Sudah lama saya tidak posting.....Btw, kisah kali ini kembai ke kisah Mahabarata. Kisah kali ini mengisahkan tentang sikap tak terpuji Prabu Kresna dengan meludahi Ki Lurah Semar. Ia kemudian diingatkan oleh Batara Ismaya. Kisah ini juga mengisahkan tentang kelahiran Abimanyu, perjodohannya dengan Dewi Siti Sundari sejak bayi, dan pernikahan Arjuna dengan Dewi Ulupi. Kelak dari Dewi Ulupi, akan lahir Bambang Irawan. Sebenarnya kisah perjodohan ini diceritakan saat Abimanyu dewasa tapi penulis menceritakan perjodohan Abimanyu terjadi sejak bayi. Sumber yang dipakai berasal blog albumkisahwayang.blogspot.com, blog caritawayang.blogspot.com dan beberapa blog-blog pedalangan lainnya.
Hari kelahiran jabang
bayi yang dikandung Dewi Sumbadra akhirnya tiba. Sang jabang bayi telah lahir
sehat. Arjuna menamai putranya itu Abimanyu yang bermakna tak kenal takut dan
sang ibu menamainya Angkawijaya. Tak lama setelah kelahiran putranya,
terjadilah perang antara kerajaan Palangkawati melawan Amarta. Perang selama
berhari-hari itu telah memakan banyak korban dan pasukan Amarta menjadi
terdesak. Mau tidak mau, Arjuna harus pergi berperang namun tiba-tiba ada suara
dari langit mengatakan “Arjuna, bawalah putramu ikut ke medan perang bersamamu
karena kunci kemenanganmu adalah putramu yang baru lahir itu.” Arjuna
menaatinya dan segera naik kereta perang sambil menggendong putranya.
Di medan perang Arjuna
banyak mengalahkan musuh. Lalu datanglah raja Palangkawati, Prabu Jayamurcita
menantang Arjuna “Arjuna, aku akui kau cukup hebat menghadapi seluruh
prajuritku. Aku menantangmu adu panah. Jika aku menang ku rebut Madukara beserta
seluruh kotaraja Indraprastha!” “aku terima tantanganmu, Jayamurcita.”
Terjadilah perang tanding yang apik. Kedua ksatria tampan itu saling
menembakkan panah dengan indah. Ibarat kalau dikata panah-panah itu melesat
membiaskan cahaya bak pelangi di petang hari. Lama kelamaan Arjuna mulai
kewalahan lalu tanpa diduga, tanpa dinyana, bayi Angkawijaya memegang dan
melemparkan salah satu panah ayahnya. Panah itu panah Sirsha melesat ke arah
dada sang Prabu dan musnahlah tubuh Prabu Jayamurcita berganti menjadi seorang
dewa berwajah tampan. Sang dewa lalu memperkenalkan diri “maaf beribu
maaf,Arjuna sudah membuatmu dan Amarta kerepotan. Perkenalkan hamba Batara
Warcasa, Putra Batara Candra.” “Ampun sang batara, apa yang terjadi pada paduka
sehingga bertukar wujud menjadi manusia.” Batara Warcasa bercerita bahwa ia
mencari penitisan karena ia ingan menyusul kawannya, Batara Tantra, cucu Batara
Bayu telah lebih dulu menitis pada Gatotkaca, putra Wrekodara dan Arimbi. Maka
ia ingin bertemu kembali bertemu sahabatnya dengan menitis sebagai sepupu
Gatotkaca yang baru lahir. Kini sudah saatnya Batara Warcasa bersatu jiwa raga
dengan Abimanyu. Sebelum itu, Kerajaan Palangkawati diserahkannya kepada Arjuna
sebagai bawahan Amarta. Keajaiban pun terjadi, Batara Warcasa menghilang
bertukar menjadi cahaya lalu masuk ke dalam diri bayi Abimanyu. Pulangah ayah
dan anak itu lalu diceritakannya yang terjadi. Maka Prabu Yudhistira menetapkan
Keraton Palangkawati sebagai dalem kesatriyan untuk Abimanyu.
Di tempat lain, Prabu
Kresna dihadap para istri, Dewi Radha, Dewi Jembawati, Dewi Rukmini dan Dewi
Setyaboma menerima seorang tamu. Tamu itu bernama Batara Ekawarna dan putrinya,
Dewi Pertiwi dari kahyangan Ekapertala. Prabu Kresna mengingat mereka karena
sebelumnya sebagai Batara Wisnu, Dewi Pertiwi adalah salah satu istrinya selain
Dewi Srilaksmi dan Dewi Laksmita.
“istri-istriku perkenalkan ini dinda Pertiwi, salah satu istri kanda di
kahyangan dahulu.” Dewi Jembawati dan para madunya saling memeluk Dewi Pertiwi
karena sesama titisan istri Batara Wisnu dapat dipertemukan kembali. Dewi Pertiwi
membawa serta dua buah hatinya yang masih bayi berbeda setahun umurnya, “kanda
batara, inilah putra-putrimu. Tolong berikanlah nama kepada mereka berdua,” “
baik, dinda. Tapi aku ingin merundingkannya dengan para istriku yang lain.” Berundinglah
sang prabu dengan keempat istrinya memikirkan nama apa yang pas. Setelah
selesai, Prabu Kresna mendekati Dewi Pertiwi dan berkata “karena kedua anakku
ini anak dari Dewi penjaga bumi, maka yang lelaki aku beri nama Arya Sitija dan
dan yang perempuan kunamai Dewi Siti Sundari.” Bersamaan dengan itu, datanglah
kabar dari punggawa bahwa putra Arjuna dengan Sumbadra telah lahir dan diberi
nama Angkawijaya alias Abimanyu. Maka semakin berbahagialah sang Prabu Kresna.
Ia pun berencana membuat pesta selapanan sekaligus perjodohan antara Abimanyu
dengan Siti Sundari. Maka dikirimlah undangan itu ke Amarta, Mandura dan
negara-negara tetangga.
Di kahyangan Jonggring
Saloka, Batara Guru dihadap batara Narada, sang istri Batari Durga. Mereka
membicarakan bagaimana jalannya hubungan sang Wisnu dengan Semar saat ini
“Kakang Narada, Sanghyang Widhi memberiku penglihatan bahwa sebentar lagi
hubungan Wisnu sebagai Kresna dan kakang Ismaya akan mendapat cobaan. Saat ini,
Prabu Kresna amat gembira hati dengan putrinya yang kedua yang terlahir cantik
jelita dan hendak menjodohkannya dengan anak Arjuna. Apa yang harus kita
lakukan, kakang?” “menurut hemat saya, kita lihat saja dulu seberapa kuat
mereka bisa bertahan dari cobaan itu. jika Wisnu berbuat salah, sudah kewajiban
kita mengingatkannya, Adhi Guru.”Batara Guru lalu meminta pendapat istrinya
lalu Batari Durga berkata “saya sependapat dengan Kakang Narada. Sebagai jajaran
dewa yang paling sakti, Wisnu maupun para titisannya harus mampu menahan
nafsunya terutama nafsu amarah dan supiahnya.” Maka Batara Guru kemudian
memerintahkan para dewa agar lebih mengawasi Kerajaan Dwarawati untuk segala
kemungkinan yang terjadi. Belum sempat mereka duduk, Tiba-tiba seisi kahyangan
Jonggring Saloka digoncang gempa dahsyat. Gonjang-ganjinglah gunung Mahameru
dibuatnya. Lalu Batara Guru melihat Batara Wisnu naik ke kahyangan “anakku,
Ngger Wisnu?! Rupanya kedatanganmu yang membuat gonjang-ganjing. Ada apa kamu
datang menghadap tidak bersama Kresna.” “ampuni hamba, paduka ayahanda
Girinata. Saya oncat dari Kresna untuk sementara waktu. Kresna saat ini sedang
diliputi perasaan bangga yang teramat sangat. Ini juga akan menjadi ujiannya
apakah ia akan sadar dari kesombongannya. Kalau dia sadar, maka saya akan kembali
padanya.” “baiklah jika begitu, ngger Wisnu. Aku akan pikirkan sesuatu untuk
memperingatkan Kresna.”
Tibalah hari pesta
selapanan. Rakyat dari seluruh negeri bergembira. Bukan hanya dari Dwarawati
saja, tapi dari Mandura, Amarta, bahkan Hastinapura berkumpul di sana menikmati
pesta itu. Prabu Baladewa pun datang. Setelah dijemput sang adik di gapura keraton,
didampinginya kakaknya itu ke ruang balairung. Lalu Prabu Baladewa berkata
“adhi Kanha, dimanakah putrimu itu? dimanakah adikku Sumbadra dan putranya itu?
aku ingin melihat mereka.” Pucuk dicita, ulam pun tiba, datanglah rombongan
dari Amarta yaitu Prabu Yudhistira dan sang istri, Drupadi, disusul Arya
Wrekodara beserta istri, lalu Dewi Sumbadra dan Abimanyu yang masih bayi, dan
Raden Nakula-Sadewa. Prabu Baladewa lalu menengok bayi Abimanyu alias
Angkawijaya. Lalu datanglah Dewi Pertiwi menggendong bayi Siti Sundari. Raja
berkulit bule itu juga menengok keponakannya yang cantik dan bagus itu. setelah
puas melihat kedua ponakannya itu, Prabu Baladewa bertanya pada Prabu
Yudhistira “adhi Prabu Yudhistira, diamana adikmu Arjuna, ayah Abimanyu? Kok
tidak ikut? Apa dia sakit?” “maaf kanda prabu Balarama, adhi Arjuna sudah satu
bulan ini meninggalkan Amarta. Kami tak tahu kemana ia pergi.” “waduh
waduh......Adhi Kanha. Kok kamu mengadakan pesta ini tanpa kedatangan adhi
Arjuna? Upacara selapanan ini tak akan sempurna tanpa hadirnya ayah si
Abimanyu. Malulah kita ini kalau kita membuat upacara untuk bayi bila ayah si
bayi masih di luar sana. Orang akan menganggap kita orang tak tau sopan
santun.” Prabu Kresna dengan jumawanya berkata “kakang Balarama, di dunia ini
siapa yang tidak tahu Kresna, sang titisan Batara Wisnu,sang pelindung dharma
ini. Pilihan saya adalah kehendak dunia. Seluruh jagat ini tidak akan
menyalahkanku,tidak akan membuat kita celaka. Bahkan para dewa di kahyangan
segan pada Kresna ini.” “prabu Baladewa pun terkejut mendengarnya begitupun
Prabu Yudhistira. Prabu Yudhistira yang merupakan anak angkat Batara Dharma
mengingatkan “kanda Prabu Kresna, tidak baik jumawa. Sebagai titisan Wisnu
harusnya tidak bersikap sombong, menjauhkan diri dari jumawa. Lebih baik malu
sejenak daripada mendapat murka Sanghyang Widhi.” namun Prabu Kresna tak peduli
seolah ia tak takut. Singkat cerita, maka segeralah diselenggarakan pesta
selapanan itu lalu tibalah saatnya perjodohan. Prabu Kresna menggendong bayi
Abimanyu di tangan kanan sedangkan tangan kiri menggendong bayi Siti
Sundari,putrinya an berkata “hari ini aku, Prabu Sri Kresna menjodohkan
Abimanyu alias Angkawijaya, putra adikku dengan Parta sang Arjuna dengan
putriku Siti Sundari. Semoga Yang Maha Kuasa menghendaki.” Para undangan
memberikan selamat dan bahagia sekali.
Singkat cerita, saat
perjamuan, datanglah seorang berwajah ala kadarnya, gemuk namun berwibawa
diiringi tiga anaknya. Dialah Ki Lurah Semar beserta Gareng, Petruk dan Bagong.
“ampun, ndoro prabu. Kedatangan saya tanpa undangan.” Prabu Kresna dengan
jumawa berkata “kakang ki Lurah, apa maumu? Kedatanganmu tanpa undangan
mengganggu para priyagung di seantero Jawadwipa ini” “hmmm Blegedag
gedug.....hmmm ndoro prabu Kresna. Saya datang hanya ingin ikut merayakan
perjodohan putra ndoro saya dengan putri ndoro prabu.” Mendengar pembicaraan
sang adik yang tidak mengenakkan itu, Prabu Baladewa membalas dengan ramah
ucapan sang punakawan “eee....tidak apa-apa kakang Ki Lurah. Marilah masuk.” Belum sampai beberapa langkah, Prabu Kresna
berkata “kakang, apabila kau ingin makan dan minum, kakang bisa makan bekas
para priyagung. “hmmm lah dalah..ndoro! ndoro!. Apa kamu lupa, saya tahan lapar
dan haus, gentur lelaku lan tapa brata. Kuat dingin dan panas, tahan bosan dan
kantuk. Kedatanganku ini hanya untuk mengirimkan sebuah syair terkhusus untuk
ndoro prabu, ndoro mas Abimanyu, dan ndoro mas Siti Sundari untuk ucapan
selamat.” Prabu Kresna mengiyakan dengan nada bosan “hmm baiklah. Terserah kau
lah.” Maka bersyairlah Semar.
“terkisahlah sebuah negara
Dwarawati
namanya
Indah
dipandang layaknya swarga
Rakyatnya
sentausa sejahtera
Rajanya
hikmat ternama
Prabu
Kresna namanya
Wisnu
sang dewa menitisinya
Menjadi
raja gung binantara
Para
dewa sayang padanya
Karena
kehebatannya”
Prabu Kresna merasa bangga
karena dijadikan syair dapat melupakan sedikit kejengkelannya. Senyum
mengembang bagai bulan muda. “yah.. syairmu bagus sekali, kakang. sesuai apa
yang terjadi sebenarnya. Engkap sungguh hebat rangkai dan sambung kata indah,
kakang.” “ada kelanjutannya.ndoro prabu”
“namun gading indah retak segaris saja
cacat
dan cela tetaplah ada
sang
raja kurang lah bijaksana
tega
dengan kaum kerabatnya
di
saat perjodohan putrinya
dengan
anak Arjuna
calon
besan belumlah tiba
enggan
dinantinya
lebih
malu pada kuasa
daripada
Hyang Widhi Wasa
Wisnu
sang dewa sirna nuraninya
Silau
harta, kuasa dan takhta”
Seketika heninglah seisi
keraton. Prabu Baladewa mulai tegang wajahnya begitupun dengan Patih Udawa dan
Arya Setyaki. Wajah Prabu Yudhistira, Arya Wrekodara dan Nakula-Sadewa tampak menunduk
karena syair tu menampar pribadi Prabu Kresna yang memnag sesuai fakta. Sang
Prabu Kresna seketika merah padam wajahnya. Matanya seakan meniratkan murka.
Senyum yang menungging menghilang seketika berganti gigi gemeretak menahan
marah. Maka Prabu Kresna menyiramkan air ke kepala Semar lalu meludahi pakaian
dan kuncungnya. “pergi dari sini kau, orang tua! Orang besar sepertiku tak
butuh syairmu itu!” begitulah Prabu Kresna mengusir sang batara Ismaya yang
tengah mengejawantah itu. Kresna melupakan tugasnya sebagai Wisnu dan sebagai rekan
Semar dalam menekan angkara murka. Dia tergelincir ke lembah kesombongan. Hati
yang silau terhadap harta, takhta dan kuasa. Namun tak sedikitpun kemarahan
terlihat di wajah Ki Lurah Semar. hanya raut kesedihan terukir nampak. Semar
segera mengelap bekas air di kepalanya dan membersihkan ludah dari pakaian dan
kuncungnya seraya berkata “baiklah, ndoro. Saya akan pergi. Saya tidak
keberatan diperlakukan begini. Saya sadar, orang kawula alit macam saya tak
akan ada yang menolong. Semar datang untuk mengingatkan tentang kebenaran. Tapi
apa gunanya saya menyampaikan kebenaran pada orang yang jumawa dan menolak
kebenaran. Saya pamit, ndoro Prabu.” Setelah perginya Ki Lurah Semar, Prabu
Baladewa mendatangi adiknya sambil meluapkan segalanya “Kanha! Tega sekali kau
berlaku tercela kepada kakang Ki Lurah. Kurasa sudah cukup aku berada di sini.
Aku pamit. semoga Sanghyang Widhi tak menimpakan murka padamu.” Prabu Kresna
makin jumawa “terima kasih atas kedatanganmu, kakang Balarama. Aku bertanggung
jawab sepenuhnya bahkan aku dan anakku rela dikutuk karena ini.” maka
melengoslah Prabu Baladewa diikuti rombongan Amarta.
Gareng, Petruk, dan
Bagong sedari tadi melihat ayah mereka murung sejak keluar dari keraton
Dwarawati “ada apa tha, mo. Murung masam begitu muka. Tambah jelek lho, romo.
Lihat tuh muka si Bagong. jelek-jelek gitu masih tetap pede dapet cewe.
Laelasari, putri paman Togog kepincut ama dia” kata Gareng. “apa tha, reng?
Laelasari itu matanya aja rabun. Kalo pake kacamata paleng langsung lari”ejek
Petruk. “enak aja, kakang Petruk iki. Laelasari itu kepincut sebab wajahku
ganteng kayak ndoro Arjuna.” “Gedabrus!” kata Petruk dan Gareng sambil menepuk
punggung Bagong.Tak pelak gelak tawa tak terelakkan. Ki Lurah Semar mau tak mau
ikut tertawa-tawa kecil. “wis...wis..wis...tha, anak-anak. tidak perlu saling
ejek. Romo memang lagi muram mengingat perlakuan ndoro Prabu Kresna di keraton
tadi.” Gareng lalu bertanya “memangnya apa yang terjadi dengan ndoro prabu?”
Semar lalu menceritakan apa yang terjadi. “wah...wah..kurang ajar ndoro prabu.
Mentang-mentang titisan Batara Wisnu bisa seenaknya begitu. Memang butuh
dipethel itu orang.” Kata Gareng yang setengah marah. “wis...wis...anak-anakku.
romo tak mau diganggu sekarang ini. ayah ingin menyendiri mengikuti kata hati.
Segera cari ndoro Arjuna dan ceritakan semuanya yang terjadi. Pimpin
adik-adikmu.” “Enggih deh romo. adios!” “ehh, bahasa apa itu, reng?” tanya
Petruk. “lha gak tau kamu, Truk? Itu kan bahasa wong putih, basane wong daratan
gedhe. Artinya semoga perjalanan ayah selamat tanpa halangan apapun. Tak
tergoda wanita seksi bahenol dan sampai tujuan dengan sukses.” “ lha panjang
tenan artine, Gong. Padahal kan cuma berapa kata itu.” singkat cerita mereka
pun berpisah jalan.
Di tengah jalan, Ki Lurah
Semar kedatangan empat orang dewa, Batara Indra, Batara Brahma, Batara Bayu, dan
Batara Wisnu. Keempat dewa itu bersimpuh kepada Semar. Semar lalu bertanya pada
Wisnu “Wisnu! Kenapa ada di sini? Bukankah kau harus bersama Kresna?” “ uwa
Batara, sementara wajtu ini saya meninggalkan Kresna, oncat darinya. Saat ini
ia sedang pekat hatinya, dibuaikan sifat bangga diri yang terlalu. Untuk saat
ni, aku harus menguji Kresna. Kalau dia menyadari kesalahannya, maka aku akan
kembali kepadanya.” “kalau itu maumu, aku tidak menolak. Bagaimana dengan
kalian, Indra!? Bayu!? Brahma!? Batara Indra berkata “kami juga siap harus
menghukum Kresna. Untuk itulah adhi Wisnu memanggil kami bertiga.” “benar uwa, dengan
anginku maka Dwarawati bakal terbang.” “apiku juga sudah siap membakar
keratonnya.” Semar lalu berkata “ ya sudahlah. Aku tidak turut campur. Itu hak
kalian. Permisi nggeh, uwamu akan pergi menyepi. Uwa pamit.”
Singkat cerita, keempat
dewa sampai di Dwarawati. Mereka melakukan tugasnya. Batara Indra melepaskan
panah Bledeg Sakethi ke langit dan turunlah beribu-ribu awan dengan halilintarnya
yang menymbar-nyambar. Seketika muncullah hujan badai dengan halilintar yang
mengelegar dan menyambar seisi keraton. Batara Bayu segera mengerahkan topan
prahara dan membuat segalanya terangkat dan beterbangan. Tak mau ketinggalan,
batara Brahma segera mengheningkan cipta dan turunlah hujan api yang mengerikan
dan membakar semua yang dilewati. Batara Wisnu segera membuat bumi bergegar dan
menggerakkan ombak dari laut sehingga bukan hanya kotaraja Dwarawati terendam
air bah, seluruh pulau Dwaraka ikut tenggelam. Tak terkiralah kengeriannya.
Rakyat Dwarawati segera mengungsi ke pantai Jawadwipa. Dwarawati terkena tulah
dari dewa. Prabu Kresna yang biasanya tenang kini kalang kabut dan bingung.
Begitupun patih Udawa dan Arya Setyaki. “adhi Prabu, bagaimana ini. cepatlah
bertindak kalau kita tak ingin tersapu air bah atau terbakar api ini” “aku juga
bingung, kakang patih. Cakra Widaksana tidak berfungsi seperti biasanya.
Pusaka-pusaka yang lain hilang ditelan air bah.” Arya Setyaki terhenyak “lha...
kemana ke-Wisnu-anmu yang kakang prabu banggakan. Cepat keluarkan, kakang
prabu.” “waduhh... kekuatan Wisnu milikku lenyap.” Patih Udawa segera mencari
solusi “adhi prabu, cepat pakai Brahalasewu mu” Prabu Kresna hendak
mengeluarkan panah Aji Kesawa di tubuhnya tapi kini panah itu ikut menghilang.
Terhenyaklah Prabu Kresna”waduh gustine jagat dewa batara...sepertinya Wisnuku
telah hilang...sudah oncat dariku. Yang penting kita selamatkan diri dan
keluarga kita dahulu.” Kalau begitu cepat, adhi Prabu. Keluarkan Jaladara.”
Segera Prabu Kresna membawa kelima permaisurinya, Dewi Radha, Dewi Jembawati,
Dewi Rukmini, Dewi Setyaboma dan Dewi Pertiwi. Namun Dewi Pertiwi memutuskan
untuk segera pulang ke Ekapertala. Lalu Dewi Pertiwi ambles ke bumi membawa Dewi
Siti Sundari dan Arya Sitija yang masih bayi. Satu persatu istrinya sudah masuk
disusul Patih Udawa dan Arya Setyaki. Secepat kilat, kereta Jaladara melesat ke
angkasa melewati hujan badai, topan prahara dan hujan api yang mengerikan itu.
Prabu Kresna digugat istri-istrinya karena bencana dan petaka yang terjadi
disebabkan ia telah meludahi dan menghina Paman Semar. Prabu Kresna sadar telah
menuruti sifat bangga dan kesombongannya. Dengan mengangkasa, terbanglah
ia mencari-cari kemana Ki Lurah Semar.
Sementara itu, Raden
Arjuna yang dicari-cari sedang berguru di rumah Resi Jayawilapa, tetua desa
Yasarata di pinggir bengawan Gangga. Ketika bertemu pertama kali, sang resi ditolong oleh Arjuna saat diserang singa jelmaan Prabu Singalodra. Berkat pertolongannya, Resi Jayawilapa membawa sang Arrjuna ke rumahnya. Kebetulan, Resi Jayawilapa dulunya salah satu patih Saptapertala dan juga bersahabat
dengan batara Anantaboga, mertua kakaknya, Arya Wrekodara dan meguru padanya.
Di sana sang resi mengajari Arjuna ilmu ambles bumi dan ajian Mayabumi. Resi
Jayawilapa mempunyai seorang putri cantik bernama Dewi Palupi tapi lebih sering
dipanggil Ulupi. Sejak keduanya saling bertemu, Dewi Ulupi seperti dilanda
angau begitupun juga Arjuna. Sepertinya hati mereka telah terpaut satu sama
lain.. maka Arjuna dan Ulupi pergi ke sebuah taman bunga di tepi bukit “kakang
Arjuna, kau lihat taman bunga ini. lihatlah bunga itu dihinggapi kupu-kupu. aku
ingin menjadi bunga mekar untukmu.” “dinda Ulupi, aku lebih senang lagi kau
bukan sekedar bunga untukku, tapi pelengkap hatiku. Maukah kamu menikah denganku?”
tak pakai lama Ulupi gembira dan berkata “tentu, kakanda. Tentu. Aku akan setia
bersamamu.” Namun hati Arjuna tba-tiba menjadi bimbang karena tak mungkin ia
membawa Ulupi ke kotaraja buat saat ini “tapi dinda, aku tak bisa membawamu ke
Madukara. aku takut jika ketiga istri kanda....” “sudahlah tidak apa-apa,
kanda. Apapun keputusan kanda, itu yang terbaik buat kita. kalau kau
membawaku ke Madukara, maka aku ikut.
kalau tidak bisa, tak mengapa.” singkat cerita, Arjuna dan Ulupi menikah. Lima
hari kemudian, datanglah tiga punakawan. Ketiganya langsung menceritakan apa
yang terjadi. Arjuna yang juga titisan Wisnu sebagai Nara kecewa dan sedih
dengan kelakuan iparnya itu. Seharusnya titisan Wisnu sebagai Narayana haruslah
mampu mengendalikan diri agar tidak jatuh dalam kesombongan. Tak lama berselang
datanglah Arya Wrekodara. “adhiku Jlamprong, rupanya kau ada di sini. Apa kau
sudah tau kabar tentang penghinaan Ki Lurah Semar?” “sudah, Kakang Bima.
Semuanya sudah diceritakan paman Gareng, Petruk, dan Bagong. Mari masuk dulu,
sekalian ku perkenalkan istri dan mertuaku.” Maka masuklah Arya Wrekodara ke
rumah Resi Jayawilapa. “kakang Bima, aku sebenaranya kecewa dengn perlakuan
kakang Madawa apalagi kakang Bima menyaksikan sendiri bagaimana Ki Lurah
dipermalukan.” “maka dari itu, Jlamprong adikku. Menurut kabar yang beredar,
sekarang keraton Dwarawati rusak karena tulah dewata. Kakang prabu Cemani ikut
menghilang. Kemungkinan ia mencari Ki Lurah.” Belum sempat Arjuna membalas,
tiba-tiba langit berubah menjadi bercahaya terang. Dari ufuk timur dan barat
begitu juga dari ufuk utara ke selatan, cahaya berwarna jingga kuning keemasan
menyelimuti langit. Bukan Cuma seluruh Jawadwipa yang diterangi cahaya itu tapi
seisi Marcapada dan hingga ke angkasa luar. Tanpa pikir lama-lama, Arjuna dan
Wrekodara segera berpamitan pada Resi Jayawilapa dan segera pergi mencari asal
cahaya kuning keemasan itu.
Nun jauh di tengah hutan, hutan terangker di Jawadwipa duduklah seorang pertapa beradan gemuk, sepertinya tengah bertapa brata. Cahaya kuning keemasan tepancar di sekelilingnya. Hewan, tumbuhan, makhluk halus, dan bahkan para dewa bersimpuh dan hormat kepadanya. Tak satupun makhluk bergeming di hadapannya. Dialah Ki Lurah Semar. Ia duduk merenungi ujian yang ia alami. Merenungi ujian yng ditimpakan kepada Kresna. Seketika wujud Semar yang ala kadarnya bertukar wujud. Wujudnya menjadi cemerlang.
Semar Kuning |
Singkat cerita,
Werkodara, Arjuna dan tiga punakawan telah sampai di tempat pamomongnya tapa.
Takjublah hatinya. Seketika ia duduk bersimpuh memohon izin sekaligus maaf
karena tidak datang di Dwarawati. Semar dalam wujud dewa mengingatkan ndoronya
agar tidak terus berbuat khilaf. Dalam wujud itu, Semar menyenandungkan syair :
” Benar dikata bijak
bestari,
Tiada guna sibuk
mencari-cari.
Yang di sebalik luar
diri.
Nyatanya ada di sini.
dulu dan kini,
kelak terengkuh dalam
SEKARANG ini.
namun selalu berhati-hati!
pabila di renungkan dalam
hati.
tetaplah sadar diri.
kalau tersesat budi,
akan peroleh celaka
abadi.
Renungkan di balik hening,
Hening dan hati bening.
Sehingga suwung dan
wening.
Tanpa bunyi gemerincing.
Heninglah sejatinya yang ada.
Yang ada itu sejatinya
sebenar-benarnya hidup,
menghidupi semesta.
asal jadinya dari tiada.
Yang Tiada mengandung
maksud yang di-ada
Keberadaan yang tanpa
rupa tanpa warna
Bercahaya tanpa terbayang
pelita
begitu celik dan nyata.
pabila tlah diperoleh
tandanya,
laku serba sederhana,
melihat sekala dan
niskala
tiada fikir dan goda
tuk bermegah dan bermewah
hanya memberi ketentraman
bersama
tak ada congkak dan bangga
sungguh tidak diragukan
lagi
itulah yang disebut
manusia sejati
mengerti akan sangkan
paran dumadi,
asal dan tujuan hidup,
menuju Yang Sejati......” setelah bersyair, Batara Ismaya
kembali bersemadi.
Tak lama kemudian datang
Prabu Kresna sekeluarga turun dari kereta Jaladara. Getar perbawa Batara Ismaya
dan cahaya kuning menyilaukan yang menyelimuti tubuhnya merontokkan keakuan
Kresna, meluluhlantakan keangkuhan yang selama ini merajai dan menjadi penguasa
hati, bak tercerai berai menjadi serpihan-serpihan kecil lembut yang seketika
terbang hilang terbawa sang bayu. Syair-syair yang ditembangkannya pun merasuk
ke dalam kalbunya. Batara Ismaya membuka matanya pelan-pelan lalu memberikan
nasehat kepada Kresna “ Anakku.... ngger Kresna, tahukah kamu akan semua yang
terjadi selama ini? Apakah intisari dan hikmah kejadian ini? Intisari yang
dapat diambil sebagai pelajaran bagi hidup kita adalah bahwa hal yang dapat
dijadikan sebagai pedoman dalam menggapai kemampuan dalam mengerti gaibnya
keberadaan, gaibnya hidup dan juga gaibnya Kang Murbeng Dumadi, Tuhan semesta
alam, sejatinya tidak perlu difikirkan, dibayangkan ataupun dicari kemana-mana.
Sebab sesungguhnya hal itu dapat di temui dalam diri kita sendiri dan semuanya
telah kita sandang serta miliki. Sebenarnya hal-hal tersebut sudah saling
menyatu, hanya saja masih terhalang kegaiban dan kenyataan semu.”
Mendengarkan tutur lembut
dan penuh makna dari sosok di depannya itu, seketika basah hati Kresna. Timbul
penyesalannya akan perilakunya selama ini. Seketika Kresna bersimpuh, berlutut
di bawah kaki Semar seraya menghiba :
“Duh … pukulun Batara
Ismaya, paduka telah memberikan cahaya kepada hati dan jiwa hamba yang selama
ini kelam, gelap tiada sinar walau secercah. Kasih paduka membuka mata hati
hamba akan bodoh dan candalanya sikap hamba. Apalagi sikap dan tindakan yang
telah hamba lakukan kepada Kakang Semar, teramat memalukan dan menunjukan
rendahnya budi dan kebijaksanaan hamba selaku seorang ksatria. Duh …. Pukulun....
hukum hamba yang rendah ini dengan hukuman yang seberat-beratnya. Hamba tidak
akan menolak kerna memang hamba yang salah. Hamba tak akan berkelit kerna
memang hamba yang bodoh.”
“Kresna … sudah benar
bila kamu menyadari akan kesalahanmu. Sungguh manusiawi, kerna tiada gading
yang tak retak. Tiada manusia yang terlepas dari dosa dan salah. Sikap dan
watak ksatria sejati adalah mau mengakui kesalahan pribadi dan bertekad untuk
memperbaikinya kelak. Dan itu sudah engkau lakukan dengan baik. Namun ada hal
yang mungkin akan membuatmu sedih apabila ku wartakan sebab tingkah polahmu
tadi. Apakah engkau sanggup mendengar dan menerimanya ?” “hamba siap, pukulun
Ismaya.” Batara Ismaya dalam wujud Semar lalu berkata “ Kresna, kesalahanmu
dengan mencatut nama Wisnu untuk menghinaku itu cukup fatal. Mengatasnamakan
kekuatan Wisnu demi mengagungkan diri juga tak benar adanya. Maka dengan berat
hati, aku menghukummu melalui putrimu. Putrimu, Siti Sundari memang telah
dijodohkan dengan Abimanyu putra Arjuna namun kelak di sepanjang pernikahannya
dia tidak akan bisa punya anak!!” ibarat disambar petir, hancur luluh hati
Prabu Kresna begitupun para istrinya. Arjuna dan Wrekodara syok mendengar itu karena
putranya ditakdirkan tak bisa punya anak dari Siti Sundari.
Perih hati Kresna dengan
keputusan sang Batara Ismaya. Dibayangkan betapa merananya anaknya bila
mengetahui hal ini. Seketika terbayang wajah anaknya Siti Sundari yang bahkan
sejak bayi telah mendapat tulah akibat perbuatan ayahnya sendiri. Dalam
kepiluan itu, Batara Wisnu datang kepada Prabu Kresna memberikan wejangan
“Kresna, kau adalah bagian dari diriku. Kesedihanmu juga kesedihanku. Ujian
yang berlaku padamu juga ujian bagiku. Tentunya ada hikmahnya dibalik setiap
peristiwa. Masih ada kesempatan untukmu. Janganlah berpatah arang!” mendengar
itu, Prbu Kresna kembali optimis. Ia kembali sumarah, tawakal kepada keputusan
Hyang Widhi. Batara Wisnu lalu datang kepada Arjuna “ anakku, Arjuna. Kau juga
sebagai titisanku apakah ikhlas dengan keputuan paman Semar?” “ampun, pukulun
batara. Hamba ikhlas dengan keputusan Ki Lurah
karena secara tidak langsung ini juga kesaahanku” Ujar Arjuna.
Singkat cerita, batara Ismaya menghilang, kembali berubah wujud jadi Ki Lurah Semar. Mereka semua kembali ke Dwarawati. Memperbaiki segala hal di sana. Terkecuali Arjuna yang kembali ke desa Yasarata untuk menjemput Ulupi dan Resi Jayawilapa untuk mengadakan ngunduh mantu di Amarta. Sesampainya di Amarta, Arjuna memperkenalkan Ulupi sebagai calon permaisuri keempat. Dewi Sumbadra dan lainnya agak cemburu namun ia mulai menyadari satu hal. Menurut kata kakaknya, Prabu Sri Kresna, Arjuna memang sudah ditakdirkan memiliki banyak istri dan tak heran kenapa ia juga bernama Permadi, karena arti dari nama itu kasih sayang yang melimpah. Maka Dewi Sumbadra menyambut ramah calon madunya itu dengan ramah dan sopan. Justeru mereka saling cerita-cerita bagaimana pujaan hati mereka menggaetnya. Arjuna memerah padam mukanya, malu karena aibnya di omongin sesama isterinya. Beberapa hari kemudian, pernikahan antara Arjuna dan Ulupi diselenggarakan. Pesta meriah berlangsung tujuh hari tujuh malam. Lengkap sudah Arjuna memiliki empat permaisuri di Amarta. Meski demikian, Dewi Ulupi memilih akan tetap tinggal di Yasarata. Arjuna mencegah permaisurinya itu untuk kembali. Namun tekad Ulupi sudah bulat. Ia ingin membangun desanya dan menjadi wakil Arjuna di sana. Sebagai bentuk kesetiaan rakyat Yasarata dibawah panji Amarta. Arjuna tidak mampu menghentikan keinginan isterinya. Maka, ia mengizinkannya. Arjuna berjanji akan kembali menjemput Ulupi ke Madukara apabila anak mereka datang mencarinya. Maka ia menitipkan panah Ardadedali pada Dewi Ulupi. Ia mewasiatkan panah itu agar sepenuhnya jadi milik anak mereka nanti. Tapi kapanpun ia ingin ke Madukara, pintu gerbang istananya akan selalu terbuka untuk Ulupi.