Jumat, 28 Maret 2025

Banjaran Sri Kresna Episode 7: Bukit Gowardhana

 Hai-hai....semua pembaca dan penikmat kisah pewayangan. Kisah kali ini menceritakan Narayana mengangkat Bukit Gowardhana. Kisah diawali dengan kemarahan Nyai Jathila karena gagal membuat Narayana sakit hati setelah pernikahan Ayyan dan Radha dengan memnyebarkan kelaparan dan kekeringan. hal itu malah berimbas pada perceraian Ayyan dan Radha. Kisah dilanjutkan dengan Narayanan yang menentang upacara sesaji kepada Batara Indra agar hujan tetap turun dan membuat sang dewa marah lalu menimpakan bencana ke desa. Narayana pun mengangkat Bukit Gowardhana demi menyelamatkan warga desa membuat Batara Indra menyadari kesalahannya. Kisah ini mengambil sumber dari kitab Mahabharata karya Mpu Vyasa, Serial Kolosal India Mahabharat Starplus dan Radha Krishna Starbharat, animasi Little Krishna, dan sumber-sumber lain dengan perubahan dan penyesuaian seperlunya.

Hari-hari keluarga Nanda Antagopa dan Nyai Yasodha berjalan sebagaimana biasanya. Perlahan namun pasti, hati Narayana yang masih berduka karena ditinggal menikah oleh Radha mulai bisa berdamai. Kini Narayana perlahan namun pasti menerima takdirnya. Narayana tetap berhubungan baik dengan Ayyan maupun Radha. Rancangan bibi Jathila dan Kutila untuk membuat menjatuhkan mental Narayana yang awalnya berhasil kini tak sepenauhnya berhasil. Baik sang putra maupun Narayana tetap berhubungan baik, begitupun dengan Radha. Lalu Nyai Jathila dan Kuthila datang ke sebuah tempat untuk menghukum Narayana namun memakai cara curang. Mereka lalu mendatangi rumah Narayana diam-diam dan menaruh segala macam sesaji aneh, mulai dari bunga-bunga tertentu, anak ayam cemani yang sudah membusuk, dan juga darah binatang juga abu pembakaran jenazah. Lalu abu itu disebarkan. Selain ditaburkan ke rumah Narayana, Sesaji itu lalu disebarkan ke seluruh desa Widarakandha dan Barsana sebagai bentuk pembalasan kebencian mereka. Tak ayal, terjadi bencana kekeringan dan kebuluran. Angin dingin lalu disusul panas terik datang silih berganti, dari hari ke hari mengeringkan segala sumber air di Widarakandha dan Barsana. Lalu Nyai Jathila mengumumkan bahawa ini adalah hukuman dari penguasa bengawan Yamuna. Maka harus diselenggerakan upacara untuk memohon mengakhiri kekeringan panjang ini kepada sang dewa. Namun mereka belum mendapatkan guru atau orang suci sebagai pemimpin upacara. Lurah Ugrapadha merasa belum mampu begitupun Lurah Nanda Antagopa, lalu Jathila berkata dengan penuh kesombongan “biar anakku Ayyan saja yang menjadi guru bagi kita. Kemampuan Ayyan untuk memberikan doa dan berkah tidak perlu dipertanyakan.” Ayyan berusaha untuk menghentikan kekonyolan ibunya namun adiknya berkata “kakang, coba pikirkan deh gimana rasanya menjadi guru. Kakang akan disanjung, dihormati, dan ditakzimi banyak orang.” Ayyan termakan rayuan lalu ia diam dan berkata “Baiklah, mulai hari ini aku akan memimpin setiap upacara keagamaan di desa Barsana dan Widarakandha.” Para penduduk menaruh takzim kepada Ayyan. Tapi Narayana dan saudara-maranya menganggap apa yang dilakukan Ayyan ialah sebuah ketololan tak berdasar. Narayana berkata bahawa Ayyan akan mendapatkan padah dari perbuatannya “sudah kakang-kakang dan adhiku. Ayyan pasti akan menyadari kesalahannya dan memutuskan hal besar di sini.” Narayana lalu menunjuk sebuah pohon Wilwa (pohon Maja). Di tempat itulah, hal besar itu akan dialami oleh Ayyan.

Pada suatu hari, ketika kemarau panjang hampir di puncaknya, datang rombongan pandita dan murid-muridnya. Mereka ialah Resi Durwasa dan para cantrik-cantriknya yang terkenal sangat brangasan dan suka mengutuk orang apabila keinginannya tidak terpenuhi atau tidak sesuai sedikit saja.

Resi Durwasa melindungi Radha dari Ayyan
Dewi Kunthi atau di masa mudanya dikenal sebagai Prita, putri Mandura yang kini menjadi ibu dari para Pandawa saja sabar sekali dan serba hati-hati selama menjadi cantriknya. Hari itu, Resi Durwasa dan cantrik-cantriknya datang kepada Lurah Nanda Antagopa “Lurah Nanda, aku meminta mu kepadaku suatu tempat untukku dan para cantrikku bersemadhi tanpa gangguan di tempatmu. Jika Kau Tidak Mampu Memberikannya, Maka Desa Ini Akan Terkutuk Selamanya!” Lurah Nanda yang mengerti bagaimana sepak terjang pandita pemarah itu segera memerintahkan anak-anaknya: Udawa, Kakrasana, dan Narayana untuk mencarikan tempat yang cocok. Dengan lemah lembut, Udawa, Kakrasana, Narayana bertanya kepada sang resi “ampun guru resi...tempat seperti apa yang anda inginkan?” Udawa membenarkan ucapan adiknya itu“benar, guru resi...kami tidak mengerti dengan apa isi hati keinginan guru resi.”.Kakrasana yang sedari tadi diam lalu berkata juga “mungkin dengan saran dan pertimbangan dari benak kalbu guru, kami bisa memberikan saran tempat yang pas.” Resi Durwasa heran melihat ada anak muda mau bertanya lalu meminta saran kepadanya. Hal itu mengingatkannya pada Prita, muridnya dahulu. Resi Durwasa berkata dengan tegas “baiklah, aku ingin tempat semadhiku dekat dengan pohon yang sedang berbuah lebat saat ini dan buah itu buah berkat dari Mahadewa Batara Guru!” Udawa lalu teringat pada pohon Wilwa (maja) yang tempo hari. Lalu tanpa banyak bicara, Udawa lalu berkata pada sang resi “guru resi, saya sudah mengerti tempat mana yang sesuai untuk anda bersemadhi. Mari ikut kami.” Resi Durwasa dan para cantriknya mengikuti ketiga anak Nanda itu. Lalu mereka berhenti di tengah hutan tempat pohon wilwa (maja) yang dimaksud berada. Resi Durwasa sesuai dengan tempat itu, begitupun para cantriknya. Resi Durwasa merasa senang dengan pelayanan ketiga anak itu dan memberkahi mereka “aku senang dengan pelayanan kalian. Terima lah berkah dariku.” Resi Durwasa memberkahi mereka bertiga kelak akan menjadi orang-orang penting di tatanan jaman Duparayuga ini. Sebagai bentuk terima kasih, Narayana meniupkan serulingnya agar Resi Durwasa lebih relaks dalam bersemadhi. Lalu ketiga anak Nanda itu pergi dan mengawasi sang resi dari jauh. Tak lama kemudian, datanglah Ayyan dan Radha yang sedang mencari ketenangan untuk persiapan upacara memohon kesuburan. Nampaknya Ayyan kelelahan selepas lebih dari satu pekan menghapal berbagai doa dan mantra untuk upacara. Maka ia menjadi kasar, besar kepala, dan telah memaksa Radha melayani sepenuh hati “Radha, sekarang aku adalah guru, maka sudah kewajibanku untuk mendidikmu dengan benar. sebagai isteriku, kau juga adalah muridku pula. Seorang murid harus memberikan pelayanan terbaik kepada gurunya.Sekarang cari kan aku makanan di hutan ini!” Radha yang kepayahan membantu suaminya itu berkata “suamiku, dimana aku mencari makanan? Seluruh Mandura dilanda kekeringan. Tanaman susah untuk berbuah, bahkan nyaris lengkara satu pun rumput hijau segar.” Ayyan lalu menunjuk ke sebuah pohon sambil marah-marah “Lalu Itu Kau Sebut Apa? Di sana ada Pohon Wilwa yang Berbuah! Isteri Tolol Kau!! Cepat Ambil Buahnya!” dengan tangisan penuh nestapa, Radha mendekati pohon Wilwa itu. ketika Radha mendekati pohon itu, ia melihat sebiji buah wilwa jatuh dan lalu menggelinding ke arah Resi Durwasa yang sedang bersemadhi. Radha mendekati sang resi, lalu mempersembahkan buah wilwa itu kepada sang resi untuk menyenangkannya.

Suara buah jatuh membuat resi itu terangun dan Resi Durwasa pun terbangun. Betapa kagetnya sang resi melihat seorang wanita duduk di hadapannya dan mempersembahkan sebiji buah wilwa kepadanya sambil terisak. Entah karena apa, Resi Durwasa yang biasanya brangasan, kali ini menjadi lembut hati kepada orang yang dianggap mengganggu semadhinya. Resi Durwasa bertanya kepada wanita itu “hai ni sanak, siapakah kamu? Kenapa kamu datang padaku dengan terisak-isak?” Radha menjawab dengan suara tertahan-tahan “aku Radha, isteri Ayyan. Kedatangan saya kemari karena ingin memetik buah wilwa di dekat tempat bapa resi bersemadhi demi suami saya yang kelaparan...” belum selesai Radha menjelaskan, Ayyan datang dengan marah-marah. “oh Kau Ini Lama Sekali, Rupanya Kau Bersama Orang Tua ini.” Radha berkata “aku harus melayani bapa Resi ini dan mempersembahkan buah wilwa yang aku petik.” Ayyan memaki Radha dan menganggap Radha lebih mengutamakan orang lain ketimbang suaminya sendiri lalu mengambil buah wilwa dari genggaman Radha lalu memakannya. Ternyata buah wilwa itu baru separuh matang sehingga rasanya sedikit getir. Ayyan memuntahkan nya lalu melempar buah itu ke hadapan Resi Durwasa. Resi Durwasa sangat marah melihat ada seorang istri yang dikasari dan dimaki di hadapannya ditambah lagi ia tidak diperlakukan dengan hormat oleh pria muda itu. Dengan murka, Resi Durwasa lalu berkata” Hai Engkau Lelaki Tidak Bermoral! Berani Sekali Kau Menghardik Istrimu Yang Baktinya Melebihi Baktiku Kepada Hyang Guru! Bahkan Kau Menghinaku Karenanya! Maka Aku Mengutukmu! Jika Tangan Kotormu Menyentuh Gadis Ini Seujung Jari pun, Maka Kau Akan Hancur Menjadi Abu! Ayyan dan Radha kaget mendengar Resi Durwasa memberikan kutukan itu, Bahkan anak-anak Nanda yang sedari tadi mengawsi sang resi dari jauh ikut kaget. Dengan memohon-mohon, Ayyan berlutut minta ampun agar sang resi mencabut kutuk pasu itu, namun Resi Durwasa pun pergi bersama cantrik-cantriknya tanpa sedikitpun mempedulikan nasib Ayyan.

Sesampainya di Barsana, Ayyan berkata pada orang tuanya “ayah! ibu! Aku akan menceraikan Radha.” Lurah ugrapada dan Nyai Jathila kaget mendengarnya Terutama Nyai Jathila yang selama ini selalu congkak. Ayyan lalu menjelaskan “Seorang resi telah mengutukku karena kekasaranku kepada Radha. Tolong kembalikan Radha kepada orang tuanya. Aku akan menghabiskan waktu dengan penebusan dosa di tempat yang jauh.” Singkat cerita, Radha kembali ke rumah orang tuanya. Sedangkan Ayyan pergi menyepi di hutan. Sekarang tanpa kehadiran Ayyan sebagai pemimpin upacara memohon kepada dewa, kekeringan dan kelaparan yang disebabkan kecurangan Nyai Jathila akan berterusan. Nyai Jathila menjadi dipenuhi kekalutan begitupun adik Ayyan, Kuthila.

Karena semakin hari kekeringan dan kemarau panjang semakin menggila, diadakanlah kenduri kepada Batara Indra. Selama beberapa tahun terakhir, memang hujan beberapa kali turun dan akhirnya menjadi sebuah tradisi baru. Kemarau dan kekeringan panjang bisa berakhir hingga pada suatu hari, penduduk desa Widarakandha dan Barsana hendak menyelenggarakan kenduri akbar dengan mengurbankan 100 ekor sapi untuk Batara Indra agar hujan turun sekali lagi. Narayana yang ditemani Udawa dan Kakrasana juga beberapa teman-temannya melihat para penduduk membawa sapi-sapi mereka bertanya pada sang ayah “ Ayah, kenapa kita melakukan kenduri semacam ini? Bukankah akan semakin memberatkan para penduduk. Para penduduk kaya saja sudah repot  kesusahan dan penduduk yang miskin menjadi semakin miskin ?” Nanda Antagopa menjawab” kita harus melakukannya agar Batara Indra mau membawa hujannya ke desa ini. Ini adalah tradisi kita selama bertahun-tahun” Narayana tidak puas dengan jawaban sang ayah memberikan petuahnya “tapi ayah, kenapa kita harus menelan tradisi itu mentah-mentah tanpa kita kupas. Toh bukan berarti setelah melakukan kenduri ini, hujan langsung turun begitu saja. Ingat ayah, Batara Indra dan para dewa lainnya mendapatkan kekuatannya dari Hyang Widhi Wasa. Jika ayah dan para penduduk masih ragu, kalian datang saja di lembah Gowardhana. Berdoa lah disana. Dari sanalah awan hujan terlihat. Pabila tidak ada Bukit Gowardhana, awan tersebut tidak menabrak bukit dan hujan tidak turun, atau turun di tempat lain. Air hujan yang turun disimpan oleh akar-akar pohon yang tumbuh di bukit, disimpan, dan dikeluarkan sedikit-demi sedikit, sehingga tanah selalu basah dan air keluar pelan-pelan di mata air menuju Bengawan Yamuna. Bukit itulah yang menyimpan air untuk seluruh tanaman dan makhluk di Widarakandha. Bukit itulah tempat merumput bagi sapi, dan sapi memberikan susu bagi penduduk. Tanaman tulasi dan tanaman obat lain juga tumbuh di Bukit Gowardhana memperoleh air dari air tanah yang tersimpan di bukit dan berguna bagi penduduk.” Lalu Narayana di hadapan para penduduk meyakinkan para penduduk untuk membawa sesaji mereka untuk beribadah di Bukit Gowardhana dengan berkata “hadirin sekalian, mari kita bawa sesaji kita kepada Gowardhana. Kita akan berdoa kepada-Nya di sana” Reaksi para penduduk pun beragam mendengar. Ada yang menolak, ada pula yang ragu-ragu, tapi juga tak sedikit juga yang sepakat dan sepaham dengan pemikiran Narayana. Setelah memikirkannya dengan matang, para penduduk desa dan para pendeta datang ke lembah Bukit Gowardhana. Mereka melakukan persembahyangan di tanah lapang di lembah itu. Dadih, puding beras, dan susu, bahkan segala hasil bumi turut ditawarkan ke acara sesaji. Ratusan brahmana dan tamu diberi makan.
Di kahyangan, Batara Indra menjadi sangat marah dan gusar karena yadhnanya telah berhenti, terlebih lagi yadhna ini berhenti karena ucapan seoarang anak baru gede dan dia kemudian memanggil awan, "Dengarkan apa yang saya katakan. Hancurkan ternak dengan hujan dan angin. Aku akan datang dengan Erawat, gajahku dan menurunkan hujan yang dashyat juga di Widarakandha!.” Angin dan awan segera memulai tugasnya. Kegelapan ada di mana-mana. Ada kilat, guntur, dan hujan lebat. Dunia menjadi gelap dan ada air membanjir di mana-mana. Ketika para penduduk sedang melakukan doa, para penduduk Widarakandang dikejutkan dengan munculnya topan badai disertai hujan es dan halilintar yang menyambar-nyambar selama berhari-hari. Para penduduk lari pontang-panting menuju desa Widarakandang. Di desa, mereka dikejar-kejar banjir dan air bah.

Narayana mengangkat Bukit Gowardhana
Sapi dan pedhet-pedhetnya mulai mati. Di ladang rumput, mereka juga di kejar halilintar dan api dari rerumputan kering. Angin pun menerbangkan apa saja. Badai dahsyat meluluh lantakan desa. Narayana lalu didatangi warga desa “Narayana bagaimana ini? Batara Indra murka karena sesajinya dihentikan! Kita harus membuat yadhna pengampunan dosa!” Narayana berkata dengan tegas “sebuah yadhna dan upacara harus dilakukan dengan hati yang bersih, penuh kerelaan,dan cinta, bukan dengan rasa takut dan gamang. Rasa takut kalian kepada Indra tak akan menyurutkan upacara di Bukit Gowardhana.” Lalu Narayana bergerak lalu menengadahkan tangannya seraya berdoa “penguasa Bukit Gowardhana, tolonglah para hamba-Mu yang kesulitan ini.” Sejenak kemudian, begitu satu jentik jari Narayana menyentuh tanah, tiba-tiba tanah bukit Gowardhana terbuka. Narayana lalu memasuki celah terbuka itu. orang-orang khawatir terutama Radha “tolong, tanah Gowardhana menalannya. Siapapun cepat tolong Kanha!!” Radha, Udawa, Kakrasana dan laiinya lalu terkejat mendengar suara suling dari bawah bukit. Mereka kaget karena menyaksikan Narayana mengangkat Bukit Gowardahana yang besarnya sebesar anak gunung itu hanya dengan satu jari saja layaknya payung raksasa. Para penduduk, para pendeta, dan seluruh keluarga Narayana segera masuk ke bawah kolong bukit itu beserta ternak-ternak mereka. Di dalam sana, para penduduk bisa merasa aman dan tentram. Dengan alunan seruling, mereka menari-nari bergembira selama tujuh hari.

Batara Indra yang melihat kejadian ajaib itu semakin murka dan melemparkan halilintar-halilintar, gumpalan es, dan air hujan yang berat ke bukit itu. Tapi tak sedikitpun tanah di bukit itu berguguran. Karena marahnya sudah tak bisa dibendung, Batara Indra mengeluarkan pusaka saktinya yaitu Bajra. Saat Bajra itu diarahkan ke bukit Gowardhana, keluarlah bunyi guntur yang amat memekakkan telinga dan bukit Gowardhana bergoncang dahsyat. Tak hanya itu, Batara Indra juga memanggil angin langkisau yang berputar-putar menyapu segala sesuatu didekatnya. Para penduduk khawatir dan risau. Namun Narayana berkata “Batara Indra tidak akan mencelakakan kita.” Narayana lalu meniup sulingnya dan ajaib, angin langkisau itu tersedot masuk ke dalam suling Narayana dan apesnya angin itu mengenai batara Indra sehingga ia dan gajah Erawat jatuh ke lumpur Bumi. Seketika langit pun cerah. Hujan angin dan badai mereda. Banjir pun surut. Para penduduk bisa kembali ke desa dan beraktivitas seperti biasanya. Setelah semua penduduk keluar dari kolong bukit, Narayana pun menurunkan dan menampatkan kembali Bukit Gowardhana kembali ke tempatnya. Batara Indra merasa malu dan meminta maaf kepada Narayana “ampuni hamba ..tuanku...maafkan kebodohan hamba yang congkak ini. Hamba terlalu terlena dengan rasa takut para penduduk terhadapku sehingga aku menjadi bodoh dan bertindak sewenang-wenang.” “Narayana pun memaafkannya “dewaku...kau hanya menjalankan tugasmu dan para penduduk dilanda rasa takut akan kemarau, mereka pun melakukan sesaji dengan penuh ketakutan sehingga kau menjadi tinggi hati. Karena mereka sudah terbebaskan dari rasa takut terhadapmu, maka aku akan memaafkanmu. Jangan kau risaukan lagi.” Batara Indra pun merasa lega. Dengan penuh takzim, ia pun naik kembali ke kahyangan.