Salam semua, para pembaca budiman. Sudah lama penulis tak memposting tulisan baru lagi. Kali ini penulis melanjutkan kisah sebelumnya. Dalam kisah ini, penulis menghubungkan leluhur Pandawa-Kurawa dari versi India dan versi Jawa. Kisah ini menceriterakan masa muda putra Batara Sadana, Arya Suganda dan pernikahannya dengan Niken Raketan, anak Resi Brikhu yang dulu pernah diasuh Dewi Sri, kakak Batara Sadana. Kelak dari pernikahan mereka, akan lahir salah satu leluhur (karuhun) dari Pandawa dan Kurawa dari Trah Wirata. Kisah ini juga dilanjutkan dengan hancurnya negeri Medanggalungan juga berakhirnya riwayat Prabu Cingkaradewa dan penyimpangan seksualnya. Kisah diakhiri dengan datangnya Prabu Nahusa dan berdirinya kerajaan Kandaparasta, salah satu kerajaan leluhur Trah Baharata dan Yadawa yang juga karuhun Pandawa-Kurawa. Kisah ini bersumber dari blog albumkisahwayang.blogspot.com, serat Pustakaraja Purwa karya Ngabehi Ranggawarsita dan Kitab Mahabharata kara Mpu Vyasa.
Arya
Suganda Krida
Arya
Suganda, anak dari Batara Sadana dan Dewi Laksmitawahini sejak bayi dititipkan
ke Raden Wandu (Srimahawan) sesuai wasiat dengan sang ayah. Kini ia telah
beranjak dewasa dan ingin mencari jodohnya. Maka diam-diam tanpa diketahui ayah
asuhnya, ia pergi mengembara, ketika melewati Desa Wasutira, desa itu didatangi
banyak perampok maka ia menghalau para perampok itu meskipun terlalu banyak Arya
Suganda terus menyerang para perampok dengan segala kesaktiannya. Banyaknya
rintangan dan cobaan yang dihadapi membuat ia kelelahan ketika berhasil
mengalihakn pertarungannya ke pinggir hutan desa Wasutira. Tak ada satupun
orang yang berani menolong karena hutan
itu wingit dan angker bahkan di siang hari. Hanya orang yang benar-benar punya
nyali yang mau masuk ke dalam hutan. Para perampok berhasil dikalahkan namun
Arya Suganda akhirnya pingsan karena terlalu letih dan lelah.
Cinta
bersemi di Wasutira
Sang
kepala desa Wasutira, Kyai Brikhu bersama putrinya, Niken Raketan baru saja
pulang berniaga ke negeri sebrang malam itu melewati hutan desa. Tiba-tiba mereka terkejut ada pria tergeletak di
pinggir hutan desa. Setelah diperiksa, ternyata masih hidup. Mereka segera
membopong orang itu. begitu sampai di rumah, Niken Raketan segera merawat pria
itu. Beberapa hari kemudian, pria itu bangun lalu ia melihat sekitar lalu
karena tak kuat bergerak ia jatuh. Niken Raketan yang hendak ke kamar pria itu
kaget “ehh...sudah bangun ki sanak? Mari
ikut aku, sudah dua hari ki sanak tidur dan belum makan.” “terima kasih Ni
sanak.” Setelah makan mereka saling berknalan “ni sanak perkenalkan, aku
Suganda dari Purwacerita. Aku seorang pengembara. Kalau boleh tau siapa nama ni
sanak.” “namaku Raketan, Niken Raketan. Ayahku kepala desa ini. Ki sanak masih
kelihatan lelah, beristirahatlah barang beberapa hari disini” “terima kasih, ni
sanak.” singkat cerita, Arya Suganda menetap sebentar di desa Wasutira. Di sana
ia selain membantu keamanan desa, ia juga membantu Kyai Brikhu untuk berdagang.
Kedekatan Arya Suganda dan kelurga Kyai Brikhu semakin rapat terutama dengan
Niken Raketan. Setiap kali bertemu pandang, mereka sama-sama tersipu. Agaknya
benih-benih cinta muncul diantara Arya Suganda dan Niken Raketan. Kyai Brikhu
terkesan sekali dengan rajinnya Arya Suganda. Kyai Brikhu juga nampaknya
melihat gelagat sang putri dan Arya Suganda. Akhir-akhir ini mereka kadang
berduaan di taman dan di perigi di tengah desa. Dengan melihat hal demikian saja, sang kepala desa Wasutira itu mengajak baik-baik anaknya dan Arya Suganda. Kyai Brikhu dan istrinya akhirnya menyetujui hubungan sang anak dengan Arya Suganda bahkan mempertimbangkan tentang pernikahan mereka kelak.
Pada
suatu hari, datanglah pasukan Medang Galungan ke desa Wasutira. Mereka ingin
mengambil salah satu pemuda tampan dari desa itu untuk dijadikan pemuas hasrat
seksual Prabu Cingkaradewa Purwacandra. Jelas saja tak ada satu pun yang mau
anak laki-laki mereka jadi pemuas nafsu bejat raja berperilaku sedeng itu.
karena tak ada yang mau, maka pasukan Medang Galungan segera mengobrak-abrik
desa. Desa porak poranda dan dibakar pasukan Medang Galungan dengan beringas.
lalu terdengrlah suara seseorang “hentikan!” lalu datang sang pemilik suara,
Arya Suganda “kalian memaksakan kehendak. Kalau tidak ada yang mau, ya jangn
mengganggu ketentraman desa ini. lagipula, bisa-bisanya prajurit-prajurit
seperti tuanku semua mau menuruti hasrat rusak prabu kalian. Dosa kalian akan
ikut bertambah banyak” Para prajurit hanya diam saja namun salah satu dari
mereka berteriak “Persetan dengan dosa, kalau tidak ada yang mau, lebih baik
kau saja yang akan kami bawa!” seketika
para pasukan Medang Galungan mengeroyok Arya Suganda. Tak terima dikeroyok,maka
ia melawan para prajurit itu. satu dua prajurit berhasil dikalahkan namun
karena kalah jumlah, maka terdesak juga ia.
Brahmana
Wisaka
Di
saat yang bersamaan, datanglah seorang brahmana sakti disertai empat puluh
muridnya yang semuanya cantik dan tampan. Sang brahmana yang melintasi desa
Wasutira bertanya pada penduduk apa yang terjadi. Para penduduk berkata ada
yang sedang bertarung dengan prajurit Medang Galungan yang ingin mencari pemuda
pemuas syahwat raja mereka. Sang brahmana melihat seorang pemuda yang dikeroyok
tiga puluh orang, maka ia segera membantu pemuda itu dan dengan kesaktiannya ia
membuat para prajurit itu limbung dan lari kucar-kacir. Pemuda itu berterima
kasih “terima kasih, tuan brahmana. Tuan sudah membantu saya.” “sama-sama, anak
muda. Kalau boleh tahu, dimanakah rumah kepala desa ini? saya ingin minta izin
untuk mendirikan padepokan di tempat ini.” “saya tahu dimana kepala desa ini.
kebetulan saya juga bekerja di rumahnya. Nama saya Arya Suganda.” Singkat
cerita, Arya Suganda mengantarkan brahmana itu ke rumah Kyai Brikhu.“saya Brahmana Wisaka dari negara seberang. Saya dan keempat puluh murid saya mendapat
wangsit untuk menyebarkan ilmu baca tulis dan pengetahuan dharma di negeri ini.
kami mohon kerjasamanya, pak kepala desa” “dengan senang hati, saya akan sangat
tersanjung bila tuan brahmana mau mengajar di desa ini, syukur-syukur apabila nanti raja di negeri
ini sudi menjadikan padepokan tuan brahmana sebagai pusat pendidikan.” singkat cerita, Brahmana Wisaka mendirikan padepokan dan di sana
diajarkan berbagai tata baca dan tulis yang baru. Brahmana Wisaka mengajarkan
Bahasa Sangsekerta dan Aksara Kawi, turunan dari aksara Dewanagari dan Pallawa
yang dahulu dipakai. Singkat kata, padepokan Brahmana Wisaka semakin besar
hingga membuat Prabu dari Wirata yakni Prabu Basupati tertarik dan ingin berguru
padanya. Hal itu diikuti dengan Prabu Brahmasatapa dari Gilingwesi beserta
putra-putri dan Prabu Srimahawan dari Purwacerita. Prabu Srimahawan yang
kebetulan sedang menimba ilmu di sana akhirnya kembali bertemu dengan Arya Suganda, sang putra kakaknya yang minggat berbulan-bulan. Rasa
sukacita sang prabu bertambah lagi dengan rencana pernikahan Arya Suganda
dengan Niken Raketan. Maka pada hari yang baik, dilangsungkanlah pernikahan
putra Batara Sadana dengan anak asuh Dewi Sri itu. Setelah hari bahagia itu,
Prabu Basupati meresmikan desa Wasutira naik derajat menjadi karesian Wasutira.
Kyai Brikhu dilantik menjadi pemimpin karesian itu bergelar Resi Brikhu dan
Brahmana Wisaka menjadi guru agung.
Prabu
Cingkaradewa Menculik Para Pemuda Karesian
Prabu
Cingkaradewa Purwacandra, sang penguasa tunggal Jawadwipa merasa gusar karena
sudah lama tiga raja bawahan yakni Wirata, Gilingwesi, dan Purwacerita tidak
menghadap ataupun memberikan pemuda pemuas nafsnya. Hal itu semakin diperkeruh
dengan adanya kabar di desa Wasutira ada padepokan besar yang muridnya lebih
dari seribu orang. Maka sang maharaja Jawadwipa itu datang sendiri ke tempat
itu. diiringi ratusan pengawal yang tampan-tampan dan gagah, ia datang ke desa
Wasutira. Ketika sampai di sana, Desa Wasutira kini bukan desa kecil lagi tapi sudah
berubah menjadi karesian, pusat pendidikan yang besar. Merasa karesian itu akan merongrong wibawa Medang
Galungan, Prabu Cingkaradewa Purwacandra membuat kerusuhan dengan menculik pemuda-pemuda
tampan di sana untuk disetubuhi.
Lama kelamaan resahlah para penduduk dan murid karesian Wasutira termasuk keluarga tiga raja Jawadwipa yang sedang menimba ilmu di sana. Brahmana Wisaka segera menerawang dari mata batin. Dalam penglihatannya, ada seorang prajurit yang menculik seorang pemuda tampan dan sang prajurit menyerahkan pemuda itu kepada sorang lelaki dan dengan bejatnya, lelaki itu memperkosa pemuda itu. Brahmana Wisaka, Resi Brikhu, dan Arya Suganda segera mendatangi pria itu. Saat mereka menuju tempat lelaki itu, mendadak mereka diserang prajurit Medang Galungan.
Prabu Cingkaradewa menantang Brahmana Wisaka |
Hukuman
untuk Raja Homoseks
Dilangsungkanlah
adu kepandaian antara Brahmana Wisaka dan Prabu Cingkaradewa Purwacandra di
keraton Medang Galungan. Setelah beberapa babak, Prabu Cingkaradewa mengakui kecerdasan
dan kepandaian Brahmana Wisaka diatas kepandaiannya. Karena kalah, Prabu
Cingkaradewa Purwacandra dengan berat hati memerdekakan tiga negara besar
Jawadwipa. Hal ini membuat jiwanya tergoncang hebat. Di saat yang sama
tiba-tiba datang seorang jin bernama Jalegi, utusan Batara Kala merasuki Prabu
Cingkaradewa Purwacandra dan membuat keonaran. Dengan kekuatan dan
kesaktiannya, ia menggunakan tubuh raja homoseks itu untuk menghukum sang prabu
yang sedeng itu dengan menghancurkan seisi kerajaan Medang Galungan dan
membunuh Brahmana Wisaka. Namun, Brahmana Wisaka berhasil menundukkan jin itu.
jin itu lallu berkata lewat tubuh sang prabu “hei, brahmana agung! Ampuni aku
tapi Jangan ganggu tugasku. Aku diutus pukulun Batara Kala atas perintah Batara
Guru untuk membawa orang ini ke neraka sebagai hukuman kerena sifat sedengnya.
Sudah terlalu lama keturunan Watugunung ini merusak tatanan hidup di negeri ini.”
“jika itu perintah dari para dewa, maka aku tidak bisa menghalangimu.” Maka
Brahmana Wisaka beserta Resi Brikhu dan Arya Suganda segera pergi dari keraton
dan kembali ke karesian. Amukan sang prabu kembali menguat bahkan tak
terbayangkan dahsyatnya. Bahkan, sang prabu yang sedang kerasukan itu merapal
ajian terlarang yakni ajian tapak Agnibrahma yang mampu membuat satu negara terbakar
dan lebur menjadi debu.
Berakhirnya
Medang Galungan
Ketika
sampai di karesian, Brahmana Wisaka, Resi Brikhu dan Arya Suganda melihat dari
puncak gunung tanda-tanda tidak baik. Tepat di atas langit kerajaan Medang
Galungan, muncul meteor sebesar keraton Wirata berapi hendak menghujam bumi.
Brahmana Wisaka dan yang lainnya segera turun dan mengajak semua orang di
karesian termasuk Prabu Basupati, Prabu Srimahawan, dan Prabu Brahmasatapa beserta
keluarga mereka dan para penduduk untuk sembunyi di bawah tanah dan bersemedi
memohon perlindungan Hyang Widhi. Lalu terdengarlah suara yang keras
mengguntur.dari celah-celah ruang bawah tanah, mereka melihat cahaya yang
sangat terang. Sementara itu, kerajaan Medang Galungan kejatuhan meteor besar
dan langsung hancur berkeping-keping. Keratonnya terjungkir balik lalu
terbakar hebat bersama Prabu Cingkaradewa Purwacandra di dalamnya. Ini persis
seperti kutukan Batara Guru yang pernah diberikan pada sang prabu. Kerajaan
tetangga seperti Wirata, Gilingwesi, dan Purwacerita ikut terkena dampak dengan
bumi disana ikut bergegar namun untungnya tidak meninggalkan dampak yang parah sehingga selamatlah
kerajaan-kerajaan itu. Kini, habislah riwayat Medang Galungan dengan bersama dengan sifat
sedeng sang prabu. Selang beberapa hari, keanehan terjadi, Puing-puing sisa kerajaan Medang Galungan yang hancur mendadak tertutup hutan lebat dan sangat rapat seakan tak pernah ada di dunia. Tiga kerajaan besar Jawadwipa kembali berdaulat sebagai
negara merdeka.
Adhege
Kandaparasta
Setelah beberapa tahun di Jawadwipa, Brahmana Wisaka merasa sudah saatnya ia kembali ke Tanah Hindustan. Maka ia berpamitan dengan para raja, Resi Brikhu dan Arya Suganda.
Adhege Kandaparasta |
Di
dekat bengawan Yamuna, hduplah seorang yaksa bernama Ditya Hunda. Ia gemar
membuat para dewa kerepotan dan kali ini ia menculik salah satu bidadari yakni
putri satu-satunya Batara Guru dan Batari Durga yang bernama Dewi Asokasundari.
Dewi Asokasundari mengutuk Hunda “hei raksasa, kamu akan menerima hukuman para
dewa. Kelak calon suamiku akan datang menjadi penyebab kematianmu!” Ditya Hunda
tertawa-tawa dengan sombong dan berkata “aku tidak taku...akan ku goreng calon
suamimu itu kalau dia muncul kemari.” Tahun demi tahun berlalu, lama-lama kota
Kandaparasta semakin besar dan mulai membabat sebagiah hutan tempat Ditya Hunda
tinggal. Ditya Hunda terganggu dan mulai menculik beberapa gadis untuk
dijadikan tumbal ajian peletnya. Prabu Nahusa mulai resah dengan hilangnya
beberapa gadis di hutan dan memutuskan untuk mendatangi hutan tempat para gadis
sering diculik. Di hutan, ia bersemadi dan mendapat wangsit dari Sanghyang
Widhi. Wangsit itu mengatakan di hutan itu ia akan bertemu calon istrinya yang
kini diculik sorang yaksa.
Ditya
Hunda Perlaya
Sementaraitu,
Ditya Hunda melihat ada cahaya pelangi di hutan dekat guanya. Maka ia mendatangi
asal pelangi itu dan menemukan seorang pria tampan sedang bersemadi. Ia lalu
mencoba mengacau sang pria. Lalu sang pria itu bangu dan berkata “ Hei
Yaksa...beraninya kau mengganggu semadiku.” Ditya Hunda berkata dengan ketus
“memang itu urusanmu . aku bebas mengganggu siapa saja termasuk para dewa.”
“oohh berarti kau juga yang mengganggu ketentraman negeriku dengan menculik
beberapa gadis?” “kalau iya, memang kenapa?” “rupanya kau....para dewa telah
mempertemukan kita disini. Sebaikanya kau menyerah baik-baik kalau tidak mau
hidupmu berakhir.” Ditya Hunda jemawa dan berkata ia tidak takut. Maka
terjadilah perang tanding antara Prabu Nahusa dan Ditya Hunda. Ditya Hunda terus
brusaha menggigit leher Prabu Nahusa namun sang prabu terus menghindar dan
mampu membuat sang yaksa terdesak. Lalu Ditya Hunda mengeluarkan ajian Dityagni
yang membakar apa saja. sementara Prabu Nahusa menancapakan tongkatnya dan
merapal ajian Tirta Dewani. Maka keluarlah gelombang air raksasa menghancurkan
api sang yaksa dan menjebaknya di dalam air. Ditya Hunda tak mudah dikalahkan
karena ia mampu keluar dari perangkap air, lalu sang yaksa buas itu segera
mengeluarkan ajian Gelap Sewu. Maka muncul berbagai halilintar dan kilat
menyambar hutan membuat pandangan dan pendengaran sang prabu menjadi kabur. Di saat
demikian, Ditya Hunda berhasil melayangkan pukulan ke wajah sang prabu. Karena
sang Prabu terus didesak, maka ia mengeluarkan ajian pamungkasnya. Ia merapa
ajian Toyahima dan keluarlah tombak-tombak es dan menyayat seluruh tubuh Ditya
Hunda. Tombak terakhir akhirnya menancap ke leher Ditya Hunda dan berhasil
membunuh sang yaksa itu.
Pernikahan
Nahusa dan Asokasundari
Prabu Nahusa segera menuju gua dan melihat banyak anak gadis disekap dalam kurungan. Sang prabu segera membebaskan mereka. Lalu datang seorang perempuan cantik menyerang Prabu Nahusa. Prabu Nahusa menahannya dan mereka pun bertarung. Meski peremuan, ia bisa membuat Prabu Nahusa kuwalahan namun karena sang perempuan agak lengah, sang prabu akhirnya bisa mendesak perempuan itu. lalu perempuan itu kalah. Lalu mereka saling memandang. Tanpa sadar, prabu Nahusa jadi terpesona, begitu juga si perempuan. Lalu mereka berkenalan “ni sanak, siapakan dikau? Dilihat dari sisi manapun kamu bukan perempuan dari negeri ini.” "aku Asokasundari. Aku bukan dari negeri ini. aku sebenarnya bidadari. Aku putri ayahanda Batara Guru dengan ibunda Durga. Aku disekap Hunda saat ia menyerang kahyangan bersama Prabu Sumba dan Nisumba. Tuanku jua rasanya bukan berasal dari Jawadwipa ini. siapakah tuanku sebenarnya?” Prabu Nahusa lalu mengenalkan dirinya “aku Bambang Nahusa, putra Resi Hayu, cucu Prabu Pururawa dari Hindustan. Menurut penuturan ayahku, Aku masih cucu keturunan Resi Sucandra alias Maharesi Anggiras dari putranya yang bernama Begawan Buda. Menurut penuturan ayahku pula, leluhurku masih darah keturunan Batara Brahma. Walau leluhurku dari Jawadwipa ini, aku lahir di Hindustan lalu guruku, Brahmana Wisaka memerintahkan aku untuk tinggal dan mendirikan kota baru di Jawadwipa ini.”
Prabu Nahusa dan Permaisuri Asokasundari |