Matur Salam,para pembaca sekalian.Karena kesibukan menyelesaikan skripsi, blog ini terbengkalai lama dan tidak mengunggah post baru. Kisah kali ini berkisah tentang Batara Indra dan kisah kepahlawanannya mengalahkan Ditya Writrasura dan menghukum Prabu Nahusa. Sumber kisah ini berasal dari ringkasan Kitab Rgveda, Kitab Mahabharata bagian Adiparwa karya Mpu Vyasa, Kakawin Indrawijaya karya Mpu Madya Mregiwu.
Masa
damai setelah angkara Ditya Sunda dan Upasunda berlangsung cukup lama.
Hindustan dan Jawadwipa berkembang. Di sisi lain, Adalah seorang yaksa keturunan
Maharesi Kasyapa dengan Dewi Danu bernama Writrasura bertapa dengan tekun kepada
Batara Brahma. Tapa bratanya kuat sekali sampai-sampai gunung-gunung berapi di
sekitar istana Daksinageni meletus dan memuntahkan lahar panas, batu, dan api
bersamaan. Maka datanglah Batara Brahma ke hutan tempat Writrasura bertapa
“anakku, Writrasura...tapa bratamu telah dijawab. Apa yang andika inginkan dari
bertapa brata yang sedemikian berat itu?” “hamba ingin hidup kekal abadi, tidak
bisa mati selamanya.” Batara Brahma lalu berkata “setiap makhluk hidup pasti
merasakan mati, begitu pula kami para dewa. Di dunia ini tak ada yang kekal
abadi kecuali Sanghyang Widhi yang Maha Awal lagi Maha Akhir. Mintalah yang
lain.” “baiklah...hamba meminta kekuatan maha hebat.....tidak bisa mati karena
benda cair, padat atau gas. Itu saja permintaan hamba.” Batara Brahma merasa
sangsi namun akhirnya ia memberikan kekuatan seperti itu pada Writrasura. Lalu
setelah pulang tapa brata, Writrasura menjadi jemawa dan menindas para yaksa
dan manusia yang lebih lemah.
Alkisah,
seorang resi kahyangan bernama Dadichi mendapat tugas untuk menyucikan senjata
para dewa dan bidadara dari darah dan energi jahat karena perang melawan para
yaksa keturunan Rudra Rancasan. Resi Dadichi mencuci semua senjata itu di kolam
di dekat alun-alun Suralaya. Lalu ia mencuci sambil berdoa “Hong wilaheng
awighnam astu namah siddham sekaring bawana langgeng....semoga Hyang Widhi
melunturkan energi jahat senjata ini, hilang segala keburukannya, dan bagus
auranya laksana semerbak bunga sejagat.” Tanpa disadari, sedikit demi sedikit
kesaktian senjata para dewa menjadi tawar, berkurang kekuatannya larut ke dalam
air kolam. Resi Dadichi lalu meminum seluruh air kolam bekas ia membersihkan
senjata-senjata para dewa
Bersamaan
dengan itu, Writrasura dan pasukannya mengobrak-abrik tiga dunia. Gunung-ganang
meletus dahsyat....angin panas dan angin dingin berhembus kencang. Bumi
gonjang-ganjing, langit kolap-kalip. Berkat kekuatan pemberian Batara Brahma,
ia tak terkalahkan. Ia mampu krodha menjadi ular raksasa dan menyedot semua
air, es dan salju di Jawadwipa dan Hindustan. Seluruh tanah Jawadwipa dan
Hindustan dilanda kekeringan dan kekurangan air...tanah pecah-pecah dan panas
bahkan sebagian berubah menjadi padang gurun nan gersang....tumbuh-tumbuhan,
binatang, manusia, para yaksa/raksasa dan jin merana lemas kehausan. Para dewa
di kahyangan khawatir jika Jawadwipa dan tanah Hindustan kembali tak bisa
ditinggali, maka mereka memutuskan mengambil kembali senjata mereka yang
dititipkan pada Resi Dadichi.
Ketika
para dewa dipimpin batara Indra datang, kekuatan semua senjata itu lenyap sama
sekali. Resi Dadichi menjelaskan bahwa sebelumnya ia mencuci semua senjata di
kolam dekat alun-alun Suralaya. Batara Indra terkejut dan ia berkata “ampun,
bapa resi. Kolam dekat Suralaya itu terkena cipratan Tirta Perwitasari, jadi
senjata apapun akan luntur kesaktiannya bila di cuci di kolam itu.”Resi Dadichi
terkejut. “waduh, ampuni hamba, pukulun. Maafkan keteledoran hamba......hamba
sudah berbuat kebodohan dan sekarang semua kesaktian senjata pukulun semua ada
dalam tubuh saya.” Batara Indra kalut
hatinya, begitupun para dewa lainnya. Kini para dewa sedang membutuhkan senjata-senjata
mereka tapi malah lenyap kekuatannya. Resi Dadichi lalu bertekat untuk
mengorbankan diri “pukulun Indra, seluruh kekuatan senjata para dewa sekarang
tersimpan di dalam tubuh hamba, diantara tulang-tulangku. Hamba punya permintaan
terakhir, tolong siapkanlah upacara pemakaman untuk hamba. Dengan kematian
hamba, pukulun Batara bisa menggunakan sisa-sisa tubuh hamba untuk dijadikan
senjata.” Singkat cerita, Resi Dadichi masuk ke pertapaannya dan bersemadi
dengan khusyuk. Tak lama kemudian, ia meninggal dunia. Kahyangan berkabung.
Upacara pemakaman di langsungkan. Jasad sang resi dibakar. Setelah habis api
ngaben, para dewa mengambil abu dan sisa tulang-tulang Resi Dadichi. Batara
Empu Wiswakarma, Batara Empu Ramayadi, dan Batara Empu Angganjali segera melebur
segala senjata para dewa dan bidadara bersama abu dan tulang-tulang Resi Dadichi.
Begitupun Batara Indra, ia ikut meleburkan Tombak Bajra miliknya. Tak lama
kemudian, Tombak Bajra milik batara Indra tiba-tiba keluar dari tempat
peleburan senjata dan mengeluarkan kilauan yang jauh lebih terang daripada
sebelumnya. Kini kekuatan halilintar Tombak Bajra jadi berkali-kali lipat, setara
dengan seluruh senjata para dewa yang digabungkan.
Hingga
pada saatnya, Writasura kali ini benar-benar mengobrak-abrik kahyangan dengan menghisap seluruh air,
es, dan salju di sana. Batara Indra segera mengerahkan kekuatan kahyangan.
Pasukan Writasura dengan hebatnya mampu diobrak-abrik oleh pasukan dewa yang
dipimpin Batara Bayu. Namun berbalik lagi ketika Batara Bayu menyerang
Writrasura. Dengan entengnya, angin prahara yang dilemparkan sang dewa angin
berbalik mengenainya karena mendal oleh ekor ular jelmaan krodha Writrasura.
Tinggal Batara Indra dan Writrasura saling berhadapan. Kini ia menemui
Writrasura di atas langit. Ia berkata pada Writrasura “Writra, jadi beginikah
balasan kepada Yang Maha Kuasa, dengan menyakiti dan berbuat semena-mena pada sesama
sendiri.” “peduli setan dengan Yang Mahakuasa, aku adalah raja diraja para
yaksa dan sebentar lagi aku akan menjadi Yang Mahakuasa. Hanya aku di dunia ini
yang patut dijadikan raja segala raja” Murkalah sang raja bidadari itu dan segera ia menghajar
Writrasura.
Pertarungan sangatlah menggoncangkan tiga dunia. Kekuatan Writrasura dan Batara Indra setara. Lalu Writrasura mengerahkan wujud krodha terkuatnya, berubah wujud menjadi ular naga hendak mencaplok sang Batara Indra dan menelan Kala Rahu yang saat itu hendak menjalankan tugasnya untuk menciptakan gerhana matahari. Batara Indra segera masuk ke dalam mulut Writrasura dan menolong Kala Rahu. Di dalamnya, Batara Indra segera mengeluarkan ajian Tirta Muru hingga menutupi seluruh mulut Writrasura yang terbuka. Jutaan buih-buih air itu lalu menutupi mata Writrasura. Kala Rahu yang berhasil selamat lalu segera menelan cahaya matahari. Buih-buih yang mengganggu pandangannya itu berhasil disingkirkan namun Writrasura kembali menjadi susah mengetahui keberadaan Batara Indra karena langit gelap karena gerhana. Segeralah sang Batara melemparkan Tombak Bajra ke mulut sang yaksa dan Duaaaar....kilat pun menyambar, petir menggelegar. Mulut dan seluruh tubuh Writrasura tersambar halilintar dari tombak Bajra.
Batara Indra mengalahkan Writrasura |
Untuk
merayakan kemenangan Batara Indra, sang batara mengundang beberapa yaksa baik
ke istana Rinjamaya untuk berpesta diantaranya ada Resi Wiswa, adik Writrasura.
Resi Wiswa adalah sahabat karib batara Indra. Walaupun ia sedih karena kakaknya
tewas di tangan sahabatnya, Resi Wiswa tetap lapang dada dan memutuskan datang
ke pesta batara Indra karena yang ia yakini bahawa itulah jalan yang ditempuh
sang kakak demi mencapai alam baka. Kedatangan Resi Wiswa disambut baik oleh
batara Indra dan mempersilakan ia untuk memimpin doa sebelum acara
dilangsungkan. “Hong wilaheng awighnam astu namah siddham sekaring bawana jagat
langgeng.....nuwun amit pasang kaliman tabik....semoga para yaksa dan para dewa
tetap seperti ini.....jangan banyak permusuhan..” setelah doa dipanjatkan,
pesta kemenangan para dewa diselenggarakan. Saat itu Batara Indra didatangi
seorang dewa bernama Batara Dwapara. Sang dewa lalu berkata “Pukulun Indra,
nampaknya kamu sangat menikmati pesta kali ini. tapi aku khawatir kalau ini
akan berakibat buruk nantinya.” “apa maksudmu, Batara?” Batara Dwapara lalu
menghasut batara Indra “begini Pukulun, anda pasti tahu siapa resi Wiswa kan. Dia
adik dari Writasura, sudah barang tentu cepat atau lambat, seorang adik akan
membalas dendam kakaknya yang tewas apalagi kakaknya tewas di tangan pukulun.
Pikirkanlah lagi, Resi Wiswa mungkan akan membuat makar dan membinasakan
pukulun kelak di kemudian hari.” Batara Indra mulai goyah hatinya. Lalu ia
meminta Resi Wiswa untuk keluar dari arena pesta dan berjalan-jalan bersama.
Batara
Dwapara yang tak lain adalah putra dari Batara Rudra Rancasan segera membuat
siasat untuk membuat para dewa Jonggring Saloka malu. Lalu ia mendatangi Batara
Bayu dan mengadu dombanya dengan Batara Indra “waduh-waduh...pukulun Batara
bayu...rupanya pukulun enak sekali menikmati pesta ini...tadi aku bersama
Pukulun Indra. Dia mengatakan padaku bahwa beliau kesal pada pukulun. Beliau
mengatakan anginmu tak cukup kuat untuk membuat Writasura limbung makanya ia
meragukan hasill kerjamu sebagai dewa angin.” Beranglah batara Bayu
“beraninya...kakang Indra mengatakan begitu. Dia belum tahu saja kalau angin
puting beliungku bia membuatnya menyesal seumur hidup.” Batara Dwapara lalu
berkata “aduh....jangan terlalu marah begitu...pukulun Indra tidak mungkin melakukan
hal semacam itu tapi aku rasa ia telah termakan kata-kata Resi Wiswa. Resi
Wiswa telah mendoktrin pukulun Indra agar beliau bisa segera menjadi ajudan
kahyangan disamping pukulun Wrehaspati lalu beliau akan mendepak pukulun.”
Makin kesal hati sang batara Bayu. Ia lalu bertanya “dimana si Wiswa itu
sekarang?” Batara Dwapara mengatakan bahwa sekarang Resi Wiswa sedang bersma
Batara Indra di luar tempat pesta. Maka berangkatlah Batara Bayu. Sementara itu
batara Dwapara kembali ke istananya di Kahyangan Tunjungkresna dan tertawa senang
karena rasa iri hatinya kepada para dewa Jonggring Saloka telah terlampiaskan.
Tak lama lagi dua dari para dewa itu akan saling bermusuhan satu sama lain.
Resi
Wiswa dan Batara Indra saling berhadapan di pendapa Bale Marakata. Lalu batara
Indra menodongkan keris ke hadapan Resi Wiswa seraya berkata “Wiswa
sahabatku...apakah dalam hatimu ada secuil dendam padaku karena aku membunuh
kakakmu?” terkejut Resi Wiswa namun dengan santainya Resi Wiswa menurunkan keris
sang batara lalu berkata “sabahabtku
pukulun Indra....apakah di mata pukulun, saya terlihat sebagai pendendam? Untuk
apa pula saya menaruh dendam pada pukulun, lebih-lebih lagi pada kakak saya
yang jelas-jelas ingin menyamakan dirinya dengan Sanghyang Widhi, Gusti kang
Murbeng Jagat? Saya sudah berulang kali mengingatkannya agar tidak salah jalan
namun ia tetap memilih jalannya sendiri...saya tak berdaya namun saya yakin
suatu saat ia akan sadar namun takdir berkata lain...ia justru menemukan
kebebasan dri belenggu nafsu dan kotornya alam mayapada lewat tangan
pukulun...sejujurnya saya yang iri, kakang Writrasura yang sedemikian jahat dan
kejamnya mendapat kehormatan bisa terbebas dari kehidupan fana melalui pukulun
sendiri....” tergetarlah hati batara Indra....sahabatnya sendiri terbukti tulus
dan ikhlas, tidak ada dendam kepadanya. Batara Indra sadar bahwa Resi Wiswa
sudah mencapai pencerahan rohani yang tertinggi. Batara Indra merasa ia telah
diperdayakan kata-kata batara Dwapara. Tak dinyana tak diduga, datang angin
kencang. Tangan sang batara Indra yang saat itu memegang keris terdorong lalu
menusuk dan menggorok leher Resi Wiswa. Seketika itu pula Resi Wiswa roboh.
Batara Indra terkejut dan menangis, merasa sangat berdosa. Ia tanpa sengaja
membunuh sahabatnya dengan tangannya sendiri. Resi Wiswa dengan sisa-sisa
kesadarannya menenangkan sahabatnya “sahabatku...tenangkanlah
hatimu...tabahkanlah jiwamu....mungkin ini pula takdirku....bisa mati di
tanganmu....aku merasa sangat senang....” tak lama kemudian Resi Wiswa
meninggal dunia dengan tenang. Batara Indra menangis keras.... hujan turun
dengan lebatnya.....sang batara mencoba membangunkan Resi Wiswa namun tak
berhasil. Sahabtnya kini telah pergi. Ia terus merasa berdosa. Tak lama
kemudian para dewa termasuk Batara Guru dan Batari Durga datang. Lalu Batara
Indra menoleh ke belekang ke arah angin berasal. Rupanya ada Batara Bayu.
Batara Indra marah dengan kelakuan adiknya itu “Bayu, apa yang kau perbuat? “
“aku coba membebaskan kakang dari ucapan yaksa busuk itu.” “busuk katamu? Resi
Wiswa yang agung dengan legawa berterus terang tentang isi hatinya. Apakah yang
telah merasukimu hingga membuat aku membunuh orang tidak bersalah?” perkataan Batara Indra membuat Batara Bayu berang lalu melemparkan angin kencang kearah Batara Indra.
Karena
saking sedih dan marahnya, batara Indra meluapkan segala emosinya kepada Batara Bayu, Keduanya lalu bertengkar dansaling
berperang. Alam menjadi murka. Angin topan prahara dan badai halilintar beradu
di marcapada. Tiga dunia dilanda kekacauan. Lalu Batara Guru, Batara Semar dan
Batara Wisnu melerai pertarungan kedua dewa itu. Batara Semar lalu berkata “Kalian
benar-benar memalukan! Kalian mudah sekali diadu musang berbulu ayam hingga
tanpa sadar kalian telah membuang dharma dan kesopanan. Kalian bahkan mengabaikan
jasad orang suci hanya karena perkelahian tidak penting seperti ini. Ditaruh
dimana muka kalian?!” “benar apa yang dikatakan oleh kakang Semar, kalian mudah
diadu domba. Saya sangat kecewa dengan perbuatan kalian” tukas Batara Guru. Batara
Indra dan batara Bayu sadar. Malu mereka bertarung hingga melupakan
persaudaraan dan dharma kesopanan karena hasutan Batara Dwapara. Batara Bayu
dan Batara Indra murka dan melontarkan kutuk pasu bahwa kelak batara Dwpara
akan menitis dan pada setiap penitisannya akan mati dengan cara yang sangat
hina. Lalu para dewa semuanya segera menyiapkan upacara ngaben untuk Resi Wiswa.
Hari
demi hari Batara Indra dirundung perasaan bersalah. Ia merasa seakan dikejar
dosa. Maka ia sengaja meninggalkan kahyangan dan mengasingkan diri ke dasar
danau. Rasa berdosa melingkupi hati sang raja bidadari itu. Langit seakan ikut
merasakan rasa itu. Awan mendung berarak-arak menutupi sinar matahari. Di
berbagai tempat, hujan turun dengan deras dan banjir tak surut-surut. Badai
halilintar dan petir menyambar orang-orang dan hutan. Di tempat lain, badai es
dan salju menenggelamkan puncak gunung-gunung dan mengubur dataran rendah di bawahnya
sampai membeku. Panen menjadi gagal dimana-mana. Danau tempat Batara Indra
mengasingkan diri menjadi sangat angker. Istri Batara Indra, Dewi Saci menjadi
khawatir begitu juga penghuni kahyangan yang lain. Di tempat lain, Prabu
Nahusa, raja Kandaparasta sudah mulai sepuh dan telah dikaruniai dua putra dari
pernikahannya dengan Dewi Asokasundari yakni Resi Yati dan Raden Yayati. Resi
Yati tidak berniat menjadi raja, lebih menyukai hidup tenang dan mendalami ilmu
kerohanian maka takhta Kandaparasta diserahkan kepada Raden Yayati suatu hari
nanti.
Kahyangan
sedang kalang kabut karana ketiadaan Batara Indra sebagai dewa cuaca dan raja
para bidadari. Tak ada yang tau kapan ia kembali dari pengasingan. Maka
diadakan persidangan untuk melantik raja para bidadari yang baru. Batara Bayu mengusulkan
agar Prabu Nahusa saja yang menjadi raja bidadari yang baru. Namun Batara Kala
lebih mengusulkan agar cucunya yang bernama Prabu Kalayuwana saja yang menjadi
raja. Kini gantian Batara Brahma yang berpendapat. Ia mengusulkan agar putranya
yang sudah lama kembali ke kahyangan dari alam bumi yakni Prabu Bremana.
Akhirnya diadakan undian. Setelah undian tersebut, yang keluar terbanyak adalah
Prabu Nahusa. Maka para dewa sepakat bahwa Prabu Nahusa dari Kandaparasta akan
dilantik sebagai raja bidadari menggantikan Indra. Maka batara Wrehaspati
diutus turun ke bumi menjemput Prabu Nahusa. Prabu Nahusa merasa terhormat
untuk dipanggil menjadi pengganti Batara Indra. Maka ia menyiapkan kendaraan
untuk naik ke kahyangan. Ia menyiapkan sebuah joli namun dengan semena-menanya,
ia memaksa para resi dan pendeta untuk mengangkat joli itu. Walaupun dipaksa,
para resi dan pendeta bersedia mengangkat Prabu Nahusa ke kahyangan dengan
kekuatan yogi mereka. Di sepanjang jalan, para resi minta untuk istirahat namun
Nahusa tidak mengijinkan karena ingin merasakan enaknya kehidupan kahyangan.
Maka dengan kepayahan, para resi memanggul itu joli.
Di kahyangan, Batara Wisnu menyaksikan dari kejauhan Prabu Nahusa memaksa para resi memanggulnya dengan joli. Lalu ia melaporkan itu ke Batara Guru dan Batara Semar “Nahusa benar-benar mencobai kesabaran kita, kakang Semar. Sudah mau jadi dewa saja sudah sepongah itu.” “benar dinda Manikmaya, lagipula para resi tidak pantas diperlakukan begitu. Kita harus menghentikannya. Anakku, Wisnu. Cepat bujuk kembali Indra untuk menghentikan Nahusa” singkat cerita, Batara Wisnu mencari Batara Indra di danau. Di sana Batara Indra bersemadhi melakukan tapa memohon ampun kepada Sanghyang Widhi. Batara Wisnu berusaha membangunkan tapa Batara Indra namun ia tak tergetarkan bahakan bergeming pun tidak. Tak ada pilihan lain, Batara Wisnu harus ikut bertapa dan masuk ke dalam pikiran Batara Indra. Di dalam alam pikiran, mereka saling bertarung argumen “kanda Indra, kembali lah ke kahyangan.” “tidak akan Wisnu, dosaku membunuh Wiswa tak terampunkan.” “dosa kakang akan semakin tak terampunkan bila meninggalkan amanah. Sekarang Nahusa sedang mengincar takhta kanda..” Batara Indra berkata tak peduli lagi dengan takhtanya malah merelakannya. batara Wisnu tak kurang akal. Ia mengatakan bahwa Nahusa tak akan menjadi pemimpin yang baik dan suka semena-mena lalu ia memberi penglihatan bahwa saat ini Nahusa sedang memaksa para resi memanggulnya di atas joli sebagai bukti. Batara Indra mulai luluh dan menimbang bahwa yang diperlihatkan oleh Batara Wisnu itu benar. Maka ia segera bangun dari tapa bratanya dan segera
Batara Indra menghukum Prabu Nahusa |