Jumat, 28 Maret 2025

Banjaran Sri Kresna Episode 7: Bukit Gowardhana

 Hai-hai....semua pembaca dan penikmat kisah pewayangan. Kisah kali ini menceritakan Narayana mengangkat Bukit Gowardhana. Kisah diawali dengan kemarahan Nyai Jathila karena gagal membuat Narayana sakit hati setelah pernikahan Ayyan dan Radha dengan memnyebarkan kelaparan dan kekeringan. hal itu malah berimbas pada perceraian Ayyan dan Radha. Kisah dilanjutkan dengan Narayanan yang menentang upacara sesaji kepada Batara Indra agar hujan tetap turun dan membuat sang dewa marah lalu menimpakan bencana ke desa. Narayana pun mengangkat Bukit Gowardhana demi menyelamatkan warga desa membuat Batara Indra menyadari kesalahannya. Kisah ini mengambil sumber dari kitab Mahabharata karya Mpu Vyasa, Serial Kolosal India Mahabharat Starplus dan Radha Krishna Starbharat, animasi Little Krishna, dan sumber-sumber lain dengan perubahan dan penyesuaian seperlunya.

Hari-hari keluarga Nanda Antagopa dan Nyai Yasodha berjalan sebagaimana biasanya. Perlahan namun pasti, hati Narayana yang masih berduka karena ditinggal menikah oleh Radha mulai bisa berdamai. Kini Narayana perlahan namun pasti menerima takdirnya. Narayana tetap berhubungan baik dengan Ayyan maupun Radha. Rancangan bibi Jathila dan Kutila untuk membuat menjatuhkan mental Narayana yang awalnya berhasil kini tak sepenauhnya berhasil. Baik sang putra maupun Narayana tetap berhubungan baik, begitupun dengan Radha. Lalu Nyai Jathila dan Kuthila datang ke sebuah tempat untuk menghukum Narayana namun memakai cara curang. Mereka lalu mendatangi rumah Narayana diam-diam dan menaruh segala macam sesaji aneh, mulai dari bunga-bunga tertentu, anak ayam cemani yang sudah membusuk, dan juga darah binatang juga abu pembakaran jenazah. Lalu abu itu disebarkan. Selain ditaburkan ke rumah Narayana, Sesaji itu lalu disebarkan ke seluruh desa Widarakandha dan Barsana sebagai bentuk pembalasan kebencian mereka. Tak ayal, terjadi bencana kekeringan dan kebuluran. Angin dingin lalu disusul panas terik datang silih berganti, dari hari ke hari mengeringkan segala sumber air di Widarakandha dan Barsana. Lalu Nyai Jathila mengumumkan bahawa ini adalah hukuman dari penguasa bengawan Yamuna. Maka harus diselenggerakan upacara untuk memohon mengakhiri kekeringan panjang ini kepada sang dewa. Namun mereka belum mendapatkan guru atau orang suci sebagai pemimpin upacara. Lurah Ugrapadha merasa belum mampu begitupun Lurah Nanda Antagopa, lalu Jathila berkata dengan penuh kesombongan “biar anakku Ayyan saja yang menjadi guru bagi kita. Kemampuan Ayyan untuk memberikan doa dan berkah tidak perlu dipertanyakan.” Ayyan berusaha untuk menghentikan kekonyolan ibunya namun adiknya berkata “kakang, coba pikirkan deh gimana rasanya menjadi guru. Kakang akan disanjung, dihormati, dan ditakzimi banyak orang.” Ayyan termakan rayuan lalu ia diam dan berkata “Baiklah, mulai hari ini aku akan memimpin setiap upacara keagamaan di desa Barsana dan Widarakandha.” Para penduduk menaruh takzim kepada Ayyan. Tapi Narayana dan saudara-maranya menganggap apa yang dilakukan Ayyan ialah sebuah ketololan tak berdasar. Narayana berkata bahawa Ayyan akan mendapatkan padah dari perbuatannya “sudah kakang-kakang dan adhiku. Ayyan pasti akan menyadari kesalahannya dan memutuskan hal besar di sini.” Narayana lalu menunjuk sebuah pohon Wilwa (pohon Maja). Di tempat itulah, hal besar itu akan dialami oleh Ayyan.

Pada suatu hari, ketika kemarau panjang hampir di puncaknya, datang rombongan pandita dan murid-muridnya. Mereka ialah Resi Durwasa dan para cantrik-cantriknya yang terkenal sangat brangasan dan suka mengutuk orang apabila keinginannya tidak terpenuhi atau tidak sesuai sedikit saja.

Resi Durwasa melindungi Radha dari Ayyan
Dewi Kunthi atau di masa mudanya dikenal sebagai Prita, putri Mandura yang kini menjadi ibu dari para Pandawa saja sabar sekali dan serba hati-hati selama menjadi cantriknya. Hari itu, Resi Durwasa dan cantrik-cantriknya datang kepada Lurah Nanda Antagopa “Lurah Nanda, aku meminta mu kepadaku suatu tempat untukku dan para cantrikku bersemadhi tanpa gangguan di tempatmu. Jika Kau Tidak Mampu Memberikannya, Maka Desa Ini Akan Terkutuk Selamanya!” Lurah Nanda yang mengerti bagaimana sepak terjang pandita pemarah itu segera memerintahkan anak-anaknya: Udawa, Kakrasana, dan Narayana untuk mencarikan tempat yang cocok. Dengan lemah lembut, Udawa, Kakrasana, Narayana bertanya kepada sang resi “ampun guru resi...tempat seperti apa yang anda inginkan?” Udawa membenarkan ucapan adiknya itu“benar, guru resi...kami tidak mengerti dengan apa isi hati keinginan guru resi.”.Kakrasana yang sedari tadi diam lalu berkata juga “mungkin dengan saran dan pertimbangan dari benak kalbu guru, kami bisa memberikan saran tempat yang pas.” Resi Durwasa heran melihat ada anak muda mau bertanya lalu meminta saran kepadanya. Hal itu mengingatkannya pada Prita, muridnya dahulu. Resi Durwasa berkata dengan tegas “baiklah, aku ingin tempat semadhiku dekat dengan pohon yang sedang berbuah lebat saat ini dan buah itu buah berkat dari Mahadewa Batara Guru!” Udawa lalu teringat pada pohon Wilwa (maja) yang tempo hari. Lalu tanpa banyak bicara, Udawa lalu berkata pada sang resi “guru resi, saya sudah mengerti tempat mana yang sesuai untuk anda bersemadhi. Mari ikut kami.” Resi Durwasa dan para cantriknya mengikuti ketiga anak Nanda itu. Lalu mereka berhenti di tengah hutan tempat pohon wilwa (maja) yang dimaksud berada. Resi Durwasa sesuai dengan tempat itu, begitupun para cantriknya. Resi Durwasa merasa senang dengan pelayanan ketiga anak itu dan memberkahi mereka “aku senang dengan pelayanan kalian. Terima lah berkah dariku.” Resi Durwasa memberkahi mereka bertiga kelak akan menjadi orang-orang penting di tatanan jaman Duparayuga ini. Sebagai bentuk terima kasih, Narayana meniupkan serulingnya agar Resi Durwasa lebih relaks dalam bersemadhi. Lalu ketiga anak Nanda itu pergi dan mengawasi sang resi dari jauh. Tak lama kemudian, datanglah Ayyan dan Radha yang sedang mencari ketenangan untuk persiapan upacara memohon kesuburan. Nampaknya Ayyan kelelahan selepas lebih dari satu pekan menghapal berbagai doa dan mantra untuk upacara. Maka ia menjadi kasar, besar kepala, dan telah memaksa Radha melayani sepenuh hati “Radha, sekarang aku adalah guru, maka sudah kewajibanku untuk mendidikmu dengan benar. sebagai isteriku, kau juga adalah muridku pula. Seorang murid harus memberikan pelayanan terbaik kepada gurunya.Sekarang cari kan aku makanan di hutan ini!” Radha yang kepayahan membantu suaminya itu berkata “suamiku, dimana aku mencari makanan? Seluruh Mandura dilanda kekeringan. Tanaman susah untuk berbuah, bahkan nyaris lengkara satu pun rumput hijau segar.” Ayyan lalu menunjuk ke sebuah pohon sambil marah-marah “Lalu Itu Kau Sebut Apa? Di sana ada Pohon Wilwa yang Berbuah! Isteri Tolol Kau!! Cepat Ambil Buahnya!” dengan tangisan penuh nestapa, Radha mendekati pohon Wilwa itu. ketika Radha mendekati pohon itu, ia melihat sebiji buah wilwa jatuh dan lalu menggelinding ke arah Resi Durwasa yang sedang bersemadhi. Radha mendekati sang resi, lalu mempersembahkan buah wilwa itu kepada sang resi untuk menyenangkannya.

Suara buah jatuh membuat resi itu terangun dan Resi Durwasa pun terbangun. Betapa kagetnya sang resi melihat seorang wanita duduk di hadapannya dan mempersembahkan sebiji buah wilwa kepadanya sambil terisak. Entah karena apa, Resi Durwasa yang biasanya brangasan, kali ini menjadi lembut hati kepada orang yang dianggap mengganggu semadhinya. Resi Durwasa bertanya kepada wanita itu “hai ni sanak, siapakah kamu? Kenapa kamu datang padaku dengan terisak-isak?” Radha menjawab dengan suara tertahan-tahan “aku Radha, isteri Ayyan. Kedatangan saya kemari karena ingin memetik buah wilwa di dekat tempat bapa resi bersemadhi demi suami saya yang kelaparan...” belum selesai Radha menjelaskan, Ayyan datang dengan marah-marah. “oh Kau Ini Lama Sekali, Rupanya Kau Bersama Orang Tua ini.” Radha berkata “aku harus melayani bapa Resi ini dan mempersembahkan buah wilwa yang aku petik.” Ayyan memaki Radha dan menganggap Radha lebih mengutamakan orang lain ketimbang suaminya sendiri lalu mengambil buah wilwa dari genggaman Radha lalu memakannya. Ternyata buah wilwa itu baru separuh matang sehingga rasanya sedikit getir. Ayyan memuntahkan nya lalu melempar buah itu ke hadapan Resi Durwasa. Resi Durwasa sangat marah melihat ada seorang istri yang dikasari dan dimaki di hadapannya ditambah lagi ia tidak diperlakukan dengan hormat oleh pria muda itu. Dengan murka, Resi Durwasa lalu berkata” Hai Engkau Lelaki Tidak Bermoral! Berani Sekali Kau Menghardik Istrimu Yang Baktinya Melebihi Baktiku Kepada Hyang Guru! Bahkan Kau Menghinaku Karenanya! Maka Aku Mengutukmu! Jika Tangan Kotormu Menyentuh Gadis Ini Seujung Jari pun, Maka Kau Akan Hancur Menjadi Abu! Ayyan dan Radha kaget mendengar Resi Durwasa memberikan kutukan itu, Bahkan anak-anak Nanda yang sedari tadi mengawsi sang resi dari jauh ikut kaget. Dengan memohon-mohon, Ayyan berlutut minta ampun agar sang resi mencabut kutuk pasu itu, namun Resi Durwasa pun pergi bersama cantrik-cantriknya tanpa sedikitpun mempedulikan nasib Ayyan.

Sesampainya di Barsana, Ayyan berkata pada orang tuanya “ayah! ibu! Aku akan menceraikan Radha.” Lurah ugrapada dan Nyai Jathila kaget mendengarnya Terutama Nyai Jathila yang selama ini selalu congkak. Ayyan lalu menjelaskan “Seorang resi telah mengutukku karena kekasaranku kepada Radha. Tolong kembalikan Radha kepada orang tuanya. Aku akan menghabiskan waktu dengan penebusan dosa di tempat yang jauh.” Singkat cerita, Radha kembali ke rumah orang tuanya. Sedangkan Ayyan pergi menyepi di hutan. Sekarang tanpa kehadiran Ayyan sebagai pemimpin upacara memohon kepada dewa, kekeringan dan kelaparan yang disebabkan kecurangan Nyai Jathila akan berterusan. Nyai Jathila menjadi dipenuhi kekalutan begitupun adik Ayyan, Kuthila.

Karena semakin hari kekeringan dan kemarau panjang semakin menggila, diadakanlah kenduri kepada Batara Indra. Selama beberapa tahun terakhir, memang hujan beberapa kali turun dan akhirnya menjadi sebuah tradisi baru. Kemarau dan kekeringan panjang bisa berakhir hingga pada suatu hari, penduduk desa Widarakandha dan Barsana hendak menyelenggarakan kenduri akbar dengan mengurbankan 100 ekor sapi untuk Batara Indra agar hujan turun sekali lagi. Narayana yang ditemani Udawa dan Kakrasana juga beberapa teman-temannya melihat para penduduk membawa sapi-sapi mereka bertanya pada sang ayah “ Ayah, kenapa kita melakukan kenduri semacam ini? Bukankah akan semakin memberatkan para penduduk. Para penduduk kaya saja sudah repot  kesusahan dan penduduk yang miskin menjadi semakin miskin ?” Nanda Antagopa menjawab” kita harus melakukannya agar Batara Indra mau membawa hujannya ke desa ini. Ini adalah tradisi kita selama bertahun-tahun” Narayana tidak puas dengan jawaban sang ayah memberikan petuahnya “tapi ayah, kenapa kita harus menelan tradisi itu mentah-mentah tanpa kita kupas. Toh bukan berarti setelah melakukan kenduri ini, hujan langsung turun begitu saja. Ingat ayah, Batara Indra dan para dewa lainnya mendapatkan kekuatannya dari Hyang Widhi Wasa. Jika ayah dan para penduduk masih ragu, kalian datang saja di lembah Gowardhana. Berdoa lah disana. Dari sanalah awan hujan terlihat. Pabila tidak ada Bukit Gowardhana, awan tersebut tidak menabrak bukit dan hujan tidak turun, atau turun di tempat lain. Air hujan yang turun disimpan oleh akar-akar pohon yang tumbuh di bukit, disimpan, dan dikeluarkan sedikit-demi sedikit, sehingga tanah selalu basah dan air keluar pelan-pelan di mata air menuju Bengawan Yamuna. Bukit itulah yang menyimpan air untuk seluruh tanaman dan makhluk di Widarakandha. Bukit itulah tempat merumput bagi sapi, dan sapi memberikan susu bagi penduduk. Tanaman tulasi dan tanaman obat lain juga tumbuh di Bukit Gowardhana memperoleh air dari air tanah yang tersimpan di bukit dan berguna bagi penduduk.” Lalu Narayana di hadapan para penduduk meyakinkan para penduduk untuk membawa sesaji mereka untuk beribadah di Bukit Gowardhana dengan berkata “hadirin sekalian, mari kita bawa sesaji kita kepada Gowardhana. Kita akan berdoa kepada-Nya di sana” Reaksi para penduduk pun beragam mendengar. Ada yang menolak, ada pula yang ragu-ragu, tapi juga tak sedikit juga yang sepakat dan sepaham dengan pemikiran Narayana. Setelah memikirkannya dengan matang, para penduduk desa dan para pendeta datang ke lembah Bukit Gowardhana. Mereka melakukan persembahyangan di tanah lapang di lembah itu. Dadih, puding beras, dan susu, bahkan segala hasil bumi turut ditawarkan ke acara sesaji. Ratusan brahmana dan tamu diberi makan.
Di kahyangan, Batara Indra menjadi sangat marah dan gusar karena yadhnanya telah berhenti, terlebih lagi yadhna ini berhenti karena ucapan seoarang anak baru gede dan dia kemudian memanggil awan, "Dengarkan apa yang saya katakan. Hancurkan ternak dengan hujan dan angin. Aku akan datang dengan Erawat, gajahku dan menurunkan hujan yang dashyat juga di Widarakandha!.” Angin dan awan segera memulai tugasnya. Kegelapan ada di mana-mana. Ada kilat, guntur, dan hujan lebat. Dunia menjadi gelap dan ada air membanjir di mana-mana. Ketika para penduduk sedang melakukan doa, para penduduk Widarakandang dikejutkan dengan munculnya topan badai disertai hujan es dan halilintar yang menyambar-nyambar selama berhari-hari. Para penduduk lari pontang-panting menuju desa Widarakandang. Di desa, mereka dikejar-kejar banjir dan air bah.

Narayana mengangkat Bukit Gowardhana
Sapi dan pedhet-pedhetnya mulai mati. Di ladang rumput, mereka juga di kejar halilintar dan api dari rerumputan kering. Angin pun menerbangkan apa saja. Badai dahsyat meluluh lantakan desa. Narayana lalu didatangi warga desa “Narayana bagaimana ini? Batara Indra murka karena sesajinya dihentikan! Kita harus membuat yadhna pengampunan dosa!” Narayana berkata dengan tegas “sebuah yadhna dan upacara harus dilakukan dengan hati yang bersih, penuh kerelaan,dan cinta, bukan dengan rasa takut dan gamang. Rasa takut kalian kepada Indra tak akan menyurutkan upacara di Bukit Gowardhana.” Lalu Narayana bergerak lalu menengadahkan tangannya seraya berdoa “penguasa Bukit Gowardhana, tolonglah para hamba-Mu yang kesulitan ini.” Sejenak kemudian, begitu satu jentik jari Narayana menyentuh tanah, tiba-tiba tanah bukit Gowardhana terbuka. Narayana lalu memasuki celah terbuka itu. orang-orang khawatir terutama Radha “tolong, tanah Gowardhana menalannya. Siapapun cepat tolong Kanha!!” Radha, Udawa, Kakrasana dan laiinya lalu terkejat mendengar suara suling dari bawah bukit. Mereka kaget karena menyaksikan Narayana mengangkat Bukit Gowardahana yang besarnya sebesar anak gunung itu hanya dengan satu jari saja layaknya payung raksasa. Para penduduk, para pendeta, dan seluruh keluarga Narayana segera masuk ke bawah kolong bukit itu beserta ternak-ternak mereka. Di dalam sana, para penduduk bisa merasa aman dan tentram. Dengan alunan seruling, mereka menari-nari bergembira selama tujuh hari.

Batara Indra yang melihat kejadian ajaib itu semakin murka dan melemparkan halilintar-halilintar, gumpalan es, dan air hujan yang berat ke bukit itu. Tapi tak sedikitpun tanah di bukit itu berguguran. Karena marahnya sudah tak bisa dibendung, Batara Indra mengeluarkan pusaka saktinya yaitu Bajra. Saat Bajra itu diarahkan ke bukit Gowardhana, keluarlah bunyi guntur yang amat memekakkan telinga dan bukit Gowardhana bergoncang dahsyat. Tak hanya itu, Batara Indra juga memanggil angin langkisau yang berputar-putar menyapu segala sesuatu didekatnya. Para penduduk khawatir dan risau. Namun Narayana berkata “Batara Indra tidak akan mencelakakan kita.” Narayana lalu meniup sulingnya dan ajaib, angin langkisau itu tersedot masuk ke dalam suling Narayana dan apesnya angin itu mengenai batara Indra sehingga ia dan gajah Erawat jatuh ke lumpur Bumi. Seketika langit pun cerah. Hujan angin dan badai mereda. Banjir pun surut. Para penduduk bisa kembali ke desa dan beraktivitas seperti biasanya. Setelah semua penduduk keluar dari kolong bukit, Narayana pun menurunkan dan menampatkan kembali Bukit Gowardhana kembali ke tempatnya. Batara Indra merasa malu dan meminta maaf kepada Narayana “ampuni hamba ..tuanku...maafkan kebodohan hamba yang congkak ini. Hamba terlalu terlena dengan rasa takut para penduduk terhadapku sehingga aku menjadi bodoh dan bertindak sewenang-wenang.” “Narayana pun memaafkannya “dewaku...kau hanya menjalankan tugasmu dan para penduduk dilanda rasa takut akan kemarau, mereka pun melakukan sesaji dengan penuh ketakutan sehingga kau menjadi tinggi hati. Karena mereka sudah terbebaskan dari rasa takut terhadapmu, maka aku akan memaafkanmu. Jangan kau risaukan lagi.” Batara Indra pun merasa lega. Dengan penuh takzim, ia pun naik kembali ke kahyangan.

Kamis, 23 Januari 2025

Banjaran Sri Kresna Episode 6: Pohon Berbuah Mutiara dan Balada Cinta Widarakandha

 Hai-hai....semua pembaca dan penikmat kisah pewayangan. Kisah kali ini menceritakan keajaiban Narayana menumbuhkan pohon berbuah mutiara demi menghidupi sebuah pasar baru. Kisah berlanjut dengan rencana Pralambasura dan Dhumrasura untuk menghabisi Narayana dan Kakrasana. kisah diakhiri dengan kesedihan Narayana disebabkan pernikahan Radha dan Narayana. Kisah ini mengambil sumber dari Serial Kolosal India Radha Krishna Starbharat dan Serial animasi the Little Krishna dengan pengubahan seperlunya.

Pohon berbuah Mutiara

Beberapa hari setelah serangan banteng jelmaan Aristasura, pesta panen raya yang awalnya ditunda akhirnya bisa terlaksana. Para warga Barsana dan Gobajra berkumpul di pura untuk berdoa semoga panen tahun ini membawa berkah. Setelah ritual doa, pesta rakyat diselenggarakan. Banyak orang membuat kedai kecil di pinggir jalan. Berbagai jajanan, barang-barang kebutuhan, pakaian, dan barang-barang mahal dari berbagai negeri dijajakan. Singkat cerita panen raya selesai, Namun beberapa hari setelahnya, masih banyak juga para pedagang menjajakan barang dagangannya malah mereka memutuskan untuk membuat lapak di sana. Kian hari, pedagang semakin ramai. Nanda Antagopa dan para petinggi antardesa mengumpulkan para penduduk Barsana dan Gobajra untuk berunding tentang nasib para pedagang “pak Lurah Ugrapada dan temanku Wresabanu, bagaimana pendapat kalian tentang para pedagang yang membangun lapak disini? Apakah kita biarkan?” Lurah Ugrapada berkata “pak Lurah Nanda, tentu tidak, tapi kita tidak bisa mengusir mereka. Itu sama saja mengusir rezeki untuk kedua desa kita.” Wresabanu lalu berkata “menurut hemat saya, lebih baik kita jadikan tempat itu pasar baru kita, jadi warga desa tidak perlu jauh-jauh pergi ke Mandura atau Hastinapura untuk membeli kebutuhan sehari-hari.” Lurah Ugrapada setuju tapi menanyakan sumber dana untuk membangun pasar “aku setuju saja untuk itu, tapi dengan apa kita membangun pasar itu? kita perlu banyak dana untuk membangunnya sedangkan anggaran dari mandura terbilang masih cukup kecil. Kalian mengeti sendirikan yang mengatur keuangan negeri ini Adipati Kangsa.” Suasana rapat itu menjadi hening karena memikirkan kendala biaya. Namun dari belakang peserta rapat seseorang mengangkat tangan dan berkata dengan lantang “aku bersedia mencari sumber dananya.” Semua orang pun menoleh dan kaget bahawa yang berbicara barusan ialah Narayana. Ia dan beberapa anak muda di sana: Kakrasana, Rara Ireng, Udawa, Endang Radha, Charu, Pragota, Rarasati, Madhu Manggala, Ayyan Yadawa dan Subala. Nyai Jathila lalu berkata “hei nak...kau ini aneh-aneh saja....kau ini masih bocah....memang kau bisa membawa banyak uang?” Kutila, adik Ayyan yang juga ada di sana mengejek “halah ibu, paling dia akan merengek-rengek minta ke ibunya...”semua orang tertawa. Namun Narayana berkata “bibi, jangan pernah remehkan kami para pemuda. Justru itu kami akan membuat pasar baru ini akan berkembang. Paman-paman, bibi-bibi sekalian kami berjanji dalam kurun waktu tiga hari, kami akan sumber dananya.” Mendengar keyakinan para anak muda itu, Ugrapada tertarik dan setuju. Rapat pun dibubarkan. Anak-anak muda itu pun keluar. Nyai Jathila dan Kutila menyeringai sambil bergumam “halah, anak Yasodha itu paling ia tidak mampu lalu merengek ke ibunya meminta perhiasannya dijual.”

Setelah dari rapat itu, Narayana meminta saudara-saudarinya dan teman-temannya untuk berkumpul di hutan Nidhiwana. Setelah berkumpul, Ayyan lalu bettanya”Narayana, bagaimana sekarang? Kita tidak mungkin bisa mendapatkan sumber dana untuk pasar baru ini.” Udawa lalu membalas perkataan Ayyan “benar Kanha, harusnya dinda Kanha realistis.” Charu dan Subala ikut menceramahi temannya itu “benar, temanku. Kita tidak akan bisa mendapatkan sumber dana itu bahkan kalau haru menjual rumah kita masih belum cukup.”  Narayana dengan tenang menjawab keraguan teman-teman dan saudaranya itu “nah makanya itu, kita berkumpul disini , kakang-kakangku. Kita tidak perlu menjual sumber daya milik kita. Kita akan ciptakan di sini.” Teman-teman Narayana keheranan apa maksudnya. Narayana lalu meminta dua kakangnya, Udawa dan Kakrasana dan teman-temannya yang lain menyiapkan lahan kosong “Kakangku Udawa dan Kakrasana dan teman-teman-temanku, bantu aku. tolong siapkan lahan kosong!” “untuk apa, Kanha?” Narayana tidak menjawab tapi hanya tersenyum. Udawa paham kalau adiknya itu akan membuat hal aneh tak bertanya lagi. Ia turuti saja kemauannya. Setelah lahannya siap, Narayana meminta Kakrasana untuk membajak tanah itu. Kakrasana bertanya “lha kok aku yang harus membajak tanah ini, Kanha? Memangnya aku ini apa? Lembu?” Narayana bercanda “ya karena kakang kan banteng.” Kakrasana ngomel-ngomel melulu sepanjang membajak tanah.

Pohon berbuah Mutiara
Setelah tanah menjadi gembur, Narayana meminta teman-temannya mengumpulkan segala perhiasan mutiara yang mereka punya “nah, sekarang aku, Charu, Subala, Ayyan, Madhu, dan adhiku Pragota akan menanam mutiara-mutiara ini.” Seluruh teman-temannya keheranan tak masuk akal karena sepengetahuan mereka, mutiara didapat dari kerang dan tiram, bukan ditanam. Narayana lalu berkata “apa yang tidak mungkin jika Hyang Widhi berkehendak. Sudah ayo bantu aku.” singkat cerita Narayana, Ayyan, dan Pragota menanam mutiara-mutiara itu sementara Charu, Subala, dan Madhu menancapkan kayu lanjaran agar tanaman-tanaman itu dapat tumbuh tegak. Mutiara sudah ditanam, kini Narayana meminta para pemudi: Rara Ireng dan Rarasati, juga Radha untuk menyiram mutiara-mutiara itu “Radha dan adhi-adhiku Rara Ireng juga Rarasati, tolong siramkan tanah ini dengan susu dan minyak samin kalian.” Radha dan Rara Ireng heran “Kanha kau ini jangan bercanda kelewatan begitu.” “benar kakang, menumbuhkan mutiara saja itu mustahil apalagi kalau disiram pakai susu dan minyak samin. Sepertinya kakang ini harus ke tabib.” Rarasati ikut menimpali “kalau mutiaranya gak tumbuh, kami minta ganti rugi.” Setelah berbagai protes tadi, para wanita bersedia membantu menyiram. Tanpa disadari oleh para pemuda-pemudi itu, kegiatan mereka dipergoki oleh Nyai Jathila.

Di hari kedua, keajaiban terjadi. Tanaman mutiara mereka mulai tumbuh dan semakin besar dalam waktu singkat. Batang, cabang dan rantingnya berwarna merah bersepuh layaknya tembaga. Dedauanannya hijau segar layaknya batu ratna wilis yang segar dan ketika menguning berguguan layaknya batu ratna cempaka, kuning kemilau ditimpa sinar sang baskara. Ketika tumbuh, tanaman itu mengeluarkan bau yang sangat harum memabukkan. Kembang-kembangnya pun bermekaran dengan indah memenuhi seluruh pohon, warnanya layaknya emas dan perak yang baru disepuh. Serangga-serangga dan burung-burung penyerbuk bahkan dibuat mabuk oleh keharuaman tanaman itu. di hari ketiga, sebagian besar kembang itu berubah menjadi mutiara yang menjurai-jurai, putih berkilauan. Nyai Jathila yang melihat keanehan itu terkaget sekagetnya. Ketika buah-buah itu berjatuhan dari ranting pohonnya itu sangat indah bak hujan permata. Mentari lalu mengenai batang pohon-pohon mutiara itu menyebarkan sinar yang sangat terang menyilaukan membuat Nyai Jathila tidak mampu melihat lalu jatuh pingsan. Singkat cerita, tepat di hari ketiga para pemuda berhasil mengumpulkan sumber dana yakni ber-gerobak-gerobak mutiara yang berkualitas tinggi sesuai janji. Para petinggi desa gembira hati. Dengan bergerobak mutiara itu, dana ini sudah sanga tmencukupi bahkan bisa dialokasikan untuk memakmurkan Barsana dan Gobajra selamanya.  akhirnya pasar baru pun dibangun. Para pedagang berbagai negeri berkumpul dan menjadi jalur transit baru perdagangan.

Keangkuhan Pralambasura dan Dhumrasura

Pada suatu ketika, seorang raksasa suruhan Adipati Kangsa bernama Pralambasura bertemu dengan teman lamanya, Dhumrasura sang raksasa asap. Dhumrasura bertanya “temanku, Pralambasura. Ada apa gerangan dikau datang bertemu denganku.” Pralambasura menjawab dengan berapi-api berkata “perintah dari yang Mulia Adipati Kangsa. Aku akan menghabisi anak yang menjadi malaikat kematian Kangsa. Tapi aku tidak bisa melakukan ini sendiri. Kau tahukan sudah berapa raksasa dan monster berhasil dia habisi.” Dhumrasura berkata dengan tinggi “temanku, bagiku itu hal mudah. Lebih baik kita pisahkan si malaikat kematian itu dari teman-temannya lalu akan aku bakar dia menjadi abu.” Pralambasura berkata lagi “lalu aku harus apa?” “temanku, gampang saja. Kau bisa habisi teman-temannya. Kalau bisa saudara dari si malaikat kematian itu.” Pralambasura setuju lalu mereka berangkat menuju Barsana dan Gobajra.

Hari itu, para penggemabala sedang bermain tarik tambang. Udawa, Kakrasana, Subala dan Charu berada di sisi kiri sementara Narayana, Pragota, Ayyan, dan Madhu Manggala di sisi kanan. Permainan semakin seru. Ke-dua belah sisi sama kuatnya. Tiba-tiba Narayana kepikiran dengan ternak-ternak yang ia gembalakan. Narayana izin untuk pergi menengok. Kakrasana lalu berkata “hei Kanha, jangan seenaknya pergi gitu. Kekuatannya nanti tidak imbang.” Lalu dari kejauhan datang seorang anak penggembala. Narayana memanggil anak itu “hei kamu...kesini..ayo bantu aku..” anak itu mendekat. Narayana lalu berkata “kawanku...siapa kamu...sepertinya kamu anak baru pindah disini.” Anak itu menjawab “aku...Prala...ehh namaku Prakosa......” “Prakosa...kebetualan sekali...teman-temanku memerlukan bantuanmu.” Prakosa hanya bisa mengangguk dan menggantikan tempat Narayana di tarik tambang. Setelah Prakosa masuk, kemenangan ternyata berpihak kepada tim Kakrasana. “nah karena kalian kalah, sebagai hukuman, kalian harus menggendong kami ketempat Kanha.” Singkat cerita, mereka semua saling bergendongan dan lari mengikuti Narayana. Prakosa lalu menggendong Kakrasana di bahunya.

Narayana lalu segera pergi ke dekat hutan dan menengok lembu sapi yang sedang merumput disana. Di tengah jalan, ia bertemu Endang Radha, Rara Ireng dan Larasati yang sedang istirahat di bawah pohon. Narayana lalu menggoda mereka dengan mengambil guci berisi susu milik mereka. Ketika para wanita bangun, mereka mendapati guci mereka dibawa lari oleh Narayana. Mereka mengejar sang pemuda yang dijuluki Makhan Chori (pencuri mentega) itu sampai ke tengah hutan. Radha dan lainnya kehilangan jejaknya namun ia menemukan ceceran susu di dekat sebuah pohon. Benar ternyata Narayana memakan semua mentega dan susu itu. Radha dan Rara Ireng menangkap basahnya. “aha...ketahuan juga kau Kanha!” Nah kakang Kanha tidak bisa lari lagi” sorak Rara Ireng. Narayana yang kepergok tak bisa berkutik. Radha lalu memaksa Narayana untuk menari. Mau tak mau, Narayana pun menari dengan lemah gemulai sambil memainkan seruling. Semua wanita itu terpana. Lalu datang Udawa, Pragota, dan teman-teman Narayana yang lain. Narayana lalu bertanya kemana Kakrasana “kakang Udawa, mana kakang Balarama?” Radha lalu menyela “Kanha, jangan alihkan pembicaraan. Ayo terus menari” Ketika Radha dan Narayana sedang tegang begitu , Rarasati berteriak “astaga ada api melayang.” Apa yang dilihat Rarasati membuat Radha dan lainnya kaget. Ada bola api berasap yang terbang lalu hinggap di pepohonan. Setelah hinggap, segala pepohonan itu terbakar. Hutan pun terbakar hebat. Lalu muncullah Dhumrasuralalu ia berkata dengan sombongnya “hahahaha....sekarang kau dan teman-temanmu akan terpanggang. Dan kakakmu akan dilumat oleh sahabatku.” Dhumrasura lalu menghembuskan nafas berapinya ke penjuru sisi. Radha, Rara Ireng, dan teman-teman Narayana lainnya merasa kepanasan.  Begitu juga para lembu sapi ternak mereka.Narayana melihat ke sekeliling dan menemukan sebuah ceruk batu. “teman-teman ayo kalian berlindung di sana. Singkat kata, mereka masuk dan berdesak-desakan di sana sementara udara hutan menjadi sesak karena asap dan api dimana-mana.

Kakrasana yang di gendong Prakosa melihat ia malah menjauhi tempat teman-temannya dan Narayana berkumpul “hei Prakosa....kok kita malah menjauh dari teman-teman. Kau ini tersasar kah?” “tidak, temanku. aku ada di arah yang benar.” Lalu Prakosa mengubah wujudnya menjadi wujud aslinya yakni Ditya Pralambasura.”Hahahaha...akhirnya aku bisa membuat tuanku Kangsa senang.” Kakrasana marah “Jadi Ini Rencanamu...Kau Mau Menjabakku Dan Kakak-Adikku.Kau Tidak Tahu Saja Kami Orang-Orang yang Menghabisi Banyak Kawanmu”

Kakrasana mengalahkan Pralambasura
 Pralambasura meremehkan Kakrasana lalu berkata “Kau Yakin? Coba lihat ke sana.” Kakrasana menoleh dan kaget melihat hutan tempat Narayana dan teman-temasnnya berkumpul tiba-tiba terbakar dan diselimuti asap tebal. Kakrasana menjadi marah lalu menghajar Pralambasura. Karena tidak terima dihajar seorang anak remaja, Pralambasura menantang Kakrasana untuk adu gulat. Pertarungan pun terjadi dengan sangat sengit. Awalnya dia bisa membuat Kakrasana kewalahan, namun setelah mempelajari cara Pralambasura begulat Kakrasana mampu mengimbangi. Akhirnya, Pralambasura terdesak dan akhirnya jatuh ke tanah dalam keadaan terjepit. Kakrasana yang marah lalu berkata “Kau Salah, Kangsa Pasti Akan Kecewa Karena Kau Yang Akan Mati!” Dengan satu kali hantaman di kepala, Kakrasana berhasil meremukkan kepala Pralambasura dan ia pun tewas seketika itu juga. Kakrasana lalu pergi menyusul ke hutan tempat Narayana dan yang lainnya.

Kebakaran hutan semakin meluas, bahkan mulai membakar pinggir desa Gobajra dan Barsana. Para penduduk dipimpin oleh Nanda Antagopa dan Wresabanu mengungsi ke gunung. Sementara itu Radha dan lainnya yang merasa kesesakan dan kepanasan karena terus menghirup asap berkata “ Kanha cepat selamatkan kami.” Narayana lalu berkata “teman-teman, kalian ikuti arahanku. Kecuali jika aku panggil, kalian jangan menoleh ke arahku. Kalian duduk mengheningkan cipta  dan baca mantra-mantra.” Radha dan semuanya mengerti lalu duduk mengheningkan cipta sesuai arahan Narayana. Dhumrasura tertawa “Hahahaha......ada apa bocah? Kau tidak ingin teman-temanmu melihat akhir darimu?” “tentu bukan itu, Dhumrasura. Aku hanya tidak ingin teman-temanku melihat akhir darimu.” Dhumrasura menjadi jumawa dan melemparkan bola api ke arah Narayana. Anak kesayangan Yasodha itu pun melakukan jurus silat. Narayana mengayunkan tangannya lalu memutar-mutarnya seperti sayap yang mengibas. Seketika, kekuatan pukulan tangan Narayana membentuk angin lesus yang menghisap lalu memadamkan api di seluruh hutan. Tekanan anginnya membuat Dhumrasura ikut terhisap dan berputar-putar. Tubuh Dhumrasura terpuntir-puntir kemudian seperti halnya asap itu sendiri, ia hilang lenyap tak berbekas.

Setelah semua api padam, Narayana pun meminta teman-temannya menoleh “teman-temanku...sekarang kalian boleh menoleh.” Radha dan lainnya yang telah menyelesaikan mantra melihat kebakaran telah padam. Mereka bersorak gembira . tapi Rara Ireng dan Rarasati masih cemas “kita sudah lepas dari Dhumrasura, tapi bahgaimana keadaan kakang Balarama?” “benar, katanya, ada yang mencoba menghabisinya.”

Narayana mengalahkan Dhumrasura
Lalu mereka mendengar suara dari belakang “siapa yang bisa menghabisiku?” Rara Ireng, Rarasati dan lainnya menoleh melihat Kakrasana masih sehat tanpa kekurangan suatu apapun “sudah...jangan dengarkan Dhumrasura, yang dikatakannya hanya bohong belaka.” Akhirnya mereka bergembira kembali. Di tengah puing hutan yang terbakar, Radha dan Kanha (Narayana) kembali menarikan tarian Raasleela. Bersama teman-temannya mereka bergembira hati. Suara seruling Narayana mengalun indah ke seluruh penjuru desa. Para penduduk merasa damai mendengarnya. Seketika hutan yang terbakar kembali tumbuh dalam sekejap. Banyak pepohonan kembali bersemi diantarnya pohon widara (bidara) dan semak-semak kemangi suci (tulasi; vrindha) yang menyebarkan aroma wangi yang sedap. Hutan itu lalu dinamai hutan Brindhawana/Vrindhavana. Oleh Nanda Antagopa, hutan itu ia sebut sebagai Widarakandha karena disana juga banyak pohon widara dan nama itu digunakannya menggantikan nama Gobajra. Sejak saat itulah nama Gobajra berganti menjadi Widarakandha atau Brindhawan.

Balada cinta Ayyan-Radha-Kanha

Hari-hari Radha dan Narayana semakin berwarna. Radha telah tengglam ke dalam cintanya kepada Narayana. Bukan lagi cinta secara duniawi. Namun kini cintanya telah menembus relung jiwa dan mengakar. Yang kini dicintai Radha bukan tubuh Kanha, melainkan jiwa dan segala perbuatannya. Begitu dengan Kanha (Narayana), ia sangat cinta dan menyayangi Radha lebih dari apapun. Bagaikan buku berjumpa dengan ruasnya.  Namun nampaknya cinta itu juga menggelayuti diri Ayyan. Ayyan juga jatuh hati kepada Endang Radha. Putra Ugrapada itu kemudian berkata kepada ibunya “ibu, aku sejak lama mengagumi dan mencintai adik kita Radha. Aku ingin sekali menikahinya.” Nyai Jathila pun berniat jahat mengambil kesempatan itu untuk menjatuhkan semangat putra kesayangan Yasodha. Nyai Jathila menceritakan keluh kesah dan keinginan Ayyan kepada sang suami, Lurah Ugrapada. Sang lurah Barsana menyadarinya. Sudah berpa malam ini, ia melihat Ayyan mengigau seakan dia sedang dimabuk kasmaran oleh Radha. Maka keesokan paginya, Lurah Ugrapada datang kepada Ki Wresabanu menyampaikan lamaran Ayyan kepada Radha. Radha yang melihat dari balik tirai ingin tahu. Tanpa pikir panjang, Ki Wresabanu menyetujui lamaran Ayyan. Keesokan harinya, Lurah Ugrapada memberi pengumuman “para penduduk barsana yang aku cintai, aku akan memberikan sebuah pengumuman yang sangat penting. Pada sasih depan, putraku Ayyan akan menikahi Endang Radha, putri Wresabanu.” Sorak sorai membahana di Barsana. Namun, tidak dengan Endang Radha di rumahnya. Ia menangis sejadinya di pelukan ibunya “ibu....kenapa begini....huhu....aku tidak mampu mencintai kakang Ayyan...aku hanya mencintai Kanha....” Nyai Kirtidha berkata juga dengan penuh rasa pilu “ibu juga tak berdaya.....tapi apa mau dikata..ayahmu sudah setuju dengan lamaran pak lurah....” lalu di tengah kesedihannya itu, Radha mencari cara agar Narayana bisa ke Barsana.

Sementara itu di desa Widarakandha, hati Narayana terasa sakit mendengar kabar pernikahan Ayyan dan Radha. Baginya, cinta Radha bagaikan paruhan jiwanya. Kehilangannya bagaikan separuh jiwanya terenggut. Ketika ia melihat ke langit, seekor burung merpati datang kepadanya. Di kakinya ada sepucuk surat. Ketika Narayana membuka surat itu, tertulislah di sana “Kanha ku yang kusayang dan kasihi, sudah tahukah dikau tentang kabar pernikahanku? Sesungguhnya, jauh dalam relung benak dan hati, aku lebih mencintai dikau lebih dari apapun jua. Tapi keadaanku tak berdaya. Lamaran pak lurah Ugrapada telah datang kepada ayahandaku dan beliau pun bersedia. Mendengar hal demikian, kalbuku remuk redam. Air mataku berderai tak berhenti layaknya hujan. Melarat hati ini untuk menanggung duka lara ini. Hampir musnah warasku karenanya. Aku berharap Kanha ku yang tersayang kemari dan datang, bukan sebagai cinta, tapi sebagai sahabatku yang aku kasihi. Aku mengharap kedatangan dikau untuk menjadi perias di malam pengantinku. Aku ingin menutup kisah prema kita dengan keindahan. Biarkan ratap pilu yang akan menggenang cukup hanya dikau dan aku yang rasakan sahaja. Dari yang Tersayang, Radha.” ketika membaca surat itu, tak terasa oleh Narayana air matanya menggenang lalu mengalir menganak sungai. Campur aduk kalbunya. Para saudara Narayana tak ada yang berani mendekat untuk menenangkannya. Udawa berkata “biarkan dia sejenak....biarkan Kanha tenang sejenak.

Hari pernikahan Ayyan dan Radha hampir tiba. Saat itu masa pingitan dan waktunya mempelai perempuan menentukan siapa perias pengantinnya. Lama sekali Radha menanti kedatangan Narayana untuk menjadi perias pengantinnya namun ia tak kunjung datang. Hal itu membuat Radha semakin sedih dan pilu. Keluarga pun jadi risau dan gundah karena Radha tidak mau dirias oleh orang-orang dari Barsana, tapi hanya pilihannya sendiri meskipun dia orang asing. Lalu datang seorang wanita yang sangat cantik. Semua orang terpana. Maka Radha memutuskan untuk memilih orang asing itu. Nyai Kirtidha menjemputnya. Ia pun bertanya siapa nama wanita itu “ni sanak, kau sangat cantik. Siapakah namamu?” “aku Gopadewi, aku seorang pengelana wanita. Pekerjaanku adalah tukang rias keliling.”nyai Kirtidha bersyukur sekali dan ia menawarkan agar ia mau merias putrinya yang akan menikah. Gopadewi mau-mau saja bahkan bersedia tidak dibayar, dengan syarat apapun yang diinginkan si mempelai harus dituruti oleh keluarganya karena baginya kepuasan dari pelanggan harus diutamakan. Nyai Kirtidha setuju. Ditinggalkannya lah, Gopadewi dan Radha di kamar itu. Gopadewi mulai merias Radha. Di sela-sela merias, Radha berkata dengan hati yang hancur “kakandaku Kanha, kenapa dikau tidak hadir? Apakah dikau benar-benar ingin memutuskan ini. Membiarkan ku teraduk-aduk oleh takdir cinta yang sedih ini.” Gopadewi lalu berkata “siapa Kanha yang kau bicarakan itu, anak manis?” Radha berkata bahwa Kanha adalah cintanya. Dialah cinta pertamanya yang ia cintai bukan hanya secara ragawi melainkan sampai ke rohaninya. Sudah berkali-kali juga Kanha menyelamatkannya dan penduduk desa. Sekarang Radha berpikir bahawa cinta yang ia cintai secara ragawi dan rohani sudah mencabut dan membuang semua cintanya lalu pergi. Tak terasa Gopadewi ikut terharu mendengarnya. “Kanha kakandaku.....apa cinta harus berakhir dengan kepiluan dan kepahitan?” isak Radha. Lalu terdengarlah suara sang kekasih Kanha alias Narayana “cinta ini kadang suka cita, kadang duka lara...aku pun tak berdaya.....namun ku sadar cinta tak mesti bersama.” Radha kaget lalu melihat ke sekeliling. “aku disini Radha. Aku tepat di belakangmu.” Radha menoleh dan hanya mendapati Gopadewi. “ada apa, manisku?” Radha sembari menyeka air matanya lalu berkata “ehh tidak ada apa-apa. Hanya perasaanku saja.” Entah mengapa ketika Gopadewi meriasnya, ia seakan-akan bahawa Kanha yang sedang meriasnya. Singkat cerita,  Hari itu Radha dirias dengan riasan terbaiknya. Gadis yang sudah ayu, kini terlihat semakin comel, molek, nan jelita segera mengakhiri lajangnya. “nah berkacalah, manisku.” Radha dengan kesedihan yang ia tutupi berkata “cantik sekali Gopadewi. Semoga dia akan menantiku di sana bahagia melihatku.” “semoga, manisku. Sekarang cepatlah. Calon pengantinmu sudah menanti.” Ketika di luar, Radha dipuji-puji bak dewi. Kecantikannya memancar luar dalam. Bahkan ibunya hampir tak mengenali anaknya karena memang se-apik itu riasannya. Ketika Nyai Kirtidha hendak memberikan upah kepada Gopadewi, orang yang ia cari langsung menghilang tak berbekas. Radha betanya kenapa ibunya nampak keheranan “ibu ada apa?” “tidak ada, putriku. Sekarang cepatlah kita ke tempat upakara pernikahan.”

Waktu pernikahan pun tiba. Hari itu Radha dan Ayyan bagaikan raja sehari. Datang pula Nanda Antagopa, Nyai Yasodha dan putra-putri mereka.terlihatlah Udawa, Kakrasana, Narayana, Pragota, Rara Ireng, dan Rarasati memakai pakaian terbaik mereka. Namun dibalik penampilan yang anggun dan menawan itu, baik Radha atau pun Narayana menyimpan kesedihannya masing-masing. Yang tidak diketahui Radha bahawa Narayana telah menggenapi janjinya yakni sudah meriasnya dalam penyamarannya sebagai Gopadewi. Ketika prosesi pernikahan dilangsungkan, Radha tak hentinya melihat ke arah hadirin terutama ke arah Narayana.

Elegi sang Narayana
 Di luar ia nampak bahagia, namun dari sinar matanya memancarkan nelangsa. Ketika tiba saatnya mereka melemparkan kelopak-kelopak bunga ke arah pengantin, Narayana nampak tak mampu menahan masygul di hatinya, lalu ia meninggalkan pesta pernikahan itu. Narayana pun duduk di bawah sebuah pohon menangis sendirian. Setelah membiarkan semua kesedihannya tumpah, ia menuangkan semua perasaanya lewat alunan serulingnya yang sangat sendu dan mengharu biru. Alam seakan ikut terlarut dan hanyut dalam nestapa yang Narayana alami. Dedaunan kekeringan dan berguguran. Segala macam kembang dan sekar layu lunglai, burung-burung kedasih berkicau dengan nada yang mengiris relung kalbu, menyanyikan elegi. Maruta nan beku berhembus bak prahara membawa udara kering. Embun pun berubah beku. Hari itu jagat raya ikut mengiringi tembang duka merana sang Kanha.