Matur Salam, para pembaca budiman. Kisah kali ini menceritakan tentang keadaan Jawadwipa yang diperintah seorang raja yang penyuka sesama jenis dan masih keturunan Prabu Watugunung sehingga membuat keadaan Jawadwipa laksana negeri yang amoral. Dikisahkan pula kelahiran dan masa muda Bambang Parikenan, leluhur Pandawa dan Kurawa dari pihak ayah, ambisi Ditya Sunda dan Upasunda untuk menguasai tiga dunia dan kelahiran para bidadari utama keturunan Batara Indra. Dikisah aslinya, delapan bidadari utama terlahir dari permata mustika lalu diaku sebagai para putri batara Indra, maka penulis sedikit mengubahnya dengan membuat para bidadari utama benar-benar anak biologis Batara Indra dan Dewi Saci. Kisah ini bersumber dari blog albumkisahwayang.blogspot.com, Serat Pustakaraja Purwa karya Raden Ngabehi ranggawarsita, dan Kitab Mahabharata bagian Adiparwa karya Mpu Vyasa dengan pengubahan dan pengembangan seperlunya.
Raden Sahadewa Candra, Pangeran yang Gemar Liwath
Kerajaan
Medang Gotaka diperintah rajanya, Prabu Sindula. Dia bernama asli Arya Radeya, putra
Prabu Watugunung dengan ibunya, Dewi Sintakasih. Setelah peristiwa aib itu, bayi
Prabu Sindula dibawa dan diasuh Empu Pastima, anak Empu Gopa yang pernah
dibunuh sang ayah. Di akhir pengembaraan, mereka membabat hutan Galungan dan
mendirikan kota bernama Medang. Lama-lama negeri itu menjadi besar. Keraton pun
dibangun tak lazim yakni di bawah tanah. Sang prabu menamai keratonnya itu
Keraton Gotaka maka negerinya pun dinamai Medang Gotaka dan Empu Pastima
menjadi patih sampai akhir hayatnya. Di dalam keraton bawah tanah itu penuh
emas, permata, dan berbagai batu mulia. Sang prabu kemudian menikahi Dewi
Tulus, putri sang paman, Arya Wukir yang juga dirawat Empu Pastima. Darinya
lahir beberapa anak, yakni Raden Sahadewa Candra, Arya Dewaraka, Arya
Jaladewata dan Dewi Ratna. Beberapa tahun kemudian, sang raja mendapat kabar
bahwa Raden Sahadewa Candra bermesraan dengan seorang pemuda. Maka ia
memastikan sendiri. Pada suatu malam, sang prabu memergoki putra sulungnya dan
benarlah apa yang menjadi kabar itu, anaknya itu bermesraan dan bahkan
bersanggama dengan prajurit jaga di taman sari. Maka murkalah sang prabu.
Dilabraklah putranya itu lalu menamparnya dan berkata “kamu anak membawa aib. Enyah
dari keratonku!...jangan kembali lagi!” terusirlah Raden Sahadewa Candra dari
Gotaka
Takluknya
Jawadwipa di tangan Raja yang Sedeng
Maka pergilah Raden Sahadewa Candra mengembara dan memperoleh kesaktian. Selang beberapa tahun, kerajaan Prabu Sindula diserang oleh kerajaan Bagacandra, kerajaan yang didirikan Raden Sahadewa Candra yang kini bergelar Prabu Cingkaradewa Purwacandra. Serangan demi serangan membuat Prabu Sindula putus asa dan akhirnya bunuh diri. Dewi Tulus dan Dewi Ratna ikut belapati dan kini ikut gugur Raden Dewaraka dan Arya Jaladewata. Kerajaan Medang Gotaka akhirnya diduduki Prabu Cingkaradewa Purwacandra. Kerajaan Bagacandra digabungkan dengan Medang Gotaka. Kerajaan tetangga yakni Purwacerita, Gilingwesi dan Wirata yang membantu Kerajaan Medang Gotaka ikut ditaklukan. Raja Purwacerita yakni Prabu Srimahapungung tewas dan digantikan putranya, Raden Wandu, adik dari Dewi Sri dan Batara Sadana bergelar Prabu Srimahawan. Bersamanya pula raja Wirata yang baru yakni Prabu Basupati yang bernama asli Raden Brahmaneka, putra Prabu Basurata dan Raja Gilingwesi yakni Raden Tritusta bergelar Prabu Brahmasatapa, putra Prabu Bremana yang kalah dan tewas mengungsi ke Gunung Mahameru.
Begawan Rukmawati menasehati tiga raja Jawadwipa |
Siasat
Membawa Sengsara
Setelah
kembali ke Gilingwesi, Prabu Brahmasatapa kembali membangun negerinya. Ia
segera menjemput istri-istrinya yang mengungsi. Lalu selang beberapa bulan ,
Dewi Widati dan Dewi Rajatadi nyaris bersamaan hamil dan sembilan bulan pun
berlalu. Kehamilan mereka semakin tua. Namun yang semakin disayang sang prabu
Gilingwesi pada hanya Dewi Widati. istri keduanya, Dewi Rajatadi sangat kesal
dan iri dengan itu. maka ia membuat sebuah siasat agar Dewi Widati sengsara.
Tibalah hari persalinan dan sang prabu sedang kunjungan ke Medang Galungan.
Dewi Rajatadi sengaja tidak memanggil tabib dan membantu persalinan saingannya
itu. maka lahirlah dari rahim Dewi Widati sepasang bayi kembar buncing. Tanpa
sepengetahuan Dewi Widati yang tengah pingsan, Dewi Rajatadi menukar bayi
kembar buncing dengan sepasang anak anjing dan membuang bayi yang dilahirkan Dewi
Widati di hutan. Lalu Prabu Brahmasatapa pulang dan menanyakan dimana anakna
yang baru lahir. Dewi Widati menunjukkan tempat bayinya idur. Ketika dilihat
ternyata anak anjing. Marahlah Prabu Brahmasatapa “apa-apaan ini? kau telah
menyebabkan aib bagiku. Anak yang kau lahirkan itu anak anjing bukan bayi
manusia!” “aku bersumpah, kanda. Aku melahirkan bayi manusia bukan anjing.”
Semakin murkalah sang prabu “lalu ini apa?” ketika Dewi Widati menengok ke
ranjang bayi terkejutlah ia. Dewi Widati terus membela dirinya “sumpah kanda. Atas
nama Hyang Widhi, aku melahirkan bayi bukan anak anjing. Ada yang sengaja
membuat aib begini pada dinda.” “persetan dengn Hyang Widhi! Faktanya yang kau
lahirkan itu anjing bukan manusia.” Lama-lama kemarahan sang prabu memuncak dan
ia menusuk mata sang istri dengan pisau dan butalah mata sang istri itu dan
diperintahkan para prajurit untuk membuang Dewi Widati ke hutan. Diam-diam Dewi
Rajatadi menguping dan ia terlihat senang. dua hari kemudian, Dewi Rajatadi
melahirkan bayi perempuan bernama Dewi Satapi. Kini, Dewi Rajatadi semakin
bahagia. Setelah saingannya telah tersingkir, kini dengan lahirnya sang putri,
ia bisa menjadi permaisuri tunggal di Gilingwesi. Namun, Hyang Widhi tidak
tidur. Tanpa dipikirkan sang Dewi Rajatadi, bayi kembar buncing Dewi Widati
ditemukan oleh Begawan Rukmawati dan diangkat menjadi anaknya. Kedua anak itu
oleh Begawan Rukmawati diberi nama Bambang Parikenan dan Dewi Srini.
Musuh
Baru para Dewa
Sementara
itu, Kahyangan cerah ceria setelah peperangan antara Ditya Sumba dan Ditya
Nisumba dimenangkan oleh pasukan para dewi. Namun kedamaian itu tak seberapa
lama. Hari itu, Batara Indra dan patihnya, Batara Wrehaspati datang ke istana
Iswaraloka, tempat Batara Guru. Sang dewanya para bidadara dan bidadari itu
mengabarkan kabar yang agak tidak mengenakkan “ampun ayahanda Batara.... ada
kabar tak mengenakkan. Di Marcapada ada dua yaksa kembar, Ditya Sunda dan
Upasunda yang tengah tapa brata.” “lalu apa yang kamu risaukan, Indra? Toh
setiap makhluk di marcapada ini berhak melakukan tapa brata.” Batara Indra lalu
melanjutkan “Tapi Ayahanda batara, tujuan mereka bertapa brata itu untuk
menguasai seluruh dunia ini. kakanda batara Brahma mengabulkan permintaan
mereka. Mereka meminta kekuatan tiada tara dan kedigjayaan.” Batara Guru terkesiap
namun dia tetap tenang. Ia memohon diri sejenak untuk semadi. Dengan pandangan
mata ketiga miliknya, ia melihat ke masa depan bahwa dua yaksa kembar itu
dikalahkan karena berebut seorang bidadari cantik, keturunan dari Indra dan
istrinya, Saci dengan bunga ratna di selipkan di mahkotanya. Lalu Batara Guru
terbangun dan memberitahukan apa yang dilihatnya. Batara Guru menyarankan
“Indra, putraku....kau harus turun ke marcapada bersama istrimu. Pergilah ke
hutan Sunyawibawa dan carilah tujuh buah bunga ajaib. Setelah itu biarkan
Sanghyang Widhi yang menentukan takdir untukmu.” Perintah pun ditaati.
Resi
Sakra
Tersebutlah
di tengah hutan Sunyawibawa, hiduplah sepasang suami istri bernama Resi Sakra
dan Nyai Indri. Mereka adalah sepasang tabib dan ahli pengobatan ternama di
Kerajaan Purwacerita dan sekitarnya. Para raja begitu hormat padanya, mulai
dari Prabu Cingkaradewa Purwacandra dari Medang Galungan yang menyukai sesama
jenis, Prabu Brahmasatapa dari Gilingwesi, Prabu Basupati dari Wirata, bahkan
Prabu Srimahawan sendiri. Keempat raja itu suka berobat ke sana. Tak sekadar
berobat, Prabu Srimahawan bahkan sering bertukar pikiran dengannya.
Pencarian
Tujuh Bunga Ajaib
Pada
suatu hari, tiba saatnya Resi Sakra menjelaskan maksud kedatangannya pada sang
Prabu Purwacerita “ampun Sang Prabu. Kedatangan hamba di hutan Sunyawibawa ini
ingin mencari tujuh bunga sakti. Bunga-bunga itu akan ku persembahkan pada para
dewa. Apakah Sang Paduka tau dimana adanya?” “seperti apa rupa bunga-bunga itu,
tuan Resi?” Resi Sakra menjelaskan jenis-jenis bunga itu yakni, bunga padma
berwarna emas, bunga tunjung berwarna biru keperakan, bunga gambir hutan
terlarang, bunga ratna* bertatahkan biji wijen, bunga mawar merah merona, bunga
melati kuning, dan mayang pohon aren paling harum. “hmmm bunga-bunga itu
nampaknya susah untuk dicari. Mungkin aku harus meminta bantuan para raja yang
lain.” singkat cerita, Prabu Srimahawan, Prabu Basupati, Prabu Brahmasatapa dan
Prabu Cingkaradewa Purwacandra saling bertemu dan membicarakan apa yang
diinginkan Resi Sakra. Lalu tiba-tiba muncul tujuh cahaya seperti pelangi di
penjuru Jawadwipa. Para raja merasa itulah benda-benda yang Resi Sakra cari.
Dengan kesaktian masing masing mereka segera melesat pergi. Singkat cerita,
Prabu Srimahawan mendapatkan bunga melati kuning dan bunga gambir hutan
terlarang. Sementara itu Prabu Basupati mendapatkan bunga mawar merah merona
dan bunga padma emas. Prabu Brahmasatapa mendapatkan bunga ratna bertatah wijen
dan bunga tunjung biru keperakan sedangkan Prabu Cingkaradewa Purwacandra
mendapat mayang aren paling harum.
Kutukan
dari Batara Guru
Di
tengah perjalanan, Prabu Cingkaradewa Purwacandra bertemu seorang pengembara
berwajah tampan. Jelas saja libido sang prabu naik. Lalu ia turun dari kudanya
sambil berkata “hei nak bagus.....kemarilah nak. mau ikut denganku?” “tentu
tuanku...suatu kehormatan besar bagi saya bisa ikut bersama tuan.” Si pemuda
polos itu tidak tahu bahwa ia akan dijadikan pemuas nafsu. Akhirnya sang raja
menemukan gubuk kosong dan mereka pun masuk. Sang raja segera membuka bajunya
dan membuka paksa baju sang pemuda. Pemuda itu meronta-ronta menolak untuk
digauli. Dengan kekuatan gendamnya, Prabu Cingkaradewa Purwacandra membuat si
pemuda seakan bertekuk lutut. Lalu datang halilintar menyambar gubuk dan
mengenai si pemuda itu. sang pemuda lalu bertukar wujud menjadi Batara Guru.
Batara Guru mengutuk perbuatan Prabu Cingkaradewa Purwacandra “hei kamu,
manusia bejat. Terimalah kutukanku. Akan datang kepadamu seorang maharesi yang
menggulingkanmu dan kau akan terlempar ke neraka dengan terjungkir balik!”
terbangunlah Prabu Cingkaradewa dengan bercucuran keringat. Lalu ia menemukan
arca emas Batara Guru dan ternyata ia jadikan bantalnya saat tidur tadi. Maka
ia segera bergegas menyerahkan mayang pohon aren itu kepada Resi Sakra.
Kelahiran
Delapan Bidadari, keturunan Sakra
Setelah
semua tumbuhan-tumbuhan itu, Resi Sakra segera meramu obat dari sari semua
tumbuhan itu yang lalu dijadikan satu. Setelah obat itu jadi, Resi Sakra dan
Nyai Indri segera meminumnya sebelum melakukan hubungan badan. Singkat cerita, empat
bulan kemudian, Nyai Indri mengandung dan kehamilannya aneh. Dia tidak
merasakan sakit ataupun perut membesar, melainkan hanya mual-mual saja. di
masa-masa itu, para raja mengusulkan untuk mengirimkan sepasukan prajurit untuk
melindungi sang resi dan istrinya namun Resi Sakra menolak dengan halus. Saat
kehamilan bulan ke tujuh ketika mencari jamur hutan, tiba-tiba datanglah
harimau besar menakuti Nyai Indri dan ia pun lari terbirit-birit. Saat sampai
di rumah, Nyai Indri merasakan sakit perut tak tertahankan petanda akan
melahirkan . Tanpa tabib maupun bidan, Nyai Indri bersalin dibantu sang suami,
Resi Sakra. Lalu datanglah dari kahyangan para bidadara dan bidadari antara
lain Dewi Urwaci dan Dewi Punjisatala. Mereka segera membantu jujungannya itu
melahirkan sementara para bidadara mengamankan rumah sang resi. Singkat cerita,
akhirnya Nyai Indri berhasil melahirkan dengan selamat. Rupanya ia melahirkan
anak kesemuanya ada delapan putri. Mereka pun menamainya putri-putrinya itu.
anak pertama bernama Dewi Supraba, yang kedua Dewi Tunjungbiru, lalu Dewi
Wilotama atau Nilotama, Dewi Warsiki, Dewi Surendra, Dewi Lengleng Mulat atau
Lengleng Mandanu, dan kembar yang bungsu dinamai Dewi Gagarmayang dan Dewi
Prabasini. Setelah kelahiran kedelapan putrinya, Resi Sakra dan Nyai Indri
kembali menjadi Batara Indra dan Dewi Saci. Sudah saatnya mereka kembali ke
kahyangan Rinjamaya. Sebelum pergi, Batara Indra menemui para raja yang telah
membantunya. Para raja yang datang yakni Prabu Srimahawan, Prabu Basupati, dan
Prabu Brahmasatapa sedangkan prabu Cingkaradewa Purwacandra tak hadir karena
ada masalah di kerajaannya. Batara Indra lalu memberikan berkatnya “Dengan
perkenan Hyang Widhi, aku memberkati kalian. Semoga kerajaan kalian makmur,
anak keturunan kalian banyak dan menorehkan nama mereka dalam sejarah.” Setelah
memberikan berkat, Batara Indra, Dewi Saci dan rombongan bidadari-bidadara
terbang ke kahyangan.
Tujuh
Bidadari dan Tiga Bidadari
Sesampainya di kahyangan, Batara Guru dan para dewa lainnya menyambut kedatang keluarga baru batara Indra. Lalu dengan Tirta Perwitasari, kedelapan putri bidadari itu diperciki dan disucikan. Ajaib, kedelapan bayi bidadari itu sekejap menjadi dewasa. Kecantikan mereka terpancar kuat. Karena kecantikan mereka, para dewa terperangah sampai-sampai Batara Brahma bertiwikrama menjadi dewa tampan berkepala empat demi memandangi delapan kemenakannya itu.
Delapan bidadari, putri Batara Indra |
Siasat
Mengalahkan Sunda dan Upasunda
Di Marcapada, Ditya Sunda dan Upasunda berkelana keseluruh dunia bersama pasukannya menyerang sejumlah negeri dan kota. Setiap negeri yang diserangnya pasti hancur lebur. Bahkan di suatu kesempatan, Batara Indra dan pasukan Dorandara yang membantu mengamankan Kerajaan Medang Galungan, Purwacerita, Wirata, dan Gilingwesi dibuat kalang kabut, kewalahan menghadapi kesaktian Ditya Sunda dan Upasunda. Lalu Batara Indra segera mengutus salah satu putrinya. “Wilotama, bantulah ayahanda untuk mengalahkan dua yaksa pengacau marcapada itu. saat ini nasib tanah Hindustan dan Jawadwipa berada di tanganmu.” “baik ayahanda Batara. Titahmu akan segera hamba laksanakan.” Maka turunlah Dewi Wilotama ke bumi, tepatnya ke perbatasan empat negara besar Jawadwipa tempat Sunda dan Upasunda berikut pasukannya berkemah. Di sana ia melihat Ditya Sunda dan Upasunda sedang semedi memohon salah satu bidadari kahyangan sebagai kompensasi tidak menyerang kahyangan. Maka Dewi Wilotama membangunkan mereka “Kanda Sunda! Kanda Upasunda! Bangunlah!” kedua yaksa itu terbangun dan bertanya “siapa andika yang cantik ini? kamukah bidadari impian yang dijanjikan para dewa itu?” “benar, kakanda berdua. Aku Wilotama, bidadari yang dijanjikan para dewa pada kalian.” Kedua yaksa itu terpana maka mereka menghentikan semedi lalu Ditya Sunda merayunya “Dinda Wilotama, menikahlah denganku. Apa yang kau inginkan akan aku kabulkan.” Tak kalah dengan kakaknya, Ditya Upasunda ikut merayu “jangan dengarkan kakakku, lebih baik menikahlah dan hidup denganku, maka dinda akan bahagia selamanya.” Lalu Ditya Sunda membentak adiknya, “Upasunda! dimana tatakramamu? Dia itu calon istriku.” Ditya Upasunda lalu balik membentak “kakang yang seharusnya bertatakrama. Dia itu calon pendamping hidupku.” Maka terjadilah perselisihan antara dua saudara kembar.
Ditya Sunda dan Upasunda memperebutkan Dewi Wilotama |
Tulah
Kemarau Panjang karena Menelantarkan Istri
Para
dewa senang karena musuh dewata untuk sementara sudah hilang namun Batara Guru
mendapat laporan dari Dewi Sri “ampun uwa Pukulun, ananda Prabu Brahmasatapa pernah
berbuat sewenang-wenang dengan nanda Dewi Widati dengan membuangnya ke tengah
hutan karena termakan siasat istri mudanya. Sampai sekarang nanda dewi masih terbuang
di tengah hutan.” Tak terhingga marahnya Batara Guru mka ia berdoa pada Hyang
Widhi agar Prabu Brahmasatapa diberi pelajaran. Doa Batara Guru didengar
oleh-Nya maka Hyang Widhi yang Maha Kuasa menghukum kerajaan Gilingwesi dengan
berkurangnya air sedikit demi sedikit dan pada tahun ketujuh belas akan menjadi
puncaknya. Atas perintah Hyang Widhi, Dewi Sri diperintahkan untuk berhenti
menyebarkan kesuburan. Sebaliknya, ia bersama Batara Bayu mengirimkan berbagai macam hama penyakit, angin
panas, dan angin dingin yang amat sangat ke Gilingwesi. Singkat cerita, angin
kencang panas dan dingin menyapu kerajaan sepanjang hari. Kalang kabutlah sang
prabu dan seluruh negara. Air di danau, sungai, dan perigi mulai berkurang,
tanaman tak kunjung tumbuh dan layu terkena hawa panas dan dingin silih
berganti. Sawah dan ladang menjadi bera tak terurus. Pada tahun ke tujuh belas,
datanglah hama-hama memakan segala bahan makanan. Kelaparan terjadi
dimana-mana.
Kembar
Buncing Penyelamat Negeri
Tujuh belas tahun berlalu, Begawan Rukmawati
dan kedua murid sekaligus anak angkatnya, Bambang Parikenan dan Dewi Srini berkelana
dari lereng gunung Mahameru ke sebuah desa di negara Gilingwesi yang dilanda
paceklik. Penduduk desa itu ingin meminta hujan. Begawan Rukmawati lalu
memerintahkan dua muridnya itu untuk membantu “Parikenan! Srini! Mari kita
bantu penduduk desa ini agar paceklik di negeri ini hilang.” “baik, guru. Apa
yang harus kami lakukan?” tanya Parikenan. Anakku Parikenan, kamu persiapkan
sarana sesajiannya. Srini! kamu segera buat bubur panjang dan hijau.” Baik,
guru!” singkat cerita bambang Parikenan segera menyiapkan dupa, kemenyan,
banten dan sesajian. Sementara Dewi Srini membuat bubur berbentuk lonjong
pnjang dan hijau. Bubur itu diberi nama Bubur Cendol Dawet. Bubur itu lalu
diserahkan pada Bambang Parikenan untuk didoakan. Setelah didoakan, sebagian
bubur itu dimakan oleh para warga dan sebagian lagi ditebarkan ke sawah, ladang
dan seluruh penjuru desa. Tak berapa lama kemudian, awan mendung datang
menutupi desa lalu turunlah hujan lebat mengguyur. Sungai-sungai, danau-danau,
kolam-kolam dan perigi-perigi kembali terisi air, sawah dan ladang kembali
basah. Pepohonan dan rerumputan tumbuh menghijau lagi. Warga desa bersukacita. Tulah
kemarau panjang telah berakhir.
Pertemuan
Dengan Sang Ibu Kandung
Setelah
membantu desa, Begawan Rukmawati, Bambang Parikenan dan Dewi Srini melanjutkan
perjalanan. Di tengah perjalanan, mereka bertemu dengan seorang wanita cantik
namun buta matanya ditemani sepasang anjing.Begawan Rukmawati bertanya “ni
sanak, siapakah nisanak? kenapa ni sanak berada disini? Tak adakha ang menolong
ni sanak.” Perempuan buta itu berkata “aku Widati. Aku dibuang suamiku selama
tujuh belas tahun di hutn ini bersama dua anakku ini.” Begawan Rukmawati lalu
mengheningkan cipta dan mendapat penglihatan dari para dewa bahwa Dewi Widati
adalah permaisuri Prabu Brahmasatapa yang dibuang karena dituduh melahirkan
anjing dan secara kebetulan di hari dibuangnya Dewi Widati, sang biarawati juga
menemukan dan memungut dua anak kembar buncing, yakni Bambang Parikenan dan
Dewi Srini di tengah hutan dahulu. Bambang Parikenan dan Dewi Srini merasa
kasihan dan ingin menyembuhkannya. Begawan Rukmawati mengerti dan segera meramu
obat. Atas kemurahan Hyang Widhi, begitu obat dibalurkan ke mata Dewi Widati,
mata Dewi Widati seketika sembuh dan ia bisa melihat lagi. Begawan Rukmawati
lalu menceritakan segala apa yang dilihatnya dalam semedi. Awalnya Dewi Widati
menyanggahnya, namun Begawan Rukmawati meyakinkan bahwa yang dilihatnya adalah
dari para dewa. Maka kini yakinlah bahwa anak-anak muda yang bersama begawan
Rukmawati itu adalah anak kandungnya yang hilang. Berlinanglah air mata Dewi
Widati penuh haru dengan kedua putra-putrinya. Pertemuan ang sangat dirindukan.
Begawan Rukmawati mengantar mereka bertiga kembali ke Gilingwesi untuk
mengungkapkan kebenaran yang selama ini tersembunyi
Menemukan
Jalan Pulang
Dalam
perjalanan, mereka bertemu dengan sepasang gadis dan jejaka yang
kelelahan.Begawan rukmawati segera menolong. Lalu Dewi Widati bertanya “anak
manis, siapa namamu, nak?” “saya Satapi dan ini tunangan saya, Sadaskara. Saya
putri Gusti Prabu Brahmasatapa.” “saya Sadaskara putra dari Resi Pujangkara,
Pendeta negeri Gilingwesi.” Dewi Widati terkejut bahwa yang ditemui adalah
putri tirinya. Maka ia mengenalkan diri “anakku kamu jangan takut. aku Widati,
ibu tirimu dan dua anak muda-mudi yang bersamaku adalah kakak-kakakmu. Nama
mereka Parikenan dan Srini.” Dewi Satapi terkejut karena baru kali ini ia
bertemu ibu dan kakak-kakak tirinya, Ia dan tunangannya itu segera sungkem kepada
sang ibu dan kedua kakak tirinya lalu bertanya “kanjeng ibu...kenapa aku tidak
pernah tau tentang ini. Kanjeng ayahanda tidak pernah menceritakannya”
“ceritanya panjang, anakku dan ini berkaitan dengan ibu kandungmu.” Dewi Widati
lalu menceritakan semuanya. Dewi Satapi terkejut namun tidak heran karena ibu
kandungnya sendiri kadang terlalu kasar padanya. Lalu Dewi Widati balik bertanya
kenapa mereka terlihat kelelahan. Dewi Satapi bercerita bahawa ia diculik oleh
raksasa hutan bernama Ditya Singasari dan tunangannya berniat merebutnya
kembali namun ia dicurangi maka ia terdesak. mereka berhasil kabur tapi terus
dikejar-kejar. Bambang Parikenan tergerak hatinya untuk membantu Arya Sadaskara
menumpas raksasa itu. Arya Sadaskara merasa senang karena calon kakak iparnya
itu mau membantu. Maka ia mendatangi Ditya Singasari. Tak perlu waktu lama,
Ditya Singasari berhasil ada dihadapan mereka. “heyy...manusia...kau kemana kan
calon mangsaku...berikan lagi padaku.” “aku tidak sudi menyerahkannya lagi
padamu, raksasa bejat.” Marah Ditya Singasari dan ia hendak memukul Arya
Sadaskara. Namun berhasil dihadang oleh Bambang Parikenan “heyy...denawa!!
kalau ingin mendapatkan adikku, langkahi dulu mayat kami.” Terjadilah pertarungan sengit antara Arya
Sadaskara dan Bambang Parikenan melawan Ditya Singasari. Pertarungan saling
sikut, saling terjang,dan saling pukul. Namun dalam waktu tak terlalu lama,
Arya Sadaskara merapal aji Gelap Lindu maka bergetarlah tanah dan terperosoklah
Ditya Singasari ke dalam lubang. Bambang Parikenan segera memanfaat keadaan
dengan menghunus keris Bayu Salaksa. Keris pun menancap ke dada Ditya Singasari
dan tewaslah ia. Dewi Satapi gembira karena tunangan dan kakaknya berhasil
mengalahkan raksasa yang telah menculiknya. Maka mereka berenam segera
meninggalkan hutan dan berangkat menuju kotaraja Gilingwesi.
Kembali
ke Gilingwesi
Prabu Bramasatapa dihadap permaisurinya Dewi Rajatadi dan Resi Pujangkara. Mereka sedang kalut memikirkan nasib Dewi Satapi dan Arya Sadaskara yang menghilang entah kemana. Bahkan Dewi Rajatadi bersedih keterlaluan hingga menyinggung perasaan suaminya. Suaminya murka dan tak sengaja mengeluarkan supata “Dinda Rajatadi, sedihmu keterlaluan...air matamu itu seperti air mata buaya...” maka kutukan pun terjadi, Dewi Rajatadi berubah wujud menjadi buaya putih dan langsung menghilang entah kemana. Sang prabu pun terduduk semakin kepikiran. Lalu adatanglah kabar dari penjaga bahwa ada sepasang pemuda-pemudi membawa Arya Sadaskara dan Dewi Satapi disertai Dewi Widati dan Begawan Rukmawati.maka sang prabu langsung berdiri dan menuju keluar keraton. Sesampainya di luar keraton, Prabu brahmasatapa dengan sinis berkata “Dinda Widati...sungguh kau tidak tau malu kamu....kau telah kembali dengan membawa bala bantuan. Itu tak akan berhasil membuatku luluh. Pergi dari hadapanku!.” Dewi Widati lalu berkata “kanda prabu...aku kemari bukan untuk pembelaanku. Aku kesini untuk membawa putra-putri kita yang hilang. Mereka dibesarkan eyang begawan Rukmawati. Inilah mereka, Parikenan dan Srini. Mereka juga yang menyelamatkan negeri ini dari kemarau panjang juga nanda Satapi dan Sadaskara.” “benar, anak prabu...aku bersaksi demi langit dan bumi. Demi nama Hyang Widhi yang Maha Mengetahui,mereka ini putra anak prabu dan anak permaisuri Widati. Mereka dibuang oleh nanda permaisuri Rajatadi dahulu karena iri hatinya pada nanda Widati” tambah Begawan Rukmawati. Namun namun Prabu Brahmasatapa tetap tak percaya malah menantang putrannya itu”aku tidak percaya..kalau dia putra-putri kita maka buktikanlah.” Dewi Widati semakin sedih dan sakit hati dengan kepongahan suaminya.
Batara Narada melerai pertengkaran Bambang Parikenan dengan ayahnya |
Sadarnya
Prabu Gilingwesi
Prabu
Brahmasatapa sadar bahwa ia terlalu menuruti egonya. Maka ia segera memeluk
permaisuri pertamanya dan ketiga anaknya. Mereka kembali berbaikan dan
membangun rumah tangga dari awal lagi. Beberapa tahun kemudian, Bambang
Parikenan melangsungkan pernikahannya dengan Dewi Brahmaneki, adik Prabu
Basupati yang kebetulan sebaya dengannya. Tak hanya itu, Dewi Srini dan Dewi
Satapi melangsungkan pernikahan juga. Dewi Srini menikahi putra Prabu
Srimahawan, Raden Sriwahnaya dan Dewi Satapi menikahi tunangannya, Arya
Sadaskara.
*bunga kancing
ungu/bunga kenop