Hai-hai....semua pembaca dan penikmat kisah pewayangan. Kisah kali ini menceritakan Narayana mengangkat Bukit Gowardhana. Kisah diawali dengan kemarahan Nyai Jathila karena gagal membuat Narayana sakit hati setelah pernikahan Ayyan dan Radha dengan memnyebarkan kelaparan dan kekeringan. hal itu malah berimbas pada perceraian Ayyan dan Radha. Kisah dilanjutkan dengan Narayanan yang menentang upacara sesaji kepada Batara Indra agar hujan tetap turun dan membuat sang dewa marah lalu menimpakan bencana ke desa. Narayana pun mengangkat Bukit Gowardhana demi menyelamatkan warga desa membuat Batara Indra menyadari kesalahannya. Kisah ini mengambil sumber dari kitab Mahabharata karya Mpu Vyasa, Serial Kolosal India Mahabharat Starplus dan Radha Krishna Starbharat, animasi Little Krishna, dan sumber-sumber lain dengan perubahan dan penyesuaian seperlunya.
Hari-hari keluarga
Nanda Antagopa dan Nyai Yasodha berjalan sebagaimana biasanya. Perlahan namun
pasti, hati Narayana yang masih berduka karena ditinggal menikah oleh Radha
mulai bisa berdamai. Kini Narayana perlahan namun pasti menerima takdirnya. Narayana
tetap berhubungan baik dengan Ayyan maupun Radha. Rancangan bibi Jathila dan
Kutila untuk membuat menjatuhkan mental Narayana yang awalnya berhasil kini tak
sepenauhnya berhasil. Baik sang putra maupun Narayana tetap berhubungan baik, begitupun
dengan Radha. Lalu Nyai Jathila dan Kuthila datang ke sebuah tempat untuk
menghukum Narayana namun memakai cara curang. Mereka lalu mendatangi rumah
Narayana diam-diam dan menaruh segala macam sesaji aneh, mulai dari bunga-bunga
tertentu, anak ayam cemani yang sudah membusuk, dan juga darah binatang juga
abu pembakaran jenazah. Lalu abu itu disebarkan. Selain ditaburkan ke rumah
Narayana, Sesaji itu lalu disebarkan ke seluruh desa Widarakandha dan Barsana
sebagai bentuk pembalasan kebencian mereka. Tak ayal, terjadi bencana
kekeringan dan kebuluran. Angin dingin lalu disusul panas terik datang silih
berganti, dari hari ke hari mengeringkan segala sumber air di Widarakandha dan
Barsana. Lalu Nyai Jathila mengumumkan bahawa ini adalah hukuman dari penguasa
bengawan Yamuna. Maka harus diselenggerakan upacara untuk memohon mengakhiri
kekeringan panjang ini kepada sang dewa. Namun mereka belum mendapatkan guru
atau orang suci sebagai pemimpin upacara. Lurah Ugrapadha merasa belum mampu
begitupun Lurah Nanda Antagopa, lalu Jathila berkata dengan penuh kesombongan
“biar anakku Ayyan saja yang menjadi guru bagi kita. Kemampuan Ayyan untuk
memberikan doa dan berkah tidak perlu dipertanyakan.” Ayyan berusaha untuk
menghentikan kekonyolan ibunya namun adiknya berkata “kakang, coba pikirkan deh
gimana rasanya menjadi guru. Kakang akan disanjung, dihormati, dan ditakzimi
banyak orang.” Ayyan termakan rayuan lalu ia diam dan berkata “Baiklah, mulai
hari ini aku akan memimpin setiap upacara keagamaan di desa Barsana dan Widarakandha.”
Para penduduk menaruh takzim kepada Ayyan. Tapi Narayana dan saudara-maranya
menganggap apa yang dilakukan Ayyan ialah sebuah ketololan tak berdasar.
Narayana berkata bahawa Ayyan akan mendapatkan padah dari perbuatannya “sudah
kakang-kakang dan adhiku. Ayyan pasti akan menyadari kesalahannya dan
memutuskan hal besar di sini.” Narayana lalu menunjuk sebuah pohon Wilwa (pohon
Maja). Di tempat itulah, hal besar itu akan dialami oleh Ayyan.
Pada suatu hari, ketika kemarau panjang hampir di puncaknya, datang rombongan pandita dan murid-muridnya. Mereka ialah Resi Durwasa dan para cantrik-cantriknya yang terkenal sangat brangasan dan suka mengutuk orang apabila keinginannya tidak terpenuhi atau tidak sesuai sedikit saja.
![]() |
Resi Durwasa melindungi Radha dari Ayyan |
Suara buah jatuh
membuat resi itu terangun dan Resi Durwasa pun terbangun. Betapa kagetnya sang
resi melihat seorang wanita duduk di hadapannya dan mempersembahkan sebiji buah
wilwa kepadanya sambil terisak. Entah karena apa, Resi Durwasa yang biasanya
brangasan, kali ini menjadi lembut hati kepada orang yang dianggap mengganggu
semadhinya. Resi Durwasa bertanya kepada wanita itu “hai ni sanak, siapakah
kamu? Kenapa kamu datang padaku dengan terisak-isak?” Radha menjawab dengan
suara tertahan-tahan “aku Radha, isteri Ayyan. Kedatangan saya kemari karena
ingin memetik buah wilwa di dekat tempat bapa resi bersemadhi demi suami saya
yang kelaparan...” belum selesai Radha menjelaskan, Ayyan datang dengan
marah-marah. “oh Kau Ini Lama Sekali, Rupanya Kau Bersama Orang Tua ini.” Radha
berkata “aku harus melayani bapa Resi ini dan mempersembahkan buah wilwa yang
aku petik.” Ayyan memaki Radha dan menganggap Radha lebih mengutamakan orang
lain ketimbang suaminya sendiri lalu mengambil buah wilwa dari genggaman Radha
lalu memakannya. Ternyata buah wilwa itu baru separuh matang sehingga rasanya
sedikit getir. Ayyan memuntahkan nya lalu melempar buah itu ke hadapan Resi
Durwasa. Resi Durwasa sangat marah melihat ada seorang istri yang dikasari dan
dimaki di hadapannya ditambah lagi ia tidak diperlakukan dengan hormat oleh
pria muda itu. Dengan murka, Resi Durwasa lalu berkata” Hai Engkau Lelaki Tidak
Bermoral! Berani Sekali Kau Menghardik Istrimu Yang Baktinya Melebihi Baktiku
Kepada Hyang Guru! Bahkan Kau Menghinaku Karenanya! Maka Aku Mengutukmu! Jika Tangan
Kotormu Menyentuh Gadis Ini Seujung Jari pun, Maka Kau Akan Hancur Menjadi Abu!
Ayyan dan Radha kaget mendengar Resi Durwasa memberikan kutukan itu, Bahkan
anak-anak Nanda yang sedari tadi mengawsi sang resi dari jauh ikut kaget.
Dengan memohon-mohon, Ayyan berlutut minta ampun agar sang resi mencabut kutuk
pasu itu, namun Resi Durwasa pun pergi bersama cantrik-cantriknya tanpa
sedikitpun mempedulikan nasib Ayyan.
Sesampainya di Barsana,
Ayyan berkata pada orang tuanya “ayah! ibu! Aku akan menceraikan Radha.” Lurah
ugrapada dan Nyai Jathila kaget mendengarnya Terutama Nyai Jathila yang selama
ini selalu congkak. Ayyan lalu menjelaskan “Seorang resi telah mengutukku
karena kekasaranku kepada Radha. Tolong kembalikan Radha kepada orang tuanya.
Aku akan menghabiskan waktu dengan penebusan dosa di tempat yang jauh.” Singkat
cerita, Radha kembali ke rumah orang tuanya. Sedangkan Ayyan pergi menyepi di
hutan. Sekarang tanpa kehadiran Ayyan sebagai pemimpin upacara memohon kepada
dewa, kekeringan dan kelaparan yang disebabkan kecurangan Nyai Jathila akan
berterusan. Nyai Jathila menjadi dipenuhi kekalutan begitupun adik Ayyan,
Kuthila.
Karena semakin hari
kekeringan dan kemarau panjang semakin menggila, diadakanlah kenduri kepada
Batara Indra. Selama beberapa tahun terakhir, memang hujan beberapa kali turun
dan akhirnya menjadi sebuah tradisi baru. Kemarau dan kekeringan panjang bisa
berakhir hingga pada suatu hari, penduduk desa Widarakandha dan Barsana hendak menyelenggarakan
kenduri akbar dengan mengurbankan 100 ekor sapi untuk Batara Indra agar hujan
turun sekali lagi. Narayana yang ditemani Udawa dan Kakrasana juga beberapa teman-temannya
melihat para penduduk membawa sapi-sapi mereka bertanya pada sang ayah “ Ayah,
kenapa kita melakukan kenduri semacam ini? Bukankah akan semakin memberatkan
para penduduk. Para penduduk kaya saja sudah repot kesusahan dan
penduduk yang miskin menjadi semakin miskin ?” Nanda Antagopa menjawab” kita
harus melakukannya agar Batara Indra mau membawa hujannya ke desa ini. Ini
adalah tradisi kita selama bertahun-tahun” Narayana tidak puas dengan jawaban
sang ayah memberikan petuahnya “tapi ayah, kenapa kita harus menelan tradisi
itu mentah-mentah tanpa kita kupas. Toh bukan berarti setelah melakukan kenduri
ini, hujan langsung turun begitu saja. Ingat ayah, Batara Indra dan para dewa
lainnya mendapatkan kekuatannya dari Hyang Widhi Wasa. Jika ayah dan para
penduduk masih ragu, kalian datang saja di lembah Gowardhana. Berdoa lah
disana. Dari sanalah awan hujan terlihat. Pabila tidak ada Bukit Gowardhana, awan tersebut tidak
menabrak bukit dan hujan tidak turun, atau turun di tempat lain. Air hujan yang
turun disimpan oleh akar-akar pohon yang tumbuh di bukit, disimpan, dan
dikeluarkan sedikit-demi sedikit, sehingga tanah selalu basah dan air keluar
pelan-pelan di mata air menuju Bengawan Yamuna. Bukit itulah yang menyimpan air untuk seluruh tanaman dan
makhluk di Widarakandha.
Bukit itulah tempat merumput bagi sapi, dan sapi memberikan susu bagi penduduk.
Tanaman tulasi dan tanaman obat lain juga tumbuh di Bukit Gowardhana memperoleh air
dari air tanah yang tersimpan di bukit dan berguna bagi penduduk.” Lalu
Narayana di hadapan para penduduk meyakinkan para penduduk untuk membawa sesaji
mereka untuk beribadah di Bukit Gowardhana dengan berkata “hadirin sekalian,
mari kita bawa sesaji kita kepada Gowardhana. Kita akan berdoa kepada-Nya di
sana” Reaksi para penduduk pun beragam mendengar. Ada yang menolak, ada pula
yang ragu-ragu, tapi juga tak sedikit juga yang sepakat dan sepaham dengan
pemikiran Narayana. Setelah memikirkannya dengan matang, para penduduk desa dan
para pendeta datang ke lembah Bukit Gowardhana. Mereka melakukan
persembahyangan di tanah lapang di lembah itu. Dadih, puding beras, dan susu, bahkan segala hasil bumi turut ditawarkan ke acara sesaji. Ratusan brahmana dan tamu diberi makan.
Di kahyangan, Batara Indra menjadi sangat marah dan gusar karena yadhnanya
telah berhenti, terlebih lagi yadhna ini berhenti karena ucapan seoarang anak
baru gede dan dia kemudian memanggil awan, "Dengarkan apa yang saya
katakan. Hancurkan ternak dengan hujan dan angin. Aku akan datang dengan Erawat,
gajahku dan menurunkan hujan yang dashyat juga di Widarakandha!.” Angin dan awan
segera memulai tugasnya. Kegelapan ada di mana-mana. Ada kilat, guntur, dan hujan
lebat. Dunia menjadi gelap dan ada air membanjir di mana-mana. Ketika para penduduk
sedang melakukan doa, para penduduk Widarakandang dikejutkan dengan munculnya
topan badai disertai hujan es dan halilintar yang menyambar-nyambar selama
berhari-hari. Para penduduk lari pontang-panting menuju desa Widarakandang. Di
desa, mereka dikejar-kejar banjir dan air bah.
![]() |
Narayana mengangkat Bukit Gowardhana |
Batara Indra yang melihat kejadian ajaib itu semakin murka dan melemparkan halilintar-halilintar, gumpalan es, dan air hujan yang berat ke bukit itu. Tapi tak sedikitpun tanah di bukit itu berguguran. Karena marahnya sudah tak bisa dibendung, Batara Indra mengeluarkan pusaka saktinya yaitu Bajra. Saat Bajra itu diarahkan ke bukit Gowardhana, keluarlah bunyi guntur yang amat memekakkan telinga dan bukit Gowardhana bergoncang dahsyat. Tak hanya itu, Batara Indra juga memanggil angin langkisau yang berputar-putar menyapu segala sesuatu didekatnya. Para penduduk khawatir dan risau. Namun Narayana berkata “Batara Indra tidak akan mencelakakan kita.” Narayana lalu meniup sulingnya dan ajaib, angin langkisau itu tersedot masuk ke dalam suling Narayana dan apesnya angin itu mengenai batara Indra sehingga ia dan gajah Erawat jatuh ke lumpur Bumi. Seketika langit pun cerah. Hujan angin dan badai mereda. Banjir pun surut. Para penduduk bisa kembali ke desa dan beraktivitas seperti biasanya. Setelah semua penduduk keluar dari kolong bukit, Narayana pun menurunkan dan menampatkan kembali Bukit Gowardhana kembali ke tempatnya. Batara Indra merasa malu dan meminta maaf kepada Narayana “ampuni hamba ..tuanku...maafkan kebodohan hamba yang congkak ini. Hamba terlalu terlena dengan rasa takut para penduduk terhadapku sehingga aku menjadi bodoh dan bertindak sewenang-wenang.” “Narayana pun memaafkannya “dewaku...kau hanya menjalankan tugasmu dan para penduduk dilanda rasa takut akan kemarau, mereka pun melakukan sesaji dengan penuh ketakutan sehingga kau menjadi tinggi hati. Karena mereka sudah terbebaskan dari rasa takut terhadapmu, maka aku akan memaafkanmu. Jangan kau risaukan lagi.” Batara Indra pun merasa lega. Dengan penuh takzim, ia pun naik kembali ke kahyangan.