Kamis, 23 Januari 2025

Banjaran Sri Kresna Episode 6: Pohon Berbuah Mutiara dan Balada Cinta Widarakandha

 Hai-hai....semua pembaca dan penikmat kisah pewayangan. Kisah kali ini menceritakan keajaiban Narayana menumbuhkan pohon berbuah mutiara demi menghidupi sebuah pasar baru. Kisah berlanjut dengan rencana Pralambasura dan Dhumrasura untuk menghabisi Narayana dan Kakrasana. kisah diakhiri dengan kesedihan Narayana disebabkan pernikahan Radha dan Narayana. Kisah ini mengambil sumber dari Serial Kolosal India Radha Krishna Starbharat dan Serial animasi the Little Krishna dengan pengubahan seperlunya.

Pohon berbuah Mutiara

Beberapa hari setelah serangan banteng jelmaan Aristasura, pesta panen raya yang awalnya ditunda akhirnya bisa terlaksana. Para warga Barsana dan Gobajra berkumpul di pura untuk berdoa semoga panen tahun ini membawa berkah. Setelah ritual doa, pesta rakyat diselenggarakan. Banyak orang membuat kedai kecil di pinggir jalan. Berbagai jajanan, barang-barang kebutuhan, pakaian, dan barang-barang mahal dari berbagai negeri dijajakan. Singkat cerita panen raya selesai, Namun beberapa hari setelahnya, masih banyak juga para pedagang menjajakan barang dagangannya malah mereka memutuskan untuk membuat lapak di sana. Kian hari, pedagang semakin ramai. Nanda Antagopa dan para petinggi antardesa mengumpulkan para penduduk Barsana dan Gobajra untuk berunding tentang nasib para pedagang “pak Lurah Ugrapada dan temanku Wresabanu, bagaimana pendapat kalian tentang para pedagang yang membangun lapak disini? Apakah kita biarkan?” Lurah Ugrapada berkata “pak Lurah Nanda, tentu tidak, tapi kita tidak bisa mengusir mereka. Itu sama saja mengusir rezeki untuk kedua desa kita.” Wresabanu lalu berkata “menurut hemat saya, lebih baik kita jadikan tempat itu pasar baru kita, jadi warga desa tidak perlu jauh-jauh pergi ke Mandura atau Hastinapura untuk membeli kebutuhan sehari-hari.” Lurah Ugrapada setuju tapi menanyakan sumber dana untuk membangun pasar “aku setuju saja untuk itu, tapi dengan apa kita membangun pasar itu? kita perlu banyak dana untuk membangunnya sedangkan anggaran dari mandura terbilang masih cukup kecil. Kalian mengeti sendirikan yang mengatur keuangan negeri ini Adipati Kangsa.” Suasana rapat itu menjadi hening karena memikirkan kendala biaya. Namun dari belakang peserta rapat seseorang mengangkat tangan dan berkata dengan lantang “aku bersedia mencari sumber dananya.” Semua orang pun menoleh dan kaget bahawa yang berbicara barusan ialah Narayana. Ia dan beberapa anak muda di sana: Kakrasana, Rara Ireng, Udawa, Endang Radha, Charu, Pragota, Rarasati, Madhu Manggala, Ayyan Yadawa dan Subala. Nyai Jathila lalu berkata “hei nak...kau ini aneh-aneh saja....kau ini masih bocah....memang kau bisa membawa banyak uang?” Kutila, adik Ayyan yang juga ada di sana mengejek “halah ibu, paling dia akan merengek-rengek minta ke ibunya...”semua orang tertawa. Namun Narayana berkata “bibi, jangan pernah remehkan kami para pemuda. Justru itu kami akan membuat pasar baru ini akan berkembang. Paman-paman, bibi-bibi sekalian kami berjanji dalam kurun waktu tiga hari, kami akan sumber dananya.” Mendengar keyakinan para anak muda itu, Ugrapada tertarik dan setuju. Rapat pun dibubarkan. Anak-anak muda itu pun keluar. Nyai Jathila dan Kutila menyeringai sambil bergumam “halah, anak Yasodha itu paling ia tidak mampu lalu merengek ke ibunya meminta perhiasannya dijual.”

Setelah dari rapat itu, Narayana meminta saudara-saudarinya dan teman-temannya untuk berkumpul di hutan Nidhiwana. Setelah berkumpul, Ayyan lalu bettanya”Narayana, bagaimana sekarang? Kita tidak mungkin bisa mendapatkan sumber dana untuk pasar baru ini.” Udawa lalu membalas perkataan Ayyan “benar Kanha, harusnya dinda Kanha realistis.” Charu dan Subala ikut menceramahi temannya itu “benar, temanku. Kita tidak akan bisa mendapatkan sumber dana itu bahkan kalau haru menjual rumah kita masih belum cukup.”  Narayana dengan tenang menjawab keraguan teman-teman dan saudaranya itu “nah makanya itu, kita berkumpul disini , kakang-kakangku. Kita tidak perlu menjual sumber daya milik kita. Kita akan ciptakan di sini.” Teman-teman Narayana keheranan apa maksudnya. Narayana lalu meminta dua kakangnya, Udawa dan Kakrasana dan teman-temannya yang lain menyiapkan lahan kosong “Kakangku Udawa dan Kakrasana dan teman-teman-temanku, bantu aku. tolong siapkan lahan kosong!” “untuk apa, Kanha?” Narayana tidak menjawab tapi hanya tersenyum. Udawa paham kalau adiknya itu akan membuat hal aneh tak bertanya lagi. Ia turuti saja kemauannya. Setelah lahannya siap, Narayana meminta Kakrasana untuk membajak tanah itu. Kakrasana bertanya “lha kok aku yang harus membajak tanah ini, Kanha? Memangnya aku ini apa? Lembu?” Narayana bercanda “ya karena kakang kan banteng.” Kakrasana ngomel-ngomel melulu sepanjang membajak tanah.

Pohon berbuah Mutiara
Setelah tanah menjadi gembur, Narayana meminta teman-temannya mengumpulkan segala perhiasan mutiara yang mereka punya “nah, sekarang aku, Charu, Subala, Ayyan, Madhu, dan adhiku Pragota akan menanam mutiara-mutiara ini.” Seluruh teman-temannya keheranan tak masuk akal karena sepengetahuan mereka, mutiara didapat dari kerang dan tiram, bukan ditanam. Narayana lalu berkata “apa yang tidak mungkin jika Hyang Widhi berkehendak. Sudah ayo bantu aku.” singkat cerita Narayana, Ayyan, dan Pragota menanam mutiara-mutiara itu sementara Charu, Subala, dan Madhu menancapkan kayu lanjaran agar tanaman-tanaman itu dapat tumbuh tegak. Mutiara sudah ditanam, kini Narayana meminta para pemudi: Rara Ireng dan Rarasati, juga Radha untuk menyiram mutiara-mutiara itu “Radha dan adhi-adhiku Rara Ireng juga Rarasati, tolong siramkan tanah ini dengan susu dan minyak samin kalian.” Radha dan Rara Ireng heran “Kanha kau ini jangan bercanda kelewatan begitu.” “benar kakang, menumbuhkan mutiara saja itu mustahil apalagi kalau disiram pakai susu dan minyak samin. Sepertinya kakang ini harus ke tabib.” Rarasati ikut menimpali “kalau mutiaranya gak tumbuh, kami minta ganti rugi.” Setelah berbagai protes tadi, para wanita bersedia membantu menyiram. Tanpa disadari oleh para pemuda-pemudi itu, kegiatan mereka dipergoki oleh Nyai Jathila.

Di hari kedua, keajaiban terjadi. Tanaman mutiara mereka mulai tumbuh dan semakin besar dalam waktu singkat. Batang, cabang dan rantingnya berwarna merah bersepuh layaknya tembaga. Dedauanannya hijau segar layaknya batu ratna wilis yang segar dan ketika menguning berguguan layaknya batu ratna cempaka, kuning kemilau ditimpa sinar sang baskara. Ketika tumbuh, tanaman itu mengeluarkan bau yang sangat harum memabukkan. Kembang-kembangnya pun bermekaran dengan indah memenuhi seluruh pohon, warnanya layaknya emas dan perak yang baru disepuh. Serangga-serangga dan burung-burung penyerbuk bahkan dibuat mabuk oleh keharuaman tanaman itu. di hari ketiga, sebagian besar kembang itu berubah menjadi mutiara yang menjurai-jurai, putih berkilauan. Nyai Jathila yang melihat keanehan itu terkaget sekagetnya. Ketika buah-buah itu berjatuhan dari ranting pohonnya itu sangat indah bak hujan permata. Mentari lalu mengenai batang pohon-pohon mutiara itu menyebarkan sinar yang sangat terang menyilaukan membuat Nyai Jathila tidak mampu melihat lalu jatuh pingsan. Singkat cerita, tepat di hari ketiga para pemuda berhasil mengumpulkan sumber dana yakni ber-gerobak-gerobak mutiara yang berkualitas tinggi sesuai janji. Para petinggi desa gembira hati. Dengan bergerobak mutiara itu, dana ini sudah sanga tmencukupi bahkan bisa dialokasikan untuk memakmurkan Barsana dan Gobajra selamanya.  akhirnya pasar baru pun dibangun. Para pedagang berbagai negeri berkumpul dan menjadi jalur transit baru perdagangan.

Keangkuhan Pralambasura dan Dhumrasura

Pada suatu ketika, seorang raksasa suruhan Adipati Kangsa bernama Pralambasura bertemu dengan teman lamanya, Dhumrasura sang raksasa asap. Dhumrasura bertanya “temanku, Pralambasura. Ada apa gerangan dikau datang bertemu denganku.” Pralambasura menjawab dengan berapi-api berkata “perintah dari yang Mulia Adipati Kangsa. Aku akan menghabisi anak yang menjadi malaikat kematian Kangsa. Tapi aku tidak bisa melakukan ini sendiri. Kau tahukan sudah berapa raksasa dan monster berhasil dia habisi.” Dhumrasura berkata dengan tinggi “temanku, bagiku itu hal mudah. Lebih baik kita pisahkan si malaikat kematian itu dari teman-temannya lalu akan aku bakar dia menjadi abu.” Pralambasura berkata lagi “lalu aku harus apa?” “temanku, gampang saja. Kau bisa habisi teman-temannya. Kalau bisa saudara dari si malaikat kematian itu.” Pralambasura setuju lalu mereka berangkat menuju Barsana dan Gobajra.

Hari itu, para penggemabala sedang bermain tarik tambang. Udawa, Kakrasana, Subala dan Charu berada di sisi kiri sementara Narayana, Pragota, Ayyan, dan Madhu Manggala di sisi kanan. Permainan semakin seru. Ke-dua belah sisi sama kuatnya. Tiba-tiba Narayana kepikiran dengan ternak-ternak yang ia gembalakan. Narayana izin untuk pergi menengok. Kakrasana lalu berkata “hei Kanha, jangan seenaknya pergi gitu. Kekuatannya nanti tidak imbang.” Lalu dari kejauhan datang seorang anak penggembala. Narayana memanggil anak itu “hei kamu...kesini..ayo bantu aku..” anak itu mendekat. Narayana lalu berkata “kawanku...siapa kamu...sepertinya kamu anak baru pindah disini.” Anak itu menjawab “aku...Prala...ehh namaku Prakosa......” “Prakosa...kebetualan sekali...teman-temanku memerlukan bantuanmu.” Prakosa hanya bisa mengangguk dan menggantikan tempat Narayana di tarik tambang. Setelah Prakosa masuk, kemenangan ternyata berpihak kepada tim Kakrasana. “nah karena kalian kalah, sebagai hukuman, kalian harus menggendong kami ketempat Kanha.” Singkat cerita, mereka semua saling bergendongan dan lari mengikuti Narayana. Prakosa lalu menggendong Kakrasana di bahunya.

Narayana lalu segera pergi ke dekat hutan dan menengok lembu sapi yang sedang merumput disana. Di tengah jalan, ia bertemu Endang Radha, Rara Ireng dan Larasati yang sedang istirahat di bawah pohon. Narayana lalu menggoda mereka dengan mengambil guci berisi susu milik mereka. Ketika para wanita bangun, mereka mendapati guci mereka dibawa lari oleh Narayana. Mereka mengejar sang pemuda yang dijuluki Makhan Chori (pencuri mentega) itu sampai ke tengah hutan. Radha dan lainnya kehilangan jejaknya namun ia menemukan ceceran susu di dekat sebuah pohon. Benar ternyata Narayana memakan semua mentega dan susu itu. Radha dan Rara Ireng menangkap basahnya. “aha...ketahuan juga kau Kanha!” Nah kakang Kanha tidak bisa lari lagi” sorak Rara Ireng. Narayana yang kepergok tak bisa berkutik. Radha lalu memaksa Narayana untuk menari. Mau tak mau, Narayana pun menari dengan lemah gemulai sambil memainkan seruling. Semua wanita itu terpana. Lalu datang Udawa, Pragota, dan teman-teman Narayana yang lain. Narayana lalu bertanya kemana Kakrasana “kakang Udawa, mana kakang Balarama?” Radha lalu menyela “Kanha, jangan alihkan pembicaraan. Ayo terus menari” Ketika Radha dan Narayana sedang tegang begitu , Rarasati berteriak “astaga ada api melayang.” Apa yang dilihat Rarasati membuat Radha dan lainnya kaget. Ada bola api berasap yang terbang lalu hinggap di pepohonan. Setelah hinggap, segala pepohonan itu terbakar. Hutan pun terbakar hebat. Lalu muncullah Dhumrasuralalu ia berkata dengan sombongnya “hahahaha....sekarang kau dan teman-temanmu akan terpanggang. Dan kakakmu akan dilumat oleh sahabatku.” Dhumrasura lalu menghembuskan nafas berapinya ke penjuru sisi. Radha, Rara Ireng, dan teman-teman Narayana lainnya merasa kepanasan.  Begitu juga para lembu sapi ternak mereka.Narayana melihat ke sekeliling dan menemukan sebuah ceruk batu. “teman-teman ayo kalian berlindung di sana. Singkat kata, mereka masuk dan berdesak-desakan di sana sementara udara hutan menjadi sesak karena asap dan api dimana-mana.

Kakrasana yang di gendong Prakosa melihat ia malah menjauhi tempat teman-temannya dan Narayana berkumpul “hei Prakosa....kok kita malah menjauh dari teman-teman. Kau ini tersasar kah?” “tidak, temanku. aku ada di arah yang benar.” Lalu Prakosa mengubah wujudnya menjadi wujud aslinya yakni Ditya Pralambasura.”Hahahaha...akhirnya aku bisa membuat tuanku Kangsa senang.” Kakrasana marah “Jadi Ini Rencanamu...Kau Mau Menjabakku Dan Kakak-Adikku.Kau Tidak Tahu Saja Kami Orang-Orang yang Menghabisi Banyak Kawanmu”

Kakrasana mengalahkan Pralambasura
 Pralambasura meremehkan Kakrasana lalu berkata “Kau Yakin? Coba lihat ke sana.” Kakrasana menoleh dan kaget melihat hutan tempat Narayana dan teman-temasnnya berkumpul tiba-tiba terbakar dan diselimuti asap tebal. Kakrasana menjadi marah lalu menghajar Pralambasura. Karena tidak terima dihajar seorang anak remaja, Pralambasura menantang Kakrasana untuk adu gulat. Pertarungan pun terjadi dengan sangat sengit. Awalnya dia bisa membuat Kakrasana kewalahan, namun setelah mempelajari cara Pralambasura begulat Kakrasana mampu mengimbangi. Akhirnya, Pralambasura terdesak dan akhirnya jatuh ke tanah dalam keadaan terjepit. Kakrasana yang marah lalu berkata “Kau Salah, Kangsa Pasti Akan Kecewa Karena Kau Yang Akan Mati!” Dengan satu kali hantaman di kepala, Kakrasana berhasil meremukkan kepala Pralambasura dan ia pun tewas seketika itu juga. Kakrasana lalu pergi menyusul ke hutan tempat Narayana dan yang lainnya.

Kebakaran hutan semakin meluas, bahkan mulai membakar pinggir desa Gobajra dan Barsana. Para penduduk dipimpin oleh Nanda Antagopa dan Wresabanu mengungsi ke gunung. Sementara itu Radha dan lainnya yang merasa kesesakan dan kepanasan karena terus menghirup asap berkata “ Kanha cepat selamatkan kami.” Narayana lalu berkata “teman-teman, kalian ikuti arahanku. Kecuali jika aku panggil, kalian jangan menoleh ke arahku. Kalian duduk mengheningkan cipta  dan baca mantra-mantra.” Radha dan semuanya mengerti lalu duduk mengheningkan cipta sesuai arahan Narayana. Dhumrasura tertawa “Hahahaha......ada apa bocah? Kau tidak ingin teman-temanmu melihat akhir darimu?” “tentu bukan itu, Dhumrasura. Aku hanya tidak ingin teman-temanku melihat akhir darimu.” Dhumrasura menjadi jumawa dan melemparkan bola api ke arah Narayana. Anak kesayangan Yasodha itu pun melakukan jurus silat. Narayana mengayunkan tangannya lalu memutar-mutarnya seperti sayap yang mengibas. Seketika, kekuatan pukulan tangan Narayana membentuk angin lesus yang menghisap lalu memadamkan api di seluruh hutan. Tekanan anginnya membuat Dhumrasura ikut terhisap dan berputar-putar. Tubuh Dhumrasura terpuntir-puntir kemudian seperti halnya asap itu sendiri, ia hilang lenyap tak berbekas.

Setelah semua api padam, Narayana pun meminta teman-temannya menoleh “teman-temanku...sekarang kalian boleh menoleh.” Radha dan lainnya yang telah menyelesaikan mantra melihat kebakaran telah padam. Mereka bersorak gembira . tapi Rara Ireng dan Rarasati masih cemas “kita sudah lepas dari Dhumrasura, tapi bahgaimana keadaan kakang Balarama?” “benar, katanya, ada yang mencoba menghabisinya.”

Narayana mengalahkan Dhumrasura
Lalu mereka mendengar suara dari belakang “siapa yang bisa menghabisiku?” Rara Ireng, Rarasati dan lainnya menoleh melihat Kakrasana masih sehat tanpa kekurangan suatu apapun “sudah...jangan dengarkan Dhumrasura, yang dikatakannya hanya bohong belaka.” Akhirnya mereka bergembira kembali. Di tengah puing hutan yang terbakar, Radha dan Kanha (Narayana) kembali menarikan tarian Raasleela. Bersama teman-temannya mereka bergembira hati. Suara seruling Narayana mengalun indah ke seluruh penjuru desa. Para penduduk merasa damai mendengarnya. Seketika hutan yang terbakar kembali tumbuh dalam sekejap. Banyak pepohonan kembali bersemi diantarnya pohon widara (bidara) dan semak-semak kemangi suci (tulasi; vrindha) yang menyebarkan aroma wangi yang sedap. Hutan itu lalu dinamai hutan Brindhawana/Vrindhavana. Oleh Nanda Antagopa, hutan itu ia sebut sebagai Widarakandha karena disana juga banyak pohon widara dan nama itu digunakannya menggantikan nama Gobajra. Sejak saat itulah nama Gobajra berganti menjadi Widarakandha atau Brindhawan.

Balada cinta Ayyan-Radha-Kanha

Hari-hari Radha dan Narayana semakin berwarna. Radha telah tengglam ke dalam cintanya kepada Narayana. Bukan lagi cinta secara duniawi. Namun kini cintanya telah menembus relung jiwa dan mengakar. Yang kini dicintai Radha bukan tubuh Kanha, melainkan jiwa dan segala perbuatannya. Begitu dengan Kanha (Narayana), ia sangat cinta dan menyayangi Radha lebih dari apapun. Bagaikan buku berjumpa dengan ruasnya.  Namun nampaknya cinta itu juga menggelayuti diri Ayyan. Ayyan juga jatuh hati kepada Endang Radha. Putra Ugrapada itu kemudian berkata kepada ibunya “ibu, aku sejak lama mengagumi dan mencintai adik kita Radha. Aku ingin sekali menikahinya.” Nyai Jathila pun berniat jahat mengambil kesempatan itu untuk menjatuhkan semangat putra kesayangan Yasodha. Nyai Jathila menceritakan keluh kesah dan keinginan Ayyan kepada sang suami, Lurah Ugrapada. Sang lurah Barsana menyadarinya. Sudah berpa malam ini, ia melihat Ayyan mengigau seakan dia sedang dimabuk kasmaran oleh Radha. Maka keesokan paginya, Lurah Ugrapada datang kepada Ki Wresabanu menyampaikan lamaran Ayyan kepada Radha. Radha yang melihat dari balik tirai ingin tahu. Tanpa pikir panjang, Ki Wresabanu menyetujui lamaran Ayyan. Keesokan harinya, Lurah Ugrapada memberi pengumuman “para penduduk barsana yang aku cintai, aku akan memberikan sebuah pengumuman yang sangat penting. Pada sasih depan, putraku Ayyan akan menikahi Endang Radha, putri Wresabanu.” Sorak sorai membahana di Barsana. Namun, tidak dengan Endang Radha di rumahnya. Ia menangis sejadinya di pelukan ibunya “ibu....kenapa begini....huhu....aku tidak mampu mencintai kakang Ayyan...aku hanya mencintai Kanha....” Nyai Kirtidha berkata juga dengan penuh rasa pilu “ibu juga tak berdaya.....tapi apa mau dikata..ayahmu sudah setuju dengan lamaran pak lurah....” lalu di tengah kesedihannya itu, Radha mencari cara agar Narayana bisa ke Barsana.

Sementara itu di desa Widarakandha, hati Narayana terasa sakit mendengar kabar pernikahan Ayyan dan Radha. Baginya, cinta Radha bagaikan paruhan jiwanya. Kehilangannya bagaikan separuh jiwanya terenggut. Ketika ia melihat ke langit, seekor burung merpati datang kepadanya. Di kakinya ada sepucuk surat. Ketika Narayana membuka surat itu, tertulislah di sana “Kanha ku yang kusayang dan kasihi, sudah tahukah dikau tentang kabar pernikahanku? Sesungguhnya, jauh dalam relung benak dan hati, aku lebih mencintai dikau lebih dari apapun jua. Tapi keadaanku tak berdaya. Lamaran pak lurah Ugrapada telah datang kepada ayahandaku dan beliau pun bersedia. Mendengar hal demikian, kalbuku remuk redam. Air mataku berderai tak berhenti layaknya hujan. Melarat hati ini untuk menanggung duka lara ini. Hampir musnah warasku karenanya. Aku berharap Kanha ku yang tersayang kemari dan datang, bukan sebagai cinta, tapi sebagai sahabatku yang aku kasihi. Aku mengharap kedatangan dikau untuk menjadi perias di malam pengantinku. Aku ingin menutup kisah prema kita dengan keindahan. Biarkan ratap pilu yang akan menggenang cukup hanya dikau dan aku yang rasakan sahaja. Dari yang Tersayang, Radha.” ketika membaca surat itu, tak terasa oleh Narayana air matanya menggenang lalu mengalir menganak sungai. Campur aduk kalbunya. Para saudara Narayana tak ada yang berani mendekat untuk menenangkannya. Udawa berkata “biarkan dia sejenak....biarkan Kanha tenang sejenak.

Hari pernikahan Ayyan dan Radha hampir tiba. Saat itu masa pingitan dan waktunya mempelai perempuan menentukan siapa perias pengantinnya. Lama sekali Radha menanti kedatangan Narayana untuk menjadi perias pengantinnya namun ia tak kunjung datang. Hal itu membuat Radha semakin sedih dan pilu. Keluarga pun jadi risau dan gundah karena Radha tidak mau dirias oleh orang-orang dari Barsana, tapi hanya pilihannya sendiri meskipun dia orang asing. Lalu datang seorang wanita yang sangat cantik. Semua orang terpana. Maka Radha memutuskan untuk memilih orang asing itu. Nyai Kirtidha menjemputnya. Ia pun bertanya siapa nama wanita itu “ni sanak, kau sangat cantik. Siapakah namamu?” “aku Gopadewi, aku seorang pengelana wanita. Pekerjaanku adalah tukang rias keliling.”nyai Kirtidha bersyukur sekali dan ia menawarkan agar ia mau merias putrinya yang akan menikah. Gopadewi mau-mau saja bahkan bersedia tidak dibayar, dengan syarat apapun yang diinginkan si mempelai harus dituruti oleh keluarganya karena baginya kepuasan dari pelanggan harus diutamakan. Nyai Kirtidha setuju. Ditinggalkannya lah, Gopadewi dan Radha di kamar itu. Gopadewi mulai merias Radha. Di sela-sela merias, Radha berkata dengan hati yang hancur “kakandaku Kanha, kenapa dikau tidak hadir? Apakah dikau benar-benar ingin memutuskan ini. Membiarkan ku teraduk-aduk oleh takdir cinta yang sedih ini.” Gopadewi lalu berkata “siapa Kanha yang kau bicarakan itu, anak manis?” Radha berkata bahwa Kanha adalah cintanya. Dialah cinta pertamanya yang ia cintai bukan hanya secara ragawi melainkan sampai ke rohaninya. Sudah berkali-kali juga Kanha menyelamatkannya dan penduduk desa. Sekarang Radha berpikir bahawa cinta yang ia cintai secara ragawi dan rohani sudah mencabut dan membuang semua cintanya lalu pergi. Tak terasa Gopadewi ikut terharu mendengarnya. “Kanha kakandaku.....apa cinta harus berakhir dengan kepiluan dan kepahitan?” isak Radha. Lalu terdengarlah suara sang kekasih Kanha alias Narayana “cinta ini kadang suka cita, kadang duka lara...aku pun tak berdaya.....namun ku sadar cinta tak mesti bersama.” Radha kaget lalu melihat ke sekeliling. “aku disini Radha. Aku tepat di belakangmu.” Radha menoleh dan hanya mendapati Gopadewi. “ada apa, manisku?” Radha sembari menyeka air matanya lalu berkata “ehh tidak ada apa-apa. Hanya perasaanku saja.” Entah mengapa ketika Gopadewi meriasnya, ia seakan-akan bahawa Kanha yang sedang meriasnya. Singkat cerita,  Hari itu Radha dirias dengan riasan terbaiknya. Gadis yang sudah ayu, kini terlihat semakin comel, molek, nan jelita segera mengakhiri lajangnya. “nah berkacalah, manisku.” Radha dengan kesedihan yang ia tutupi berkata “cantik sekali Gopadewi. Semoga dia akan menantiku di sana bahagia melihatku.” “semoga, manisku. Sekarang cepatlah. Calon pengantinmu sudah menanti.” Ketika di luar, Radha dipuji-puji bak dewi. Kecantikannya memancar luar dalam. Bahkan ibunya hampir tak mengenali anaknya karena memang se-apik itu riasannya. Ketika Nyai Kirtidha hendak memberikan upah kepada Gopadewi, orang yang ia cari langsung menghilang tak berbekas. Radha betanya kenapa ibunya nampak keheranan “ibu ada apa?” “tidak ada, putriku. Sekarang cepatlah kita ke tempat upakara pernikahan.”

Waktu pernikahan pun tiba. Hari itu Radha dan Ayyan bagaikan raja sehari. Datang pula Nanda Antagopa, Nyai Yasodha dan putra-putri mereka.terlihatlah Udawa, Kakrasana, Narayana, Pragota, Rara Ireng, dan Rarasati memakai pakaian terbaik mereka. Namun dibalik penampilan yang anggun dan menawan itu, baik Radha atau pun Narayana menyimpan kesedihannya masing-masing. Yang tidak diketahui Radha bahawa Narayana telah menggenapi janjinya yakni sudah meriasnya dalam penyamarannya sebagai Gopadewi. Ketika prosesi pernikahan dilangsungkan, Radha tak hentinya melihat ke arah hadirin terutama ke arah Narayana.

Elegi sang Narayana
 Di luar ia nampak bahagia, namun dari sinar matanya memancarkan nelangsa. Ketika tiba saatnya mereka melemparkan kelopak-kelopak bunga ke arah pengantin, Narayana nampak tak mampu menahan masygul di hatinya, lalu ia meninggalkan pesta pernikahan itu. Narayana pun duduk di bawah sebuah pohon menangis sendirian. Setelah membiarkan semua kesedihannya tumpah, ia menuangkan semua perasaanya lewat alunan serulingnya yang sangat sendu dan mengharu biru. Alam seakan ikut terlarut dan hanyut dalam nestapa yang Narayana alami. Dedaunan kekeringan dan berguguran. Segala macam kembang dan sekar layu lunglai, burung-burung kedasih berkicau dengan nada yang mengiris relung kalbu, menyanyikan elegi. Maruta nan beku berhembus bak prahara membawa udara kering. Embun pun berubah beku. Hari itu jagat raya ikut mengiringi tembang duka merana sang Kanha.