Salam sejahtera semua. Semoga pembaca diberi kelimpahan karunia dari Yang Maha Kuasa. kisah kali ini adalah kilas balik (flashback) yang menceritakan tentang leluhur keluarga para Pandawa dan Kurawa. Sumber yang penulis pakai adalah Kitab Mahabharata karya Mpu Vyasa bagian Adiparwa, kitab Mahabharata yang ditulis ulang oleh Nyoman S. Pendit, dan Kitab Pustakaraja Purwa karya Ngabehi Ranggawarsita. Terdapat dua versi siapa leluhur Pandawa dan Kurawa. Pertama, menurut versi Kitab Mahabharata, leluhur Pandawa dan Kurawa adalah Prabu Yayati namun menurut Kitab Pustakaraja Purwa, leluhur mereka dalah Resi Manumayasa. Disini penulis mencoba menggabungkan kedua versi dimana kelak salah satu cucu keturunan Prabu Yayati menikah dengan keturunan Resi Manumayasa.
Selama
hidup mengasingkan diri dan melakukan tapa ngrame, Raden Permadi sering bertemu
beberapa brahmana dan para pendeta. Namun kali ini yang datang sungguh istimewa
karena yang datang adalah Maharesi Abiyasa, sang kakek yang jauh-jauh datang
dari Saptaharga. Kedatangan sang kakek bagaikan air sewindu yang mengucur dari
dalam kendi membasahi tubuhnya. Sejuk, dingin menyegarkan hatinya yang dilanda
gundah. Di pertapaan milik Permadi, Maharesi Abiyasa dijamu dan dilayani benar
oleh sang cucu. “ulun kakek Abiyasa, ada angin apakah sehingga kakek capek-capek
datang kemari?” “begini, cucuku. Kedatangan ku kemari untuk menyampaikan bahwa
tapa bratamu telah diterima para dewa. Apa yang telah kau lakukukan sudah
menebus dosa-dosamu terutama pada cucu Prabu Palgunadi dan cucu Dewi Anggraini.
Melihatmu seperti ini, aku jadi ingat kisah seorang anak muda yang merelakan
kemudaannya demi cintanya pada sang bapak. Akan kuceritakan kisah leluhur
wangsa kita, wangsa Yadawa dan wangsa Baharata.” Latar cerita berubah kembali
ke zaman silam.
Kisah Maharesi Sukra, Sangkacha, dan Dewayani
“Pada
zaman dahulu kala, saat itu raja yang berkuasa di Jawadwipa adalah Prabu Basupati,
putra dari Basurata (Srinada), putra Batara Wisnu mendirikan kerajaan Wirata,
Prabu Yayati, keturunan batara Brahma dari Begawan Atri yang menjadi raja
Kandaparasta, dan Prabu Parikenan, anak sulung Prabu Tritusta, seorang raja
percampuran trah Batara Wisnu dan Batara Brahma memimpin di negeri Gilingwesi.
Sebagai keturunan dewa, mereka bersatu memimpin kemakmuran di Jawadwipa pada masa
dulu. Meskipun demikian, mereka nyatanya tak tahu apa yang sebenarnya terjadi
di kahyangan dan di luar negara mereka. .
Jauh
di atas puncak Mahameru, di Kahyangan Jonggring Saloka, ketegangan antara para
dewa dan bangsa Yaksa (raksasa) yang ingin mendapat pengaruh di Marcapada tak
terhindarkan. Perang antara para Dewa dan para Yaksa berkecamuk dimana-mana baik
di kahyangan maupun di Marcapada. Keseimbangan di tiga dunia goyah dan
puncaknya adalah negeri Gilingwesi akhirnya hancur menjadi bawahan Kandaparasta
dan Wirata. Setelah mengungsikan ahli warisnya ke Wirata, Prabu Parikenan
kemudian moksa dan menjadi salah satu dewa bergelar Batara Parikenan. Keturunan
laki-lakinya, Raden Manumayasa memutuskan menjadi
pendita di tujuh puncak suci bergelar Resi Manumayasa, sedangkan putrinya yaitu
Dewi Kaniraras menikah dengan raja negara lain. Semua ini terjadi karena di
pihak bangsa Yaksa ada Maharesi Sukra. Maharesi Sukra sebagai guru bangsa Yaksa
sakti mandraguna, arif bijaksana, dan mampu membuat bangsa Yaksa tak
terkalahkan.
Di
bale-bale Sarilaya, Batara Narada mendatangi Batara Resi Wrehaspati, salah satu
putra Semar untuk meminta pertimbangannya soal bangsa yaksa yang tak
terkalahkan. Disamping putra Batara Guru yaitu Batara Ganesa yang kini menjadi
pendiri perpustakaan kahyangan, Batara Resi Wrehaspati juga sangat bijak dan
dijadikan guru beberapa dewa muda.”keponakanku, perang yang sudah tak
berkesudahan ini telah merenggut banyak korban jiwa, baik itu manusia maupun
para Yaksa sendiri. Bahkan negara Gilingwesi warisan Brahma hancur dan menjadi
bawahan negara lain. Di pihak dewata, jua banyak korban luka. Walaupun kita dan
para dewa lainnya sudah meminum dan bermandikan Tirta Amerta, namun tetap saja
bangsa yaksa tidak dapat dikalahkan. Apa semua ini salah Adi Guru yang telah memberikan
ajian gaib Sanjiwani kepada Sukra?” “tidak paman patih, Paman pukulun Batara
Guru tidak salah. Dia hanya menjalankan perintah Sanghyang Widhi yang Maha
Kuasa. Orang baik yang telah melayani-Nya selama seribu tahun pantas mendapat hadiah
agung hanya saja keadaan saat ini yang tidak pas. Untuk masalah ini, Aku akan
mengutus putraku Sangkacha untuk berguru pada sahabatku, Sukra.” Singkat
cerita, Batara Resi Wrehaspati memanggil Batara Sangkacha untuk berguru pada
Maharesi Sukra. Mendapat angin segar, Batara Sangkacha yang haus akan ilmu
pengetahuan menuruti perintah ayahnya dan segera turun ke negeri Parwata, negara
yang dipimpin Prabu Wresaparwa, tempat Maharesi Sukra tinggal.
Di
pertapaan hutan Saraparwata, Maharesi Sukra sedang dibuat bingung dengan
putrinya, Dewi Dewayani. Sudah dua hari tiga malam dia melamun, bersusah hati karena
kepergian sang ibu, Dewi Jayanti kembali ke kahyangan. Berbagai macam
penghiburan tak mampu membuat sang putri gembira ria. Di saat yang sama pula,
datanglah Batara Sangkacha mengutarakan keinginannya “Guru, aku putra
Wrehaspati, Sangkacha bersimpuh datang di hadapanmu. Izinkan aku menjadi
muridmu.” Gayung pun bersambut. Maharesi Sukra yang bijak tak pernah menolak
siapapun berguru padanya”baik, anakku. Kamu keturunan yang baik-baik. Ayah dan
kakekmu adalah keturunan dewa agung. Aku menerimamu sebagai muridku. Dan
ingatlah, anakku. Aku menerimamu sebagai tanda persahabatanku dengan ayahmu
akan tetap abadi walau kami bersebrangan haluan.”
Demikianlah, Batara Sangkacha
diterima sebagai murid Maharesi Sukra. Semua tugas kewajiban yang diberikan
oleh gurunya dikerjakannya dengan sungguh-sungguh. Salah satu tugasnya adalah
menghibur Dewi Dewayani, putri sang guru. Sangkacha diperintahkan menghibur
Dewayani dengan menyanyi, menari atau mengajaknya bermain. Lambat laun, Dewi
Dewayani berhasil melupakan kesedihannya.
Maharesi Sukra merestui Sangkacha menjadi muridnya |
Waktu
terus berjalan. Hubungan Dewayani dan Sangkacha semakin akrab dan dekat. Mereka
tak lagi dekat sebagai kakak dan adik, namun hampir seperti seorang pria dan
wanita dewasa yang dimabuk asmara. Benarlah kata orang tua dulu-dulu “Witing
tresna jalaran saka kulina,” Lama kelamaan, Sangkacha tertarik kepada putri
sang guru. Gayungpun sama-sama bersambut, Dewayani diam-diam juga jatuh cinta
pada Sangkacha. Namun, Sangkacha sadar bahwa dia sudah mengambil sumpah sebagai
brahmacarin mengikuti jalan hidup Batara Togog (Antaga), kakak Batara Semar.
Larangan keras baginya memiliki perasaan suka pada lawan jenis apalagi
keinginan untuk berkahwin. Itu sudah jatuh pantangannya. Di lain pihak, para
Yaksa murid Maharesi Sukra merasa curiga dan cemas, jangan-jangan Sangkacha
tidak tulus berguru dan hanya ingin memenuhi permintaan para dewa. Karena
kecurigaan mereka sudah di luar batas wajar, mereka sepakat untuk melenyapkan
Sangkacha.
Seperti
biasanya, Sangkacha menggembalakan ternak-ternak sang guru di padang rumput
selesai menerima pelajaran. Saat itu, Sangkacha sedang lelap tertidur di bawah
pohon. Di saat yang sama pula, para yaksa membekap mulut Sangkacha lalu menusukkan
pedang ke dadanya. Setelah Sangkacha tewas, jenazahnya dicincang habis lalu
dibiarkan menjadi makanan serigala. Sore harinya, ternak-ternak Maharesi Sukra
pulang ke kandang tanpa Sangkacha. Dewi Dewayani menjadi cemas “ayah,
ternak-ternak kita pulang tanpa kakang Sangkacha. Hari sudah petang. Waktu
sembahyang kita sudah hampir. Aku khawatir dia kenapa-napa. Ayah, tolonglah kakang
Sangkacha. Aku cinta padanya.” Permintaan sang putri satu-satunya dikabulkan.
Maharesi Sukra segera menjapa aji Pameling. Berkat aji Pameling itu, sang
maharesi tahu kalau Sangkacha telah tewas dan akan menjadi makanan serigala.
Karena itu, untuk menghidupkan kembali dan memanggil pemuda itu, ia menjapa
mantra ajian Gaib Sanjiwani. Seketika kemudian, Sangkacha hidup kembali dan
langsung berada di antara mereka dengan wajah yang sumringah. Dewayani bertanya
kenapa terlambat pulang. Sangkacha menjelaskan bahwa ada beberapa kaum yaksa
yang membekap dan membunuhnya saat menggembala. Namun bagaimana dia bisa hidup
lagi dia tak tahu.
Para
yaksa kecewa melihat Sangkacha hidup kembali. Tapi itu tidak mengendurkan
keinginan mereka untuk melenyapkan putra Wrehaspati itu. Hingga pada suatu
hari, angin bertiup cukup kencang di pertapaan Saraparwata. Angin itu membawa
terbang sekuntum bunga dari hutan dan bunga itu jatuh di pangkuan Dewi
Dewayani. “kakang Sangkacha, lihatlah bunga ini. Cantik, harum, dan merona
warnanya. Tolong carikanlah bunga ini di hutan kalau bisa pohonnya sekalian.
Akan kutanam di bale-bale sebagai penghias pertapaan.” Sangkacha menuruti putri
sang guru dan mencari bunga itu. para Yaksa yang tahu bahwa Sangkacha ke hutan
mencari bunga melihat kesempatan untuk kembali melenyapkan Sangkacha. Diam-diam
mereka membuntuti Sangkacha lalu di saat yang tepat mereka menyergap Sangkacha.
Sangkacha yang kekuatan dewanya disegel sang ayah tak bisa melawan lalu dibunuh
dan jenazahnya dicincang habis kemudian dibakar dan dibiarkan diterbangkan
angin hingga jatuh di sungai.
Berhari-hari
Dewi Dewayani menunggu Sangkacha namun sang pujaan hati tak kunjung pulang.
Akhirnya sang dewi mengadu pada sang ayah. Sekali lagi, Maharesi Sukra
menggunakan ajian Gaib Sanjiwani dan memanggil Sangkacha. Pemuda itu kembali
hidup. Para Yaksa semakin kesal dan geram mendapati Sangkacha kembali hidup.
Ketika ada kesempatan, mereka membunuh Sangkacha untuk ketiga kalinya. Kali ini
mereka sangat cerdik. Setelah membakar jenazah Sangkacha, abu Sangkacha
dicampurkan ke dalam tuak nira berkadar rendah yang mereka persembahkan kepada
Maharesi Sukra. Tanpa curiga, Maharesi Sukra meminum tuak nira yang manis itu.
Petang harinya, ternak-ternak yang digembalakan Sangkacha pulang sendiri. Dewi
Dewayani menjdi khawatir dan risau, takut kalau Sangkacha kembali dicelakai
para Yaksa. Sekali lagi, Dewi Dewayani menghadap sambil menangis, memohon agar
sang ayah menggunakan ajian Gaib Sanjiwani. “Ayah, ternak-ternak kita pulang
tanpa Sangkacha. Hatiku yang serapuh kapas di ujung ranting ini tak sanggup
kehilangan kakang Sangkacha lagi. Kakang Sangkacha, cucu Semar dan putra paman
Wrehaspati adalah pemuda yang tak tahu apa-apa. Dia cuma pemuda belia yang haus
akan ilmu pengetahuan. Dia sudah menyerahkan dirinya pada ayah. Aku mohon,
ayah. gunakanlah mantra ajian Gaib Sanjiwani sekali lagi.” Maharesi Sukra masih
tak bergeming. Sampai pada akhirnya, Dewi Dewayani mulai berpuasa, tak makan
dan tak minum selam tujuh hari tujuh malam. Badannya yang semula sintal menjadi
kurus kering. Mukanya yang cerah menjadi kisut dan layu.
Maharesi
Sukra tak tega melihat putri satu-satunya berduka. Dia marah pada para Yaksa
yang tega membunuh seorang brahmacarin yang masih belia itu. Pembunuhan
terhadap para pendeta dan resi terutama brahmacarin adalah dosa terkutuk. Kelak
mereka akan dibalas dengan siksaan kekal yang setimpal. Sekali lagi, Maharesi Sukra
menjapa mantra ajian Gaib Sanjiwani. Sekali lagi, Sangkacha hidup kembali dari
tuak nira namun dia berada di tempat yang gelap dan basah. “guru, aku ada
dimana ini? Tempat ini gelap, basah dan berlekuk-lekuk.” Maharesi Sukra
terkejut dengan kata-kata Sangkacha dan mendapati perutnya tiba-tiba membesar.
Maharesi itu terkejut “Hai Sangkacha, bagaimana bisa kamu bisa dalam tubuhku?
Apakah karena ulah para Yaksa? Sungguh terlalu mereka telah menipu aku dengan
tuak nira. Ingin kubunuh saja mereka namun sebelum itu ceritakan apa yang
sebenarnya yang terjadi,” Sangkacha kemudian menceritakan apa yang dialaminya.
Maharesi Sukra menyahut, “Kini aku, maharesi Sukra yang konon katanya luhur
budi dan suci, arif bijaksana telah ditipu oleh minuman tuak nira yang
memabukkan. Karena itu, demi kebaikan manusia dan semua makhluk-Nya, ku
peringatkan, siapapun yang menenggak anggur, tuak, arak dan segala minuman
memabukkan dengan tak bijaksana, maka kesucian dan keluhuran budi akan
meninggalkannya. Dosa akan menyelimuti dirinya. Itulah peringatanku dan kelak
akan termaktub dalam kitab-kitab suci sebagai suatu larangan yang tak boleh
dilanggar.” Kini maharesi itu memandang sang putri sambil berkata “putriku,
kini pilihan ada di tanganmu. Jika kau ingin Sangkacha hidup, relakanlah aku.
Dia harus keluar dari tubuhku dan itu artinya aku yang harus mati. Sangkacha
hanya bisa hidup di atas kematianku.”
Dewi
Dewayani yang mendapati perut sang ayah membesar menyadari bahwa Sangkacha kini
berada dalam perut ayahnya akibat ulah para Yaksa. Dan kini dia dihadapkan dua
pilihan yang mustahil itu. Dewi Dewayani hanya bisa menangis tersedu-sedan tak
bisa memilih. “aduh Jagat Dewa Batara, hyang Jagat Pramudita, ohh Sanghyang
Widhi yang Maha Kuasa. Ayah dan kakang Sangkacha adalah dua permata bagiku. Tak
sanggup bagiku kehilangan salah satu dari kalian.”
Sembari
mencari jalan keluar, Maharesi Sukra berkata pada Sangkacha “anakku, Sangkacha.
Kini aku tahu apa penyebab kamu berguru padaku. Kamu akan mendapatkan apa yang
kamu inginkan. Satu-satunya jalan yaitu aku harus mengajarkan ajian gaib
Sanjiwani kepadamu, anakku. Akan ku ajarkan ajian itu. Tapi kamu harus janji
setelah keluar dariku, kamu harus menggunakannya untuk menghidupkanku lagi.”
Sangkacha berjanji bahkan bersumpah akan menghidupkan kembali sang guru.
Begitulah, Maharesi Sukra kemudian mewejangkan ajian Gaib Sanjiwani kepada
Sangkacha. Sangkacha yang cerdas langsung paham dan menyatakan siap keluar dari
tubuh sang guru. Sejenak kenudian, Maharesi Sukra mengambil sebilah keris lalu dia
menusuk dan merobek perutnya dengan keris itu. Seketika itu juga, Sangkacha
keluar dari dalam perut sang guru, sementara sang Maharesi Sukra langsung
rubuh, wafat dengan luka besar menganga di perutnya. Dewi Dewayani menangis
terisak-isak melihat kondisi sang ayah yang begitu mengenaskan. Sangkacha
menepati sumpahnya. Dia kemudian bersimpuh dan memerciki sang guru dengan air
Tirta Amerta yang dibawanya dari kahyangan Jonggring Saloka lalu menjapa mantra
ajian Gaib Sanjiwani. Sangkacha berkata sambil menahan tangis, “Guruku yang
telah ikhlas dan tulus memberikan ilmu pada muridnya bagaikan cinta seorang
ayah pada putra-putrinya. Karena aku keluar dari tubuhmu, maka guru juga ayah
kandungku.” Seketika kemudian, luka yang menganga di perut Maharesi Sukra
langsung tertutup tanpa bekas dan maharesi Sukra terbangun kembali dari
kematian. Dewayani dan Sangkacha kemudian memeluk sang Maharesi lalu Maharesi
Sukra mengajak mereka untuk bersyukur kepada Sanghyang Widhi yang Maha Pemurah.
Setelah
peristiwa itu, Sangkacha tetap menjadi murid sang guru selama bertahun-tahun.
Sampai pada saatnya dia harus kembali ke alam kahyangan. Maharesi Sukra
mengizinkan sang murid budiman pergi, kembali ke alam kahyangan. Namun tidak
bagi Dewayani, hati Dewayani yang sudah terpaut cinta tak sanggup melepas
Sangkacha. Di saat itu pula, Dewi Dewayani mengajak Sangkacha ke suatu tempat
lalu tibalah mereka di padang rumput yang indah, sunyi dan penuh dengan
bunga-bunga indah berwarna-warni.
Di hadapan Sangkacha, Dewayani mengutarakan
perasaannya selama ini “ kakang Sangkacha, cucu Semar. Telah lama merendam selasih, baru kini mengambang jua. Telah lama ku pendam kasih, baru kini ku
utarakan jua. Aku putri Sukra, telah terpaut kasih dan cinta padamu. Kakang
jangan pergi. Nikahilah aku dan berbahagialah kita di sini. Hidupku kosong
hampa bagaikan lumbung tanpa padi bila tiada kau.” “adhi Dewayani, aku hargai
ketulusan dan cinta mu. Aku pun sama jatuh cinta padamu namun cinta tak harus
memiliki. Aku sudah bersumpah menjadi Brahmacarin mengikuti eyang batara Antaga
dan lagipula aku telah lahir kembali dari tubuh ayahmu seperti halnya lahirnya
Citragupta Sang Suratma dari tubuh Batara Brahma. Kini kita adalah saudara
kandung. Tak pantas putri seorang pendita linuwih sepertimu menikahi saudara
kandungnya.” Dewi Dewayani menjadi berang lalu berkata “kau putra Batara
Wrehaspati yang patut kuhormati dan bukan anak ayahku. Aku yang menyebabkan kau
bisa hidup kembali, karena aku mencintaimu dan mengharapkan engkau menjadi
suamiku. Tidak pantas engkau meninggalkan aku yang tidak berdosa ini tanpa memberiku
kesempatan untuk mengabdi kepadamu.” Sangkacha menjawab dengan lembut “ aduh,
putri Mahaguru Sukra. Jangan mencoba membujukku untuk melakukan pantangan itu. kau
sudah cantik jelita dan sekarang kau sedang marah begini jadi semakin ayu. Tapi
aku tetap saudara kandungmu. Abdikanlah hidupmu untuk melakukan kebaikan di
bawah bimbingan ayah. Relakanlah aku pergi menghadap ke pada bapakku Batara
Wrehaspati. “ Dewayani yang marah sekali melontarkan kutuk pasu “Sangkacha, kau
telah mengecewakan aku. Aku mengutukmu agar ilmu yang kau pakai tidak akan
berguna pada dirimu.” Batara Sangkacha yang telah mendapatkan kembali kekuatan
dewanya berkata “meskipun ilmu yang ku pakai tak akan berguna padaku, namun
akan tetap berguna bila aku memberikan dan menularkannya pada orang lain.”
Kemudian Batara Sangkacha terbang kembali ke kahyangan. Dewi Dewayani merasa
sakit tak terperi lalu mendengar suara dari angkasa “Aku Sangkacha, seorang
brahamacarin dan putra Wrehaspati telah dikutuk oleh Dewayani, seorang wanita
luhur. Maka aku pun lontarkan kutuk pasu padamu. Keinginan untuk memiliki tanpa
mau merelakan akan membuatmu sengsara. Kelak kau akan dikecewakan oleh
sahabatmu sendiri lalu kau akan diselingkuhi dan dimadu olehnya. Di saat itu
hatimu yang perih akan hancur lebur” Hati Dewayani semakin terasa perih tak
tertahankan.
Sangkacha kembali ke kahyangan |
Kisah Dewayani, Sarmista, dan Yayati
Lambat
laun, Dewayani mulai melupakan kutuk pasu dari Sangkacha. Dia mulai menjalani
kehidupan dengan biasa. Sampai pada suatu hari, dia bersama Dewi Sarmista,
sahabatnya, putri tunggal Prabu Wresaparwa raja negeri Parwata mandi di telaga
bersama dayang-dayangnya. Awalnya mereka bergembira. Namun tiba-tiba, angin
puting beliung datang berembus kencang menerbangkan kain selendang mereka
hingga menjadi bertumpuk-tumpuk. Setelah mandi dan berpakaian, ternyata terjadi
kekeliruan. Selendang milik milik Dewi Dewayani dikenakan Dewi Sarmista,
terjadi lah peristiwa rebutan selendang “ alangkah tak sopannya putri seorang
murid memakai selendang milik putri sang guru. Sarmista kembalikan
selendangku!” Dewi Sarmista merasa tersinggung dengan kata-kata Dewi Dewayani
lalu berkata “lancang kau .apa kau tidak sadar Dewayani, ayahmu selalu meminta
belas kasih dari ayahku. Sadar dirilah kau, putri pengemis” Dewi Sarmista
kemudian mendorong Dewi Dewayani ke dalam sebuah luweng besar lalu
meninggalkannya sendiri.
Dewi
Dewayani menjadi sedih. Kutuk pasu Sangkacha yang pertama telah terjadi. Dia
telah dikecewakan sahabat sendiri. Dewi Dewayani cemas dan takut karena tak
bisa keluar dari luweng besar itu lalu berteriak minta tolong. Kebetulan, datanglah
Prabu Yayati, raja Kandaparasta yang kebetulan sedang berburu di hutan dekat
dengan tempat Dewayani jatuh. Dia turun dari kudanya dan melihat ke dalam
luweng besar itu seorang wanita cantik di dalamnya “siapa kamu, ni sanak? Aku
Yayati dari Kandaparasta. Bagaimana bisa kau berada di dalam luweng ini?” Prabu
Yayati kemudian mengambil tali tmbang lalu melemparkannya kedalam luweng. Dewi Dewayani
sambil meraih tali itu berkata “ Aku Dewayani, putri Maharesi Sukra dari negeri
Parwata. Tolong bantu aku.” Setelah memanjat tali itu, Dewi Dewayani meraih
tangan Prabu Yayati. Begitu bertatap mata, Dewi Dewayani teringat pada
Sangkacha, sang kekasih. Wajah Prabu Yayati yang tampan dan berperawakan gagah
mirip seperti Sangkacha membuat sang dewi jatuh cinta lagipada sang raja muda. Dewayani
tidak ingin kembali ke kotaraja kerajaan Parwata. Ia merasa tinggal di sana
sudah tidak aman lagi, lebih-lebih jika ia ingat perbuatan Sarmista. Karena
itu, ia berkata kepada Yayati, “Kau telah memegang tangan kanan seorang putri,
berarti engkau harus menikahinya. Aku yakin, dalam segala hal kau pantas
menjadi suamiku.” “tunggu dulu, ni sanak. Kau putri seorang pendita, seorang
Brahmana dan aku seorang raja ksatria. Kastamu lebih luhur dari kastaku. Apa
kata dunia nanti jika kita menikah. Apa mungkin putri Maharesi Sukra yang agung
dan setara sang Wrehaspati menjadi istri seorang ksatria sepertiku. Ibarat
sebuah kembang putih, tak pantas bagimu mendapatkan lebah tanah sepertiku.
Kembalilah ke Parwata, Dewayani” setelah
berkata demikian, Prabu Yayati kembali ke Kandaparasta.
Sepeninggal
Prabu Yayati, Dewi Dewayani memutuskan tinggal di hutan yang jauh dari kotaraja
Parwata. Dia memilih bertapa di dalam batang pohon yang berlubang. Setiap hari
dia duduk bersemedi, bertapa brata merenungi nasibnya yang selalu gagal dengan
urusan asmara. Akibat tapa bratanya itu, seluruh marcapada dan kahyangan
Jonggring Saloka berguncang hebat. Kawah Candradimuka bergolak memuntahkan
lahar panas dan menyelimutkan awan panas di sekitar puncak Mahameru. Para
bidadari, bidadara, dan para dewa menjadi kepanasan. Batara Guru segera
memerintahkan Batara Indra mendatangi Maharesi Sukra untuk membujuk sang putri agar
berhenti bertapa brata.
Batara
Indra datang ke pertapaan Saraparwata dan mengabarkan pada Maharesi Sukra
“ampun Maharesi yang agung. Ramanda pukulun Batara Guru memerintahkan hamba
untuk mengabarkan putri Maharesi, Dewayani bertapa brata sangat kuat hingga
membuat kahyangan bergoncang hebat.” Maharesi Sukra menjadi semakin sedih
mendengar kenyataan itu. sang putri yang tak balik-balik ke pertapaan kini
membuat kahyangan menjadi kerepotan. Dia meminta maaf kepada Batara Indra lalu
segera pergi menyusul sang putri. Sesampainya di tempat sang putri tercinta,
dia mendapati Dewayani nampak menyedihkan. Kantung matanya gelap dan sayu
karena lama menangis. Wajahnya keruh kisut karena marah dan kecewa. Badannya
yang berisi kembali kurus kering karena banyak pikiran. Segala kekalutan,
kemarahan, kekecewaan, dan kegalauan menyelimuti hatinya. Auranya begitu kelam.
Maharesi Sukra kemudian menghibur sang putri kesayangan “Anakku sayang,
kebahagiaan dan kesengsaraan seseorang merupakan akibat dari perbuatannya sendiri.
Kalau kita bijaksana, kebajikan atau kejahatan orang lain tidak akan
mempengaruhi kita.” Dewayani bukannya bangun dari tapa bratanya malah semakin
jumawa meneruskan laku tapanya. Alam semakin bergejolak. Tanah mulai bergegar
dan terbelah. Angin taufan berembus kencang, hujan turun sangat lebatnya dengan
kilat dan halilintar yang mengerikan. Bumi gonjang-ganjing, langit kolap-kalip.
Hutan tempat Dewi Dewayani bertapa dilanda banjir dahsyat. Maharesi Sukra
menjadi semakin khawatir lalu berkata “ anakku, jangan teruskan. Alam akan
murka balik pada kita. Ceritakanlah apa masalahmu padaku. Jangan lampiaskan
dengan menyengsarakan makhluk-Nya.” Hati Dewayani pun luluh dan dia segera
menghentikan tapa bratanya. Seketika alam kembali tenang. Kemudian Dewi
Dewayani menangis dan menceritakan segala yang dialaminya, mulai dari dihinakan
Dewi Sarmista hingga ditolong oleh Prabu Yayati dari luweng. Dengan tenang,
Maharesi Sukra meyakinkan sang putri “putriku, semua hal di Marcapada ini ujian.
segala pujian,olok-olok, dan caci maki juga merupakan bentuk ujian hidup.
Sungguh mulia orang yang bisa belajar dan memaafkan segala caci maki. Ibarat
seorang sais kereta yang berhasil menaklukan dan mengendalikan kuda-kudanya
yang liar. Telah banyak kitab-kitab suci mengatakan bahwa orang yang kuat
bukanlah seorng petarung namun orang yang mampu menahan amarahnya, melepaskan
egonya dan memaafkan kesalahan dengan tulus ikhlas. Orang yang mampu menahan amarah
dan ego lebih mulia derajatnya dibandingkan orang saleh yang beribadah seribu
tahun. Kesalehan, kebaikan, teman, keluarga, pelayan, dan kebenaran akan
menjauhi sesiapa yang tak mampu menahan nafsu amarahnya.” Dewi Dewayani
kemudian memeluk sang ayahanda “Ayah, diriku ini masih terlalu muda untuk paham
apa yang ayah ucapkan. Namun yang aku tahu, sungguh tiada pantas bagiku hidup
bersama orang-orang yang tidak mengenal unggah-ungguh. Putri gusti Prabu
Wresaparwa, Sarmista telah kehilangan unggah-ungguhnya dengan mengambil selendangku
lalu mencampakkan aku ke dalam luweng. Aku sangat marah dan kecewa padanya.
Segores luka di badan masih bisa sembuh dengan obat dan jamu, namun luka di
kalbu ini karena kata-kata cacian Sarmista tak akan bisa sembuh walau telah
berlalu seribu tahun, ayah.” Gagal membawa pulang sang putri, Maharesi Sukra
mendatangi Prabu Wresaparwa.
Prabu
Wresaparwa, raja negeri Parwata, meskipun sang raja berparas Yaksa yang
berwajah sangar, dia adalah raja yang saleh, berbudi, dan arif bijaksana. Dia
tak pernah membeda-bedakan rakyatnya baik dari bangsa manusia biasa maupun
bangsa Yaksa. Hukum di sana dtegakkan dengan adil. Dia dikarunia lima orang
putra dan satu orang putri, yaitu Sarmista. Kelima putranya yang berparas Yaksa
sangat berbudi, baik perangainya, tenang pembawaannya, dan teguh pendirian tapi
berbeda dengan Dewi Sarmista yang berparas bak bidadari, kelakuannya begitu
manja dan genit. Walaupun dia putri yang baik, kata-kata yang diucapkannya ceplas-ceplos
tak jarang membuat siapapun sakit hati. Sang prabu yang kedatangan Maharesi
Sukra segera membri hormat berikut para putra-putri, petinggi, patih dan para
menteri. Maharesi Sukra kemudian berkata “ Anak prabu Wresaparwa, sebuah dosa
tidak akan menghancurkan manusia seketika namun lambat laun dapat menghancurkan
hubungan antar sesama makhluk Tuhan. Sangkacha, putra sahabatku, Batara
Wrehaspati sudah bersumpah brahmacarin dan tak akan berlaku serong. Beberapa
rakyat anak prabu telah beberapa kali berusaha melenyapkannya namun selalu
berhasil kuhidupkan kembali dia. Kini putri anak prabu, Dewi Sarmista telah
kehilangan unggah-ungguhnya dengan menghina putri kesayanganku, Dewayani hingga
dia jatuh terjerembab ke dalam luweng di tengah hutan. Sekarang dia tak mau
kembali ke Parwata dan tapa bratanya telah dirasakan bukan hanya di negeri ini
tapi juga sampai ke Jonggring Saloka. Karena dia tak mau balik ke Parwata, aku
akan pergi dari negerimu, anak Prabu.”
Mendengar
hal itu, Prabu Wresaparwa menjadi khawatir. Dengan perginya Maharesi Sukra,
negeri Parwata akan hancur. Lalu dia berkata, “Ampun, bapa Maharesi. Aku tak
mengerti mengapa anda melontarkan tuduhan seperti itu. seperti kata pepatah
tua, ‘Anak polah, Bapa kepradah,’
hamba bersedia menanggung kutuk dan derita apa yang akan ditimpakan nimas ayu
Dewayani pada hamba.” “Hmm...baiklah, anak prabu. Kau kuizinkan untuk membujuk
dan menenangkan putriku.” Maka pergilah Prabu Wresaparwa bersama putrinya, Dewi
Sarmista untuk melunakkan hati batu Dewi Dewayani. Sesampainya disana, Prabu
Wresaparwa dan Dewi Sarmista berlutut dan memohon agar Dewayani tidak
meninggalkan negeri Parwata. Namun Dewi Dewayani justru memasang wajah kecut
dan berkata, “Sarmista, sahabatku. Dia yang dekat di hatiku telah
mengata-ngataiku anak pengemis. Dia harus merasakan bagaimana rasanya menjadi
orang hina dan dia harus menjadi dayang-dayangku di rumahku sampai hari
pernikahanku nanti. Baru setelah itu dan setelah itu, dia bisa kembali menjadi
seorang putri terhormat.” Prabu Wresaparwa menerima tuntutan itu.
Dewi Sarmista
yang telah insaf dan tobat dari kesalahannya seketika itu juga segera berganti
pakaian. Bukan lagi sebagai putri raja gung binantoro yang terhormat, melainkan
sebagai dayang-dayang hina papa, “Dewayani, maafkan kesalahanku. Aku terlalu
picik sampai tak menyadari kau adalah putri pendita agung yang harusnya
kuhormati. Negeri ayahku tak pantas kehilangan Maharesi kebanggaannya dan inilah
balasan atas kesalahanku.” Dewi Dewayani hatinya luluh dan memaafkan kesalahan Dewi
Sarmista.
Dewi Sarmista menjadi dayang-dayang Dewi Dewayani |
Selama
menjadi dayang-dayang, Dewi Sarmista melayani Dewi Dewayani dengan baik dan
begitu sebaliknya, dia juga begitu disayang oleh Dewayani dan Maharesi Sukra.
Pada suatu hari, Dewi Dewayani kembali bertemu dengan Prabu Yayati. Dia
mengulang kembali permintaannya, minta dinikahi sang Prabu dari Kandaparasta
itu. Prabu Yayati menolak. Katanya, sebagai ksatria ia tidak dibenarkan
mengawini seorang wanita berkasta brahmana. Memang kitab-kitab Sastra tidak membenarkan
hal itu, tetapi sekali perkawinan seperti itu terjadi, tak ada yang boleh
membatalkannya dan perkawinan itu sah. Singkat cerita, pada akhirnya, setelah
mendapat restu dari Maharesi Sukra, Prabu Yayati bersedia menikahi Dewayani
dengan syarat Dewayani tak boleh dimadu orang lain. Mereka hidup berbahagia bertahun-tahun
lamanya. Dari pernikahan itu, mereka dikaruniai dua orang putra, Raden Yadu dan
Raden Turwasu.
Kutuk Pasu Maharesi Sukra
Meskipun
masa hukuman Dewi Sarmista telah berakhir dia masih betah mengikuti kemanapun
Dewi Dewayani tinggal. Diam-diam dia telah jatuh cinta pada Prabu Yayati. Hingga
pada suatu malam, perasaan cintanya tak bisa disembunyikan lagi. Malam itu,
Dewi Sarmista bertemu Prabu Yayati yang kebetulan sedang sendirian di tamansari.
Dia mendatangi sang prabu sambil merangkulnya dengan genit dan manis manja
“ampun gusti prabu, hati yang terpaut asmara tak bisa di lepaskan. Aku jatuh
cinta pada gusti. Izinkanlah aku menjadi istri permaisurimu. Kalau tidak
berkenan, jadikan selir bahkan selingkuhan juga tak mengapa.” “Aduhai, genit
dan manjanya dirimu. Kau ternyata bahkan lebih menggairahkanku, dewiku. Dewayani
tak ada apapun bila dibandingkan dengan dirimu. Baiklah aku akan menikahimu
secara gandarwa dan diam-diam.” Karena kegenitan Sarmista dan Prabu Yayati yang
mulai bosan dengan Dewayani, mereka pun menikah diam-diam. Dari pernikahan itu,
Dewi Sarmista dikaruniai tiga orang putra, Raden Drahyu, Raden Hanu, dan Raden
Puru.
Awalnya
perselingkuhan itu tak terendus dan sangat rapi disembunyikan oleh Prabu Yayati
selama bertahun-tahun, namun sepandai-pandainya
orang menyimpan bangkai, pasti akan tercium pula busuknya. Itu juga berlaku
dengan perselingkuhan itu. Pada suatu hari yang cerah, Dewi Dewayani pergi
mengunjungi sang ayah. Di tengah jalan dia dikepung tiga orang pemuda bertopeng.
Karena mempelajari ilmu beladiri dari sang ayah , Dewi Dewayani mampu mengalahkan
tiga orang pemuda dan membuka topeng mereka. Dia terkejut melihat ketiga pemuda
itu. Wajah mereka tampan rupawan dan berwibawa mirip dengan Prabu Yayati, sang
suami. Lalu mereka ditanyai “siapa kalian, anak-anak muda? Melihat wajah
kalian, kalian mirip sekali dengan suamiku. Katakan siapa orang tua kalian?.”
“ampun gusti kanjeng ratu permaisuri, nama hamba Puru dan ini kakak-kakak saya,
Drahyu dan Hanu. Kami putra kanjeng ibu Sarmista, putri negeri Parwata. Ayah
kami adalah seorang pengembara bernama Yayati.” Terkejut sekali dengan
penuturan mereka, namun dia mencoba untuk tetap tenang. Dewi Dewayani segera
memerintahkan tiga pemuda itu untuk tinggal di keraton Kandaparasta
“Anak-anakku, aku Dewayani, ibu tiri kalian. Ayah kalian adalah raja di
Kandaparasta. bergabunglah bersama putra-putraku di sana. Mereka juga saudara
kalian. Tuan sais, antarkan mereka ke Kandaparasta. beritahukan pada Yadu dan
Turwasu bahwa mereka adalah saudara seayah.” Tanpa banyak bicara, sang sais
mempersilakan tiga putra Yayati itu dengan sopan lalu mereka kembali ke
Kandaparasta. Sepeninggal mereka, Dewi Dewayani tak henti-hentinya menangis
sepanjang jalan menuju negeri Parwata. Kutuk pasu kedua dari Sangkacha telah
berlaku. Sang dewi telah diselingkuhi dan dimadu oleh sahabatnya sendiri.
Hatinya yang baru mengecapkan bahagia kini kembali hancur ke dalam kepahitan
yang tak terperi.
Sesampainya
di pertapaan sang ayah, dia mendapati ayahnya sedang bersama sang suami. Mereka
terkejut melihat Dewi Dewayani datang dengan wajah sedih dan menangis
terisak-isak.. Prabu Yayati hendak memeluk sang permaisuri namun ditampik oleh
permaisurinya itu. Maharesi Sukra kemudian bertanya pada sang putri. Dewi
dewayani kemudian bercerita “Ayah, kau lihat menantu kesayanganmu ini. Bahkan
seekor ayam betinapun tak akan rela bila sang jantan bersama betina lain. Aku
telah diselingkuhi dan dimadu oleh Sarmista, putri Wresaparwa, sahabatku
sendiri. Buktinya ada. Kini ketiga putra hasil perselingkuhan mereka ada di
Kandaparasta. “ Maharesi Sukra menjadi berang, murkanya sudah tak tertahankan
lagi. Matanya merah karena marah. Pipi dan telinganya juga merah padam. Giginya
bergemeretak. Auranya berubah menjadi merah semerah darah. Aura itu membuat
negeri Parwata dilanda huru-hara. Seisi negeri Parwata dilanda banjir dahsyat
dan hancur berkeping-keping saking begitu dahsyatnya aura kemurkaan sang
pendita agung. Lalu Maharesi Sukra melontarkan kutuk pasu pada sang menantu “anak Prabu Yayati, kau sudah menduakan hati
putriku. Kini dia sakit hatinya tak terperi. Kau telah kehilangan segalanya. Segala
wibawa, kesaktian, kehormatan, kemegahan, keperkasaan bahkan keremajaanmu telah
hilang musnah dari hadapanku! Semua itu sudah sirna ilang kertaning bumi bersama perselingkuhanmu!” Bukan main
hebatnya kutuk pasu yang terlontar dari mulut Maharesi Sukra. Bumi
gonjang-ganjing, langit kolap-kalip.
Seketika itu juga rambut Prabu Yayati
menjadi putih beruban. Tubuhnya yang gagah menjadi lemah dan jompo. Kulitnya
yang mulus menjadi keriput bergelambir. Prabu Yayati telah terkutuk menjadi
seorang kakek-kakek tua bangka bau tanah sebelum waktunya. Prabu Yayati
menerima kutuk pasu itu dan menangis sejadinya memohon agar kutuk itu dicabut
namun apa yang dikatakan Maharesi Sukra sungguh membuatnya hilang semangat
“anak prabu, kutuk pasu yang dilontarkan seorang resi adalah keniscayaan. Sebab
sabdo pandita ratu, sabdo resi tan keno
wola-wali. Aku tak bisa mencabut kutuk-ku kecuali ada seseorang yang
sukarela menukarkan keremajaannya dengan ketuaanmu.”
Prabu Yayati Ingin Muda Kembali
Prabu Yayati mendapatkan kutuk pasu |
Prabu Yayati Ingin Muda Kembali
Prabu
Yayati memang masih belum puas dengan gairah masa mudanya. Dia ingin menukar
wajah tuanya dengan wajah muda seseorang. Akhirnya dipanggillah kelima putranya
ke balairung keraton. Lalu berkatalah ia dengan lembut “putra-putraku, aku
telah mendapat kutuk pasu dari Maharesi Sukra, kakek kalian. Aku berubah
menjadi orang tua lemah dan renta sebelum masanya. Padahal aku masih ingin
menikmati kegairahan masa muda dan mengecap kenikmatan duniawi. Ketahuilah, para
putraku, sejak muda aku hidup dengan mengekang hawa nafsu, menolak semua
kesenangan duniawi walaupun kesenangan itu wajar dan tidak melanggar aturan
kitab-kitab suci. Setelah menikah, belum lama mengecap kebahagiaan, tahu-tahu
aku menjadi jompo dan renta. Sebab itu, salah seorang dari engkau hendaknya membantuku
memikul beban azabku, mengambil ketuaanku dan memberikan kemudaanmu padaku. Siapa di
antara kamu yang bersedia menolongku akan kuangkat menjadi raja negeri ini.” Pertama-tama dia bertanya pada Raden Yadu,
sang putra sulung. Raden Yadu kemudian berkata dengan lembut “duh, ayahanda
Prabu. Seluruh dayang-dayang dan pacarku bisa terkejut dan menertawaiku bila aku
menjadi tua renta di usiaku yang muda ini. Aku tak sanggup memikul bebanmu,
ayahanda. Coba tanyai adik-adik. Mungkin salah seorang dari mereka mau.”
Prabu
Yayati kemudian bertanya pada Raden Turwasu lalu Raden Turwasu menolak dengan
halus “ Ayahanda Prabu, Jikalau saya menjadi tua berarti keamanan dan kekuatan
negara ini juga di ujung tanduk. Siapa yang akan menjaga negara sementara salah
satu panglima perangnya menjadi tua jompo.” Prabu Yayati walau kesal dengan
penolakan Turwasu, tapi masih menerima alasan penolakan itu. Lalu dia bertanya
pada Raden Drahyu, putra ketiga. Lalu Raden Drahyu berkata ”mohon ampun
Ayahanda Prabu, jikalau saya menjadi tua bicara jadi gemetar, naik gajah atau
berkuda juga susah. Saya tak sanggup menanggung ketuaan itu sebelum masanya.”
Prabu Yayati mulai tak sabar dengan penolakan itu namun ditahannya lalu dia
mendekati Raden Hanu dan bertanya, “Hanu, putraku. Mahukah kamu menukarkan
kemudaanmu dan menggantikan aku menanggung azabku ini?” “Duh ayahanda Prabu,
yang aku tahu orang tua tak akan bisa mandiri lagi. Bahkan untuk buang air saja
harus dibantu. Aku terpaksa juga harus meminta bantuan orang lain. Aku tak
sanggup menjadi tua untuk saat ini dan merepotkan orang lain.” Prabu Yayati
menjadi kalut hatinya. Amarahnya yang ditahan tak mampu dikendalikan lagi. Lalu
dia melontarkan kutuk pasu pula pada keempat putranya “duhh jadi anak kok tidak
mau berbakti. Kalian berempat ingin memang ingin dapat tulah dariku.. Hei Yadu,
kelak tanah negerimu tandus sehingga kau, anak keturunanmu, dan rakyatmu jadi
gembala ternak. Hei Turwasu, kelak ada anak turunanmu yang tak akan berbudi. Hei,
Drahyu, kelak negerimu bakal sering dilanda banjir dan harus pindah ke gunung sehingga
anak keturunanmu menjadi raja di gunung dan hei Hanu, kelak akan mati dalam
usia muda dan anak turunanmu terusir dari tanah kelahirannya sendiri.” Sesudah
melontarkan kutuk pasu itu, Prabu Yayati yang tua jompo menjadi lemah dan lelah karena
mengeluarkan kutuk pasu. Lalu dia dipapah oleh Raden Puru, sang putra bungsu
lalu Raden Puru berkata “Ayahanda Prabu, aku sanggup menukar keremajaanku
dengan ketuaan milik ayahanda. Dengan senang hati aku menerima azab dari kutuk
pasu milik kakek Maharesi.” Seketika itu juga, wajah Raden Puru berubah menjadi
tua jompo sementara Prabu Yayati kembali menjadi muda belia.
Seakan
tak menyadari kesalahannya, Prabu Yayati bukannya bertobat malah melampiaskan
segala hawa nafsunya. Sepanjang malam, dia berpesta pora sampai mabuk dan bukan
hanya mabuk minuman saja tapi mabuk wanita. Dia kemudian pergi ke Taman Batara
Kuwera, pergi bersenang-senang melampiaskan nafsu supiah dan aluamah. Dia reguk segala kenikmatan duniawi tanpa kenal ampun dan tanpa kenal
puas. Dewi Dewayani menjadi semakin sedih. Kemudian dia memutuskan pergi dari
Kandaparasta mengasingkan diri di pertapaan Saraparwata bersama ayahnya,
Maharesi Sukra sampai akhir hayat. Begitupun Dewi Sarmista, dia memilih kembali
ke negeri Parwata yang telah hancur lebur dan hidup menyendiri sebagai petapa
selama sisa hidupnya. Anak-anak sang prabu juaga meninggalkan sang prabu
kecuali raden Puru. Raden Yadu meninggalkan Kandaparasta dan mengawali hidup
menjadi peternak lembu di pinggir bengawan Yamuna. Dari hasil usahanya dia membabat
hutan dan mendirikan negeri para peternak dan penggembala bernama Kerajaan Woja
(kelak bernama negeri Mandura) dan menjadi pemimpin disana bergelar Prabu Yadu.
Keturunan Prabu Yadu menamai diri mereka dengan Wangsa Yadawa. Raden Turwasu
juga mendirikan kerajaan Giribajra di gunung Citayaka (kelak salah satu
keturunan Prabu Turwasu ada yang tak berbudi dan sesat yaitu Prabu Jarasandra
alias Jaka Slewah). Raden Drahyu yang meninggalkan keraton dan tinggal di
lembah sebagai petani selalu dilanda kebanjiran sehingga dia dan keluarganya
mendirikan desa di Pegunungan Gandara. Setelah desa itu besar, desa itu berubah
kota lalu berubah lagi menjadi negara berdaulat bernama Kerajaan Gandara
(negara asal Dewi Gendari dan Patih Arya Sengkuni). Sementara Raden Hanu
meninggal muda dan anak-anaknya menjadi terusir dari tanah Jawadwipa tersisih
dari pergaulan. Mereka mendirikan negara di Jazirah Atasangin dan sebagian menjadi
bangsa Mleccha. Sementara itu Raden Puru tetap tinggal di Kandaparasta dan
menghabiskan hidupnya mendekatkan diri pada Sanghyang Widhi yang Maha Agung dan
melatih olah kanuragan. Meskipun terjebak dalam tubuh pria tua, Raden Puru
masih terkenal sakti mandraguna.
Lima
puluh tahun telah berlalu, Prabu Yayati telah lelah dan jenuh. Dia merasa
hidupnya hampa dan tak berarti karena hanya mengejar kenikmatan. Akhirnya ia
sadar, semua itu sia-sia belaka. Istri-istrinya sudah wafat semua, anak-anaknya
telah mandiri dan meninggalkannya. Dia kembali ke Kandaparasta dan menemui
Raden Puru lalu dia berkata “putraku, kini aku sadar apa yang telah aku
pelajari dalam kitab-kitab suci adalah benar adanya. Kenikmatan dan hawa nafsu
kalau dituruti terus tak akan habis. Ibarat api yang disiram minyak, semakin
lama semakin besar dan tak terpuaskan. Tak satu pun dapat membuat manusia
merasa damai. Kita hanya dapat mencapai kedamaian dengan keseimbangan jiwa yang
mengatasi segala kesenangan dan ketidaksenangan. Ketenangan jiwa dan perasaan
damai yang sejati adalah karunia mulia dari Sanghyang Widhi Yang Maha Kuasa.
Kemarilah, Puru. Warisilah negeri kita ini dan jadilah raja yang arif bijaksana
dan penuh kebajikan. Ambillah keremajaanmu kembali. Aku ingin kembali menjadi
orang tua jompo dan renta agar bisa semakin dekat dengan-Nya” Seketika itu pula,
ketuaan yang ditanggung Raden Puru berganti dengan keremajaan. Raden Puru
menjadi muda belia kembali smentara Prabu Yayati kembali tua dan jompo.
Hari
pelantikan raja segera dilaksanakan. Kini Raden Puru menjadi raja Kandaparasta
bergelar Prabu Puru. Prabu Puru punya anak bernama Prabu Hastimurti. Prabu
Hastimurti punya putra bernama Prabu Dusyanta. Prabu Dusyanta menikahi Dewi
Shakuntala, putri begawan Wiswamitra yang diasuh Resi Kanwa. Dari pernikahan
itu lahirlah Raden Sarwodamono yang kelak bergelar Prabu Baharata/Baroto. Raja
yang memindahkan kotaraja dari kota Kandawa ke desa Kurugangga. Lalu nama
Kurugangga diganti menjadi Hastina, untuk merayakan lahirnya sang cucu, Raden Hasti. Sejak saat
itu nama kotaraja Kandaparasta tenggelam berganti menjadi Hastinapura. Dari
Hastinapura inilah, Prabu Baharata memperlebar sayapnya hingga ke Tanah
Hindustan. Prabu Baharata punya putra dan putri bernama Bumanyu dan Dewi
Nilawati. Dewi Nilawati menjadi istri Bambang Satrukem, putra tertua Resi
Manumayasa (leluhur Maharesi Abiyasa dari pihak ayah).”
Demikianlah
Maharesi Abiyasa menceritakan kisah itu pada Permadi. Permadi terkesan sekali
dengan kisah itu. Maharesi Abiyasa setelah itu menasihati cucunya untuk segera
kembali ke Amarta, di sanalah darma baktinya harus ditunaikan. Jodoh sejati
Raden Permadi akan segera menanti.