Hallo semua, sudah lama saya tak menulis kisah Banjaran Sri Kresna. Kisah Kali ini menceritakan titik balik hidup Sri Kresna dan saudara-saudarnaya yakni Kangsa membuat makar (kudeta). Kisah diawali dengan kedatangan kakek Semar ke Widarakandha dan memerintahkan Udawa, Kakrasana, Narayana, dan Pragota meguu pada Resi Padmanaba. lalu kisah singkat Bale Sigala-gala dan pernikahan Bhima dengan Dewi Nagagini lalu pertemuan pertama Permadi dengan Narayana di peguiruan Resi Padmanaba. Kisah dilanjutkan dengan kudeta yang dilakukan Kangsa yang membuat seluruh keluarga Yadawa hampir mati. Kisah diakhiri dengan terbunuhnya Kangsa oleh Kakrasana dan Narayana. kisah ini mengambil sumber kitab Mahabharata karya Mpu Vyasa, Serial kolosal india Mahabharat Starplus dan Radha Krishna Starbharat, dan berbagai karya lainnya.
Pada suatu hari di musim gugur yang indah, para gembala di Widarakandha sedang bersiap-siap untuk pulang, menyiapkan jerami dan rumput kering persiapan menyambut musim dingin. Para petani juga mulai membawa pulang padi, jelai, sayur dan buah-buahan yang baru selesai dipanen. Ketika itu, empat putra Nanda Antagopa: Udawa, Kakrasana, Narayana, dan Pragota baru saja pulang. Ketika memasuki rumah, mereka melihat di atas amben, Nanda Antagopa dan Nyai Yasodha sedang kedatangan tamu. Di saat demikian lah, Nanda Antagopa memanggil mereka “anak-anakku, untung kalian datang lebih awal.” Nyai Yasodha melanjutkan“Mari kesini duduk dulu anak-anak...kita kedatangan tamu besar.” Orang yang dimaksud kemudian berbalik. Terlihat ia seorang yang tua bijak. Jika dilihat sekilas, ia jelas seorang pria namun karena gemuk badannya, ia nampak seperti perempuan tapi ia sangat berwibawa. Matanya yang berkerut itu terlihat sembap meskipun demikian dari air muka yang nampak, ia sangat gembira hatinya. Nanda memperkenalkan orang itu “anak-anak...ini Kakek Semar. Dia pamomong dari resi agung Abiyasa.” Udawa dan lainnya tertegun, seketika bersimpuh hormat dan entah kenapa Kakrasana dan Narayana seakan sudah mengenalnya sejak lama. Semar mendatangi mereka berempat dan menyuruh mereka menegakkan kepalanya “hmmm..mblegedag gedug...hmmm....bangunlah anak-anakku... aku ini hanya orang biasa saja.” Setelah menyuruh mereka bangun, kakek Semar memanggil mereka terutama Kakrasana dan Narayana “ kalian berempat duduklah di dekat amben...khusunya untuk kalian Kakrasana dan Narayana, duduk di sebelahku. Aku mendapatkan sesuatu yang harus kuberitahukan pada kalian ” Kakrasana dan Narayana saling berpandangan lalu bertanya“ apa yang ingin Kakek sampaikan pada kami?”
![]() |
Semar bertemu putra-putra Nanda |
Sementara itu, kabar para Pandawa yang dimomong oleh Kakek Semar saat ini tidak bagus. Setelah peristiwa kemunculan Naga Kaliya di bengawan Yamuna, tak henti-hentinya ujian mendera mereka. Perundungan oleh para Kurawa tetap terjadi sehingga datanglah Begawan Dorna, seorang pandita dari Argasoka menjadi guru ilmu perang mereka dan para Kurawa. Lima tahun setelah belajar kepadanya mereka didadar untuk menentukan siapa pewaris takhta terbaik Hastinapura. Hasilnya seri. Lalu Begawan Dorna mengadakan pendadaran lagi dengan menyerang kerajaan Pancalaradya dikarenakan Dorna punya dendam pribadi dengan prabu Drupada. Para Kurawa dibuat kalang kabut oleh kesaktian Prabu Drupada dan Harya Gandamana. Asal tahu saja, Harya Gandamana adalah ipar Drupada yang dulu mengabdi sebagai patih Hastinapura yang pada akhirnya dikudeta oleh Harya Suman alias patih Harya Sengkuni. Namun ketika Para Pandawa harus berhadapan dengan Drupada dan Gandamana, mereka ragu dan bimbang karena bagi Pandawa, Drupada dan Gandamana adalah sosok paman bagi mereka namun para Pandawa tidak bisa mundur lagi. Mereka pun mengalahkan mereka berdua dan membawa keduanya ke hadapan begawan Dorna. Raja dan iparnya itu dipermalukan dengan Kerajaan Pancalaradya disigar menjadi dua. Akhirnya Pandawa berhasil memenangkan pendadaran dengan ditetapkannya Puntadewa sebagai pangeran mahkota Hastinapura. Hal itu membuat Raden Suyudana, sulung para Kurawa berang dan tak puas hati. Awalnya Suyudana coba mencelakai Harya Bratasena dengna mengajaknya makan di Pramanakoti lalu meracuninya tapi setelah terkena racun itu, ia diselamatkan oleh Batara Basuki, malah mendapat kekuatan dewata yang membuatnya kebal racun, tahan hidup di dalam air dan tanah, dan memiliki kekuatan sepuluh ribu gajah. Atas desakan dan hasutan Sengkuni, dibuatlah sebuah makar yakni membakar hidup-hidup para Pandawa dan ibu mereka. Maka dengan bantuan, Purocana, dibangunlah sebuah pesanggrahan megah di hutan Warnabrata yang terbuat dari kayu bakar, kulit pohon damar, papan tipis, dan bambu yang dilapisi bahan-bahan mudah terbakar seperti minyak gegala, minyak pernis (lak), lalu ditutup dengan kulit binatang dan kain katun bekas. Tiang-tiangnya diisi dengan bubuk mesiu, gandarukem, minyak tanah, lalu ditutup dengan jabung. Oleh Suyudana, pesanggrahan itu dinamai bale Sigala-gala. Para Pandawa pun diajak berpesta-pesta di sana. Lalu ketika mereka tertidur, para Kurawa pun membakar para Pandawa dan Dewi Kunthi hidup-hidup di dalam istana kehancuran itu. Terdengarlah suara orang-orang panik dan ketakutan dari dalamnya. Para Kurawa suka hati dengan suara kepanikan di dalam pesanggrahan yang terbakar itu, pertanda itu suara para Pandawa dan Dewi Kunthi tersiksa oleh panas dan ledakan api. Ditambah lagi saat kebakaran mulai reda, mereka menemukan enam jasad manusia, lima lelaki dan satu perempuan. Yang disangka Kurawa sejatinya tidak sepenuhnya benar. Kepanikan memang terjadi. Akan tetapi, dengan siap siaga, Bratasena yang berbadan besar segera menggendong ibu dan adik-adik bungsunya, Pinten-Tangsen. Puntadewa, Bratasena, dan Permadi berlarian di antara puing-puing yang terbakar dan meledak. Namun keajaiban terjadi, seekor garangan putih muncul dan menuntun mereka ke ujung ruangan. Mereka mendapati ada sebuah terowongan dan dari dalamnya muncul Kanana, abdi kinasihnya Arya Widura, adik Drestarastra dan Pandu. Para Pandawa pun masuk dan langsung Kanana menutup terowongan secepat mungkin. Mereka bertujuh lari mengikuti garangan putih itu lari menjauhi pintu terowongan yang semakin lama semakin panas. Sementara enam jasad yang ditemukan para Kurawa adalah keluarga brahmana yang kebetulan sedang ditampung Dewi Kunthi yang terdiri dari seorang ibu dan lima anaknya.
Kisah pun berlanjut, para Pandawa berhasil selamat dari makar jahat Kurawa yang hendak membakar mereka di bale Sigala-gala. Mereka dituntun garangan putih hingga masuk ke sebuah negeri asing. Tempat asing itu sangatlah indah dan mengherankan. Banyak tanaman dan pohon di sana yang janggal dan tak ditemukan di belahan dunia manapun. Tanaman-tanaman tersebut ada yang tumbuh menggantung pada batu-batu stalaktit, ada pula menjalar di permukaan tanah, dan ada pula tanaman yang mampu bercahaya bak batu kristal. Negeri itu tak mengenal siang ataupun malam namun dapat terang benderang dan gelap temaram oleh pendar cahaya yang dipantulkan oleh batu-batu kristal beraneka ragam warnanya seakan-akan mengikuti perubahan siang-malam. Seorang prajurit dengan kulit bersisik-sisik datang ke hadapan tujuh orang itu dan mempersilakan mereka masuk ke sebuah bangunan.Tak lama kemudian, mereka sampai di bangunan tersebut yang ternyata sebuah istana megah. Istana itu berupa istana yang dipahat pada dinding gua dan berhiaskan batu-batu indah bak dipahat oleh para bidadara dan hapsara-hapsari di kahyangan di atas langit sana. Dari dalam istana itu keluarlah sosok yang menjadi sosok raja di daerah itu. Raja tersebut juga berkulit sisik seperti para prajurit yang menuntun mereka di luar istana. Di sampingnya berdirilah putri sang raja. Berbeda dengan ayahnya dan penjaga disana, kulitnya putih bersih. Wajahnya sangat cantik bak bidadari. Badannya sintal dan berisi. Para Pandawa terutama Bratasena tak dapat berhenti menatap sang gadis cantik. Kemudian,sang raja menyambut para Pandawa,Dewi Kunthi, dan Kanana lalu mengenalkan dirinya ”selamat datang, anak-anakku Para Pandawa dan rombongan. Syukurlah, kalian bisa selamat dari kejadian buruk yang hampir menimpa kalian. Perkenalkan, aku Batara Anantaboga, penguasa kahyangan Saptapertala, kerajaan bawah bumi lapis ke tujuh dan ini putriku, Nagagini.” Para Pandawa dan Dewi Kunthi kemudian berlutut. Dewi Kunthi mengucap rasa syukur kepada Batara Anantaboga “Salam, pukulun Anantaboga. Suatu kehormatan bagi kami bisa datang ke kediaman pukulun. Rupanya garangan putih yang telah menuntun kami adalah salah satu punggawa pukulun” “sudahlah, Kunthi. Yang lalu biarlah berlalu, yang penting Hyang Widhi tetap memberikan keselamatan bagi kita. Mari masuk ke dalam istana. Kalian ku izinkan tinggal untuk beberapa waktu. Hitung-hitung untuk melepaskan trauma kedua putra kembarmu.” Kemudian mereka masuk ke istana indah Saptapertala. Di taman istana, Bratasena yang sedang memandangi indahnya tumbuh-tumbuhan dan bunga-bunga yang mekar di sana terkejut dengan kedatangan Dewi Nagagini “Raden, sedang apa disini?” “Ehhh... akuu.. sedang memandangi indahnya negeri tempat tinggalmu. Indah sekali. Tentram rasanya.” Bratasena yang selama ini biasa saja berhadapan dengan wanita kini menjadi kaku dan kelu ketika bersama Dewi Nagagini. Begitupun Dewi Nagagini. Ada getaran hati yang bergelora. Serasa di dalam hati mereka, bunga-bunga mekar dan menari bak padi ditiup angin dalam pikiran. Panah asmara telah menancap pada dua pasangan beda dunia itu. “Raden suka berada di Saptapertala ini?” Bratasena terkejut dan menjawab dengan gayanya yang lugas “Ehhh... senang. Senang sekali!” Nagagini juga membalas “ aku juga dan sejak kedatangan raden sekeluarga, aku makin betah berada disini.” Jawaban Bratasena tadi membuat hati Dewi Nagagini semakin bergetar. Sang dewi kemudian berbaring di pangkuan Bratasena. Lubuk hati Bratasena tak kalah bergetarnya melihat Dewi Nagagini berbaring di pahanya. Nampaknya gelora cinta Bratasena dan Nagagini sudah semakin membahana. Dewi Kunthi kemudian berunding dengan putra sulungnya, Puntadewa dan Batara Anantaboga tentang rencana hubungan mereka. Sebenarnya Dewi Kunthi dan Batara Anantaboga setuju kalau mereka segera menikah namun Dewi Kunthi merasa tidak enak pada Puntadewa yang sampai sekarang belum memperoleh kekasih.”ibuku, aku tidak masalah bila Bratasena menikah dulu. Aku tidak merasa dilangkahi malahan merasa senang dan aku merestui hubungan mereka ke jenjang yang lebih intim.” Pernyataan putra sulungnya itu membuat Dewi Kunthi terharu dan Batara Anantaboga sudah menyiapkan tanggal yang pas untuk pernikahan putri satu-satunya dengan putra kedua Pandu Dewanata itu. Hari pernikahan pun tiba, Bratasena dan Nagagini duduk bersanding di pelaminan berhiaskan berbagai bunga dan batu mulia yang mengeluarkan pendar yang menenangkan bila mata memandang. Nampaklah kebahagiaan di balik senyum dan mata mereka.
![]() |
Pernikahan Bratasena dengan Nagagini |
Sementara itu di Gunung Untaryana, Narayana yang ditemani Udawa sedang didadar pendidikan oleh Resi Padmanaba, termasuk ilmu ramalan dan ilmu kawaskitaan.
![]() |
Resi Guru Padmanaba |
Sementara itu, di
negara Mandura, Adipati Kangsa mulai melakukan rencananya. Kerajaan Mandura
diserang pasukan Goagra. terjadi sebuah kudeta, Adipati Kangsa menawan seluruh
keluarga kerajaan di penjara karena wangsit bahwa dia akan mati di tangan putra
putri Basudewa yang berkulit bule dan gelap masih terus menghantui kepalanya.
Kalau mereka dibiarkan berkeliaran di sekitar Mandura, hambatannya untuk balas
dendam karena kematian orang tuanya, Prabu Gorawangsa dan Dewi Maherah dan
jalan untuk jadi penguasa tunggal Mandura akan terhalang. Setelah menawan Prabu
Basudewa sekeluarga, Adipati Kangsa menjadikan diri sebagai raja bergelar Prabu
Kangsadewa dan menantang adu jago antara putra-putra Mandura dengan paman yang
sekaligus patihnya, Suratrimantra. Dia memerintahkan para prajurit Goagra dan
Sengkapura mengobrak-abrik seisi Mandura. Untungnya salah satu adik Prabu
Basudewa yakni Harya Prabu yang saat ini adalah raja Kumbinapuri bergelar Prabu
Bhismaka berhasil lari ke arah Gokula. Namun kampung Gokula sudah lama kosong
maka ia melanjutkan perjalanan ke Barsana. “untunglah Ki lurah masih disini.
Aku datang membawa kabar buruk” Lurah Wresabanu meminta sang raja Kumbina
tenang dulu. Setelah cukup tenang, ia bertanya “kabar apa yang gusti bawa?
Sepertinya sangat gawat.” Prabu Bhismaka berkata “benar, ki Lurah. Mandura
sedang gawat. Kangsa telah menawan kangmas Prabu Basudewa sekeluarga dan juga
adhi Prabu Ugrasena. Ia akan mencari anak-anak kangmas Prabu yang dititipkan
kepada Lurah Nanda dan Yasodha.” Lurah Wresabanu kaget bukan kepalang. Ia
segera mengirimkan surat peringatan pada sahabatnya, Nanda Antagopa agar
berwaspada. Akan tetapi, ia tetap khawatir apabila surat itu terlambat maka ia
mohon diri, tidak perlu membuat surat segala ke Widarakandha. Prabu Bhismaka
dengan memecut laju kudanya segera bertandang ke Widarakandha. Untunglah di
saat demikian pasukan Goagra dan Sengkapura belum kemari.
Setelah sampai di
Widarakandha, Bhismaka disambut Nanda Antagopa, Nyai Yasodha, Dewi Rohini ibu
kandung Kakrasana dan Nyai Prita. Bhismaka mengenali Nyai Prita sebagai
kakaknya, Dewi Kunthi. Dewi Kunthi lalu memperkenalkan anak-anaknya “adhi
prabu, ini anak-anakku dan anak-anak dinda Madrim. Mereka Pandawa..” Nanda
Antagopa dan Yasodha kaget mengenai jati diri Nyai Prita yang merupakan adik
Prabu Basudewa dan juga anak-anak yang
ia bawa itu adalah para Pandawa. “aduh gusti Rani...kok tidak bilang kalau gusti
adalah Dewi Prita, adik dari kangmas Prabu Basudewa. Maafkan hamba yang tidak
melayani gusti dan para putra dengan nyaman dan menyenangkan.” Dewi Kunthi
meminta Nanda dan Yasodha untuk bangun “sudahlah adhiku Nanda dan Yasodha. Aku
juga orang biasa. Kami harus begini karena harus menyamarkan diri.” Bhismaka
lalu bertanya “kakang Mbok Kunthi, bagaimana bisa kakang mbok dan anak-anakku
Pandawa ada disini dan harus menyamar?” Dewi Kunthi berkata panjang ceritanya
tapi itu tidak penting. Yang terpenting kabar apa yang akan disampaikannya.
Prabu Bhismaka membawa kabar bahwa Mandura dikudeta oleh Kangsa, anak haram Basudewa.
Dan saat ini, ia mencari anak-anak abangnya yakni Balarama dan Kresna juga
Sumbadra. Tapi tak berapa lama kemudian, pasukan Goagra dan Sengkapura datang
dan mengobrak-abrik seluruh desa. Mereka berhasil menangkap Nanda Antagopa dan
Dewi Rohini sementara Nyai Yasodha, Rara Ireng, Endang Radha, dan Niken Rarasati
beserta para Dewi Kunthi dan empat Pandawa berhasil melarikan diri dengan naik
kuda. Bhismaka juga kembali berhasil kabur ke arah menuju hulu Bengawan Yamuna.
Desa Widarakandha diobrak-abrik begitu juga desa Barsana. Lurah Wresabanu dan
Nyai Kirtidha ikut ditawan.
Sementara itu di Gunung
Untarayana, Madhawa yang ditemani Udawa dan Parta telah menyelesaikan
pendidikan dan sudah mendapatkan semuanya dari Resi Padmanaba, termasuk ilmu
ramalan, ilmu kawaskitaan, dan jati dirinya. Madhawa adalah Narayana alias
Kresna, putra Prabu Basudewa, titisan Batara Wisnu. Identitas Parta juga
diwedar bahwa ia putra ketiga Pandhu Dewanata dan Dewi Kunthi, titisan Jisnu
yakni belahan Batara Wisnu yang ada dalam diri Madhawa. Resi Padmanaba
hendak muksa dan memberikan tiga pusaka pada Madhawa. “ Anakku Madhawa,
sebelum aku kembali ke alam kelanggengan, aku akan memberikan tiga buah pusaka.
Pertama, roda bergerigi bernama Cakra
Widaksana alias Cakra Sudarsana. Aku telah tanam itu di dadamu. Jika ingin
memunculkannya, maka sentuhlah dadamu. Siapapun yang terkena senjatamu ini,
pasti tewas. Hanya orang–orang yang berjalan diatas dharma lah yang dapat
selamat darinya.” Lalu Resi padmanaba melanjutkan ucapannya. “Yang kedua berupa
bunga ajaib, Cangkok Wijayakusuma. Aku sudah letakkan bunga itu tepat di bawah
riasan bulu merakmu. Bunga ini berkhasiat meningkatkan kekebalan dan mampu
menyembuhkan luka separah apapun bahkan menghidupkan orang dari kematian yang
bukan takdirnya. Rabalah bulu merakmu bila ingin menggunakannya dan pusakamu
yang terakhir adalah panah Aji Kesawa. Panah itu sudah aku letakkan di belakang
tengkukmu, anakku. Bila kau merabanya, kau akan mampu berubah menjadi raksasa
berlengan dan berkepala banyak yang amat mengerikan. Gunakan pusaka-pusaka itu
dengan bijak. Anakku, takdirmu sedang menanti. Kau, Udawa dan Parta harus
segera ke Mandura. Kangsa akan mengeksekusi orang tua kandungmu. Bergegaslah!”
Setelah mewariskan semua senjata dan mengabarkan keadaan orang tuanya, Resi
Padmanaba perlahan memudar. Tubuhnya moksa menuju ke alam kelanggengan. Udawa,
Madhawa dan Parta pun segera menuju Mandura.
Di lain tempat, di
Gunung Waikunta, Kakrasana dan Arya Pragota telah diberitahu batara Brahma agar
segera ke Mandura karena ia harus menyelamatkan ayah dan ibunya juga seluruh
keluarga dari tangan Kangsa karena telah terjadi makar di sana. Lalu mereka
segera meninggalkan gunung dan bertolak ke Mandura. Tapi sebelum itu, Kakrasana
dan Pragota akan pamitan kepada ayah dan ibu asuhnya, ayah Nanda dan ibu
Yasodha terlebih dahulu. Akan tetapi, ketika mereka sampai di desa, mereka
kaget melihat seisi desa porak poranda seperti habis perang. Pragota dan
Kakrasana melihat Madhu Mangala yang sedikit terluka sedang membenahi desa
bersama para penduduk lainnya dan bertanya “sahabatku, apa yang terjadi selama
kami pergi?” Madhu menjelaskan “kakang Pragota, desa diserang pasukan dari
Sengkapura. Mereka menangkap kepala desa, ibu Yasodha dan lainnya. Desa ini
juga tak luput dirusakkan mereka.” Kakrasana mendengar itu jadi berang. Lalu
seorang datang dari Barsana dengan kepayahan. Para penduduk Widarakandha
menolong orang itu. Kakrasana lalu bertanya “kakang, apa yang terjadi...kenapa
kau datang kepayahan begitu.” Orang itu memberi kabar bahawa desa Barsana juga
luluh diserang oleh pasukan Kangsa. Dengan berang, Kakrasana akan memutuskan
datang ke Mandura sendirian. Pragota diminta olehnya agar menjaga para penduduk
desa. Di tempat lain di hutan bukit Goloka, Prabu Bhismaka yang bersama empat
Pandawa, ibu Kunthi, Endang Radha, Nyai Yasodha, Rara Ireng dan Niken Rarasati
dikepung pasukan Sengkapura dan Goagra. Mereka tidak bisa lagi kabur. Patih
Suratrimantra menyuruh mereka untuk menawan mereka. Orang-orang Basudewa harus
ditahan tanpa terkecuali apabila pemuda berkulit bule dan hitam para putra
Basudewa tidak ditemukan. Namun Prabu Bhismaka meminta agar dua atau tiga dari mereka
diampuni satu orang saja. Patih Suratrimantra berkata “baiklah kalau itu
permintaanmu, Bhismaka, akan ku turuti....... Aku lepaskan mereka!” sang patih
menunjuk ke arah Radha, Rara Ireng dan Rarasati dan akhirnya mereka dilepaskan.
Sementara Bhismaka, empat Pandawa dan yang lainnya dibawa ke Mandura. Kini
tinggallah mereka bertiga di Bukit Goloka, menanti kedatangan Kanha atau
siapapun yang bisa membebaskan keluarga Mandura dan Hastinapura yang saat ini
ditawan oleh Kangsa.
Dengan segala kemungkinan di kepalanya, Radha, Rara Ireng, dan Rarasati memutuskan menunggu Kanha atau siapapun yang bisa membantu di Goloka setelah dilepaskan oleh Patih Suratrimantra. Satu hari serasa bagai setahun. Sehari dua hari itu pikirannya kalut, kusut.
![]() |
Penantian di Bukit Goloka |
Di alun-alun kotaraja
Mandura telah berdiri panggung besar untuk sarana adu jago. Seluruh kawula di
Mandura berkumpul hendak menyaksikan adu jago. Prabu Kangsadewa berdiri diatas
panggung itu bersama Prabu Basudewa, Nanda Antagopa, Prabu Setyajit (Arya
Ugrasena), dan seluruh anggota keluarga lainnya yang dalam keadaan terikat
rantai dan disamping mereka semua terdapat banyak algojo membawa kapak besar.
Dari jauh, Prabu Jarasanda alias Jaka Slewah, sahabatnya menonton di kejauhan
ditemani Patih Kalayawana. Lalu datang Patih Suratrimantra membawa tawanan
yakni Prabu Bhismaka, Dewi Kunthi dan empat anaknya: Puntadewa, Bratasena,
Nakula, dan Sadewa. Kangsa senang sekali “hahahahah.....paman...kau berhasil
membawa pengkhianat ini dan sekali tepuk dua lalat, kau mendapatkan Bibi Kunthi
dan adik-adikku para Pandawa. Tapi mana si bule dan si hitam itu?” “ampun anak
mas Kangsa...dua anak itu tidak bersama mereka...” Kangsadewa murka karena
pamannya itu tidak mendapatkan Balarama dan Kresna. Ia mencak-mencak dan minta
agar Patih Suratrimantra mencari mereka lagi. Patih Suratrimantra naik ke
gelanggang dan berkata “tapi sebagai gantinya, anak mas bisa melawan salah satu
anak dari bibimu, Dewi Kunthi.” Prabu
Kangsadewa sangat marah mendengarnya dan menolak tantangan itu”Apa-apaan ini?
Aku yang menentukan pertandingan, bukan kau,. Aku minta Balarama dan Kresna.
Bukan Pandawa bongsor berotak dungu ini. !!” Bratasena bangun dari duduknya dan
berkata “heeh ternyata raja agung Mandura badan doang besar tapi nyalinya
sebesar tikus. Kakakku Prabu Kangsadewa ternyata raja penakut berhati lemah”.
Prabu Kangsadewa marah lagi karena dihina oleh seorang putra Pandhu kemudian
menyuruh patih Suratrimantra ke gelanggang untuk bergulat dengan Bratasena.
Pertandingan adu jago dimulai.mereka saling bergulat, saling banting dan saling sikut. Kesaktian mereka sangat dahsyat. Sebaliknya patih Suratrimantra merasa kerepotan melihat Bratasena yang ternyata sangat kuat dan sulit dikalahkan. Setelah cukup lama, Patih Suratrimantra terdesak namun dirinya sempat melihat ada dua pemuda berkulit bule dan berkulit gelap masuk diantara para penonton. Kemudian sang patih itu meronta-ronta dan berusaha mencekik Baratasena namun Kakrasana tiba-tiba naik gelanggang lalu memukul Suratrimantra dengan Gada Alugora hingga keluar gelanggang sampai tewas dengan kepala hancur. Prabu Kangsadewa kaget melihat kehadiran Kakrasana dan Narayana, orang yang ia nanti-nanti lalu memerintahkan dua algojonya, Chanura dan Musthika untuk bergulat dengan mereka berdua. Gulat antara Kakrasana dan Narayana dengan Chanura dan Musthika berlangsung sengit. Tetapi dengan mudah, Chanura dan Musthika berhasil dikalahkan. Akhirnya Kangsa sendiri yang melawan dua anak pemuda berkulit bule dan gelap. Pertarungan berlangsung sengit. Awalnya Kakarasana dan Narayana tersepit dan terdesak oleh kekuatan Kangsa, sang kakak haram mereka itu. akan tetapi datang Rara Ireng dan Niken Rarasati bersama Endang Radha dan Kakek Semar dari kejauhan. Mereka merapal aji Kemayan yang mengaburkan kewaspadaan dan mebuat kangsa terlena. Di saat demikian Permadi memanah Kangsa dan jrass kena ke dadanya. Kangsa menjerit kesakitan dan di saat demikian. Narayana menghajar Kangsa tanpa ampun lagi. Di saat Kangsa sudah tidak berdaya. Kakrasana menghantamkan Nanggala ke tubuhnya dan Narayana melemparkan Cakra ke leher Kangsa hingga tertebas.
![]() |
Kangsa Lena |