Sabtu, 26 Oktober 2024

Banjaran Sri Kresna Episode 3 : Amukan para Raksasa di Gokula

 Hai hai.......Selamat datang kembali....... Btw, kisah kali ini mengisahkan keadaan masa kanak-kanak Sri Kresna di padukuhan Gokula. Kisah diawali dengan Hadimanggala yang harus tinggal terpisah bersama Ki Adirata, lurah desa Petapalaya yang tak lain orang tua angkat Aradeya (Adipati Karna), tipu daya Ditya Keshin, si raksasa berwujud kuda raksasa, pembebasan hutan Entalsewu dari tangan Kangsa dengan terbunuhnya sang penjaga hutan itu yakni Janggan Dhenukasura. Kisah diakhiri dengan usaha balas dendam Ditya Bakasura kepada Narayana karena terbunuhnya Kotana namun berakhir tewas. Sumber kisah ini berasal dari blog https://kisahspiritualtaklekangzaman.wordpress.com/2017/08/11/krishna-kecil-keshi-kejatuhan-keangkuhan-diri-srimadbhagavatamhttps://kisahspiritualtaklekangzaman.wordpress.com/2017/07/30/krishna-kecil-balarama-menaklukkan-hawa-nafsu-dhenukasura-srimadbhagavatam/ , https://kisahspiritualtaklekangzaman.wordpress.com/2017/07/26/krishna-kecil-melenyapkan-pola-pikiran-keliru-bakasura-srimadbhagavatam/, Serial animasi Little Krishna, Serial Kolosal India Radha Krishna Starbharat, lakon Wayang ki Purbo Asmoro yang berjudul Kresna Lair, dan sumber lainnya.

Keangkuhan Ditya Keshin

Waktu berjalan bagaikan kilat. Tak terasa para putra Mandura kini sudah berusia 8 tahun. Pada suatu hari, Nanda Antagopa mendapat mimpi bahawa ia harus membawa salah satu putranya yakni Hadimanggala kepada Ki Adirata, seorang kepala desa di desa Petapalaya dekat wilayah Awangga, salah satu wilayah bawahan Hastinapura yang pusat penghasil kereta kencana dan kusir kereta. Dalam mimpi itu, ia mendapat penglihatan apabila Hadimanggala diasuh Ki Adirata maka ia kan menjadi orang besar di kemudian hari. Ia pun menceritakan mimpinya itu kepada Niken Yasodha. Awalnya Yasodha menolak namun keesokan harinya, Yasodha juga mendapat penglihatan yang sama. Setelah menimbang-nimbang dengan matang, akhirnya Niken Yasodha pun mengizinkan Hadimanggala pergi dan diasuh oleh Ki Adirata. Dengan air mata berlinangan, Yasodha memeluk Hadimanggala untuk terakhir kalinya sebelum pergi “Hadimanggala, kamu yang baik ya sama ayah barumu. Kalau sudah berjaya, pulanglah. Ibu akan menunggumu.” Hari itu adalah hari yang berat juga bagi abang dan kakak Hadimanggala terutama bagi Pragota karena akan ditinggal oleh adik kandungnya.

Salah seorang ajudan Adipati Kangsa adalah Ditya Keshin merasa geram. Ditya Keshin mempunyai dendam yang mendalam kepada Narayana karena telah menghabisi Trinarwata sahabatnya. Selain Trinarwata, kabar Nyai Kotana yang dibunuh oleh Narayana saat masih bayi juga membuatnya penasaran. Keshin yang penat mendengar teman-temannya dihabisi ingin menunjukkan kelebihan kekuatan dan kepatuhannya kepada Adipati Kangsa dengan mengambil wujud seekor kuda raksasa “tuanku Kangsa, izinkan aku datang ke tempat Nyai Kotana dan sahabatku Trinarwata tewas. Aku akan membawa kepala dari pembunuh teman-temanku dan ku persembahkan padamu, tuanku.” “baiklah Keshin, aku mengizinkanmu dan bawa kepala dari malaikat kematianku itu ke hadapanku!”. Kecepatan larinya secepat pikiran, dan suara ringkikannya menimbulkan badai. Batu-batu yang ada di jalan yang dilewatinya tersepak hingga beberapa puluh meter. Keshin langsung menuju dukuh Gokula dan mencari Narayana.

Agar tidak mencolok perhatian, Ditya Keshin menyamar sebagai seorang ajar (pandita) bergelar Begawan  Jaranbergola dan membuat sebuah padepokan di pinggir hutan. Di sana, para orang durjana dan perompak belajar ilmu kesaktian. Pada suatu hari, saat ia mengajar, sang begawan Jaranbergola ditemui seorang mata-mata Kangsa bernama Janggan Dhenukasura. Ia adalah telik sandi yang mampu berubah wujud menjadi kimar (keledai). Ia bertukar kabar dan informasi tentang malaikat kematian Adipati Kangsa “sahabatku, sang begawan..... aku tahu bagaimana ciri-ciri orang yang menghabisi teman-teman kita.” Begawan Jaranbergola alias Keshin antusias “bagaimana ciri-cirinya? Bagitahu padaku, Dhenukasura!” Dhenukasura pun menjabarkan ciri-cirinya: seorang anak lelaki memakai jarik batik berwana kuning, membawa banshuri (seruling), dan memakai mahkota bulu merak. Setelah menjabarkan semuanya, Dhenukasura pamit untuk kembali ke pos jaganya di bagian hutan lainnya yakni hutan Entalsewu

Dengan persiapan yang matang, Begawan Jaranbergola memerintahkan murid-muridnya yang menjadi begal dan rampok bergerak hendak mengacau dukuh Gokula demi mencari anak yang menjadi incarannya. Sementara itu, jauh dari desa di pinggir padang rumput, para gembala muda menggembalakan anak-anak sapi dan lembu. Salah seorang gembala muda bernama Madhu Manggala bermain bersama teman-temannya diantaranya adalah anak-anak Nanda Antagopa.

Narayana bertarung dengan Jaran Keshin
Diantara anak-anak itu, Narayana yang nampak paling supel dan gemar bercanda. Semua orang suka kepadanya termasuk Madhu manggala. Di suatu kesempatan, Madhu Manggala bermain lalu mendekati Narayana. Madhu Manggala berkata kalau ia bangga berteman dengannya malah ingin sepertinya.lalu Madhu bertanya “Narayana...aku boleh gak pinjam jarik, seruling dan mahkotamu? Aku ingin jadi seperti kamu” Narayana mengizinkan. “boleh, Madhu.” Setelah bertukar pakaian, Madhu Manggala izin kembali ke pedukuhan untuk sekedar bermain-main dan berpura-pura menjadi Narayana.Narayana dan teman-teman gembalanya agak risau, maka mereka diam-diam mengikuti Madhu Manggala. Benar kerisauan Narayana, mereka melihat dukuh Gokula kacau dan di tengah jalanan desa yang sepi, nampaklah Madhu Manggala yang asik dengan dunianya tiba-tiba didatangi orang-orang suruhan Begawan Jaranbergola. “Hahahaha...akhirnya kita menemukan anak yang dicari-cari guru kita, malaikat kematian Kangsa.!” Madhu manggala terkejut dan berkata “aaa..aku..aku bukan malaikat!”  salah satu diantara suruhan Jaranbergola berkata “kau memang bukan malaikat, karena kami akan mengantarkanmu ke dalam kematian!” kata-kata itu membuat Madhu Manggala takut dan pingsan. Lalu datanglah Narayana, Kakrasana, dan Udawa mengalihkan mereka. Kakrasana segera menghajar orang-orang itu dengan kemampuan gulatnya dan Udawa mengevakuasi Madhu Manggala ke tempat aman. Beberapa dari suruhan Jaranbergola berhasil kabur. Kakrasana berhasil membawa satu yang tertangkap. Meski masih berusia tujuh tahun, kakrasana sudah terkenal dengan sifatnya yang keras tapi juga lembut. Ia lalu mengintrogasinya “hei paman, katakan siapa yang menyuruhmu! Katakan atau kau merasakan pukulanku!” karena ketakutan, orang itu mengatakan apa-apa yang ia ketahui. Kakrasana pun melepaskannya. Ketika ingin memberitahukan itu kepada Narayana, Kakrasana mendapati adiknya itu tidak ada dimana-mana. “aduuh...Kanha...kau ini menghilang. Kakang Udawa, ayo kita cari Kanha.” Para penggembala muda pun meminta bantuan orang-orang dewasa untuk membantu mencari Narayana.

Rupanya Narayana sudah tahu jika sang provokator adalah Begawan Jaranbergola. Ia pun mendatangi guru itu dan berdebat dengannya. Begawan Jaranbergola kalah dalam perdebatan dan berubah wujud ke wujud aslinya yakni Ditya Keshin berwujud kuda raksasa. Ketika itu orang-orang yang mencari Narayana kaget melihat perubahan itu dan menjadi ngeri. Mereka berteriak agar Narayana menjauh “Narayana...pergi dari situ! Dia iblis!” Narayana degna tenang berkata “paman-paman semua, tenang saja....eyang resi ini sedang mau main kuda-kudaan dengan aku!”. Keshin langsung menyerang Narayana, akan tetapi Narayana bisa berkelit dengan lincah. Keshin semakin marah, matanya melotot dan giginya bergemeretak “Kau Harus Belajar Tata Krama, Anak Sombong!”. Berkali-kali Keshin menginjak-injakkan kakinya ke arah Narayana namun ia bisa berkelit dengan pantas. Narayana sengaja memain-mainkan Keshin dengan selalu berkelit dari serangannya. Akhirnya, Narayana berhasil memegang kaki belakang Keshin dan segera memutar-mutarkannya di atas kepalanya. Keshi merasa pusing dan putus asa. Kemudian Keshin merasa dirinya dilemparkan sangat tinggi dan jatuh dengan telak. Meski demikian, Keshin masih bisa melawan. Akhirnya, Narayana yang masih bocah berusia 8 tahun mematahkan rahang atas dan bawah Keshin. Seketika itu pula, nyawa Ditya Keshin pun melayang. Sebuah makhluk bersinar keluar dari tubuh Keshin, bersujud di kaki Narayana, dan menghilang sebagai makhluk setengah dewa. Karena jasa-jasanya, Narayana kembali mendapat julukan baru yakni Keshinisudhana yang bermakna “yang mengalahkan Ditya Keshin”.

Janggan Dhenukasura

Suatu hari yang cerah di musim panas, Batara Indra sang raja bidadari dimintai tolong oleh isterinya, Dewi Shaci “kakanda, persedian minuman untuk bahan membuat air Soma habis. Bisakah kau mencarikannya untukku?” batara Indra berkata “bahan baku air soma paling bagus berasal dari nira lontar yang ada di hutan Entalsewu, tapi hutan itu alas gung liwang-liwung, jalma mara jalma mati..” Dewi Shaci lalu merayu “kan kakanda adalah dewa petir dan raja bidadari yang hebat, apa hutan itu telah membuat hati kakanda menjadi ciut?” Batara Indra lalu berkata “tentu saja tidak! Aku akan ambilkan buah-buahan dan air lontar dari hutan angker itu untukmu, cintaku!” maka Batara Indra pun pergi ke hutan Entalsewu. Sesampainya di pinggir hutan itu, para bidadara membuat pengalih perhatian agar para siluman disana sibuk sendiri. Datanglah angin kencang yang menerbangkan pepohonan dan buah-buahan disana berjatuhan. Batara Indra segera mengambili buah lontar, legen, nira, dan mangga itu. namun tiba-tiba datanglah seekor keledai raksasa menghadangnya. Dialah Janggan Dhenukasura, sang telik sandi adipati Kangsa yang ditugasi menjaga hutan itu setelah tewasnya Ditya Keshin “hahahaha...batara...kau ini kesasar?...kau kenapa mau mencuri buah-buahan hutan ini? Kalau kau mau buah, langkahi dulu mayatku!”terjadilah pertarungan antara Batara Indra dan Janggan Dhenukasura yang sangatlah sengit. Batara Indra tiba-tiba merasa goyah keseimbangan akibat hantaman Janggan Dhenukasura ke arahnya. Di saat demikian, Janggan Dhenukasura menginjak-injak tanah tempat sang dewa petir itu sehingga runtuh. Batara Indra hampir saja jatuh namun ia segera ditolong gajah Erawata dan segera melarikan diri. Janggan Dhenukasura sangat bangga bisa mempercundangi dewa.

Di suatu ketika, kala itu sudah hampir tiba musim panen, anak-anak Nanda Antogopa dianggap sudah mandiri dan dapat dipercayakan untuk menggembala sapi dan lembu dewasa, mereka tidak menggembalakan anak sapi lagi. Udawa, Kakrasana, Narayana, Pragota, dan teman-teman sebayanya setiap hari menggembalakan sapi ke hutan Gobajra yang banyak rumputnya. Kemudian mereka bermain-main di tepi hutan. Kali ini Kakrasana agak capek dan tertidur di bawah pohon. Narayana memijat-mijat betis Kakrasana. Dan beberapa temannya melepaskan lelah di dekat mereka dan beberapa yang lain masih tetap bermain di hutan. Pada waktu itu, 3 orang anak gembala: Madhu Manggala, Subala, dan Charu, sedang bermain mendekati Narayana dan Kakrasana. Mereka berkata, “Kakrasana! Narayana! kalian  mencium harum yang terbawa oleh angin ke tempat ini?” Udawa menimpali “ya, bau ini wangi seperti nira pohon lontar atau tal yang dijadikan legen.” Pragota ikut bicara “bukan cuma itu, aku juga mencium aroma mangga yang ranum.” Begitu mendengar kata mangga, Madhu pun ikut nimbrung “Mangga? Mana-mana? Aku mau mangga!” para penggembala muda pun tertawa dengan tingkah Madhu Manggala. Narayana pun mempertajam indria penciuamannya “hmmm...bau ini sepertinya dari hutan Entalsewu.” Mendengar kata hutan Entalsewu, para penggembala jadi ngeri sendiri “aduhh...kok dari situ? Aku gak jadi deh...tau sendiri kan kalau hutan Entalsewu itu angker. Jalma mara, jalma mati. Nafsu makanku langsung lenyap” Ujar Subala. Charu pun menenangkan Subala “jangan takut, Subala. Kan ada Kakrasana dan kakang Udawa yang akan melindungi kita. Lagipula Narayana juga pasti melindungi kita juga.” Setelah dibujuk, akhirnya mereka sepakat untuk ke hutan Entalsewu.

Demikianlah para putra Nanda Antagopa menemani para gembala muda masuk ke Hutan Entalsewu. Kakrasana menggoyang pohon dan buah-buahan yang telah ranum berjatuhan, kemudian diambil oleh para gembala kecil. Adalah Janggan Dhenukasura masih dalam wujud keledai kala itu sedang beristirahat, tiba-tiba ia merasa terusik dengan suara sayup-sayup dari kejauhan “heh siapa yang berani masuk ke hutan ini? Aku harus cari dia!”. Dhenukasura segera mempertajam indria pendengarnya lalu terdengarlah suara langkah kaki. Mendengar ada suara langkah kaki dan suara buah-buahan yang berjatuhan, Janggan Dhenukasura mendatangi mereka, dengan napas yang terengah-engah dan suara penuh kemarahan “Hei, Kalian Maling Cilik...Kalian Sudah Berani Masuk Hutan Ini, Maka Hukuman Untuk Kalian Yakni Kematian!”  tanpa peringatan, dia menyepak Kakrasana. Kakrasana menjadi kalap lalu melawan Dhenukasura dan dalam suatu kesempatan memegang kaki belakang Dhenukasura. Kemudian keledai tersebut diputar-putarkannya di sekeliling tubuhnya dan dilemparkan ke pohon. Pohon tersebut roboh dan kemudian menimpa pohon disebelahnya dan Dhenukasura mati. Seberkas sinar keluar dari tubuhnya dan jatuh di kaki Narayana lalu lenyap. Madhu Manggala lalu bertanya kepada Narayana “Narayana, apa Dhenukasura sudah mati?” Dengan santai Narayana berkata “ tentu saja, kakangku Kakrasana kan pegulat paling kuat diantara kita.” Udawa lalu meminta adik-adik dan teman-temannya untuk berwaspada “tunggu, ku rasa ini belum selesai.” Benar saja kata-kata Udawa. Seluruh kerabat Janggan Dhenukasura kemudian mengepung mereka “Kalian Hebat Sekali Bisa Menghabisi Pimpinan kami! Tapi Kalian tidak akan bisa Keluar Hidup-Hidup!”

Kakrasana dan Narayana mengalahkan para kerabat Dhenukasura 
para kerabat Dhenukasura lalu mengubah wujud menjadi keledai raksasa dan menyerang para gembala. Akan tetapi mereka semuanya dapat dipegang kakinya oleh Kakrasana dan Narayana lalu dicampakkan tinggi-tinggi ke udara sampai habis nyawa mereka. Udawa dan Pragota ikut membantu. Mereka berdua merobohkan tunggul-tunggul pohon lalu dilemparkan ke arah para raksasa keledai yang tersisa. Seluruh gerombolan keledai mati. Setelah mengalahkan Janggan Dhenukasura dan kerabat-kerabatnya, para gembala mengambil buah-buahan dari hutan Entalsewu dan memberikannya kepada para penduduk Gokula. Sejak saat itu, Hutan Entalsewu sudah “terbuka”, orang-orang dan binatang-binatang berani memasukinya.

Dendam Bakasura

Di istana Adipati Kangsa, Ditya Bakasura masih saja tidak tenang hatinya disebabkan kematian sang saudari tercinta, Nyai Kotana delapan tahun yang lalu. Diam-diam tanpa seizin sang kakak yakni Ditya Nagasura, Ditya Bakasura memohon izin kepada sang adipati Sengkapura ingin menyelidiki siapa penyebab kematian sang saudari “tuanku Kangsa izinkan hamba pergi barang sejenak untuk menyelidiki kematian adik saya, Kotana. Barangkali pembunuh adik saya itu adalah malaikat kematian tuanku.” Adipati Kangsa juga berpikiran sama “kau benar Bakasura, selidikilah dan jika benar dia adalah malaikat kematianku, habisi saja langsung tanpa ampun.”Ditya Bakasura segera mengubah wujudnya menjadi burung bangau raksasa dan pergi dari istana.

Setelah pergi dari istana, Bakasura dalam wujud bangau mengganggu masyarakat di sekitar bengawan Gangga dan Yamuna dengan mencuri ikan-ikan dan hasil ternak mereka. Rakyat dilanda rasa takut karena Bakasura ikut menelan siapa saja yang menghalanginya. Lalu dari kejauhan, Bakasura melihat segerombolan anak-anak penggembala. Diantara mereka ada satu anak yang seakan memiliki aura yang unik. Ditya Bakasura segera terbang ke sana. Tanpa disadari siapapun, Bakasura pun menyaru sebagai bukit besar.

Anak-anak penggembala yang dipimpin para putra Nanda Antagopa mulai melepaskan lembu dan sapi di pesisir bengawan Yamuna. Lalu mereka pergi bermain petak umpet. Kali ini giliran Udawa yang jaga “baik teman-teman, aku hitung sampai sepuluh, kalian sembunyi! 1! 2! 3! 4!...” para gembala segera bersembunyi. Kakrasana dan Pragota bersembunyi di balik pohon, Madhu Manggala berselindung di balik semak-semak, Charu, Subala, dan Sudhama ngumpet di balik batu besar. Sementara Narayana bersembunyi di bawah kayu dekat bukit besar. Tatkala Narayana duduk di sana tiba-tiba bukit besar itu bergerak lalu bertukar wujud ke wujud asal yakni menjadi Bakasura, si burung bangau raksasa. Anak-anak gembala yang menyaksikan hal demikian lari tunggang langgang. Tanpa mengambil waktu lama, Ditya Bakasura segera membuka paruhnya dan menelan Narayana bulat-bulat. Anak-anak penggembala kaget bukan kepalang menyaksikan hal itu. Udawa dan Kakrasana menenangkan teman-temannya “kalian jangan panik....adhiku Narayana pasti bisa melawan raksasa ini.”

Tak dinyana, tiba-tiba Ditya Bakasura diserang oleh kekuatan tidak terlihat. Rupanaya para dewa datang membantu Narayana. Batara Bayu dan Batara Sambu beserta beberapa gandarwa (bidadara) menyerang Ditya Bakasura dengan angin panas dan awan panas mereka hingga tubuh Bakasura hangus terbakar. Namun, Ditya Bakasura masih saja bisa bangun dan tak terluka sedikitpun. Sekali lagi para dewa merasa dipercundangi oleh raksasa. Bakasura lalu sesumbar “larilah kalian para dewa! Dendamku untuk Kotana telah kulunaskan! Aku telah menghabisi malaikat kematian tuanku Kangsa dan tidak ada satupun yang bisa mengalahkan aku! Aku sang pemuja Wisnu sejati...tidak seorang pun!”

Di saat sedang sesumbar begitu, tiba-tiba tenggorokan Ditya Bakasura menjadi panas seperti terbakar. Selain itu, ia merasa mual karena tekaknya ditendang sesuatu.

Narayana bertarung dengan Ditya Bakasura
Rupanya Narayana masih tertahan di tenggorokan sang raksasa bangau. Ia memukul-mukul dan menendang jalur nafas si raksasa yang diseliputi dendam itu. Maka Bakasura memuntahkan kembali Narayana dan terjadilah pertarungan yang sengit “Bakasura! Kau sangat sombong dan mengagungkan dirimui sebagai pemuja sejati! Sekarang rasakan kemarahanku!” Dengan marah, Bakasura mematuk Narayana dengan paruhnya yang seperti gunting baja raksasa. Berkali-kali Narayana berkelit menghindar. Kekesalan Bakasura semakin naik dan ia berusaha kembali menelan Narayana, namun kali ini Narayana berhasil berkelit dann naik ke leher bakasura dan mencekiknya hingga Bakasura tumbang. Meski sudah tumbang, Bakasura terus mengarahkan paruhnya ke arah Narayana. Namun fatal bagi Bakasura, Narayana memegang paruh sang bangau dan membukanya dengan paksa. Mulut bangau raksasa tersebut terbelah dan matilah Bakasura.

Dari jasad Bakasura, tiba-tiba muncul seberkas cahaya yang kemudian mewujud sebagai makhluk seperti bidadara. Ia pun berlutut di di kaki Narayana lalu terbang kembali ke kahyangan. Bakasura dalam kehidupan sebelumnya adalah seorang bidadara pemuja Batara Wisnu. Karena ingin memberikan persembahan terbaik kepada Batara Wisnu, maka dia memetik bunga teratai dari danau milik Batari Durga, istri Batara Guru tanpa izin. Seorang penjaga menangkap sang bidadara dan membawanya ke tempat Batara Guru. Karena dia telah mencuri maka dia mendapat hukuman terlahir di dunia sebagai raksasa yang ingin memperoleh segala sesuatu dengan sekejap tanpa bekerja keras dan pengorbanan. Akan tetapi, karena dia mempersembahkan bunga tersebut kepada Batara Wisnu, maka di jaman Dupara Yuga, Bakasura akan mendapatkan pembebasan dari Narayana alias Sri Kresna, yang merupakan avatar (titisan) dari sang dewa pujaannya, Batara Wisnu.