Salam pembaca semua, karena ad beberapa kegiatan ini dan itu penulis baru bisasempat memposting cerita sekarang. Cerita kali ini mengisahkan pernikahan Raden Permadi (Arjuna) dengan Dewi Bratajaya (Sumbadra) yang sempat dipersulit oleh Prabu Baladewa lewat sayembara yang berat. Versi ini berbeda dengan versi Adiparva Mahabharata dimana Arjuna mendapatkan Subadhra dengna cara kawin lari yang didalangi Krishna Basudeva. Pernikahan ini selain menyatukan kembali darah Baharata-Yadawa, kelak pasangan ini dikaruniai seorang yang akan menurunkan raja-raja Jawa yaitu Abimanyu. Sumber yang digunakan berasal dari blog albumkisahwayangblogspot.com degan pengembangan dan perubahan seperlunya.
Sesampainya
di Amarta, Raden Permadi disambut oleh Prabu Yudhistira, Arya Wrekodara, Raden
Nakula dan Raden Sadewa. Mereka saling melepas rindu. “ahh senang sekali
kembali ke Amarta. Ngomong-ngomong, dari tadi aku tidak melihat kanjeng ibu.
Dimana kanjeng ibu, kakang Prabu?” Prabu Yudhistira mengatakan “kanjeng ibu
sedang berkunjung ke Dwarawati. Katanya ada urusan penting dengan kakang Prabu
Kresna. Adhi jangan risau. Adhi Wrekodara sudah mengutus Gatotkaca untuk
mengawal kanjeng ibu.”
Sementara
itu, di kerajaan Dwarawati, Prabu Kresna sedang dihadap Patih Udawa, Arya
Setyaki, dan Prabu Baladewa. Mereka sedang membicarakan jodoh Dewi Bratajaya. Prabu
Baladewa datang dari Mandura untuk berusaha mencomblangkan Dewi Bratajaya
dengan Arya Burisrawa, iparnya. Seketika itu Prabu Kresna teringat cerita dari
sang ayah bahwa dulu saat masih bayi, Dewi Bratajaya telah ditunangkan dengan
Raden Permadi oleh sang ayah, Prabu Basudewa. Prabu Kresna kurang setuju dan
mengingatkan bahawa pertunangan Dewi Bratajaya dengan Raden Permadi harus
berjalan sesuai ketetapan ayah mereka dahulu. Di tengah perdebatan sengit itu, datanglah
Dewi Kunthi dan Raden Gatotkaca. Prabu Kresna turun dari kursi takhta menyambut
adik ayahnya itu, “selamat datang, kanjeng bibi prameswari. Bagaimana kabar
adik-adikku para Pandawa?” “Syukur kupanjatkan setiap saat. Kabar mereka baik,
anakku Narayana dan aku mendapat kabar kalau Permadi sudah pulang. Kedatanganku
kemari untuk membahas tentang kabar kepastian pernikahan Permadi dan Bratajaya,
putri kakang Basudewa, adik kalian.” Prabu Kresna hendak menjawab setuju namun
dicegah oleh Prabu Baladewa. Prabu Baladewa kemudian berkata “kanjeng bibi
prameswari, walaupun adhi Bratajaya tinggal di Dwarawati, wilayah adhi Prabu
Narayana, namun hak perwaliannya aku masih berlaku selaku putra sulung ayahanda
prabu. Ayahanda prabu sudah meninggalkan keduniawian, jadi akulah yang menjadi
wakilnya. Masalah diterima atau ditolaknya lamaran, aku yang menentukan.”
Dalam
hati, prabu Baladewa tak bisa menyangkal kalau adik bungsunya telah ditunangkan
sang ayah dengan Permadi namun dia juga ingin mencomblangkan Arya Burisrawa,
iparnya yang sudah kadung dimabuk cinta pada adiknya. Lalu Prabu Baladewa
mengajukan beberapa syarat berat “siapapun yang ingin menikahi adik kami, dia
harus memenuhi syarat dariku. Pertama, mempelai harus menyediakan Mahesa Danu
Pancal Panggung dari alas Krendawana sebanyak seratus empat puluh empat ekor
lengkap dengan seratus empat puluh empat bidadari pengiring. Kedua, mempelai harus diarak dengan
kereta kencana yang mampu melayang di angkasa. Ketiga, mempelai harus
menghadirkan seekor kera putih sebagai penari beksan. Keempat, kedua mempelai
harus duduk di pelaminan yang digelar di Balai Kencana Saka Domas. Kelima,
acara pernikahan harus diramaikan dengan gamelan Lokananta yang ditabuh para
dewa dan yang terakhir, mempelai harus dipayungi kembang mayang dari pohon
Dewandaru-Jayandaru dari kahyangan Endraloka. Syarat ini bukan hanya untuk
Permadi tapi juga untuk siapapun yang ingin menikahi adikku. Sekian terima kasih”
Dewi Kunthi paham sang keponakan mempersulit Permadi, putranya. Tapi Dewi Kunti
yakin bahwa syarat-syarat itu ujian yang harus dijalani sang putra ketiga demi
mahligai rumah tangga yang bahagia. “baiklah, jika anak prabu Baladewa sudah
berkata demikian, maka aku dan putraku sanggup menerima syarat itu. kami mohon
pamit “ demikianlah, Dewi Kunthi dan Raden Gatotkaca pulang ke Amarta untuk
mengabarkan ini pada Permadi.
Di
luar kotaraja, Prabu Baladewa mendatangi Patih Arya Sengkuni, para Kurawa, dan
Arya Burisrawa yang semenjak dua hari yang lalu berkemah. Patih Sengkuni
bertanya tentang kabar percomblangan Burisrawa dengan Bratajaya. Prabu Baladewa
menjawab percomblangannya kacau. Dewi Kunthi juga kebetulan datang mewakilkan
Permadi untuk melamar Bratajaya dan dia langsung memberikan syarat-syarat berat
padanya. Syarat itu juga berlaku pada Arya Burisrawa. Para Kurawa kecewa namun
Patih Sengkuni nampak tenang. Dia tahu kemungkinan seperti ini dapat terjadi
dan untuk rencana cadangan, Patih Sengkuni sudah merancangnya jauh-jauh hari.
Kini tinggal Arya Burisrawa apakah dia menyerah atau lanjut saja. Arya
Burisrawa yang sudah dimabuk cinta berkata “persetan syarat berat. Demi cintaku
pada Bratajaya. Aku rela mengambil syarat-syarat berat itu.” karena keputusan
sudah diambil, Patih Sengkuni, Arya Burisrawa, dan Para Kurawa mohon diri untuk
berangkat memenuhi syarat-syarat berat itu.
Di
tengah perjalanan, mereka membuntuti kereta kerajaaan Amarta yang membawa Dewi
Kunthi. Patih Sengkuni sengaja mengajak para Kurawa dan Arya Burisrawa untuk
menculik Dewi Kunthi agar pihak Pandawa tak tahu apa yang disayembarakan Prabu
Baladewa. Mereka semua setuju kecuali Arya Durmagati. Durmagati yang polos dan
lugu tak menerima keputusan sang paman berkata “paman patih, kalau kakang
Burisrawa ingin menikahi adhi Bratajaya harus fair, harus dengan cara jantan. Kalau dengan cara begini, itu
curang namanya.” Patih Sengkuni berkilah “ini juga sebuah strategi, Durmagati.
Sambil menyelam minum air. aku menghalangi Pandawa sekaligus menjadi ayah
Pandawa” Durmagati kemudian bertanya”lalu apa Bibi Kunthi akan menerima cinta
paman? Cinta dipaksakan juga tak akan berbuah manis” “lalu apa salahnya jika
aku masih cinta pada Kunthi. Aku juga pernah menculiknya dari Pandu walau
gagal. Kali ini dia harus kunikahi dan dengan begitu perang Baratayudha yang
diramalkan orang-orang tua itu dapat dihindarkan.” Arya Dursasana dan Arya
Kartamarma setuju dengan rencana sang paman segera memerintahkan adik-adiknya
untuk menangkap Dewi Kunthi. Mereka tidak tahu bahwa Dewi Kunthi telah dijaga
Raden Gatotkaca dari angkasa.
Kereta
yang membawa Dewi Kunthi tiba-tiba berhenti. Dewi Kunthi melihat dari sudut
jendela sais kereta sudah terbunuh lalu datanglah patih Sengkuni memaksa Dewi
Kunthi keluar kereta. Patih Sengkuni dan para Kurawa berencana menculik
dirinya. Lalu datanglah pertolongan. Gatotkaca, sang cucu membawa angin besar
untuk memporak-porandakan para Kurawa. mereka terkejut tiba-tiba ada pemuda
gagah datang. Arya Dursasana bertanya “hei anak muda. Siapa kamu berani betul
kau melawan kami para Kurawa.” “aku Gatotkaca, putra Bima Wrekodara.
Paman-paman Kurawa ingin menculik kanjeng eyang prameswari, langkahi dulu
mayatku.” Arya Dursasana dan Para Kurawa terkejut karena pemuda itu putra
Wrekodara. Patih Sengkuni kemudian menyeru pada Raden Gatotkaca “hei putra
Wrekodara. Lebih baik mundur sana. Sayang bila kau harus mati di tangan para
keponakanku.” Lalu Raden Gatotkaca berkata lantang”aku tidak peduli, eyang
patih. Aku sudah ditugasi paman prabu dan ayah untuk menjaga eyang prameswari
dari pengganggu.” Para kurawa lalu beramai-ramai menyerang Gatotkaca.
Pertempuran terjadi begitu sengit.Raden Gatotkaca dengan cergas menghajar dan
memukul para sepupu ayahnya itu sampai jatuh tunggang langgang. Namun karena
lawan terlalu banyak, Dewi Kunthi memerintahkan sang cucu untuk pergi saja dari
situ karena ada urusan yang lebih penting daripada berkelahi dengan para Kurawa.
Raden Gatotkaca menurut saja. Lalu dia meninju para Kurawa lagi dan merapal aji
Pethak Meghawahana. Tiba-tiba muncul
awan tebal menutupi jarak pandangan para Kurawa dan patih Sengkuni. Di saat
mereka kebingungan, Raden Gatotkaca menggendong Dewi Kunthi dan segera membawanya
terbang ke Amarta, meninggalakan para Kurawa.
Di
Kerajaan Amarta, Prabu Yudhistira dan para Pandawa menerima kedatangan para
punakawan dan Maharesi Abiyasa, sang kakek dari pertapaan Saptaharga. Bersamaan
dengan kedatangan mereka, datanglah Dewi Kunthi dan Raden Gatotkaca. Dewi
Kunthi kemudian memperkenalkan Raden Gatotkaca kepada sang mertua. Sejak
pertama kali dibesarkan oleh Batara Narada di kahyangan, Raden Gatotkaca baru
kali ini disowani sang kakek buyut. Kemudian Permadi datang menyembah sungkem
pada sang ibu. Lalu di hadapan semua orang, Dewi Kunthi menceritakan hasil
kunjungannya di Dwarwati. Ketika dia mewakilkan
Permadi untuk membahas pernikahan sang putra dengan Bratajaya, justru Prabu
Baladewa memberikan beberapa syarat. Ia kemudian menjabarkan semua syarat itu.
mendengar itu, Arya Wrekodara menjadi geram “Apa-apaan kakang Bule. Aku tak
habis pikir dengan jalan pikirannya. Kita datang dengan niat baik malah
dipersulit. Memang njaluk rame satu orang ini.” Prabu Yudhistira kemudian
menyabarkan sang adik yang berbadan tinggi besar itu “sabar, adhi Bima.
Kelihatannya memang kakang Prabu Baladewa mempersulit, tapi aku rasa ini adalah
ujian yang harus kita jalani terutama untuk Permadi. Nah adikku, Permadi. Apa
kau sungguh-sungguh dalam mencintai adhi Bratajaya setulus hati atau hanya
sekadar perjodohan dan pelampiasan saja?” Permadi kemudian berkata dengan jujur
“sejujurnya sudah sejak lama aku mencintai adhi Bratajaya. Aku tak memandang
karena perjodohan atau karena pelampiasan, tapi karena memang aku sudah kadung
cinta padanya dari dalam sini.” Raden Permadi mengatakan itu sambil menunjuk ke
dadanya pertanda cinta yang tulus. Raden Permadi sendiri bersedia memenuhi
beberapa syarat yang sudah diajukan Prabu Baladewa. Karena keinginan sang adik
sudah bulat, Arya Wrekodara bersedia membantu.
Maharesi
Abiyasa kemudian membagi tugas. Raden Permadi hendaknya datang sowan ke
kahyangan Karang Kaendran (Endraloka) menghadap Batara Indra, sang ayah angkat
untuk mewujudkan persyaratan kembang mayang dari pohon Dewandaru-Jayandaru,
Balai Kencana Saka Domas, dan seratus empat puluh empat bidadari pengiring. Untuk masalah gamelan
Lokananta, Permadi bisa sekalian datang ke Cakrakembang, kediaman Batara
Kamajaya-Kamaratih, kakak angkat Permadi. Untuk masalah penari kera putih dan
kereta melayang, Arya Wrekodara bisa minta bantuan Resi Hanoman Mayangkara di
Kendalisada. Raden Gatotkaca kemudian ditugaskan ke alas/hutan Krendawana untuk
meminjam seratus Mahesa Danu Pancal Panggung pada ki Dadungawuk. Sementara
Raden Nakula, Raden Sadewa, Dewi Drupadi diberi tugas menyiapkan segala
keperluan iring-iringan pengantin dan undangan. Sementara oleh sang kakek,
Prabu Yudhistira diminta pergi ke sanggar pemujaan untuk berdoa memohon
keberhasilan saudara-saudaranya kepada Sanghyang Widhi yang Maha Kuasa. Setelah
dirasa cukup, mereka segera menyiapkan segalanya. Raden Permadi, Arya Wrekodara
dan Raden Gatotkaca segera berangkat memenuhi tugasan.
Raden
Permadi bersama para punakawan berangkat ke gunung Mahameru untuk menuju Karang
Kaendran di Jonggring Saloka. Di tengah jalan mereka dihalau sepasang denawa.
Walau dikeroyok dua makhluk ganas itu, Raden Permadi dengan lihai mampu membuat
dua denawa itu kelabakan. Di saat yang tepat, Permadi menarik busur Gandiwa dan
panah-panah terlepas. Jrass, panah-panah itu menembus jantung kedua denawa.
Seketika dua denawa itu mati. Dua jasad itu kemudian menghilang berubah menjadi
sepasang dewa-dewi. Mereka adalah dewa cinta dan dewi asmara, Batara Kamajaya
dan Dewi Kamaratih. Raden Permadi segera menghormat .
lalu Batara Kamajaya
membangunkan Permadi lalu gantian Batara Kamajaya dan Dewi Kamaratih yang
menyembah hormat pada Ki Lurah Semar (Batara Kamajaya dan Dewi Kamaratih adalah
putra dan menantu Semar). Batara Kamajaya kemudian bertanya “Dimana ada asap pasti
ada apinya, apa gerangan yang membuat adhi Permadi dan kanjeng rama datang ke
lereng Mahameru ini?” “begini kakak Batara Kamajaya dan kakak Dewi Ratih,
kedatanganku kemari untuk meminjam Gamelan Lokananta lengkap dengan kakak dan
para dewa lainnya sebagai penabuhnya.” Batara Kamajaya menyatakan bersedia
membantu. Tapi dia lalu berkata “Boleh, adikku. Tapi aku bukan pemilik Gamelan
Lokananta. Ayah angkatmu pemiliknya, sang Batara Indra. Aku hanya guru
karawitan dan pemelihara saja. Mari, akan kuantar ke Karang Kaendran, ke
Endraloka. Kebetulan, kakang Batara Indra sedang berada di istana Endraloka.
Dinda Ratih, kembalilah ke Cakrakembang. Kabarkan kepada para bidadari untuk
bersiap-siap turun ke bumi.” “Baik kakang Batara, aku tunggu kabar selanjutnya
darimu.”
Batara Kamajaya dan Kamaratih bertemu Permadi |
Dengan
kesaktian Batara Kamajaya, mereka sampai di Taman Karang Kaendran. Taman itu
sangat indah. Bunga-bunga bermekaran sepanjang waktu. Pohon-pohon berbuah lebat
tak henti-henti. Air sungai mengalir bagaikan air terjun di pegunungan, nampak
sejuk menyegarkan. Disana beberapa bidadari dan bidadara asyik masyuk bermain
air. Di luar istana Endraloka, Batara Indra menerima kedatangan Batara
Kamajaya, Raden Permadi, dan para punakawan. Batara Kamajaya pun mengutarakan
keinginan adik angkatnya untuk meminjam Gamelan Lokananta lengkap para
penabuhnya yaitu para dewa untuk pernikahan sang adik dengan Dewi Bratajaya.
Batara Indra kemudian berkata dengan sumringah “baiklah, aku pinjamkan gamelan
Lokananta.” Lalu Raden Permadi berkata “Ampun, Romo Batara. Maafkan jika aku
lancang. Aku juga ingin meminjam Balai Kencana Saka Domas, Pohon Dewandaru dan
Jayandaru untuk kembang mayang, dan seratus empat puluh empat bidadari
pengiring temanten .” batara Indra tertawa dan berkata “Hahahahahaha, aduh
putraku. Kau benar-benar bagai labu dibenam, benar-benar banyak mintanya.
Baiklah-baiklah, aku akan kupinjamkan itu semua. Itu hanya permintaan kecil
untuk sekelas putra angkat dewa sepertimu. Aku sanggup kabulkan itu semua.” Dengan
kesaktiannya, Batara Indra mengambil sebuah kotak kecil lalu kotak itu dipukul
tombak Bajra miliknya. Keajaiban terjadi, kotak itu terbuka lalu dari dalamnya
muncul badai angin yang sangat kencang. Rupanya angin itu adalah sihir yang
membawa masuk Gamelan Lokananta, pot besar berisi pohon Dewandaru-Jayandaru,
dan Balai Kencana Saka Domas masuk ke dalam kotak dan ajaibnya, semua benda itu
muat di dalam kotak itu. Batara Indra mengatakan seluruh benda yang diinginkan
Permadi ada dalam kotak itu dan harap dijaga baik-baik. Untuk masalah seratus
empat puluh empat bidadari,biar sang Batara yang mengurusnya. Raden Permadi
berterima kasih kepada sang ayah angkat dan pamit kembali ke Marcapada.
Di
tempat lain, raden Gatotkaca telah sampai di alas Krendawana. Di sana dia
melihat gerombolan kerbau merumput, ratusan jumlahnya, hitam warnanya,
bertanduk bagai busur dan berkaki putih seputih salju. Itulah kerbau jenis
Mahesa Danu Pancal Panggung. Di sana nampak Ki Dadungawuk sedang duduk di
sebuah batu besar sambil mengidungkan sebuah tembang. Walau berparas raksasa,
suara Ki Dadungawuk sangat merdu. Lalu Gatotkaca mendatanginya”Sampurasun,
Kisanak” “ Rampes, anak muda. Apa yang membuatmu datang ke hutan angker milik Batari
Durga, sang Parwati istri pukulun Batara Guru?” Raden Gatotkaca berterus terang
ingin meminjam seratus empat puluh empat kerbau untuk mahar pernikahan Raden
Permadi dengan Dewi Bratajaya. Ki Dadungawuk kemudian menolak “tidak bisa, anak
muda. Aku sudah ditugasi bendaraku untuk meminjamkan kerbau-kerbau ini pada Bambang
Parta, bukan pada Permadi. Jadi pergilah, anak muda.” Gatotkaca menjadi kesal
dan memaksa untuk menggiring kerbau-kerbau itu sendiri. Lalu tanpa diduga, Ki Dadungawuk menyerang Gatotkaca. Tak ayal
timbul pertarungan dan pertengkaran. Walaupun kemampuan Ki Dadungawuk bukan
apa-apa bagi Gatotkaca, kegigihannya membuat Raden Gatotkaca jadi kewalahan.
Lalu datanglah Batari Durga dan Batara Indra, putranya diiringi ratusan
bidadari yang dipimpin Dewi Kamaratih. Ki Dadungawuk dan Raden Gatotkaca segera
menghentikan pertengkaran dan menyembah hormat. Ki Dadungawuk kemudian
mengeluhkan keluhannya tentang Raden Gatotkaca yang hendak mengambil Mahesa
Danu darinya. Batara Indra tidak marah malah mempersilahkan Raden Gatotkaca. Ki
Dadungawuk menjadi heran, bukankah Batara Indra pernah berkata untuk
menyerahkan Mahesa Danu untuk kepentingan orang bernama Bambang Parta. Batari
Durga kemudian menjelaskan “Dadungawuk, sesungguhnya Bambang Parta dan Raden
Permadi itu orang yang sama. Keduanya sama-sama nama julukan dari Raden Arjuna,
putra angkat Indra. Bambang Parta itu nama pemberian dari Prabu Basudewa yang
berarti putra Prita, nama lain Dewi Kunthi Nalibrata. Sedangkan Permadi adalah
nama pemberian dari Dewi Kunthi yang berarti kasih sayang yang melimpah dan
besar.” Ki Dadungawuk kini paham dan mempersilakan Raden Gatotkaca untuk
meminjam kerbau-kerbau Danu Pancal Panggung. Lalu, Dewi Kamaratih mempersilahkan
para bidadari pengiring menaiki kerbau-kerbau itu. Setelah dirasa cukup, Raden
Gatotkaca mohon pamit untuk kembali ke Amarta bersama 144 kerbau dan bidadari
itu.
Sementara itu, di gunung Kendalisada, Arya
Wrekodara datang menemui Resi Hanoman Mayangkara, sang kakak angkat. Arya
Wrekodara kemudian berterus terang “Kakang Hanoman, adikku Jlamprong butuh
bantuanmu. Aku ingin kakang jadi penari di saat pernikahannya dengan Bratajaya karena
ini salah satu syarat yang diminta kakang Bule.” “ohh dengan senang hati,
adikku. Aku gak keberatan.” Lalu Arya Wrekodara bertanya “Apa kakang gak malu?
Seorang ksatria jagoan bangsa wanara di Guwa Kiskenda mau menari di depan khalayak?”
“untuk apa malu. Justru ini sarana untuk mengabdi pada masyarakat. Toh aku
sekarang semakin tua. Aku sudah jenuh berperang dan ingin hidup damai. Sifat
jumawaku semasa muda sudah lama menggerogoti hati dan pikiranku. Mungkin dengan
menari di depan khalayak, semua kesombongan itu akan terkikis.” Arya Wrekodara
sangat berterima kasih, lalu dia bertanya lagi “kakang, dimana aku bisa
mendapatkan sebuah kereta melayang untuk pernikahan adikku? Kalau pinjam kereta
Jaladara milik kakang Cemani, itu sama saja curang.” “hmmmm.... seingatku
kereta semacam itu ada di utara. Di pulau Sailan, bekas negeri Alengkadiraja
sekarang namanya Singgelapura. Kereta itu namanya Puspaka. Akan ku temani kau
ke sana” Tanpa banyak bicara lagi mereka segera berangkat ke Pulau Sailan. Resi
Hanoman Mayangkara segera bertiwikrama menjadi monyet putih raksasa dan langsung
terbang bersama Arya Wrekodara.
Tak
butuh bebrapa jam, mereka pun sampai di pulau Sailan. Mereka mendarat di
pinggir pantai dan meneruskan perjalanan berjalan kaki. Sepanjang jalan, Arya
Wrekodara melihat keindahan pulau Sailan yang konon merupakan sebagian remukan
Gunung Jamurdipa itu. lalu mereka sampai di kota tua Alengka, bekas istana
milik Prabu Rahwana. Walaupun kota tua itu sudah lama menjadi kota mati dan
terbengkalai, keindahannya tetap lestari. Bunga-bunganya, pepohonannya, taman
Argasoka nya, air mancurnya, juga kolam dan sendangnya masih terjaga. Tak perlu
berapa lama, mereka sampai di kotaraja Singgelapura, nama baru Alengkadiraja.
Resi Hanoman mengajak Arya Wrekodara masuk ke keraton Singgelapura menghadap
pada Prabu Bisawarna, keturunan ke lima dari Prabu Dentawilukrama, putra Prabu
Arya Wibisana. Sesampainya di dalam keraton, Prabu Bisawarna menyambut mereka
dengan hangat, lebih-lebih Resi Hanoman Mayangkara yang disambut bak pahalawan
pulang perang “suatu kehormatan besar bagi saya bisa bertemu Hanoman Anjaneya*, sang wanara sakti. Sang Ramandayapati.*” “ahh, gusti prabu
terlalu menyanjung. Omong-omong, aku perkenalkan ini Raden Arya Bima dari
Amarta, biasa dipanggil Arya Wrekodara. Kedatangannya ke negeri gusti untuk
meminjam Kereta Puspaka milik gusti.” Prabu Bisawarna berubah kerut wajahnya.
Dia bimbang karena kereta Puspaka tidak boleh dipinjam dan digunakan oleh orang
sembarangan. Lalu Arya Wrekodara berkata “gusti gak usah khawatir. Yang akan
menggunakan kereta Puspaka itu adikku, Jlamprong. Nama aslinya Raden Arjuna.
Dia pemanah terbaik zaman ini Kami berdua
putra Pandu Dewanata, raja Hastinapura.” Prabu Bisawarna terkejut karena di
masa lalu, ayah sang Prabu Bisawarna pernah menjalin kerjasama dan meminta
bantuan pada Prabu Pandu Dewanata. Ayahnya bercerita bahwa Prabu Pandu pernah
berkata kelak salah satu putranya akan datang lagi ke Singgelapura meminta
bantuannya. Tanpa pikir-pikir lagi Prabu Bisawarna bersedia meminjamkan kereta
Puspaka. Arya Wrekodara berterima kasih sekali kepada Prabu Bisawarna. Begitu
Prabu Bisawarna membuka ruang pusaka, kereta Puspaka nampak indah gemerlapan
tiada kekotoran sedikitpun. Setelah dirasa cukup, mereka segera pamit pada sang
prabu dan menaiki kereta Puspaka kembali ke pulau Jawadwipa.
Di
tengah perjalanan menuju Amarta, rombongan Gatotkaca tiba-tiba dihadang
sepasukan orang bertopeng. Mereka berusaha merebut 144 kerbau dan bidadari yang
dibawa Gatotkaca. Mendapt serangan demikian, Raden Gatotkaca dan Ki Dadungawuk
tak tinggal diam. Ki Dadungawuk memerintahkan kerbau-kerbau gembalaannya
menyerang pasukan bertopeng itu, sementara Raden Gatotkaca terbang tinggi ke
angkasa sambil membawa kantung dan terbang berputar-putar dengan kecepatan
tinggi membuat angin kencang lalu memasukkan angin buatannya ke dalam kantung.
Begitu turun kembali ke bumi, kantung berisi angin itu dibuka dan angin
berhembus kencang menghempaskan pasukan bertopeng. Dari kejauhan di kegelapan
hutan, terlihat beberapa wajah kesal. Rupanya itu Patih Sengkuni, para Kurawa,
dan Arya Burisrawa. Mereka merekrut sejumlah orang untuk merebut sarana
sayembara itu. Mereka kemudian mundur kembali ke Hastinapura.
Hari
pernikahan pun tiba. Prabu Yudhistira bangga dengan adik-adik dan keponakannya.
Mereka berhasil memenuhi sarana sayembara. Ini adalah tanda bahwa memang Raden
Permadi dan Dewi Bratajaya berjodoh. Mereka pun berangkat ke Dwarawati. Setelah
beberapa lama mereka akhirnya sampai di pinggir pantai dekat pulau Dwaraka, kotaraja
kerajaan Dwarawati. Mereka masuk ke Taman Banoncinawi. Rombongan dari Amarta
nampak begitu mewah namun tetap bersahaja. Di depan ada Resi Hanoman Mayangkara
menari dengan anggun dengan sesekali gerakan jenaka untuk membuka jalan. Di
belakangnya berarak 144 Mahesa Danu Pancal Panggung yang masing-masing dinaiki
para bidadari yang menebarkan bunga-bunga harum sepanjang jalan. Kerbau-kerbau
itu digiring Ki Dadungawuk. Di belakangnya lagi, nampaklah kereta Puspaka
melayang di udara membawa para Pandawa, Dewi Kunthi, Dewi Drupadi, dan Dewi
Arimbi. Lalu benda itu turun dan keluarlah dari kereta indah gemerlapan itu
Raden Permadi yang memakai pakaian pengantin membawa kotak pemberian Batara
Indra. Raden Permadi kemudian membuka kotak itu dan seketika itu pula Balai
Kencana Saka Domas keluar dari dalam kotak dan langsung terpasang di taman
Banoncinawi berikut pelaminan dengan pohon Dewandaru-Jayandaru sebagai kembang
mayang dan Gamelan Lokananta. Beberapa dewa yang dipimpin Batara Kamajaya dan
Dewi Kamaratih turun ke marcapada dan segera menabuh gamelan Lokananta. Suara gamelan
pun merdu luar biasa. Suaranya sangat lembut namun cukup keras terdengar hingga
ke awang-awang. Prabu Kresna beserta keluarganya yaitu sang ayah, Begawan
Basudewa datang dan para permaisurinya, yaitu Dewi Rohini, Dewi Dewaki, dan
Dewi Badrahini menyambut rombongan Pandawa dengan penuh sukacita. Begawan
Basudewa menyambut gembira kehadiran rombongan mempelai pria.
Lalu
datang Prabu Baladewa yang marah-marah dengan sebab tak jelas. Dia datang
bersama Prabu Duryudana beserta adik-adiknya para Kurawa, patih Sengkuni, dan
Arya Burisrawa. Prabu Baladewa kemudian bercerita pada Prabu Kresna menuduh
pihak Pandawa main curang “aku mendapat laporan dari paman Patih Sengkuni kalau
para Pandawa telah mengambil paksa Mahesa Danu Pancal panggung dan para
bidadari dari tangan pasukan bertopeng yang dikirim adhi Prabu Duryudana. Begitu juga alat sayembara yang lain, juga
direbut paksa. Sudah jelas ini kecurangan.
Para Kurawa sudah capek-capek menyiapkan sarana sayembara buat adhi Burisrawa,
malah direbut dengan seenak hati. Pokoknya akan ku bunuh Permadi dengan
Nanggalaku.” Lalu Dewi Bratajaya maju ke hadapan lalu berlutut di depan sang
kakak yang dilanda amarah itu. “kakang Balarama, kalau kau ingin menghukum
kakang Arjuna-ku, hukum aku saja. Lebih baik aku saja yang mati daripada jatuh
korban yang lebih banyak. “ lalu Raden Permadi ikut maju dan berbaring di
hadapan Prabu Baladewa“hukum aku saja, kakang Prabu tapi biarkan rayi Sumbadra
tetap hidup. Cinta kami sepertinya tak ada apa-apanya di mata kakang prabu tapi
tolong biarkan rayi Sumbadra-ku tetap hidup.” Prabu Baladewa yang tadinya dilanda amarah
seketika berubah kerut mukanya. Matanya mulai sembap. Bibir dan badannya
bergetar. Nanggala di tangan pun terlepas. Perasaan haru dan pilu melingkupi
sanubari sang raja berkulit bule itu melihat ketulusan cinta sang adik bungsu
dan adik sepupunya itu sampai-sampai rela menyerahkan hidup mati. Hati
nuraninya kini berkata bahwa Patih Sengkuni dan para Kurawa sudah berdusta. Ia
kemudian memeluk Permadi dan Bratajaya lalu meminta maaf karena sudah terlalu
menuruti amarahnya tanpa mengorek kebenarannya. Prabu Baladewa kemudian
mengajak keduanya masuk ke Balai Kencana Saka Domas.
Arya
Burisrawa melihat pemandangan itu menjadi geram. Cintanya tak bersambut dan
kini gagal dengan cara curang. Burisrawa dilanda gandrung. Dia kemudian
mengamuk dan berusaha merebut Dewi Bratajaya dari tangan sang kakak ipar. Begitu
tangannya berusaha mendekat, Arya Setyaki dengan sigap meringkus putra mahkota
Mandaraka itu. lalu dia membawa Arya Burisrawa keluar kotaraja dan menghajarnya
hingga babak belur. Sejak dari awal, Arya Setyaki sudah gerah dan benci dengan
Arya Burisrawa. Kebencian itu bermula ketika sang ayah, prabu Setyajid
memenangkan Dewi Wresini dan membuat Bambang Narasoma alias Prabu Salya, ayah
Burisrawa kalah telak (saat itu Bambang Narasoma masih lajang dan belum mewarisi
aji Candhabirawa). Burisrawa yang terlahir berwajah buruk rupa ternyata juga
mewarisi kebencian ayahandanya terutama pada Arya Setyaki.
Upacara
pernikahan pun segera dilangsungkan. Setelah akad nikah, kedua mempelai duduk
di pelaminan yang di kanan-kirinya berdiri kembang mayang pohon
Dewandaru-Jayandaru.
Para bidadari berjumlah 144 turun dari kerbau-kerbau Danu
lalu bersamaan, mereka dan Resi Hanoman Mayangkara menari bedhaya menghibur
para tamu undangan dan kedua mempelai. Gamelan Lokananta yang mengalun merdu
bahkan terdengar hingga ke puncak kahyangan Jonggring Saloka di puncak
Mahameru. Kini Raden Permadi dan Dewi Bratajaya telah menikah. Prabu Yudhistira
kemudian berbicara pada sang adik dan ipar barunya “adhi berdua, kini kalian
sudah dewasa. Kurang pantas rasanya kalau kalian masih memakai nama kecil.
Sudah saatnya kalian memakai nama asli kalian. Kini adhi Permadi harus memakai
nama pemberian ayahanda dan adhi Bratajaya harus memakai nama aslimu juga, nama
pemberian paman Basudewa.” Dewi Kunthi, Begawan Basudewa, dan para istri juga
setuju atas usul Yudhistira. Kedua mempelai menurut. Mulai saat itu, Raden
Permadi menggunakan nama aslinya yaitu, Raden Arjuna dan Dewi Bratajaya
menggunakan nama pemberian sang ayah yaitu Dewi Sumbadra.
Parta Krama |
*Hanoman memiliki
beberapa dasanama/julukan, diantaranya Ramandayapati
=putra angkat Ramawijaya, Anjaneya=putra
Dewi Anjani, Suwiyuswa= panjang umur,
Mayangkara= roh suci, nama ini
dipakai pada zaman Mahabarata ketika sudah tua dan telah madeg menjadi pendita
di Kendalisada, Bayusuta, Perbancana Suta, Pawanasuta, Marutaputra=putra
sang Bayu, dewa angin, Anjila Kencana, nama kecil dari Anjani, Palwagaseta, Wanaraseta= kera putih, ,
Bambang Senggana, Haruta, Guruputra= putra Batara Guru, karena Hanoman
lahir karena Dewi Anjani memakan daun sinom yang ketumpahan benih sperma Batara
Guru, Kapiwara= jenderal perang para kera
dll.