Selasa, 24 Juni 2025

Banjaran Sri Kresna episode 8: Makar di Mandura

Hallo semua, sudah lama saya tak menulis kisah Banjaran Sri Kresna. Kisah Kali ini menceritakan titik balik hidup Sri Kresna dan saudara-saudarnaya yakni Kangsa membuat makar (kudeta). Kisah diawali dengan kedatangan kakek Semar ke Widarakandha dan memerintahkan Udawa, Kakrasana, Narayana, dan Pragota meguu pada Resi Padmanaba. lalu kisah singkat Bale Sigala-gala dan pernikahan Bhima dengan Dewi Nagagini lalu pertemuan pertama Permadi dengan Narayana di peguiruan Resi Padmanaba. Kisah dilanjutkan dengan kudeta yang dilakukan Kangsa yang membuat seluruh keluarga Yadawa hampir mati. Kisah diakhiri dengan terbunuhnya Kangsa oleh Kakrasana dan Narayana. kisah ini mengambil sumber kitab Mahabharata karya Mpu Vyasa, Serial kolosal india Mahabharat Starplus dan Radha Krishna Starbharat, dan berbagai karya lainnya.

Pada suatu hari di musim gugur yang indah, para gembala di Widarakandha sedang bersiap-siap untuk pulang, menyiapkan jerami dan rumput kering persiapan menyambut musim dingin. Para petani juga mulai membawa pulang padi, jelai, sayur dan buah-buahan yang baru selesai dipanen. Ketika itu, empat putra Nanda Antagopa: Udawa, Kakrasana, Narayana, dan Pragota baru saja pulang. Ketika memasuki rumah, mereka melihat di atas amben, Nanda Antagopa dan Nyai Yasodha sedang kedatangan tamu. Di saat demikian lah, Nanda Antagopa memanggil mereka “anak-anakku, untung kalian datang lebih awal.” Nyai Yasodha melanjutkan“Mari kesini duduk dulu anak-anak...kita kedatangan tamu besar.” Orang yang dimaksud kemudian berbalik. Terlihat ia seorang yang tua bijak. Jika dilihat sekilas, ia jelas seorang pria namun karena gemuk badannya, ia nampak seperti perempuan tapi ia sangat berwibawa. Matanya yang berkerut itu terlihat sembap meskipun demikian dari air muka yang nampak, ia sangat gembira hatinya. Nanda memperkenalkan orang itu “anak-anak...ini Kakek Semar. Dia pamomong dari resi agung Abiyasa.” Udawa dan lainnya tertegun, seketika bersimpuh hormat dan entah kenapa Kakrasana dan Narayana seakan sudah mengenalnya sejak lama.  Semar mendatangi mereka berempat dan menyuruh mereka menegakkan kepalanya “hmmm..mblegedag gedug...hmmm....bangunlah anak-anakku... aku ini hanya orang biasa saja.” Setelah menyuruh mereka bangun, kakek Semar memanggil mereka terutama Kakrasana dan Narayana “ kalian berempat duduklah di dekat amben...khusunya untuk kalian Kakrasana dan Narayana, duduk di sebelahku. Aku mendapatkan sesuatu yang harus kuberitahukan pada kalian ” Kakrasana dan Narayana saling berpandangan lalu bertanya“ apa yang ingin Kakek sampaikan pada kami?”

Semar bertemu putra-putra Nanda
Semar menjawab “ Anakku, Kakrasana dan Narayana. Sudah saatnya kalian pergi meguru.” Narayana bertanya kurang paham “meguru? Kepada siapa kami akan meguru, kakek? Kami tak ada koneksi ke siapapun resi atau pandita di sekitar sini.” Kakek Semar mengerti lalu ia melanjutkan bicaranya “Narayana kau harus pergi ke Gunung Untaryana. Di sana kamu akan meguru pada seorang resi di Gunung Untaryana. Namanya Resi Padmanaba. Beliau adalah resi kesayangan dewata. Dengan berguru padanya, takdirmu yang sesungguhnya akan tersibak.” Kakrasana dengan suaranya yang keras dan ceplas-ceplos bertanya “Lha Terus Aku Gimana? Aku Harus Meguru pada Siapa?!” Kakek Semar lalu tersenyum dan berkata “ Kakrasana, gurumu lumayan istimewa. Tapi kamu harus bertapa dulu di gunung Waikunta. Kelak akan ada seseorang yang akan membangunkanmu, maka kamu harus bergurulah padanya.”. Tanpa ragu, Kakrasana dan Narayana setuju dan beberapa hari kemudian, mereka pun meninggalkan desa Widarakandha untuk berguru. Narayana pergi bersama Udawa ke gunung Untaryana dan Kakrasana bersama Pragota ke gunung Waikunta.

Sementara itu, kabar para Pandawa yang dimomong oleh Kakek Semar saat ini tidak bagus. Setelah peristiwa kemunculan Naga Kaliya di bengawan Yamuna, tak henti-hentinya ujian mendera mereka. Perundungan oleh para Kurawa tetap terjadi sehingga datanglah Begawan Dorna, seorang pandita dari Argasoka menjadi guru ilmu perang mereka dan para Kurawa. Lima tahun setelah belajar kepadanya mereka didadar untuk menentukan siapa pewaris takhta terbaik Hastinapura. Hasilnya seri. Lalu Begawan Dorna mengadakan pendadaran lagi dengan menyerang kerajaan Pancalaradya dikarenakan Dorna punya dendam pribadi dengan prabu Drupada. Para Kurawa dibuat kalang kabut oleh kesaktian Prabu Drupada dan Harya Gandamana. Asal tahu saja, Harya Gandamana adalah ipar Drupada yang dulu mengabdi sebagai patih Hastinapura yang pada akhirnya dikudeta oleh Harya Suman alias patih Harya Sengkuni. Namun ketika Para Pandawa harus berhadapan dengan Drupada dan Gandamana, mereka ragu dan bimbang karena bagi Pandawa, Drupada dan Gandamana adalah sosok paman bagi mereka namun para Pandawa tidak bisa mundur lagi. Mereka pun mengalahkan mereka berdua dan membawa keduanya ke hadapan begawan Dorna. Raja dan iparnya itu dipermalukan dengan Kerajaan Pancalaradya disigar menjadi dua. Akhirnya Pandawa berhasil memenangkan pendadaran dengan ditetapkannya Puntadewa sebagai pangeran mahkota Hastinapura. Hal itu membuat Raden Suyudana, sulung para Kurawa berang dan tak puas hati. Awalnya Suyudana coba mencelakai Harya Bratasena dengna mengajaknya makan di Pramanakoti lalu meracuninya tapi setelah terkena racun itu, ia diselamatkan oleh Batara Basuki, malah mendapat kekuatan dewata yang membuatnya kebal racun, tahan hidup di dalam air dan tanah, dan memiliki kekuatan sepuluh ribu gajah. Atas desakan dan hasutan Sengkuni, dibuatlah sebuah makar yakni membakar hidup-hidup para Pandawa dan ibu mereka. Maka dengan bantuan, Purocana, dibangunlah sebuah pesanggrahan megah di hutan Warnabrata yang terbuat dari kayu bakar, kulit pohon damar, papan tipis, dan bambu yang dilapisi bahan-bahan mudah terbakar seperti minyak gegala, minyak pernis (lak), lalu ditutup dengan kulit binatang dan kain katun bekas. Tiang-tiangnya diisi dengan bubuk mesiu, gandarukem, minyak tanah, lalu ditutup dengan jabung. Oleh Suyudana, pesanggrahan itu dinamai bale Sigala-gala. Para Pandawa pun diajak berpesta-pesta di sana. Lalu ketika mereka tertidur, para Kurawa pun membakar para Pandawa dan Dewi Kunthi hidup-hidup di dalam istana kehancuran itu.  Terdengarlah suara orang-orang panik dan ketakutan dari dalamnya. Para Kurawa suka hati dengan suara kepanikan di dalam pesanggrahan yang terbakar itu, pertanda itu suara para Pandawa dan Dewi Kunthi tersiksa oleh panas dan ledakan api. Ditambah lagi saat kebakaran mulai reda, mereka menemukan enam jasad manusia, lima lelaki dan satu perempuan. Yang disangka Kurawa sejatinya tidak sepenuhnya benar. Kepanikan memang terjadi. Akan tetapi, dengan siap siaga, Bratasena yang berbadan besar segera menggendong ibu dan adik-adik bungsunya, Pinten-Tangsen. Puntadewa, Bratasena, dan Permadi berlarian di antara puing-puing yang terbakar dan meledak. Namun keajaiban terjadi, seekor garangan putih muncul dan menuntun mereka ke ujung ruangan. Mereka mendapati ada sebuah terowongan dan dari dalamnya muncul Kanana, abdi kinasihnya Arya Widura, adik Drestarastra dan Pandu. Para Pandawa pun masuk dan langsung Kanana menutup terowongan secepat mungkin. Mereka bertujuh lari mengikuti garangan putih itu lari menjauhi pintu terowongan yang semakin lama semakin panas. Sementara enam jasad yang ditemukan para Kurawa adalah keluarga brahmana yang kebetulan sedang ditampung Dewi Kunthi yang terdiri dari seorang ibu dan lima anaknya.

Kisah pun berlanjut, para Pandawa berhasil selamat dari makar jahat Kurawa yang hendak membakar mereka di bale Sigala-gala. Mereka dituntun garangan putih hingga masuk ke sebuah negeri asing. Tempat asing itu sangatlah indah dan mengherankan. Banyak tanaman dan pohon di sana yang janggal dan tak ditemukan di belahan dunia manapun. Tanaman-tanaman tersebut ada yang tumbuh menggantung pada batu-batu stalaktit, ada pula menjalar di permukaan tanah, dan ada pula tanaman yang mampu bercahaya bak batu kristal. Negeri itu tak mengenal siang ataupun malam namun dapat terang benderang dan gelap temaram oleh pendar cahaya yang dipantulkan oleh batu-batu kristal beraneka ragam warnanya seakan-akan mengikuti perubahan siang-malam. Seorang prajurit  dengan kulit bersisik-sisik datang ke hadapan tujuh orang itu dan mempersilakan mereka masuk ke sebuah bangunan.Tak lama kemudian, mereka sampai di bangunan tersebut yang ternyata sebuah istana megah. Istana itu berupa istana yang dipahat pada dinding gua dan berhiaskan batu-batu indah bak dipahat oleh para bidadara dan hapsara-hapsari di kahyangan di atas langit sana. Dari dalam istana itu keluarlah sosok yang menjadi sosok raja di daerah itu. Raja tersebut juga berkulit sisik seperti para prajurit yang menuntun mereka di luar istana. Di sampingnya berdirilah putri sang raja. Berbeda dengan ayahnya dan penjaga disana, kulitnya putih bersih. Wajahnya sangat cantik bak bidadari. Badannya sintal dan berisi. Para Pandawa terutama Bratasena tak dapat berhenti menatap sang gadis cantik. Kemudian,sang raja menyambut para Pandawa,Dewi Kunthi, dan Kanana lalu mengenalkan dirinya ”selamat datang, anak-anakku Para Pandawa dan rombongan. Syukurlah, kalian bisa selamat dari kejadian buruk yang hampir menimpa kalian. Perkenalkan, aku Batara Anantaboga, penguasa kahyangan Saptapertala, kerajaan bawah bumi lapis ke tujuh dan ini putriku, Nagagini.” Para Pandawa dan Dewi Kunthi kemudian berlutut. Dewi Kunthi mengucap rasa syukur kepada Batara Anantaboga “Salam, pukulun Anantaboga. Suatu kehormatan bagi kami bisa datang ke kediaman pukulun. Rupanya garangan putih yang telah menuntun kami adalah salah satu punggawa pukulun” “sudahlah, Kunthi. Yang lalu biarlah berlalu, yang penting Hyang Widhi tetap memberikan keselamatan bagi kita. Mari masuk ke dalam istana. Kalian ku izinkan tinggal untuk beberapa waktu. Hitung-hitung untuk melepaskan trauma kedua putra kembarmu.” Kemudian mereka masuk ke istana indah Saptapertala. Di taman istana, Bratasena yang sedang memandangi indahnya tumbuh-tumbuhan dan bunga-bunga yang mekar di sana terkejut dengan kedatangan Dewi Nagagini “Raden, sedang apa disini?” “Ehhh... akuu..  sedang memandangi indahnya negeri tempat tinggalmu. Indah sekali. Tentram rasanya.” Bratasena yang selama ini biasa saja berhadapan dengan wanita kini menjadi kaku dan kelu ketika bersama Dewi Nagagini. Begitupun Dewi Nagagini. Ada getaran hati yang bergelora. Serasa di dalam hati mereka, bunga-bunga mekar dan menari bak padi ditiup angin dalam pikiran. Panah asmara telah menancap pada dua pasangan beda dunia itu. “Raden suka berada di Saptapertala ini?” Bratasena terkejut dan menjawab dengan gayanya yang lugas “Ehhh... senang. Senang sekali!” Nagagini juga membalas “ aku juga dan sejak kedatangan raden sekeluarga, aku makin betah berada disini.” Jawaban Bratasena tadi membuat hati Dewi Nagagini semakin bergetar. Sang dewi kemudian berbaring di pangkuan Bratasena. Lubuk hati Bratasena tak kalah bergetarnya melihat Dewi Nagagini berbaring di pahanya. Nampaknya gelora cinta Bratasena dan Nagagini sudah semakin membahana. Dewi Kunthi kemudian berunding dengan putra sulungnya, Puntadewa dan Batara Anantaboga tentang rencana hubungan mereka. Sebenarnya Dewi Kunthi dan Batara Anantaboga setuju kalau mereka segera menikah namun Dewi Kunthi merasa tidak enak pada Puntadewa yang sampai sekarang belum memperoleh kekasih.”ibuku, aku tidak masalah bila Bratasena menikah dulu. Aku tidak merasa dilangkahi malahan merasa senang dan aku merestui hubungan mereka ke jenjang yang lebih intim.” Pernyataan putra sulungnya itu membuat Dewi Kunthi terharu dan Batara Anantaboga sudah menyiapkan tanggal yang pas untuk pernikahan putri satu-satunya dengan putra kedua Pandu Dewanata itu. Hari pernikahan pun tiba, Bratasena dan Nagagini duduk bersanding di pelaminan berhiaskan berbagai bunga dan batu mulia yang mengeluarkan pendar yang menenangkan bila mata memandang. Nampaklah kebahagiaan di balik senyum dan mata mereka.

Pernikahan Bratasena dengan Nagagini
Pernikahan manusia dan bidadari dari bangsa ular naga itu nampak sempurna. Setelah upacara pernikahan selesai dan Dewi Nagagini hamil muda, para Pandawa dan Dewi Kunthi ingin kembali ke dunia atas. Dewi Nagagini coba mencegah sang suami, Bratasena tapi apa mau dikata, keputusan sang suami sudah bulat. Ia akan mengikuti kemanapun para saudara dan ibunya pergi demi tegaknya keadilan dan kebenaran. Batara Anantaboga tak ayal mencegah keinginan mereka namun sebelum mereka beranjak, dia memberikan saran “Kunthi, aku tak bisa mencegahmu tapi menyamarlah kalian sebagai brahmana untuk menyembunyikan identitas kalian.” Setelah menanggalkan pakaian kebesaran mereka dan berganti dengan pakaian brahmana, Puntadewa memakai nama Resi Dwijakangka. Bratasena menjadi Wasi Kusumayuda. Permadi menjadi Wasi Parta. Pinten dan Tangsen menjadi Wasi Grantika dan Tripala. Sedangkan Dewi Kunthi memakai nama Nyai Prita. Setelah itu Batara Anantaboga berubah menjadi naga dan mengantar mereka ke permukaan bumi. Dewi Nagagini menatap suami, ibu mertua dan ipar-iparnya itu dengan penuh harap kelak putra mereka akan bertemu lagi dengan sang ayah di lain tempat dan kesempatan. Batara Anantaboga mengantarkan mereka hingga di permukaan bumi, tepatnya di pinggir Bengawan Yamuna. Setelah itu, Kanana memutuskan untuk kembali ke Panggombakan untuk memberi kabar pada Arya Widura yang sebenarnya terjadi “Kanana, aku tidak melarangmu untuk kembali tapi kumohon selain kau dan adhi Widura, tolong rahasiakan tentang nasib dan keberadaan kami. Biarkan Gusti Hyang Widhi dan sang-waktu lah yang akan menyibak keberadaan kami pada saatnya nanti.” “Baik, gusti ratu. Anak-anakku Pandawa, jagalah ibu kalian dan hati-hati di jalan.” Dalam perjalanan mengembara mengaku sebagai Brahmana, para Pandawa dan Dewi Kunthi singgah ke desa Widarakandha. Di sana, mereka diterima dengan baik oleh lurah Nanda Antagopa dan Nyai Yasodha. Bahkan Radha mengasihi mereka sebagaimana ibu Kirtidha sendiri. Begitupun Rara Ireng dan Niken Rarasati. Mereka bagaikan mendapat ibu kedua ketika bersama Dewi Kunthi yang kala itu mengaku bernama Nyai Prita. Akan tetapi, suatu panggilan hati mengusik hati Permadi untuk meguru lagi. Setelah meminta izin kepada sang ibu dan kakak adiknya, Permadi pun meninggalkan desa Widarakandha dan mengembara masuk hutan keluar hutan mencari guru.

Sementara itu di Gunung Untaryana, Narayana yang ditemani Udawa sedang didadar pendidikan oleh Resi Padmanaba, termasuk ilmu ramalan dan ilmu kawaskitaan.

Resi Guru Padmanaba
Ketika itu, Narayana memakai nama Madhawa. Lalu pada suatu hari datanglah seorang resi muda bernama Parta. Parta kemudian memperkenalkan diri “salam Maharesi.....hamba Parta, seorang pengembara...ingin berguru kepada Maharesi. Maukah maharesi menerima saya sebagai siswa bapa?!” Resi Padmanaba melihat dengan seksama diri Parta. Ia kaget melihat separuh jiwa Wisnu ada dalam dirinya, sama seperti muridnya Madhawa. Resi Padmanaba kemudian menerima Parta sebagai murid “baik anakku, Parta. Aku akan menerimamu sebagai muridku.” Selama dididik, Parta menunjukkan perkembangan yang matang dalam ilmu kanuragan. Seringkali Udawa dan Madhawa ikut melatih diri bersama Parta dan itu membuat persahabatan mereka kian rapat. Parta dan Madhawa seringkali jahil ketika melihat gadis-gadis muda dan menyembunyikan pakaian mereka. Lalu mencuri susu dan dadih untuk upeti ke Hastinapura dan Mandura sehingga Resi Padmanaba kerepotan dibuatnya. Parta juga sangat terlena dan menyukai saat Madhawa memainkan serulingnya. Di lain tempat yakni di Gunung Waikunta, Kakrasana dan Arya Pragota telah lama bertapa brata menunggu seseorang yang akan menjadi gurunya. Lalu mereka dibangunkan. Ketika membuka mata, mereka kedatangan Batara Brahma”salam-anak-anakku...aku Batara Brahma menerima kalian sebagai muridku.” Singkat cerita, Kakrasana dan Pragota berguru dan menyerap segala ilmu dari Batara Brahma. Batara Brahma telah memberitahukan jati diri Kakrasana yang sebenarnya lalu memberikan beberapa pusaka padanya. Pusaka pertama yaitu tombak yang berujung bajak sawah atau luku dari baja berkilauan bernama Nanggala yang mampu membuat siapapun yang terkena bisa terbakar bahkan hancur menjadi debu. Yang kedua adalah aji kesaktian Balabadra yang membuatnya bisa memiliki daya tahan sekuat para dewa, mampu mendaur ulang tenaganya sendiri, tahan kantuk, dan tahan berpuasa. Pusaka yang terakhir adalah Gada Alugora yang berbentuk seperti alu penumbuk padi.

Sementara itu, di negara Mandura, Adipati Kangsa mulai melakukan rencananya. Kerajaan Mandura diserang pasukan Goagra. terjadi sebuah kudeta, Adipati Kangsa menawan seluruh keluarga kerajaan di penjara karena wangsit bahwa dia akan mati di tangan putra putri Basudewa yang berkulit bule dan gelap masih terus menghantui kepalanya. Kalau mereka dibiarkan berkeliaran di sekitar Mandura, hambatannya untuk balas dendam karena kematian orang tuanya, Prabu Gorawangsa dan Dewi Maherah dan jalan untuk jadi penguasa tunggal Mandura akan terhalang. Setelah menawan Prabu Basudewa sekeluarga, Adipati Kangsa menjadikan diri sebagai raja bergelar Prabu Kangsadewa dan menantang adu jago antara putra-putra Mandura dengan paman yang sekaligus patihnya, Suratrimantra. Dia memerintahkan para prajurit Goagra dan Sengkapura mengobrak-abrik seisi Mandura. Untungnya salah satu adik Prabu Basudewa yakni Harya Prabu yang saat ini adalah raja Kumbinapuri bergelar Prabu Bhismaka berhasil lari ke arah Gokula. Namun kampung Gokula sudah lama kosong maka ia melanjutkan perjalanan ke Barsana. “untunglah Ki lurah masih disini. Aku datang membawa kabar buruk” Lurah Wresabanu meminta sang raja Kumbina tenang dulu. Setelah cukup tenang, ia bertanya “kabar apa yang gusti bawa? Sepertinya sangat gawat.” Prabu Bhismaka berkata “benar, ki Lurah. Mandura sedang gawat. Kangsa telah menawan kangmas Prabu Basudewa sekeluarga dan juga adhi Prabu Ugrasena. Ia akan mencari anak-anak kangmas Prabu yang dititipkan kepada Lurah Nanda dan Yasodha.” Lurah Wresabanu kaget bukan kepalang. Ia segera mengirimkan surat peringatan pada sahabatnya, Nanda Antagopa agar berwaspada. Akan tetapi, ia tetap khawatir apabila surat itu terlambat maka ia mohon diri, tidak perlu membuat surat segala ke Widarakandha. Prabu Bhismaka dengan memecut laju kudanya segera bertandang ke Widarakandha. Untunglah di saat demikian pasukan Goagra dan Sengkapura belum kemari.

Setelah sampai di Widarakandha, Bhismaka disambut Nanda Antagopa, Nyai Yasodha, Dewi Rohini ibu kandung Kakrasana dan Nyai Prita. Bhismaka mengenali Nyai Prita sebagai kakaknya, Dewi Kunthi. Dewi Kunthi lalu memperkenalkan anak-anaknya “adhi prabu, ini anak-anakku dan anak-anak dinda Madrim. Mereka Pandawa..” Nanda Antagopa dan Yasodha kaget mengenai jati diri Nyai Prita yang merupakan adik Prabu Basudewa dan juga anak-anak  yang ia bawa itu adalah para Pandawa. “aduh gusti Rani...kok tidak bilang kalau gusti adalah Dewi Prita, adik dari kangmas Prabu Basudewa. Maafkan hamba yang tidak melayani gusti dan para putra dengan nyaman dan menyenangkan.” Dewi Kunthi meminta Nanda dan Yasodha untuk bangun “sudahlah adhiku Nanda dan Yasodha. Aku juga orang biasa. Kami harus begini karena harus menyamarkan diri.” Bhismaka lalu bertanya “kakang Mbok Kunthi, bagaimana bisa kakang mbok dan anak-anakku Pandawa ada disini dan harus menyamar?” Dewi Kunthi berkata panjang ceritanya tapi itu tidak penting. Yang terpenting kabar apa yang akan disampaikannya. Prabu Bhismaka membawa kabar bahwa Mandura dikudeta oleh Kangsa, anak haram Basudewa. Dan saat ini, ia mencari anak-anak abangnya yakni Balarama dan Kresna juga Sumbadra. Tapi tak berapa lama kemudian, pasukan Goagra dan Sengkapura datang dan mengobrak-abrik seluruh desa. Mereka berhasil menangkap Nanda Antagopa dan Dewi Rohini sementara Nyai Yasodha, Rara Ireng, Endang Radha, dan Niken Rarasati beserta para Dewi Kunthi dan empat Pandawa berhasil melarikan diri dengan naik kuda. Bhismaka juga kembali berhasil kabur ke arah menuju hulu Bengawan Yamuna. Desa Widarakandha diobrak-abrik begitu juga desa Barsana. Lurah Wresabanu dan Nyai Kirtidha ikut ditawan.

Sementara itu di Gunung Untarayana, Madhawa yang ditemani Udawa dan Parta telah menyelesaikan pendidikan dan sudah mendapatkan semuanya dari Resi Padmanaba, termasuk ilmu ramalan, ilmu kawaskitaan, dan jati dirinya. Madhawa adalah Narayana alias Kresna, putra Prabu Basudewa, titisan Batara Wisnu. Identitas Parta juga diwedar bahwa ia putra ketiga Pandhu Dewanata dan Dewi Kunthi, titisan Jisnu yakni belahan Batara Wisnu yang ada dalam diri Madhawa. Resi Padmanaba hendak muksa dan memberikan tiga pusaka pada Madhawa. “ Anakku Madhawa, sebelum aku kembali ke alam kelanggengan, aku akan memberikan tiga buah pusaka. Pertama,  roda bergerigi bernama Cakra Widaksana alias Cakra Sudarsana. Aku telah tanam itu di dadamu. Jika ingin memunculkannya, maka sentuhlah dadamu. Siapapun yang terkena senjatamu ini, pasti tewas. Hanya orang–orang yang berjalan diatas dharma lah yang dapat selamat darinya.” Lalu Resi padmanaba melanjutkan ucapannya. “Yang kedua berupa bunga ajaib, Cangkok Wijayakusuma. Aku sudah letakkan bunga itu tepat di bawah riasan bulu merakmu. Bunga ini berkhasiat meningkatkan kekebalan dan mampu menyembuhkan luka separah apapun bahkan menghidupkan orang dari kematian yang bukan takdirnya. Rabalah bulu merakmu bila ingin menggunakannya dan pusakamu yang terakhir adalah panah Aji Kesawa. Panah itu sudah aku letakkan di belakang tengkukmu, anakku. Bila kau merabanya, kau akan mampu berubah menjadi raksasa berlengan dan berkepala banyak yang amat mengerikan. Gunakan pusaka-pusaka itu dengan bijak. Anakku, takdirmu sedang menanti. Kau, Udawa dan Parta harus segera ke Mandura. Kangsa akan mengeksekusi orang tua kandungmu. Bergegaslah!” Setelah mewariskan semua senjata dan mengabarkan keadaan orang tuanya, Resi Padmanaba perlahan memudar. Tubuhnya moksa menuju ke alam kelanggengan. Udawa, Madhawa dan Parta pun segera menuju Mandura.

Di lain tempat, di Gunung Waikunta, Kakrasana dan Arya Pragota telah diberitahu batara Brahma agar segera ke Mandura karena ia harus menyelamatkan ayah dan ibunya juga seluruh keluarga dari tangan Kangsa karena telah terjadi makar di sana. Lalu mereka segera meninggalkan gunung dan bertolak ke Mandura. Tapi sebelum itu, Kakrasana dan Pragota akan pamitan kepada ayah dan ibu asuhnya, ayah Nanda dan ibu Yasodha terlebih dahulu. Akan tetapi, ketika mereka sampai di desa, mereka kaget melihat seisi desa porak poranda seperti habis perang. Pragota dan Kakrasana melihat Madhu Mangala yang sedikit terluka sedang membenahi desa bersama para penduduk lainnya dan bertanya “sahabatku, apa yang terjadi selama kami pergi?” Madhu menjelaskan “kakang Pragota, desa diserang pasukan dari Sengkapura. Mereka menangkap kepala desa, ibu Yasodha dan lainnya. Desa ini juga tak luput dirusakkan mereka.” Kakrasana mendengar itu jadi berang. Lalu seorang datang dari Barsana dengan kepayahan. Para penduduk Widarakandha menolong orang itu. Kakrasana lalu bertanya “kakang, apa yang terjadi...kenapa kau datang kepayahan begitu.” Orang itu memberi kabar bahawa desa Barsana juga luluh diserang oleh pasukan Kangsa. Dengan berang, Kakrasana akan memutuskan datang ke Mandura sendirian. Pragota diminta olehnya agar menjaga para penduduk desa. Di tempat lain di hutan bukit Goloka, Prabu Bhismaka yang bersama empat Pandawa, ibu Kunthi, Endang Radha, Nyai Yasodha, Rara Ireng dan Niken Rarasati dikepung pasukan Sengkapura dan Goagra. Mereka tidak bisa lagi kabur. Patih Suratrimantra menyuruh mereka untuk menawan mereka. Orang-orang Basudewa harus ditahan tanpa terkecuali apabila pemuda berkulit bule dan hitam para putra Basudewa tidak ditemukan. Namun Prabu Bhismaka meminta agar dua atau tiga dari mereka diampuni satu orang saja. Patih Suratrimantra berkata “baiklah kalau itu permintaanmu, Bhismaka, akan ku turuti....... Aku lepaskan mereka!” sang patih menunjuk ke arah Radha, Rara Ireng dan Rarasati dan akhirnya mereka dilepaskan. Sementara Bhismaka, empat Pandawa dan yang lainnya dibawa ke Mandura. Kini tinggallah mereka bertiga di Bukit Goloka, menanti kedatangan Kanha atau siapapun yang bisa membebaskan keluarga Mandura dan Hastinapura yang saat ini ditawan oleh Kangsa.

Dengan segala kemungkinan di kepalanya, Radha, Rara Ireng, dan Rarasati memutuskan menunggu Kanha atau siapapun yang bisa membantu di Goloka setelah dilepaskan oleh Patih Suratrimantra. Satu hari serasa bagai setahun. Sehari dua hari itu pikirannya kalut, kusut.

Penantian di Bukit Goloka
Bagaikan badai yang berkecamuk kerena kepikiran nasib orang tuanya yang pasti sudah ditangkap pasukan Sengkapura. Nasib pak lurah Nanda, ibu Yasodha dan Dewi Kunthi juga empat Pandawa yang tertangkap, entah bagaimana kabarnya. Di saat harapan mereka hampir pupus, suara suling itu terdengar lagi. Seruling milik Kanha terdengar lagi di telinganya. Dari kejauhan terlihatlah Narayana alias Kanha alias Madhawa berjalan bersama Udawa dan Parta di belakangnya. Radha, Rara Ireng, dan Rarasati gembira serasa mendapat cahaya. Udawa dan Narayana yang melihat adik-adiknya bersama Radha berada di Goloka keheranan dan bertanya “kalian, apa yang kalian lakukan di sini sampai membangun tempat berlindungan?” Radha dan Rara Ireng bercerita “Kanha, keadaanya sangat gawat. Kampung diluluh lantak oleh pasukan dari Mandura.” Udawa kaget “lha kok bisa...?”  Rarasati lalu melanjutkan “kangmas Udawa, para pasukan itu mencari kangmas Kresna dan Balarama. Karena tidak menemukan mereka, mereka obrak-abrik desa dan menagkap ayah Nanda.” Parta jadi khawatir bertanya bagaimana keadaan orang tua dan para saudarnya “lalu bagaimana dengan nasib ibu dan kakak-adikku?” rara Ireng lalu berkata dengan terisak-isak “bibi Kunthi dan saudara-saudara adhi ikut tertawan bersama paman Prabu Bhismaka dan yang lainnya...kami bisa berada disini....karena belas kasihan....paman Prabu...” mereka jadi sangat sedih. Parta memutuskan untuk ke Mandura menyelamatkan ibu, para saudaranya dan kerabat-kerabatnya. Narayana berkata akan sangat berbahaya jika mereka datang begitu saja. Lebih baik jika menyamar. Mereka bersetuju. Maka akhirnya mereka pun menyusul ke Mandura dengan menyamar. Di perjalanan menuju Mandura, rombongan Narayana bertemu dengan Kakrasana. Narayana dan lainnya gembira melihatnya.

Di alun-alun kotaraja Mandura telah berdiri panggung besar untuk sarana adu jago. Seluruh kawula di Mandura berkumpul hendak menyaksikan adu jago. Prabu Kangsadewa berdiri diatas panggung itu bersama Prabu Basudewa, Nanda Antagopa, Prabu Setyajit (Arya Ugrasena), dan seluruh anggota keluarga lainnya yang dalam keadaan terikat rantai dan disamping mereka semua terdapat banyak algojo membawa kapak besar. Dari jauh, Prabu Jarasanda alias Jaka Slewah, sahabatnya menonton di kejauhan ditemani Patih Kalayawana. Lalu datang Patih Suratrimantra membawa tawanan yakni Prabu Bhismaka, Dewi Kunthi dan empat anaknya: Puntadewa, Bratasena, Nakula, dan Sadewa. Kangsa senang sekali “hahahahah.....paman...kau berhasil membawa pengkhianat ini dan sekali tepuk dua lalat, kau mendapatkan Bibi Kunthi dan adik-adikku para Pandawa. Tapi mana si bule dan si hitam itu?” “ampun anak mas Kangsa...dua anak itu tidak bersama mereka...” Kangsadewa murka karena pamannya itu tidak mendapatkan Balarama dan Kresna. Ia mencak-mencak dan minta agar Patih Suratrimantra mencari mereka lagi. Patih Suratrimantra naik ke gelanggang dan berkata “tapi sebagai gantinya, anak mas bisa melawan salah satu anak dari bibimu, Dewi  Kunthi.” Prabu Kangsadewa sangat marah mendengarnya dan menolak tantangan itu”Apa-apaan ini? Aku yang menentukan pertandingan, bukan kau,. Aku minta Balarama dan Kresna. Bukan Pandawa bongsor berotak dungu ini. !!” Bratasena bangun dari duduknya dan berkata “heeh ternyata raja agung Mandura badan doang besar tapi nyalinya sebesar tikus. Kakakku Prabu Kangsadewa ternyata raja penakut berhati lemah”. Prabu Kangsadewa marah lagi karena dihina oleh seorang putra Pandhu kemudian menyuruh patih Suratrimantra ke gelanggang untuk bergulat dengan Bratasena.

Pertandingan adu jago dimulai.mereka saling bergulat, saling banting dan saling sikut. Kesaktian mereka sangat dahsyat. Sebaliknya patih Suratrimantra merasa kerepotan melihat Bratasena yang ternyata sangat kuat dan sulit dikalahkan. Setelah cukup lama, Patih Suratrimantra terdesak namun dirinya sempat melihat ada dua pemuda berkulit bule dan berkulit gelap masuk diantara para penonton. Kemudian sang patih itu meronta-ronta dan berusaha mencekik Baratasena namun Kakrasana tiba-tiba naik gelanggang lalu memukul Suratrimantra dengan Gada Alugora hingga keluar gelanggang sampai tewas dengan kepala hancur. Prabu Kangsadewa kaget melihat kehadiran Kakrasana dan Narayana, orang yang ia nanti-nanti lalu memerintahkan dua algojonya, Chanura dan Musthika untuk bergulat dengan mereka berdua. Gulat antara Kakrasana dan Narayana dengan Chanura dan Musthika berlangsung sengit. Tetapi dengan mudah, Chanura dan Musthika berhasil dikalahkan. Akhirnya Kangsa sendiri yang melawan dua anak pemuda berkulit bule dan gelap. Pertarungan berlangsung sengit. Awalnya Kakarasana dan Narayana tersepit dan terdesak oleh kekuatan Kangsa, sang kakak haram mereka itu. akan tetapi datang Rara Ireng dan Niken Rarasati bersama Endang Radha dan Kakek Semar dari kejauhan. Mereka merapal aji Kemayan yang mengaburkan kewaspadaan dan mebuat kangsa terlena. Di saat demikian Permadi memanah Kangsa dan jrass kena ke dadanya. Kangsa menjerit kesakitan dan di saat demikian. Narayana menghajar Kangsa tanpa ampun lagi. Di saat Kangsa sudah tidak berdaya. Kakrasana menghantamkan Nanggala ke tubuhnya dan Narayana melemparkan Cakra ke leher Kangsa hingga tertebas.

Kangsa Lena
Di detik terakhir, Kangsa melihat bayangan Kakrasana dan Narayana bertukar wujud menjadi Batara Naga Adisesa dan Batara Wisnu. Kangsa pun tewas. Keadaan sudah kembali tenang. Prabu Basudewa berhasil dibebaskan dan kembali duduk di takhtanya, begitupula Nanda Antagopa, Nyai Yasodha, Lurah Wresabanu, Nyai Kirtidha dan anggota keluarga yang lain. Prabu Basudewa sangat bersyukur dengan kembalinya putra-putrinya dan berhasil mengalahkan Kangsadewa. Prabu Basudewa juga berterima kasih pada Bratasena dan Permadi yang sudah membantu putra-putranya. Dewi Kunthi merasa tidak enak kepada abangnya. Justru mereka yang sudah ditolong Kakrasana dan Narayana. Kerajaan Mandura kembali tenang. Kini Prabu basudewa sekeluarga bisa berkumpul lagi dengan anak-anaknya dan mengadakan syukuran. Para Pandawa dan Dewi Kunthi juga untuk sementara tinggal di Mandura namun tetap menyamar sebagai brahmana.