cinta yang ia cintai secara ragawi dan rohani
sudah mencabut dan membuang semua cintanya lalu pergi. Tak terasa Gopadewi ikut
terharu mendengarnya. “Kanha kakandaku.....apa cinta harus berakhir dengan
kepiluan dan kepahitan?” isak Radha. Lalu terdengarlah suara sang kekasih Kanha
alias Narayana “cinta ini kadang suka cita, kadang duka lara...aku pun tak
berdaya.....namun ku sadar cinta tak mesti bersama.” Radha kaget lalu melihat
ke sekeliling. “aku disini Radha. Aku tepat di belakangmu.” Radha menoleh dan
hanya mendapati Gopadewi. “ada apa, manisku?” Radha sembari menyeka air matanya
lalu berkata “ehh tidak ada apa-apa. Hanya perasaanku saja.” Entah mengapa
ketika Gopadewi meriasnya, ia seakan-akan bahawa Kanha yang sedang meriasnya. Singkat
cerita, Hari itu Radha dirias dengan
riasan terbaiknya. Gadis yang sudah ayu, kini terlihat semakin comel, molek,
nan jelita segera mengakhiri lajangnya. “nah berkacalah, manisku.” Radha dengan
kesedihan yang ia tutupi berkata “cantik sekali Gopadewi. Semoga dia akan
menantiku di sana bahagia melihatku.” “semoga, manisku. Sekarang cepatlah.
Calon pengantinmu sudah menanti.” Ketika di luar, Radha dipuji-puji bak dewi.
Kecantikannya memancar luar dalam. Bahkan ibunya hampir tak mengenali anaknya
karena memang se-apik itu riasannya. Ketika Nyai Kirtidha hendak memberikan
upah kepada Gopadewi, orang yang ia cari langsung menghilang tak berbekas.
Radha betanya kenapa ibunya nampak keheranan “ibu ada apa?” “tidak ada,
putriku. Sekarang cepatlah kita ke tempat upakara pernikahan.”
Waktu pernikahan pun
tiba. Hari itu Radha dan Ayyan bagaikan raja sehari. Datang pula Nanda
Antagopa, Nyai Yasodha dan putra-putri mereka.terlihatlah Udawa, Kakrasana,
Narayana, Pragota, Rara Ireng, dan Rarasati memakai pakaian terbaik mereka.
Namun dibalik penampilan yang anggun dan menawan itu, baik Radha atau pun
Narayana menyimpan kesedihannya masing-masing. Yang tidak diketahui Radha
bahawa Narayana telah menggenapi janjinya yakni sudah meriasnya dalam
penyamarannya sebagai Gopadewi. Ketika prosesi pernikahan dilangsungkan, Radha
tak hentinya melihat ke arah hadirin terutama ke arah Narayana.
 |
Elegi sang Narayana |
Di luar ia nampak
bahagia, namun dari sinar matanya memancarkan nelangsa. Ketika tiba saatnya
mereka melemparkan kelopak-kelopak bunga ke arah pengantin, Narayana nampak tak
mampu menahan masygul di hatinya, lalu ia meninggalkan pesta pernikahan itu. Narayana
pun duduk di bawah sebuah pohon menangis sendirian. Setelah membiarkan semua
kesedihannya tumpah, ia menuangkan semua perasaanya lewat alunan serulingnya
yang sangat sendu dan mengharu biru. Alam seakan ikut terlarut dan hanyut dalam
nestapa yang Narayana alami. Dedaunan kekeringan dan berguguran. Segala macam
kembang dan sekar layu lunglai, burung-burung kedasih berkicau dengan nada yang
mengiris relung kalbu, menyanyikan elegi. Maruta nan beku berhembus bak prahara
membawa udara kering. Embun pun berubah beku. Hari itu jagat raya ikut
mengiringi tembang duka merana sang Kanha.